• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tahap II: Uji Kecernaan Pada Ikan Nila

Lampiran 1. Prosedur Analisa Proksimat Pakan dan Feses

5. Analisa Kadar Serat Kasar (Takeuchi 1988)

1. Kertas filter dipanaskan dalam oven selama 1 jam pada suhu 110oC, lalu didinginkan dalam eksikator lalu ditimbang (X1).

2. Sampel ditimbang 0,5 g (A), dimasukkan ke dalam erlenmeyer 250 ml. 3. H2SO4 0,3 N sebanyak 50 ml dimasukkan ke dalam erlenmeyer lagi

kemudian dipanaskan selama 30 menit. Setelah itu NaOH 1,5 N sebanyak 25 ml dimasukkan ke dalam erlenmeyer lagi kemudian dipanaskan selama 30 menit.

4. Larutan dan bahan yang telah dipanaskan kemudian disaring dalam corong buchner dan dihubungkan pada vacuum pump untuk mempercepat filtrasi. 5. Larutan dan bahan yang ada pada corong buchner dibilas secara berturut-

turut dengan 50 ml air panas, H2SO4 0,3 N, air panas 50 ml, dan 25 ml

aseton.

6. Kertas saring dan isinya dimasukkan ke dalam cawan porselen, dikeringkan selama 1 jam kemudian didinginkan dalam eksikator dan ditimbang (X2).

7. Kemudian dipanaskan dalam tannur 600oC hingga berwarna putih, dinginkan dalam eksikator dan ditimbang (X3).

Prosentase serat kasar (%) = 100 A

X3 X1

X2− −

6.Analisa Cr2O3Pakan dan Feses (Watanabe, 1988)

1. Sampel sebanyak 0,1-0,2 gram dan 5 ml asam niric dimasukkan ke dalam labu kjehldahl, kemudian dipanaskan selama 30 menit sampai volume larutan menjadi 1 ml, lalu didinginkan

2. Larutan asam perklorat sebanyak 3 ml ditambahkan ke dalam labu pada prosedur 1, lalu dipanaskan kembali hingga menimbulkan asap putih. Larutan yang semula berwarna hijau akan berubah menjadi kuning atau jingga

3. Kemudian dianaskan kembali selama 10 menit kemudian dinginkan

4. Larutan yang telah dingin dipindahkan ke dalam gelas ukur bervolume 100 ml, kemudian diencerkan hingga volume larutan tepat 100 ml

5. Absorban larutan diukur dengan menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 350 nm (y)

6. Persamaan hubungan Cr2O3dengan absorbansi;

y = 0,2089x + 0,0032 Keterangan;

x = Cr2O3

7.Analisis Mineral (Reitzet al. 1960) A. Preparasi Sampel (Wet Ashing)

1. sampel ditimbang61 g dimasukkan ke dalam erlenmeyer 125 ml.

2. Ditambahkan larutan HNO3 65% (pa) sebanyak 5 ml tiap sampel

(pengerjaan diruang asam).

3. Dibiarkan selama 1 jam tanpa pemanasan diruang asam, kemudian dipanaskan diatas hot plate 800C selama 4-6 jam.

4. Didiamkan selama satu malam setelah pemanasan.

5. Ditambahkan 0,4 ml H2SO4 (pa), kemudian dipanaskan kembali sampai

larutan mengental (61 jam).

6. Ditambahkan 62 tetes campuran HNO3 : HClO4sampai larutan berubah

warna, dari coklat menjadi kuning, kemudian pemanasan dilanjutkan selama 15 menit, ditambahkan 0,6 ml HCl (p) dan 2 ml aquades, dipanaskan kembali selama 15 menit.

7. Tiap sampel dimasukkan ke dalam labu takar 100 ml.

B. Analisa Fosfor (P)

1. Dibuat standard P sebanyak 5 deret standard, yaitu 0, 2 , 3, 4 dan 5 ppm. 2. Dipipet sampel ke dalam tabung reaksi sebanyak61 ml.

3. Ditambahkan larutan C (campuran 10 ml amonium molibdat 10 % + aquadest + 5 g FeSO4.7H2O + aquades sampai 100 ml) sebanyak 2 ml

setelah semua standar dan sampel dipipet dan dijadikan 3 ml, lalu ditambahkan 2 ml larutan C sehingga totalnya menjadi 5 ml, diaduk (vortex) lalu dibaca spektrofotometer denganλ= 660 nm.

C. Analisa Ca

1. Dibuat larutan standar untuk Ca:2,4 dan 6 ppm

2. Ke dalam tabung reaksi , sampel yang sudah dipreparasi (wet ashing dipipet sebanyak 0,1 ml lalu ditambahkan 0.05 ml larutan Cl3Ia.7H2O dan

aquades sebanyak 4.9 ml keudian diaduk (vortex) dan ditutup

3. Sampel siap dianalisa deng menggunakan AAS (Atomic Absorbtion Spectrophotometer)

Cake (PKC) and Tapioca Waste Fermented by Trichoderma harzianum for Tilapia Oreochromis sp Diet. Under the Advisory by DEDI JUSADI, NUR BAMBANG PRIYO UTOMO

Utilization of palm kernel cake (PKC) and tapioca waste (TW) as fish diet is limited due to the high fiber content. The experiment consisted of two step. The aim of first experiment was to evaluate the reduction of crude fiber from the mixture of 80% PKC and 20% TW fermented by Trichoderma harzianum with incubation period of 6, 8 and 10 days respectively. An inoculum dose was 5%, and the number of T. harzianum colonies were 2.6x106 CFU/ml. The result showed that the highest crude fiber reduction was achieved in the incubation period of 8 days, reaching 44.28%. The fermentation process could also increased the glucose content. The aim of second experiment was to evaluate the digestibility of fermented PKC-TW (FPKC-TW) for tilapia. Digestibility test was conducted on tilapia with an average initial weight of 41.27 ± 2.16 g and reared in each aquarium (40x50x35 cm) for 15 days. The result showed that digestibility of fermented 80% PKC-20%TW was higher than unfermented PKC. Based on the results of this study, it can be concluded that the use ofT. harzianum reduced the fiber content of PKC-TW, thereby increasing the digestibility.

Keywords: digestibility, palm kernel cake, tapioca waste, fermentation, T. harzianum, Oreochromis

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Sumber bahan baku pakan alternatif untuk pakan ikan di antaranya adalah hasil-hasil ikutan produk agro industri, antara lain bungkil inti sawit (BIS) dan onggok. Bahan baku tersebut merupakan limbah pabrik yang ketersediaannya sepanjang waktu dan tidak bersaing dengan kebutuhan manusia.

Sampai saat ini Indonesia masih menempati posisi teratas sebagai negara produsen crude palm oil (CPO) terbesar di dunia. Indonesia, Malaysia dan Nigeria merupakan 3 negara di dunia yang memproduksi 84% minyak kelapa sawit dunia (Jaelani dan Firahmi 2007). Produksi crude palm oil (CPO) Indonesia pada tahun 2009 mencapai 19.4 juta ton per tahun (Direktorat Jenderal Perkebunan 2010). Sedangkan produksi bungkil inti sawit Indonesia pada tahun 2009 diperkirakan mencapai 2.1 juta ton (Handoko 2010).

BIS berpotensi sebagai pakan ruminansia dan non ruminansia. Faktor pembatas pada BIS adalah tingginya kandungan serat kasar yang mencapai16– 30,5% (Sundu et al.2004; Jaelani dan Firahmi 2007; Siregar 1995). Serat kasar perlu diturunkan karena kemampuan ikan dalam mencerna serat kasar terbatas. Secara umum batas toleransi ikan terhadap kandungan serat kasar dalam pakan sampai 8%. Kandungan serat yang terlalu tinggi akan menekan pertumbuhan (Buhler and Halver, 1961; Leary and Lovell, 1975; Edwardset al., 1977; Hiltonet al., 1983; Poston, 1986dalamNRC 1993).

Onggok merupakan limbah pabrik tepung tapioka yang belum termanfaatkan secara optimal. Ketersediaan onggok terus meningkat sejalan meningkatnya produksi tapioka. Produksi singkong Indonesia pada tahun 2009 mencapai 21.7 juta ton dan menghasilkan limbah dari pengolahan tapioka berupa onggok sebesar 2.8 juta ton (BPS 2010).

Salah satu upaya untuk menurunkan serat kasar pada BIS yaitu melalui penerapan teknologi fermentasi substrat padat dengan kapang (mikrob). Pencampuran BIS dan onggok dimaksudkan agar media fermentasi mempunyai kandungan nutrien yang seimbang terutama karbon dan nitrogen untuk menunjang pertumbuhan kapang sehingga lebih maksimal dalam memproduksi enzim

selulase. Onggok merupakan sumber karbon yang cukup potensial untuk media fermentasi BIS karena mengandung karbohidrat 60-80 % dari berat kering, meskipun masih memerlukan suplementasi zat gizi seperti nitrogen dan unsur- unsur mineral lainnya (Tjiptadi dan Sutamiharja 1985).

Salah satu kapang yang dapat digunakan sebagai inokulum dalam fermentasi BIS dan onggok adalah Trichoderma harzianum Rifai. Menurut Ginting dan Krisnan (2006 ), fermentasi BIS dengan T. harzianum memberikan hasil yang terbaik dibandingkan dengan T. viridae dan T. koningii, karena dapat menurunkan serat kasar sebesar 33,1 %. Hasil penelitian Illuyemi et al. (2005) juga menunjukkan bahwa fermentasi BIS denganT. harzianumdapat menurunkan kandungan selulosa sebesar 49,18%. Iyayi dan Aderolu (2004) melaporkan bahwa fermentasi BIS denganT. viridae selama 14 hari mampu menurunkan kandungan serat kasar dari 14,45% menjadi 9,17%.

Menurut Zahari dan Alimon (2004), penggunaan BIS untuk bahan baku ikan catfish maksimal 30%, dan untuk tilapia maksimal 20%. Lim et al (2001) melaporkan bahwa BIS dapat digunakan dalam pakan Oreochromis mosambicus mencapai 30%. Sedangkan Amri (2007) melaporkan, bahwa penggunaan bungkil inti sawit yang difermentasi dengan Rhizopus oligosporus sebanyak 18%, dengan kandungan serat kasar 8,14% dalam pakan ikan mas memperlihatkan jumlah konsumsi pakan, pertambahan berat tertinggi dan menurunkan konversi pakan.

Perumusan Masalah

Permasalahan bahan baku nabati dari limbah olahan agro industri seperti bungkil inti sawit (BIS) dan onggok adalah tingginya kandungan crude fiber (serat kasar). Untuk mengatasi hal tersebut salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan teknologi fermentasi substrat padat menggunakan Trichoderma harzianum. Pemilihan kapang T. harzianum dikarenakan tidak toksik, mudah dalam aplikasi dan produksinya cukup baik. T. harzianum merupakan salah satu kapang yang menghasilkan enzim selulase untuk menghidrolisis selulosa menjadi senyawa yang lebih sederhana (Alexander 1977). Menurut Samingan (2009) kapang tersebut mampu menghidrolisis selulosa lebih tinggi dibandingkan lignin. Enzim selulase yang dihasilkan Trichoderma

merupakan suatu kompleks enzim (multi komponen ) yang terdiri dari beberapa enzim yang bekerja bertahap atau bersama-sama menguraikan selulosa menjadi D glukosa (Kim et al. 1994). Fermentasi dengan T. harzianum diharapkan dapat menurunkan kandungan serat kasar, sehingga dapat memperbaiki mutu BIS dari segi daya cerna.

Tujuan Penelitian

1. Mengevaluasi penurunan serat kasar campuran BIS dan onggok yang telah difermentasi dengan kapangT. harzianum

2. Mengevaluasi kecernaan campuran BIS dan onggok yang telah difermentasi dengan kapangT. harzianum untuk pakan nila.

Manfaat Penelitian

1. Memanfaatkan limbah pengolahan sawit dan tapioka untuk pakan ikan sebagai alternatif penggunaan bahan baku pakan lokal.

2. Memberikan informasi tentang kecernaan campuran bungkil inti sawit dan onggok yang telah difermentasi denganT. harzianum untuk pakan ikan nila.

TINJAUAN PUSTAKA

Dokumen terkait