• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

2.5 ANALISA EKONOM

Pada penelitian ini dilakukan analisa ekonomi yang sederhana terhadap proses asidogenesis LCPKS pada temperature 45oC dengan produk yang diharapkan berupa VFA yang pada tahapan berikutnya dapat dikonversi menjadi biogas. Maka pada penelitian ini yang dikaji adalah jumlah VFA yang akan dikonversi menjadi biogas pada proses digestasi anaerobik dua tahap. Beberapa penelitian yang berhasil menghitung volume biogas dari VFA ditunjukkan pada Tabel 2.6.

20

Tabel 2.6 Volume Biogas dari Jumlah VFA yang Terbentuk

Pada penelitian ini, total pembentukan VFA diperoleh pada variasi HRT 4 hari (tanpa Recycle Sludge) dengan jumlah 14.984,32 mg/L. Melalui Tabel 2.6 dapat digambarkan grafik linear seperti ditunjukkan pada Gambar 2.4 berikut.

Gambar 2.4 Konversi Total VFA menjadi Biogas [57, 58, 59]

Gambar 2.4 menunjukkan grafik linearisasi pembentukkan biogas dari VFA dengan persamaan garis lurus: y = 0,0009 x + 0,1043 dengan y merupakan produksi biogas dan x merupakan VFA yang terbentuk. Berdasarkan persamaan tersebut maka jumlah biogas yang dapat dihasilkan dari total VFA tertinggi pada penelitian ini adalah:

y = 0,0009 x + 0,1043

= (0,0009) (14.984,32) + 0,1043 = 13,59 liter biogas/liter LCPKS hari = 13,59 m3 biogas/m3 LCPKS hari y = 0,0009x + 0,104 0 2 4 6 8 0 1000 2000 3000 4000 5000 6000 7000 8000 P ro du k si B io g a s (lite r/lit er ·ha ri) Total VFA (mg/l) Produksi Biogas Linear (Produksi Biogas)

Peneliti Total VFA (mg/L) Volume Biogas (L/L·hari)

Ivet Ferrer et al [57] 1.270 0,87

Setiadi et al [13] 19.800 19,8

21

Ekivalensi 1 m3 biogas terhadap solar adalah sebesar 0,62 liter [7]. Sehingga

=

×

= 8,43 liter solar/m3 LCPKS

Harga solar industri adalah Rp 8.200/liter [56], sehingga untuk biogas yang dihasilkan pada proses satu tahap diperoleh keuntungan sebesar:

Harga biogas yang dihasilkan =

×

= Rp. 69.126/m3 LCPKS

Jika LCPKS yang diolah sebesar 450 m3/ hari, maka keuntungan yang akan diperoleh perhari adalah:

Keuntungan yang diperoleh =

×

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Saat ini Indonesia merupakan produsen minyak sawit pertama dunia. Namun demikian, industri pengolahan kelapa sawit menyebabkan permasalahan lingkungan yang perlu mendapat perhatian, antara lain adalah mesokarp, serat, tempurung, tandan kosong kelapa sawit, dan palm oil mill effluent atau limbah cair pabrik kelapa sawit (LCPKS) [1]. LCPKS merupakan limbah cair yang dibuang dari pabrik kelapa sawit sebagai cairan coklat kental pada suhu antara 80 oC dan 90 oC dengan pH antara 4 dan 5. Ini merupakan kombinasi dari air limbah yang dihasilkan dan dibuang dari sterilisasi kondensat (36% dari total LCPKS), air limbah klarifikasi (60% dari total LCPKS) dan air limbah hidrosiklon (hampir 4% dari total LCPKS) [2].

Namun, di sisi lain kandungan organik pada LCPKS sangat tinggi dengan kandungan BOD sebesar 25.000 – 65.714 dan COD sebesar 44.300 – 102.696, sehingga membuat LCPKS menjadi sumber yang baik untuk menghasilkan gas metana melalui proses anaerobik. Selain itu, LCPKS juga mengandung konstituen biodegradable dengan rasio BOD / COD sebesar 0,5 dan ini berarti bahwa LCPKS dapat diurai dengan mudah menggunakan cara biologis [3]. Perhatian pada menipisnya bahan bakar fosil telah menyebabkan peningkatan kegiatan penelitian pada pengembangan energi terbarukan seperti produksi biogas. LCPKS sebagai limbah dengan kandungan karbon organik tinggi menjadi sumber yang menjanjikan untuk produksi biogas dan berpotensi menaikkan sektor energi terbarukan [4].

Berdasarkan Dirjen Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi ESDM tahun 2012, produksi energi nasional terus mengalami peningkatan dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 4,6% per tahun selama 11 tahun terakhir. Kondisi ini tentunya perlu menjadi perhatian yang penting, dimana peningkatan produksi energi nasional ternyata tidak diimbangi dengan pertumbuhan konsumsi energi domestik. Sementara itu,

2

Indonesia memiliki potensi sumber daya energi baru terbarukan yang sangat beragam selain sumber energi fosil, seperti yang terlampir pada Tabel 1.1 berikut.

Tabel 1.1 Potensi Sumber Daya Energi Baru Terbarukan [5]

No Energi Baru Terbarukan Sumber Daya

1 Tenaga Air 75.091 MW

2 Panas Bumi 29.164 MW

3 Mini/Mikro Hydro 769,69 MW

4 Biomasa 49.810 MW

5 Tenaga Surya 4,80 kWh/m2/day

6 Tenaga Angin 3 – 6 m/s

7 Bahan Bakar Nabati 161,5 juta SBM

8 Biogas 2,3 juta SBM

9 Sampah Kota 1.872 MW

10 Uranium 3.000 MW

Biogas adalah campuran beberapa gas yang merupakan hasil fermentasi dari bahan organik dalam kondisi anaerobik, yang terdiri dari campuran metana (50-75%), CO2 (25-45%), dan sejumlah kecil H2, N2, dan H2S [1]. Salah satu faktor yang penting

yang harus diperhatikan dalam proses fermentasi untuk menghasilkan biogas pada digester anaerob adalah temperatur yang digunakan untuk memanaskan digester [6].

Proses fermentasi anaerobik adalah proses yang kompleks yang mengalami empat fase: hidrolisis, asidogenesis - fase pengasaman, asetogenesis, metanogenesis. Terlibat dalam konversi biokimia dari H2 dan CO2 menjadi metana dan asetat menjadi

metana dan CO2 [7]. Dalam setiap langkah dari proses, produksi gas dan laju

dekomposisi bahan organik dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti suhu, pH, waktu retensi hidrolik (HRT) dan konsentrasi substrat [8].

Untuk meningkatkan laju dekomposisi COD, salah satu caranya yaitu dengan melakukan recycle sludge atau pengembalian lumpur dari digester ke reaktor. Selain itu, recycle sludge juga digunakan untuk mendapatkan kembali mikroba pengurai yang sudah familiar dengan kondisi reaktor. Berdasarkan penelitian Sulaiman (2009) proses recycle sludge dapat meningkatkan produksi VFA (volatile fatty acid). Dimana recycle sludge diaplikasikan pada 12 m3/hari dan sistem stabil sampai OLR (organic loading

3

rate) 6,0 kg COD m3/hari di mana konsentrasi VFA dalam digester menunjukkan peningkatan [9].

Hasil keluaran tahap asidogenesis adalah asam-asam lemak volatil seperti asam asetat, asam propionat dan asam butirat. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa proses metanogenesis dipengaruhi oleh propionat ketika konsentrasi propionat sebanyak 1500-2220 mg/L. Degradasi propionat menjadi asetat dianggap sebagai salah satu langkah laju pembatas dalam sistem pencernaan anaerobik. Selanjutnya konsentrasi propionat yang tinggi (> 3000 mg/L) dapat menghentikan proses fermentasi [10]. Oleh sebab itu penelitian ini penting dilakukan untuk melihat pengaruh rasio recycle sludge terhadap proses asidognesis LCPKS.

Berikut ini beberapa penelitian terdahuluyang telah dilakukan untuk menguraikan LCPKS pada proses asidogesis diantaranya ditunjukkan oleh Tabel 1.2 berikut ini:

Tabel 1.2 Rangkuman Hasil Penelitian Terdahulu

Peneliti (Tahun) Metode Penelitian Hasil Penelitian Bambang Trisakti, Veronica Manalu, Irvan, Taslim, Muhammad Turmuzi (2015) [11]

Menggunakan reaktor Continous Stirred Tank Reactor dengan volume 2 liter untuk menguraikan POME variasi HRT menggunakan HRT 6,7; 5 dan 4 hari dengan laju pengadukan 50 rpm, pH 6 dan temperatur ruangan, sedangkan variasi pH menggunakan pH 5; 5,5; 6, dengan laju pengadukan 100-110 rpm pada temperatur 55°C

Hasil terbaik didapatkan pada HRT 4 dengan konsentrasi mikroba 20.62 mg VSS/L dan pengurangan COD sebesar 15.7%. Konsentrasi VFA maksimum (5.622,72 mg/L) pada HRT 4 hari dan pH 6. Maneerat Khemkhao, Boonyarit Nuntakumjorn, Somkiet Techkarnjanaruk, Chantaraporn Phalakornkule (2012) [12]

Menggunakan reaktor Upflow Anaerobic Sludge Bed (UASB) dengan volume 5,3 liter untuk menguraikan POME dengan OLR antara 2.2 dan 9.5 g COD/L.hari. Dioperasikan pada suhu 37oC, 42oC, 47oC, 52oC dan 57oC dengan HRT 2

sebanyak 123 hari.

Penurunan COD efisiensi berkisar antara 76 dan 86%. Total VFA tertinggi diperoleh pada hari ke 94 dengan suhu 57 oC sebanyak

4.400 mg CH3COOH/L. Suhu

termofilik 57 oC ditemukan lebih cocok untuk diversifikasi hidrolitik dan asidogenik.

Tjandra Setiadi, Husaini and Asis Djajadiningrat. (1996) [13]

Menggunakan Anaerobic Baffled reactor dengan volume 5 liter untuk penguraian POME pada suhu 35oC. Dioperasikan pada HRT 4 selama 80

Efisiensi penurunan COD tertinggi pada rasio recycle 25% yaitu 84.6%. untuk rasio recycle diatas 15% dibutuhkan

4

hari dengan variasi recycle 5, 10, 15, 20 dan 25%.

penanganan pH agar tidak ebih besar dari 6.8. Yi Jing Chan, Mei Fong Chong, Chung Lim Law (2015) [14]

Menggunakan Sequencing Batch Reactor (SBR) dengan volume 2 liter untuk menguraikan POME pada suhu 50oC. waktu operasi divariasikan dengan MLSS 18.000, 21.000, 24.000, 27.000 dan 30.000 mg/L serta OLR 1.5, 2.5 dan 3.5 dan COD/L.day. HRT 4 hari.

Efisiensi penurunan COD, BOD dan TSS optimal hingga 86%, 87% dan 89% pada konsentrasi MLSS 27.000 mg/L dan OLR 2.5 g COD/L.day

1.2 PERUMUSAN MASALAH

Berdasarkan hasil penelitian terdahulu dapat dilihat bahwa proses asidogenesis dapat dilangsungkan pada keadaan mesofilik [13] dan termofilik [12], namun juga dapat dilakukan pada temperatur intermediet 45oC [15]. Menurut penelitian Bambang Trisakti [11] HRT terbaik untuk proses ini adalah 4 hari pada temperatur 55 oC . Sedangkan menurut Tjandra Setiadi [13] rasio recycle slugde terbaik untuk proses digestasi anaerobik cenderung meningkat dengan meningkatnya rasio recycle (25%) pada temperatur 35oC.

Oleh karena itu perlu dikaji pengaruh variasi HRT dan pengaruh variasi rasio recycle sludge terhadap proses asidogenesis LCPKS pada temperatur 45°C.

Dokumen terkait