BAB 5 HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Hasil Penelitian
5.1.3. Analisa Hubungan Gangguan Tidur dengan Status
mental emosional.
xxxi
Tabel 5.2. Hubungan Gangguan Tidur dengan Status Mental Emosional Status Mental Emosional p-Value Gangguan
Tidur
Tidak Gangguan Mental n (%)
Gangguan Mental n (%)
Tidak 23 (67,6) 41 (43,6) p= 0,016
Ya 11 (32,4) 53 (56,4)
Pada Tabel 5.2, dijumpai jumlah responden yang tidak mengalami gangguan tidur dan tidak mengalami masalah mental emosional adalah 23 responden (67,6%), jumlah responden yang tidak mengalami gangguan tidur akan tetapi mengalami masalah mental emosional adalah 41 responden (43,6%), jumlah responden yang mengalami gangguan tidur akan tetapi tidak mengalami masalah mental emosional adalah 11 responden (32,4%), dan jumlah responden yang mengalami gangguan tidur dan mengalami masalah mental emosional adalah sebanyak 53 responden (56,4%). Dengan uji Chi-Square didapatkan nilai p= 0,016 (p<0,05) sehingga dapat diinterpretasikan bahwa terdapat hubungan antara gangguan tidur dengan status mental emosional.
5.2. Pembahasan
Berdasarkan Tabel 5.1, disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan antara jenis kelamin dengan status mental emosional dengan nilai p= 0,152 (p>0,05). Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Isfandari dan Suhardi (1997) yang meneliti 2396 anak berusia 5-14 tahun. Hasil penelitian mereka menunjukkan bahwa angka kejadian gangguan mental pada anak laki-laki maupun anak perempuan tidak memiliki perbedaan. Sebuah penelitian systematic review oleh Cortina et al (2012) juga menunjukkan hasil yang sejalan. Mereka menemukan bahwa tidak ada bukti adanya perbedaan angka prevalensi gangguan mental pada anak laki-laki dan anak perempuan. Terjadinya hal ini diperkirakan dikarenakan oleh besarnya rentang umur dan kesulitan kesehatan mental yang ditinjau pada review tersebut. Akan tetapi, hasil ini tidak sejalan dengan penelitian Merikangas et al (2010) dan Perou et al (2013).
xxxii
Merikangas et al (2010) melakukan penelitian terhadap 3042 anak yang berumur 8 hingga 15 tahun. Hasil penelitian mereka menunjukkan bahwa anak laki-laki memiliki angka kejadian gangguan mental yang lebih tinggi dibandingkan anak perempuan yang disebabkan oleh tingginya angka ADHD pada anak laki-laki. Dalam penelitian mereka disebutkan juga bahwa anak perempuan memiliki angka kejadian gangguan mood yang lebih tinggi dibandingkan anak laki-laki. Kemudian dalam penelitian Perou et al (2013), dijumpai bahwa dibandingkan dengan anak perempuan, anak laki-laki lebih cenderung menderita sebagian besar dari gangguan-gangguan mental, termasuk ADHD, gangguan perilaku, ASD, kecemasan, Tourette Syndrome, dan ketergantungan terhadap rokok. Disebutkan juga bahwa anak perempuan lebih cenderung kepada penggunaan alkohol dan remaja perempuan lebih cenderung untuk terkena depresi.
Menurut WHO (2002), Meskipun tidak tampak perbedaan jenis kelamin dalam keseluruhan prevalensi dari gangguan mental dan perilaku, terdapat perbedaan yang signifikan dalam pola dan gejala gangguan-gangguan tersebut. Perbedaan tersebut juga bervariasi antar kelompok umur. Pada masa kanak-kanak, kebanyakan studi melaporkan prevalensi gangguan perilaku yang lebih tinggi pada anak laki-laki dibandingkan anak perempuan. Pada masa remaja, terdapat prevalensi depresi dan gangguan makan yang lebih tinggi pada anak perempuan dibanding anak laki-laki. Pada orang dewasa, prevalensi depresi dan ansietas lebih tinggi pada wanita, sementara penyalahgunaan zat dan perilaku antisosial lebih tinggi pada pria. Sedangkan pada lansia, walaupun insidensi penyakit Alzheimer adalah sama pada wanita dan pria, harapan hidup wanita yang lebih panjang menunjukkan bahwa lebih banyak wanita yang hidup dalam kondisi seperti itu dibandingkan pria.
Pada Tabel 5.1 didapatkan kesimpulan bahwa tidak terdapat pengaruh umur terhadap status mental emosional dengan nilai p= 0,808 (p>0,05). Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Isfandari dan Suhardi (1997) dimana pada hasil tersebut dikemukakan bahwa berdasarkan faktor-faktor demografi yang diteliti, tidak dijumpai adanya perbedaan yang signifikan pada angka gejala gangguan 20
xxxiii
mental emosional anak, termasuk faktor usia. Akan tetapi, hasil ini tidak sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Merikangas et al (2010) dimana tampak ada dominansi kelompok umur menurut gangguannya. Angka gangguan perilaku, gangguan mood dan Major Depressive Disorder (MDD) tampak lebih tinggi pada anak yang lebih tua (12-15 tahun) dibandingkan anak yang berusia lebih muda. Sebaliknya, ADHD secara signifikan sedikit lebih banyak pada anak yang lebih muda
Berdasarkan Tabel 5.2, dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara gangguan tidur dengan status mental emosional dengan nilai p= 0,003 (p<0,05). Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Roane dan Taylor (2008) yang meneliti hubungan insomnia dengan depresi dan penyalahgunan zat. Dalam penelitian tersebut didapatkan bahwa kelompok yang mengalami insomnia cenderung untuk mengkonsumsi alkohol, ganja, dan obat-obatan lain selain ganja. Tidak hanya itu, kelompok yang mengalami insomnia juga cenderung untuk depresi, memiliki pemikiran untuk bunuh diri dan keinginan untuk bunuh diri. Kelompok tersebut, meski tidak memiliki kelainan psikis, memiliki resiko yang lebih tinggi untuk mengalami depresi dan keinginan untuk bunuh diri. Hasil analisa insidensi dan crosssectional pada penelitian ini mendukung adanya hubungan antara insomnia dan gangguan mental. Menurut Roane dan Taylor, diathesis stress model dapat menjelaskan peran insomnia dalam perkembangan dan/atau perjalanan dari gangguan mental lainnya. Model ini juga dapat menunjukkan bahwa insomnia tidak hanya meningkatkan resiko dari berkembangnya suatu gangguan mental, tapi juga meningkatkan keparahannya.
Penelitian yang dilakukan oleh Tanaka et al (2002) juga menunjukan hasil yang senada. Tanaka et al meneliti mengenai tidur siang dan olahraga terhadap peningkatan kualitas tidur dan kesehatan mental pada usia lanjut dimana salah satu hasil dari penelitian ini mengungkapkan bahwa dengan meningkatnya kualitas tidur, kesehatan mental responden juga ikut mengalami peningkatan. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa kualitas tidur dapat berpengaruh terhadap kesehatan mental individu.
xxxiv
Adapun penelitian oleh Short et al (2013), yang melibatkan 385 remaja berusia 13-18 tahun, menunjukkan bahwa kualitas tidur memiliki efek yang signifikan terhadap mood seseorang. Kualitas tidur yang buruk juga berhubungan dengan perasaan depresi yang lebih besar. Hasil yang sejalan juga ditemukan oleh Gregory et al (2006) yang melakukan penelitian mengenai hubungan antara masalah tidur, kecemasan, dan depresi pada anak kembar berumur 8 tahun. Dalam hasil penelitian tersebut dinyatakan terdapat hubungan antara masalah tidur dengan depresi. Disebutkan juga bahwa pengaruh genetik adalah sebagai sebab utamanya.
Hubungan gangguan tidur dengan status mental seseorang juga diutarakan oleh Mental Health Foundation (2011). Disebutkan bahwa kualitas tidur merupakan hal yang sangat penting bagi kesehatan seseorang. Individu yang memiliki kualitas tidur yang buruk cenderung mengalami kelelahan, kantuk pada siang hari, konsenterasi yang buruk, mudah tersinggung, berkurangnya daya ingat, depresi, frustasi dan melemahnya sistem kekebalan tubuh.
The Great British Sleep Survey 2012 oleh Sleepio menyatakan bahwa kualitas tidur yang buruk mempengaruhi aspek kehidupan seseorang. Orang yang memiliki kualitas tidur yang buruk dalam jangka waktu yang lama memiliki kecenderungan 5 kali lebih besar untuk merasa kesepian dibanding orang-orang dengan kualitas tidur yang baik. Mereka juga memiliki kecenderungan 2 kali lebih besar untuk memiliki permasalahan dalam hubungan dibandingkan dengan orang- orang yang memiliki kualitas tidur yang baik. Selain itu, mereka juga memiliki kecenderungan sebesar 2 kali lebih besar untuk mengalami mood yang tidak baik dibanding orang-orang yang memiliki kualitas tidur yang baik.
xxxv