• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab ini berisi pengolahan data penelitian meliputi gambaran umum subjek penelitian, hasil utama penelitian, dan hasil tambahan penelitian.

BAB V : Kesimpulan, Saran, dan Diskusi

Bab ini berisi kesimpulan yang diperoleh dari hasil penelitian, diskusi penelitian, dan saran-saran yang diperlukan baik secara teoritis maupun praktis untuk lebih menyempurnakan penelitian selanjutnya yang berhubungan dengan penelitian ini.

BAB II

LANDASAN TEORI

II. A. Kesepian

II. A. 1. Pengertian Kesepian

Perlman & Peplau (dalam Brehm et al, 2002) mendefinisikan kesepian sebagai perasaan kekurangan dan ketidakpuasan pada individu akibat adanya kesenjangan antara hubungan sosial yang diharapkan dengan hubungan sosial yang dimiliki. Setiap individu memiliki kebutuhan hubungan sosial yang berbeda-beda dan ketika individu merasa tidak puas dengan kuantitas atau kualitas hubungan sosial yang dimiliki, individu akan merasa kesepian (Weiten & Lloyd, 2006).

Bruno (dalam Dayakisni & Hudaniah, 2003) mendefenisikan kesepian sebagai suatu keadaan mental dan emosional yang dicirikan oleh adanya perasaan-perasaan terasing dan kurangnya hubungan yang bermakna dengan orang lain. Kegagalan individu dalam memperoleh hubungan yang bermakna dapat membuat individu merasa kesepian walau individu sedang berada dalam keramaian orang (Brehm et al, 2002).

Lebih lanjut, Baron & Bryne (2000) menjelaskan bahwa kesepian merupakan keadaan kognitif dan emosi yang tidak bahagia sebagai hasil dari keinginan individu untuk memiliki hubungan yang akrab dengan seseorang, namun individu tidak mampu mencapainya. Pada umumnya, hubungan yang akrab bagi orang dewasa adalah bersama pasangan (Weiten & Lloyd, 2006). Penelitian yang dilakukan Berscheid, Snyder, dan Omoto (dalam Baron & Bryne,

2000) terhadap individu yang telah menikah menyimpulkan bahwa pasangan merupakan orang yang memiliki keakraban paling tinggi dengan individu.

Feldman (1995) mendefinisikan kesepian sebagai ketidakmampuan individu untuk tetap mempertahankan keakraban hubungan seperti yang diharapkan. Kesepian muncul ketika keakraban hubungan yang dimiliki saat ini tidak dapat memenuhi keakraban hubungan yang diharapkan.

Berdasarkan beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa kesepian merupakan perasaan kekurangan dan ketidakpuasan pada individu akibat adanya kesenjangan antara hubungan yang diharapkan dengan hubungan yang dimiliki bersama pasangan.

II. A. 2. Tipe-Tipe Kesepian

Weiss (dalam Brehm et al, 2002) menyatakan ada dua tipe kesepian, yaitu: 1. Isolasi sosial

Individu menginginkan suatu hubungan sosial, tetapi tidak memiliki jaringan teman atau kerabat. Individu tidak puas dan merasa kesepian karena kurangnya jaringan teman atau kenalan.

2. Isolasi emosional

Individu menginginkan hubungan yang akrab dengan seseorang, namun tidak dapat memilikinya sehingga individu tidak puas dan merasa kesepian.

Menurut Weiss (dalam Brehm et al, 2002), isolasi sosial yang dirasakan individu tidak dapat diringankan dengan adanya suatu hubungan yang akrab dengan seseorang, dan sebaliknya. Contoh: sepasang suami-isteri yang pindah ke suatu kota dimana mereka tidak mempunyai kenalan dan mereka merasa kesepian

(isolasi sosial). Kesepian yang mereka rasakan tidak dapat diringankan dengan hubungan akrab yang mereka miliki. Begitu pula sebaliknya, individu yang memiliki jaringan sosial luas dan sangat aktif dalam kehidupan sosialnya dapat juga mengalami kesepian ketika individu tidak dapat memiliki hubungan akrab dengan seseorang seperti yang diinginkannya. Russell; Peplau; dan Cutrona (dalam Brehm et al, 2002) menjelaskan walaupun dua tipe kesepian ini muncul secara bersamaan, individu akan memiliki dua pengalaman yang berbeda terhadap isolasi sosial dan isolasi emosional yang dirasakan sehingga isolasi sosial yang dirasakan individu kurang dapat diringankan dengan adanya hubungan akrab dengan seseorang, begitu juga sebaliknya.

Young (dalam Weiten & Lloyd, 2006) membagi kesepian menurut durasi waktu individu merasakan kesepian yang terdiri atas tiga bagian, yaitu:

1. Kesepian sementara (transient loneliness): perasaan kesepian yang datang sesekali saja.

2. Kesepian transisi (transitional loneliness): individu sudah memiliki hubungan seperti yang diharapkan, namun dapat merasa kesepian ketika terjadi suatu gangguan dalam hubungan tersebut. Gangguan ini bisa disebabkan oleh kematian pasangan, perceraian, perpindahan tempat tinggal, dan lain sebagainya. Perasaan kesepian dapat muncul saat individu menghadapi perubahan tersebut.

3. Kesepian kronis (chronic loneliness): perasaan kesepian dialami secara kronis selama bertahun-tahun yang mempengaruhi individu sehingga tidak mampu mengembangkan hubungan interpersonal yang memuaskan.

II. A. 3. Faktor-Faktor Penyebab Kesepian

Brehm et al (2002) menjelaskan beberapa penyebab kesepian sebagai berikut:

1. Ketidakadekuatan hubungan yang dimiliki

Ada beberapa alasan mengapa individu merasa tidak puas terhadap hubungan yang dimiliki. Rubenstein & Shaver (dalam Brehm et al, 2002) membagi alasan individu merasa kesepian dalam lima kategori, yaitu:

a. Tidak memiliki keterikatan (being unattached): tidak memiliki pasangan, tidak memiliki pasangan secara seksual, perceraian dengan pasangan, perpisahan dengan orang yang dicintai

b. Asing (alienation): merasa berbeda, merasa tidak dimengerti, merasa tidak dibutuhkan, tidak memiliki sahabat

c. Sendiri (being alone): pulang ke rumah tanpa ada yang menyambut, hidup sendiri

d. Terisolasi (forced isolation): terkurung dirumah, dirawat di rumah sakit, tidak dapat pergi kemana-mana

e. Berpisah dari lingkungan sosial yang lama (dislocation): pergi merantau, memulai pekerjaan atau sekolah baru, pindah rumah, sering melakukan perjalanan

Dua alasan pertama mengarah kepada isolasi emosional, sedangkan tiga alasan berikutnya mengarah kepada isolasi sosial.

2. Perubahan terhadap apa yang diinginkan individu dari suatu hubungan

Kesepian dapat berkembang karena adanya perubahan terhadap apa yang diinginkan dari suatu hubungan. Hubungan dapat terus berlanjut tetapi tidak memuaskan karena individu telah merubah keinginannya terhadap hubungan tersebut dan individu tidak mampu mewujudkannya. Peplau (dalam Brehm et al, 2002) menyatakan bahwa perubahan tersebut muncul dari beberapa sumber, yaitu:

a. Perubahan suasana hati

Harapan individu terhadap suatu hubungan dapat berubah ketika suasana hati berubah. Harapan individu terhadap hubungan yang dimilikinya akan berbeda pada saat merasa senang dan merasa sedih.

b. Usia

Proses perkembangan yang dialami individu sepanjang rentang kehidupan akan mempengaruhi hubungan sosial yang diinginkan. Sebagai contoh, hubungan persahabatan yang dianggap individu memuaskan pada saat berumur 15 tahun dapat menjadi kurang memuaskan pada saat berumur 25 tahun.

c. Perubahan situasi

Banyak orang tidak mau membentuk hubungan yang akrab dengan seseorang pada saat memulai karir, namun setelah karir terbentuk individu mengharapkan adanya suatu hubungan akrab dengan seseorang.

Jika keinginan untuk merubah hubungan tidak sejalan dengan hubungan yang ada akan membuat individu tidak puas dan mengalami kesepian.

3. Harga diri (self-esteem)

McWhirter, Rubenstein, Shaver (dalam Brehm et al, 2002) menyatakan bahwa kesepian berhubungan dengan harga diri yang rendah. Individu yang kesepian cenderung menilai dirinya sebagai orang yang tidak berharga dan tidak dicintai. Kurangnya harga diri tersebut membuat individu merasa tidak nyaman berada dalam situasi sosial. Perasaan tidak nyaman itu mendorong individu untuk mengurangi kontak sosial yang sebenarnya dibutuhkan individu untuk membangun suatu hubungan dalam mengatasi kesepian yang dirasakan.

4. Perilaku interpersonal

Perilaku interpersonal individu akan menentukan keberhasilan individu dalam membangun hubungan yang diharapkan. Bila dibandingkan dengan individu yang tidak kesepian, individu yang kesepian lebih menilai orang lain secara negatif (Jones et. al, dalam Brehm et al, 2002), sulit untuk tertarik kepada orang lain (Rubenstein & Shaver, dalam Brehm et al, 2002), tidak mempercayai orang lain (Vaux, dalam Brehm et al, 2002), menginterpretasikan perilaku dan niat orang lain secara negatif ( Hanley-Dunn, dalam Brehm et al, 2002), serta menunjukkan sikap yang bermusuhan (Check, dalam Brehm et al, 2002).

Individu yang kesepian memiliki keterampilan sosial yang kurang baik (Solano & Koester, dalam Brehm et al, 2002). Individu yang kesepian lebih pasif dalam interaksi dan juga ragu untuk menyatakan pendapatnya. Dalam suatu percakapan, individu yang kesepian hanya membuat sedikit pernyataan; lamban dalam menanggapi pernyataan lawan bicara, dan kurang berminat

untuk melanjutkan percakapan (Hansson & Jones, dalam Brehm et al, 2002). Individu yang kesepian tampak ragu atau menolak dalam mengembangkan keakraban hubungan yang dimiliki dan menunjukkan tingkat pengungkapan diri yang buruk dalam berkomunikasi (Davis et. al, dalam Brehm et al, 2002).

Sikap dan perilaku negatif individu yang kesepian dapat mendatangkan reaksi yang negatif dari orang lain. Pasangan dalam berinteraksi melaporkan bahwa dirinya tidak dapat mengenal dengan baik individu yang kesepian (Solano, dalam Brehm et al, 2002) dan pasangan menilai individu yang kesepian tersebut tidak kompeten (Spitzberg, dalam Brehm et al, 2002).

5. Atribusi penyebab (causal attribution)

Menurut pandangan Peplau dan Perlman (dalam Brehm et al, 2002) perasaan kesepian muncul sebagai kombinasi dari adanya kesenjangan hubungan sosial pada individu ditambah dengan atribusi penyebab. Atribusi penyebab dibagi atas komponen internal-eksternal dan stabil-tidak stabil. Contohnya adalah sebagai berikut:

Tabel 1

Penjelasan Kesepian Berdasarkan Atribusi Penyebab Penyebab (locus of causality)

Kestabilan Internal Eksternal

Stabil Saya kesepian karena saya tidak dicintai.

Saya tidak akan pernah dicintai

Orang-orang disini tidak menarik. Tidak satu pun dari mereka yang mau berbagi. Saya rasa saya akan pindah. Tidak Stabil Saya kesepian saat ini,

tapi tidak akan lama. Saya akan meng-hentikannya dengan pergi dan bertemu orang baru

Semester pertama memang selalu buruk, saya yakin segalanya akan menjadi baik di waktu yang akan datang

Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa individu yang mempersepsi kesepian secara internal dan stabil menganggap dirinya adalah penyebab kesepian tersebut sehingga individu lebih sulit untuk keluar dari perasaan kesepian itu. Sedangkan, individu yang mempersepsi kesepian secara eksternal dan tidak stabil berharap sesuatu dapat merubah keadaan menjadi lebih baik sehingga lebih memungkinkan untuk keluar dari perasaan kesepian.

II. A. 4. Perasaan Kesepian

Rubenstein, Shaver, dan Peplau (dalam Brehm et al, 2002) menjelaskan ada empat jenis perasaan yang dirasakan oleh orang yang kesepian, yaitu:

1. Desperation

Yaitu suatu keadaan dimana individu merasakan kehilangan harapan dan ketidakberdayaan dalam dirinya sehingga dapat menimbulkan keinginan untuk melakukan tindakan nekat. Perasaan-perasaan yang muncul dalam keadaan ini adalah putus asa, tidak berdaya, takut/khawatir, tidak memiliki harapan, merasa ditinggalkan/dibuang, merasa diejek.

2. Impatient boredom

Yaitu suatu keadaan dimana individu merasakan kebosanan pada dirinya sebagai akibat yang muncul dari kejenuhan dalam dirinya. Perasaan-perasaan yang muncul dalam keadaan ini adalah tidak sabar, bosan, ingin berada ditempat lain, gelisah, marah, tidak dapat berkonsentrasi.

3. Self-deprecation

Yaitu suatu keadaan dimana individu menyalahkan dan mencela dirinya sendiri atas peristiwa atau situasi yang dialaminya. Perasaan-perasaan yang

muncul dalam keadaan ini merasa diri tidak menarik, rendah diri, merasa bodoh, malu, merasa tidak aman.

4. Depression

Yaitu suatu keadaan dimana individu merasakan kesedihan yang dalam atau individu merasa tertekan. Perasaan-perasaan yang muncul dalam keadaan ini adalah sedih, tidak semangat, merasa kosong, terkucil, menyesali diri, murung, merasa asing, rindu seseorang yang istimewa.

II. A. 5. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kesepian

Beberapa faktor yang mempengaruhi kesepian adalah (Brehm et al, 2002): 1. Jenis kelamin

Studi tentang kesepian menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan kesepian antara laki-laki dan perempuan. Namun, laki-laki lebih sulit daripada perempuan untuk menyatakan secara terbuka bahwa mereka mengalami kesepian. Studi yang dilakukan Stack (dalam Brehm et al, 2002) menyatakan bahwa pernikahan mengurangi kemungkinan laki-laki mengalami kesepian daripada perempuan. Lebih lanjut, Fischer & Philips (dalam Brehm et al, 2002) menjelaskan bahwa laki-laki akan lebih rentan terhadap kesepian ketika tidak memiliki pasangan sehingga mengalami isolasi emosional sedangkan perempuan lebih rentan terhadap kesepian ketika sebuah pernikahan mengurangi kesempatan baginya untuk memiliki jaringan sosial sehingga mengalami isolasi sosial.

2. Usia

Analisis yang dilakukan Perlman menunjukkan bahwa individu yang paling merasa kesepian berada pada usia remaja dan dewasa dini dimana kesepian akan menurun seiring dengan bertambahnya usia dan meningkat kembali ketika individu memasuki usia lansia. Para remaja dan individu dewasa dini menghadapi banyak tugas-tugas sulit untuk menemukan identitas sebagai individu dimana tanpa ketetapan diri yang kokoh akan sangat mudah bagi individu untuk merasa tidak dihargai dan tidak dicintai oleh orang lain. Pada usia itu, individu juga banyak mengembangkan hubungan yang baru dalam berbagai situasi dimana setiap situasi baru itu memungkinkan individu mengalami kesepian. Individu dewasa dini lebih memiliki pengharapan yang besar terhadap hubungan yang dimiliki yaitu keinginan dan pemahaman akan kesempurnaan serta kesesuaian dalam hubungan dibandingkan individu usia tua yang belajar untuk hidup dengan kekurangan yang ada dalam suatu hubungan.

3. Status pernikahan

Pada umumnya, unmarried people (individu yang tidak menikah, berpisah/bercerai, dan individu yang kehilangan pasangan akibat kematian) lebih rentan terhadap kesepian daripada individu yang menikah. Namun, ada kecenderungan menunjukkan bahwa individu yang tidak menikah paling kurang merasakan kesepian dibandingkan dengan individu yang berpisah/bercerai dan individu yang kehilangan pasangan akibat kematian. Dengan demikian, kesepian muncul sebagai reaksi atas hilangnya hubungan pernikahan daripada ketiadaan hubungan pernikahan. Individu yang telah

menikah juga dapat memiliki risiko mengalami kesepian ketika individu merasa tidak bahagia dalam perkawinannya (Demir & Fisiloglu dalam Brehm et al, 2002).

4. Status sosial ekonomi

Weiss (dalam Brehm et al, 2002) melaporkan fakta bahwa individu dengan tingkat penghasilan yang rendah cenderung mengalami kesepian lebih tinggi daripada individu dengan tingkat penghasilan tinggi.

5. Pendidikan

Weiss (dalam Brehm et al, 2002) juga melaporkan bahwa pendidikan memiliki hubungan yang negatif dengan kesepian. Artinya, semakin tinggi tingkat pendidikan individu maka kecenderungan kesepian yang dirasakan akan semakin rendah; dan sebaliknya. Latar belakang pendidikan ikut mempengaruhi pola pikir serta memperluas wawasan dan cara pandang individu, sehingga individu mampu untuk melihat dari sudut pandang pribadi maupun sudut pandang yang lain secara lebih positif sehingga mampu mengatasi dan mencari solusi dari berbagai permasalahan yang dihadapi (Long et. al dalam Pujiastuti & Retnowati, 2004).

II. A. 6. Reaksi Terhadap Perasaan Kesepian

Rubenstein dan Shaver (dalam Brehm et al, 2002) menyimpulkan reaksi-reaksi yang diberikan individu terhadap perasaan kesepian digolongkan kedalam empat kategori yaitu:

1. Active Solitude

Reaksi terhadap kesepian berupa melakukan kegiatan-kegiatan aktif dan membangun terhadap diri sendiri seperti: belajar atau bekerja, menulis, mendengarkan musik, melakukan olahraga, melakukan hobi, pergi ke bioskop, membaca, memainkan alat musik

2. Social contact

Reaksi terhadap kesepian berupa membuat kontak sosial dengan orang lain seperti: menelepon teman, mengunjungi seseorang

3. Sad passivity

Reaksi terhadap kesepian yang sifatnya pasif seperti: menangis, tidur, duduk dan berpikir, tidak melakukan apapun, makan berlebihan, memakan obat penenang, menonton televisi, mabuk

4. Distractions

Reaksi terhadap kesepian berupa menghabiskan uang dan berbelanja.

II. A. 7. Karakteristik Orang yang Kesepian

Individu yang kesepian memiliki kecenderungan tidak bahagia dan tidak puas dengan keadaan dirinya, memiliki penyesuaian yang buruk dalam interaksi yang dimiliki, menilai orang lain secara negatif, dan biasanya juga dinilai secara negatif oleh orang lain. Christensen & Kashy menyatakan bahwa individu yang kesepian mempersepsikan dirinya secara negatif dan individu yakin bahwa orang lain memiliki pandangan negatif yang sama dengan individu dalam mempersepsikan dirinya (dalam Baron & Bryne, 2000).

Individu yang kesepian menunjukkan reaksi yang negatif terhadap keterbukaan dalam suatu hubungan (Rotenberg dalam Baron & Bryne, 2000) dan kemampuan interpersonal yang buruk akan semakin menghambat individu untuk dapat menampilkan dirinya (B. Bell, dalam Baron & Bryne, 2000).

Individu yang merasa kesepian cenderung menjadi orang yang pemalu, memiliki kontrol diri yang besar, tertutup, tidak asertif, dan memiliki harga diri yang rendah (Jones et. al, dalam Saks & Krupat, 1988). Karakteristik ini membatasi kesempatan individu untuk membentuk suatu hubungan dan berkontribusi terhadap ketidakpuasan dalam interaksi (Peplau & Perlman dalam Saks & Krupat, 1988). Bila dibandingkan dengan individu yang tidak kesepian, individu yang kesepian memiliki tingkat stress yang lebih tinggi dalam merespon sesuatu dan menilai dirinya sebagai orang yang tidak mampu mewujudkan apa yang dituntutnya dari dirinya sendiri (Hawkley et. al, 2003).

II. B. Pengungkapan Diri

II. B. 1. Pengertian Pengungkapan Diri

Johnson (dalam Supratiknya, 1995) mendefinisikan pengungkapan diri sebagai pengungkapan reaksi atau tanggapan individu terhadap situasi yang sedang individu hadapi serta memberikan informasi tentang masa lalu yang sesuai atau yang berguna untuk memahami tanggapan individu di masa kini tersebut. Lebih lanjut, Johnson juga mengemukakan bahwa pengungkapan diri berarti membagikan kepada orang lain perasaan individu terhadap sesuatu yang telah dikatakan atau dilakukan orang lain tersebut, atau perasaan individu terhadap kejadian-kejadian yang baru disaksikannya.

Johnson (dalam Supratiknya, 1995) menambahkan, pengungkapan diri memiliki dua sisi, yaitu bersikap terbuka kepada orang lain dan bersikap terbuka bagi orang lain. Bersikap terbuka kepada orang lain artinya individu bersedia mengungkapkan gagasan dan perasaannya untuk diketahui oleh orang lain sedangkan bersikap terbuka bagi orang lain artinya individu dapat menunjukkan bahwa dirinya memiliki perhatian terhadap gagasan dan perasaan orang lain. Pendapat Johnson ini dapat dijelaskan dalam prinsip timbal balik pengungkapan diri yang dikemukakan oleh Irwin Altman dan Dalmas Taylor (dalam Feldman, 1995) yang mengatakan bahwa pengungkapan diri individu biasanya membuat orang lain sebagai lawan bicara ingin mengungkapkan diri juga dalam tingkatan yang sama.

Altman dan Taylor (dalam Taylor, Peplau, Sears, 2002) mengemukakan suatu model untuk menjelaskan bagaimana pengungkapan diri berpengaruh terhadap perkembangan suatu hubungan. Model ini dinamakan penetrasi sosial. Penetrasi sosial memiliki dua dimensi yaitu, kedalaman dan keluasan. Sejalan dengan perkembangan suatu hubungan mulai dari yang dangkal sampai yang sangat akrab, semakin akrab suatu hubungan memperlihatkan tingkat pengungkapan diri yang semakin besar dalam hal kedalaman dan keluasan topik. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa tingkat pengungkapan diri dalam suatu hubungan dapat mengindikasikan bagaimana kondisi hubungan tersebut.

Taylor, Peplau, Sears (2002) menyatakan bahwa pengungkapan diri merupakan suatu bentuk percakapan dimana individu membagi informasi dan perasaan yang bersifat intim tentang dirinya kepada orang lain. Pengungkapan diri terbagi atas dua jenis, yaitu deskritif dan evaluatif. Pengungkapan diri yang

bersifat deskritif artinya individu mengungkapkan fakta tentang dirinya yang mungkin belum diketahui oleh lawan bicara seperti: pekerjaan, tempat tinggal, agama, umur. Pengungkapan diri yang bersifat evaluatif artinya individu mengungkapkan pendapat atau perasaan pribadinya seperti: kecemasan terhadap ujian, mengapa individu membenci pekerjaannya. Topik-topik dalam pengungkapan diri dapat berupa informasi, perilaku, sikap, perasaan, keinginan, motivasi, serta ide yang sesuai dan terdapat dalam diri individu yang bersangkutan (Dayakisni & Hudaniah, 2003).

Devito (1986) mendefinisikan pengungkapan diri sebagai salah satu tipe komunikasi dimana informasi tentang diri yang rahasia diberitahukan kepada orang lain dan orang lain akhirnya dapat mengerti informasi tersebut. Menurut Devito, informasi yang diberitahukan baru dapat dikatakan sebagai pengungkapan diri bila pendengar memang tidak mengetahui informasi tersebut sebelumnya.

Hendrick & Hendrick (1992) menyatakan pengungkapan diri berarti memberitahu pasangan tentang pikiran dan perasaan individu untuk menciptakan keterbukaan dalam hubungan pernikahan.

Dari beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa pengungkapan diri adalah individu memberitahukan pikiran, perasaan, dan informasi dirinya kepada pasangan sebagai reaksi individu terhadap situasi yang dihadapinya.

II. B. 2. Dimensi-Dimensi Pengungkapan Diri

Pengungkapan diri berbeda-beda bagi setiap individu dalam lima dimensi pengungkapan diri sebagai berikut (Devito, 1986):

1. Jumlah (amount)

Jumlah dari pengungkapan diri dapat diukur dengan mengetahui frekuensi pengungkapan diri yang dilakukan individu dan juga durasi waktu yang diperlukan untuk mengutarakan pernyataan pengungkapan diri tersebut kepada orang lain. Pengungkapan diri yang baik ditandai dengan frekuensi yang banyak dan hanya membutuhkan sedikit waktu untuk dapat mengutarakan suatu pernyataan yang diinginkan.

2. Valensi (valence)

Valensi merupakan hal-hal positif atau negatif yang dinyatakan dalam pengungkapan diri. Individu dapat mengungkapkan diri mengenai hal-hal yang menyenangkan atau tidak menyenangkan, memuji atau menjelekkan hal-hal yang ada dalam dirinya. Pengungkapan diri yang baik melibatkan penyataan hal-hal yang menyenangkan maupun hal-hal yang tidak menyenangkan oleh individu.

3. Ketepatan & kejujuran (accuracy & honesty)

Ketepatan pengungkapan diri individu dipengaruhi oleh tingkat pengetahuan individu tentang dirinya. Individu yang memiliki tingkat pengetahuan yang tinggi tentang dirinya akan dapat mengungkapkan diri dengan lebih tepat. Pengungkapan diri dapat bervariasi jika dilihat dari segi kejujurannya. Individu dapat mengungkapkan hal yang sebenarnya atau cenderung melebih-lebihkan, mengabaikan hal-hal yang penting, atau berbohong. Pengungkapan diri yang baik adalah ketika individu dapat memberikan pernyataan sesuai dengan keadaan yang sebenarnya tanpa melebih-lebihkan atau mengurangi informasi sehingga lawan bicara dapat mengetahui situasi dengan akurat.

4. Maksud (intention)

Kemampuan individu untuk mengungkapkan diri sesuai dengan keluasan yang diinginkan, seberapa besar kesadaran individu dalam mengontrol informasi yang akan diungkapkan kepada orang lain. Pengungkapan diri yang baik ditandai dengan kemampuan individu untuk mengungkapkan diri sesuai dengan seberapa luas informasi yang ingin diungkapkan. Semakin akrab suatu hubungan ditandai dengan semakin luasnya informasi yang diungkapkan. 5. Kedalaman (intimacy)

Seberapa besar kedalaman individu dalam mengungkapkan dirinya, apakah individu hanya mengungkapkan hal-hal yang bersifat permukaan atau juga mengungkapkan hal-hal yang bersifat sangat pribadi atau intim. Pengungkapan diri yang baik bagi suatu hubungan akrab adalah individu mampu mengungkapkan hal-hal yang bersifat sangat pribadi dan khusus tentang dirinya.

II. B. 3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pengungkapan Diri

Devito (1986) mengemukakan beberapa faktor yang mempengaruhi pengungkapan diri, yaitu:

1. Pengungkapan diri orang lain (the dyadic effect)

Pengungkapan diri orang lain menyatakan secara tidak langsung bahwa dalam proses pengungkapan diri terdapat efek spiral (saling berhubungan) dimana setiap pengungkapan diri individu diterima sebagai stimulus untuk penambahan pengungkapan diri pendengar. Pengungkapan diri diantara kedua individu akan semakin baik jika pendengar bersikap positif dan menguatkan.

2. Jumlah pendengar

Sejumlah ketakutan yang dimiliki individu dalam mengungkapkan diri membuat pengungkapan diri lebih efektif dilakukan dalam jumlah pendengar yang sedikit. Dalam pengungkapan diri akan lebih mudah bagi individu untuk menghadapi reaksi satu orang daripada reaksi kelompok yang terdiri dari empat atau lima orang. Satu pendengar memudahkan individu dalam

Dokumen terkait