DIFERMENTASI OLEH
Trichoderma harzianum
Rifai
UNTUK PAKAN NILA
Oreochromis
sp
NUR INDARIYANTI
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Bungkil Inti Sawit dan Onggok yang Difermentasi Oleh Trichoderma harzianum Rifai Pada Pakan Nila Oreochromis sp” adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Maret 2011
Cake (PKC) and Tapioca Waste Fermented by Trichoderma harzianum for Tilapia Oreochromis sp Diet. Under the Advisory by DEDI JUSADI, NUR BAMBANG PRIYO UTOMO
Utilization of palm kernel cake (PKC) and tapioca waste (TW) as fish diet is limited due to the high fiber content. The experiment consisted of two step. The aim of first experiment was to evaluate the reduction of crude fiber from the mixture of 80% PKC and 20% TW fermented by Trichoderma harzianum with incubation period of 6, 8 and 10 days respectively. An inoculum dose was 5%, and the number of T. harzianum colonies were 2.6x106 CFU/ml. The result showed that the highest crude fiber reduction was achieved in the incubation period of 8 days, reaching 44.28%. The fermentation process could also increased the glucose content. The aim of second experiment was to evaluate the digestibility of fermented PKC-TW (FPKC-TW) for tilapia. Digestibility test was conducted on tilapia with an average initial weight of 41.27 ± 2.16 g and reared in each aquarium (40x50x35 cm) for 15 days. The result showed that digestibility of fermented 80% PKC-20%TW was higher than unfermented PKC. Based on the results of this study, it can be concluded that the use ofT. harzianum reduced the fiber content of PKC-TW, thereby increasing the digestibility.
dan Onggok yang Difermentasi olehTrichoderma harzianum Rifai untuk Pakan Ikan Nila Oreochromis sp. Dibimbing oleh DEDI JUSADI dan NUR BAMBANG PRIYO UTOMO
Bungkil Inti Sawit (BIS) merupakan hasil samping dari pengolahan kelapa sawit, sedangkan onggok merupakan limbah pabrik tepung tapioka. Penggunaan BIS dan onggok sebagai bahan pakan ikan terkendala oleh kandungan seratnya yang tinggi, karena ikan mempunyai keterbatasan dalam mencerna serat kasar. Penelitian ini dirancang dengan tujuan untuk menurunkan serat kasar campuran BIS dan onggok dengan menggunakan kapang Trichoderma harzianum, sehingga dapat meningkatkan kecernaan. Penelitian dibagi dalam dua tahap, Tahap I bertujuan untuk mengevaluasi penurunan serat kasar campuran 80% Bungkil inti sawit (BIS) dan 20% onggok yang difermentasi oleh Trichoderma harzianumdengan masa inkubasi 6, 8 dan 10 hari, masing-masing 3 kali ulangan. Dosis inokulum 5% dengan jumlah koloniT.harzianum 2,6x106 CFU/ml. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penurunan serat kasar tertinggi dicapai pada masa inkubasi 8 hari yaitu 44,28%. Proses fermentasi juga dapat meningkatkan kandungan glukosa. Tujuan penelitian Tahap II untuk mengevaluasi kecernaan Bungkil Inti Sawit Onggok Fermentasi (BISOF) pada ikan nila. Uji kecernaan dilakukan pada ikan nila dengan berat awal rata-rata 41,27±2,16 g dan kepadatan 5 ekor/akuarium yang dipelihara di dalam akuarium (40x50x35 cm)selama 15 hari. Hasil menunjukkan bahwa kecernaan BISOF lebih tinggi dibandingkan dengan BIS tanpa fermentasi. Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa penggunaan T. harzianum dapat menurunkan serat kasar campuran BIS dan onggok, sehingga meningkatkan kecernaan.
mencantumkan atau menyebutkan sumber
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
DIFERMENTASI OLEH
Trichoderma harzianum
Rifai
UNTUK PAKAN NILA
Oreochromis
sp
NUR INDARIYANTI
Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada Program Studi Akuakultur
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Nama : Nur Indariyanti
NRP : C151080071
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Dedi Jusadi Dr. Nur Bambang Priyo Utomo
Ketua Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana
Ilmu Akuakuktur
Prof. Dr.Enang Harris Dr. Dahrul Syah
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian ini adalah pengolahan pakan dan aplikasinya, dengan judul Evaluasi Kecernaan Campuran Bungkil Inti Sawit dan Onggok yang Difermentasi oleh Trichoderma harzianum Rifai untuk Pakan Nila Oreochromissp.
Pelaksanaan penelitian dan penulisan tesis ini tidak terlepas dari bantuan dan bimbingan berbagai pihak. Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Bapak Dr. Ir. Dedi Jusadi, MSc, dan Bapak Dr. Ir. Nur Bambang Priyo Utomo, MSi, selaku pembimbing atas semua pengarahan, koreksi dan bimbingan yang telah diberikan kepada penulis.
2. Ibu Dr. Ir. Widanarni, M.Si selaku Penguji Luar Komisi
3. Departemen Pendidikan Nasional Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (DIKTI) yang telah memberikan beasiswa Program Pasca Sarjana
4. Direktur Politeknik Negeri Lampung yang telah memberikan izin studi.
5. Yayasan Toyota dan Astra (YTA) yang telah memberikan bantuan dana penelitian kepada penulis.
6. Ayahnda (Suwarno Purnomo (alm) dan ibunda atas do’a, kasih sayang dan dukungan moril maupun materil kepada penulis selama ini.
7. Suami tercinta atas kasih sayang, kesabaran, pengertian dan motivasi yang tiada hentinya, serta kepada keempat anak-anakku tersayang Mufti Aslam Al Ghifari, Aisyah Azzahra, Adzkia Khoirunnisa dan Afina Alma Zahrani yang setia mendampingi penulis dalam cinta dan doa.
Akhir kata, semoga apa yang telah diberikan kepada penulis akan mendapatkan imbalan dari-Nya sebagai amal ibadah. Semoga tesis ini bermanfaat
DAFTAR ISI Kebutuhan Nutrisi Ikan Nila ... 4
Serat Dalam Bahan Pakan Ikan... 5
Kecernaan Pakan Pada Ikan ... 8
Kelapa Sawit dan Hasil Sampingnya ... 9
Kandungan Nutrien Bungkil Inti Sawit... 10
Pemanfaatan Bungkil Inti Sawit Untuk Pakan... 11
Onggok ... 12
Fermentasi ... 12
Hidrolisis selulosa oleh kapang... 13
KapangTrichoderma harzianumRifai ... 14
BAHAN DAN METODE Tahap I Fermentasi Campuran BIS dan Onggok ... 15
Pembuatan inokulum padat ... 15
Fermentasi Campuran BIS dan Onggok ... 16
Tahap II Uji Kecernaan Pada Ikan Nila ... 17
Uji Kecernaan Pakan ... 17
Parameter yang Diukur ... 19
Analisis Data... 19
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Tahap I : Fermentasi Campuran BIS dan Onggok ... 20
Jumlah koloni kapangTrichoderma harzianum... 20
Hasil pembuatan inokulum padat... 21
Hasil uji enzim selulase ... 22
Penampilan makroskopis BISOF ... 22
Kandungan nutrisi hasil fermentasi ... 23
Pembahasan... 23
Hasil Tahap II : Uji Kecernaan Pada Ikan Nila... 26
Pembahasan... 27
KESIMPULAN ... 29
DAFTAR TABEL
Halaman
1 Kebutuhan nutrisi ikan nila (Oreochromis sp)... 4
2 Kandungan nutrien pada bungkil inti sawit ... 10
3 Komposisi pakan acuan dan pakan uji kecernaan (%) ... 18
4 Hasil proksimat pakan (% bobot kering) ... 18
5 Kandungan fraksi serat pakan (% bobot kering) ... 18
6 Jumlah spora kapangTrichoderma harzianumselama pertumbuhan... 20
7 Rataan kandungan nutrisi pada masing-masing perlakuan sebelum dan setelah fermentasi (% bobot kering... 23
8 Persentase penurnan kandungan serat kasar dan lemak (%)... 23
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Hubungan antara lignin, selulosa dan lignin ... 6
2 Skema penguraian komponen dinding sel ... 7
3 Proporsi dalam proses pengolahan kelapa sawit ... 10
4 Mekanisme hidrolisis selulosa secara enzimatis ... 13
5 Bagan alur proses fermentasi... 16
6 Biakan kapangTrichoderma harzianum... 20
7 Inokulum padatTrichoderma harzianum... 21
8 Hasil uji enzim selulase ... 22
9 Penampilan makroskopis BISOF pada inkubasi 4-10 hari ... 22
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sumber bahan baku pakan alternatif untuk pakan ikan di antaranya adalah hasil-hasil ikutan produk agro industri, antara lain bungkil inti sawit (BIS) dan onggok. Bahan baku tersebut merupakan limbah pabrik yang ketersediaannya sepanjang waktu dan tidak bersaing dengan kebutuhan manusia.
Sampai saat ini Indonesia masih menempati posisi teratas sebagai negara produsen crude palm oil (CPO) terbesar di dunia. Indonesia, Malaysia dan Nigeria merupakan 3 negara di dunia yang memproduksi 84% minyak kelapa sawit dunia (Jaelani dan Firahmi 2007). Produksi crude palm oil (CPO) Indonesia pada tahun 2009 mencapai 19.4 juta ton per tahun (Direktorat Jenderal Perkebunan 2010). Sedangkan produksi bungkil inti sawit Indonesia pada tahun 2009 diperkirakan mencapai 2.1 juta ton (Handoko 2010).
BIS berpotensi sebagai pakan ruminansia dan non ruminansia. Faktor pembatas pada BIS adalah tingginya kandungan serat kasar yang mencapai16– 30,5% (Sundu et al.2004; Jaelani dan Firahmi 2007; Siregar 1995). Serat kasar perlu diturunkan karena kemampuan ikan dalam mencerna serat kasar terbatas.
Secara umum batas toleransi ikan terhadap kandungan serat kasar dalam pakan
sampai 8%. Kandungan serat yang terlalu tinggi akan menekan pertumbuhan
(Buhler and Halver, 1961; Leary and Lovell, 1975; Edwardset al., 1977; Hiltonet al., 1983; Poston, 1986dalamNRC 1993).
Onggok merupakan limbah pabrik tepung tapioka yang belum
termanfaatkan secara optimal. Ketersediaan onggok terus meningkat sejalan
meningkatnya produksi tapioka. Produksi singkong Indonesia pada tahun 2009 mencapai 21.7 juta ton dan menghasilkan limbah dari pengolahan tapioka berupa
onggok sebesar 2.8 juta ton (BPS 2010).
Salah satu upaya untuk menurunkan serat kasar pada BIS yaitu melalui
penerapan teknologi fermentasi substrat padat dengan kapang (mikrob).
Pencampuran BIS dan onggok dimaksudkan agar media fermentasi mempunyai
kandungan nutrien yang seimbang terutama karbon dan nitrogen untuk menunjang
selulase. Onggok merupakan sumber karbon yang cukup potensial untuk media
fermentasi BIS karena mengandung karbohidrat 60-80 % dari berat kering,
meskipun masih memerlukan suplementasi zat gizi seperti nitrogen dan
unsur-unsur mineral lainnya (Tjiptadi dan Sutamiharja 1985).
Salah satu kapang yang dapat digunakan sebagai inokulum dalam
fermentasi BIS dan onggok adalah Trichoderma harzianum Rifai. Menurut Ginting dan Krisnan (2006 ), fermentasi BIS dengan T. harzianum memberikan hasil yang terbaik dibandingkan dengan T. viridae dan T. koningii, karena dapat menurunkan serat kasar sebesar 33,1 %. Hasil penelitian Illuyemi et al. (2005) juga menunjukkan bahwa fermentasi BIS denganT. harzianumdapat menurunkan kandungan selulosa sebesar 49,18%. Iyayi dan Aderolu (2004) melaporkan bahwa
fermentasi BIS denganT. viridae selama 14 hari mampu menurunkan kandungan serat kasar dari 14,45% menjadi 9,17%.
Menurut Zahari dan Alimon (2004), penggunaan BIS untuk bahan baku
ikan catfish maksimal 30%, dan untuk tilapia maksimal 20%. Lim et al (2001) melaporkan bahwa BIS dapat digunakan dalam pakan Oreochromis mosambicus
mencapai 30%. Sedangkan Amri (2007) melaporkan, bahwa penggunaan bungkil
inti sawit yang difermentasi dengan Rhizopus oligosporus sebanyak 18%, dengan kandungan serat kasar 8,14% dalam pakan ikan mas memperlihatkan
jumlah konsumsi pakan, pertambahan berat tertinggi dan menurunkan konversi
pakan.
Perumusan Masalah
Permasalahan bahan baku nabati dari limbah olahan agro industri seperti
bungkil inti sawit (BIS) dan onggok adalah tingginya kandungan crude fiber
(serat kasar). Untuk mengatasi hal tersebut salah satu upaya yang dapat
dilakukan adalah dengan teknologi fermentasi substrat padat menggunakan
Trichoderma harzianum. Pemilihan kapang T. harzianum dikarenakan tidak toksik, mudah dalam aplikasi dan produksinya cukup baik. T. harzianum
merupakan salah satu kapang yang menghasilkan enzim selulase untuk
menghidrolisis selulosa menjadi senyawa yang lebih sederhana (Alexander 1977).
Menurut Samingan (2009) kapang tersebut mampu menghidrolisis selulosa lebih
merupakan suatu kompleks enzim (multi komponen ) yang terdiri dari beberapa
enzim yang bekerja bertahap atau bersama-sama menguraikan selulosa menjadi D
glukosa (Kim et al. 1994). Fermentasi dengan T. harzianum diharapkan dapat menurunkan kandungan serat kasar, sehingga dapat memperbaiki mutu BIS dari
segi daya cerna.
Tujuan Penelitian
1. Mengevaluasi penurunan serat kasar campuran BIS dan onggok yang telah
difermentasi dengan kapangT. harzianum
2. Mengevaluasi kecernaan campuran BIS dan onggok yang telah difermentasi
dengan kapangT. harzianum untuk pakan nila.
Manfaat Penelitian
1. Memanfaatkan limbah pengolahan sawit dan tapioka untuk pakan ikan
sebagai alternatif penggunaan bahan baku pakan lokal.
2. Memberikan informasi tentang kecernaan campuran bungkil inti sawit dan
TINJAUAN PUSTAKA
Kebutuhan Nutrisi Ikan Nila
Untuk pertumbuhan dan perkembangbiakan serta kelangsungan hidupnya
ikan memerlukan pakan yang cukup dari segi kualitas dan kuantitas. Pakan yang
bermutu baik, salah satunya ditentukan oleh kandungan gizi (protein, karbohidrat,
lemak, vitamin dan mineral) dalam komposisi yang tepat (seimbang).
Ikan nila adalah ikan omnivora yang cenderung herbivora sehingga lebih
mudah beradaptasi dengan jenis pakan yang dicampur dengan sumber bahan
nabati seperti bungkil kedelai, teung jagung, tepung biji kapuk, tepung enceng
gondok, tepung alfafa (Sayed 1999).
Protein merupakan nutrien yang sangat dibutuhkan oleh ikan untuk
perbaikan jaringan tubuh yang rusak, pemeliharaan protein tubuh untuk
pertumbuhan, materi untuk pembentukan enzim dan beberapa jenis hormon dan
juga sebagai sumber energi (NRC 1993).
Tabel 1 Kebutuhan nutrisi ikan nila (Oreochromis sp)
Menurut Watanabe (1988) kebutuhan ikan akan protein dipengaruhi oleh
beberapa faktor seperti ukuran ikan, suhu air, kadar pemberian pakan, energi
dalam pakan dan kualitas protein.
Karbohidrat merupakan salah satu sumber energi dalam makanan ikan.
Karbohidrat sebagian besar didapat dari bahan nabati, sedangkan kadarnya dalam
makanan ikan berkisar antara 10-50%. Karbohidrat dalam pakan disebut dengan
BETN atau Bahan Ekstrak Tanpa Nitrogen atau NFE (Nitrogen Free Extract). BETN ini mengandung karbohidrat, gula, pati dan sebagian besar berasal dari
hemiselulosa. Daya cerna karbohidrat sangat bervariasi tergantung dari
kelengkapan molekul penyusunnya. Kandungan karbohidrat pakan yang dapat
dimanfaatkan secara optimal untuk ikan omnivora pada kisaran 30-40%, dan
untuk ikan karnivora berkisar 10-20% (Furuichi 1988).
Serat Dalam Bahan Pakan Ikan
Istilah serat makanan (dietary fiber) harus dibedakan dengan istilah serat
kasar (crude fiber) yang biasa digunakan dalam analisa proksimat bahan pangan. Serat makanan adalah bagian dari bahan pangan yang tidak dapat dihidrolisis oleh
enzim-enzim pencernaan. Sedangkan serat kasar merupakan fraksi karbohidrat
yang telah dipisahkan dengan bahan ekstrak tanpa nitrogen (BETN) yang tidak
larut dalam basa dan asam encer setelah pendidihan selama 30 menit (Tillman
1998). Serat kasar merupakan penyusun utama dinding sel tumbuhan yang terdiri
dari selulosa, hemiselulosa dan lignin.
Fungsi utama selulosa pada nutrisi ialah untuk menyediakan bahan bulky
dan tidak dapat dicerna yang dapat meningkatkan efisiensi kerja saluran usus
yang dapat disamakan dengan fungsi serat dalam makanan (Piliang dan
Djojosoebagio 2006). Selulosa pakan dalam jumlah yang berlebihan mempunyai
pengaruh menurunkan pertumbuhan serta efisiensi pakan.
Sedikit berbeda dengan selulosa, hemiselulosa terdiri dari heksosa, pentosa
dan bentuk-bentuk asam kedua komponen tersebut. Hubungan antara lignin,
Gambar 1 Hubungan antara lignin, selulosa dan hemiselulosa.
Seperti hewan monogastrik lainnya, kemampuan ikan dalam mencerna
serat kasar dibatasi oleh kemampuan mikroflora dalam ususnya untuk
mensekresikan selulase (Bureau et al. 1999). Apabila jumlah serat kasar berlebih
dalam pakan akan menyebabkan proporsi makanan yang dapat dicerna menjadi
berkurang, seperti menurunkan penyerapan lemak, sehingga total bobot kering
pakan juga berkurang (Sutardi 1997). Akibatnya daya cerna ikan terhadap pakan
yang diberikan akan menurun yang menyebabkan kinerjanya menjadi kurang
bagus (De Silva dan Anderson 1995).
Kemampuan hewan dalam mencerna serat kasar bergantung pada
banyaknya bakteri yang dikandung dalam alat pencernaannya (Guillaume 1999).
Hewan monogastrik pemakan hijauan yang memiliki lambung sederhana serta
caecum dan kolon yang besar memiliki kesamaan fungsi dengan rumen pada sapi
dan domba (Cheeke 1982). Menurut Kirchgessener (1986) peningkatan
kandungan serat kasar dalam komposisi pakan menurunkan kecernaan nutrisi.
Serat kasar dibutuhkan dalam membantu proses pencernaan makanan.
Kandungan serat kasar yang berbeda pada masing-masing bahan penyusun pakan
dapat mempengaruhi nilai energi yang tersedia (available energy). Kadar serat kasar dalam pakan berkorelasi negatif dengan energi yang tersedia dalam pakan.
Semakin tinggi kandungan serat kasar pakan maka semakin rendah energi yang
tersedia. Hal ini dikarenakan serat kasar tidak mampu menyediakan energi yang
Meskipun serat kasar tidak mengandung nutrisi penting tetapi fungsinya
sebagai pengatur ekskresi sisa makanan sangatlah penting. Serat kasar membantu
mempercepat ekskresi sisa-sisa makanan melalui saluran pencernaan. Dalam
keadaan tanpa serat, feses dengan kandungan air rendah akan lebih lama tinggal
dalam saluran usus yang dapat menyebabkan gangguan pada gerakan peristaltik
pada usus besar sehingga ekskresi feses menjadi lebih lamban. Sebaliknya, pakan
dengan serat kasar tinggi dapat mengurangi berat badan karena serat makanan
akan tinggal dalam saluran pencernaan dalam waktu relatif singkat sehingga
absorpsi zat makanan berkurang. Selain itu, serat kasar tinggi akan memberikan
rasa kenyang karena komposisi karbohidrat kompleks yang menghentikan nafsu
makan sehingga mengakibatkan turunnya konsumsi makanan (Piliang 2006).
Fraksi serat kasar diukur berdasarkan kelarutannya dalam larutan detergent
yang membagi menjadi isi sel dan dinding sel atau Neutral Detergent Fiber
(NDF) dan fraksi yang tidak larut adalah lignoselulosa yang disebut Acid Detergent Fiber (ADF) dan fraksi yang larut yaitu hemiselulosa dan sedikit protein dinding sel. Van Soest et al. (1991) menguraikan mengenai komponen dinding sel menjadi fraksi-fraksi seperti tersaji pada Gambar 2.
Kecernaan Pakan Pada Ikan
Kecernaan adalah bagian pakan yang dikonsumsi dan tidak dikeluarkan
menjadi feses (Maynard et al. 1979). Kapasitas lambung dan laju pakan dalam saluran cerna merupakan variabel dari kecernaan. Ikan yang berbobot lebih kecil
akan mengosongkan sejumlah pakan (prosentase bobot tubuh perjam) dari dalam
lambungnya lebih cepat dibanding ikan yang berbobot lebih besar. Akan tetapi
semakin besar ukuran ikan, kecernaan komponen serat semakin baik. Selain faktor
ukuran ikan, nilai kecernaan dipengaruhi oleh komposisi pakan, jumlah konsumsi,
status fisiologi, dan manajemen pemberian pakan.
Menurut Affandi et al. (2009) dalam proses pencernaan tidak semua komponen pakan yang dimakan dapat terserap, karena pada kenyataannya ada
sebagian pakan yang tidak dapat tercerna. Bagian tersebut akan dikeluarkan dari
dalam tubuh ikan berupa feses. Penentuan nilai kecernaan suatu bahan makanan
adalah membandingkan kadar nutrien atau energi pakan dengan energi feses yang
dinyatakan dalam satuan persen.
Kemampuan cerna ikan terhadap suatu jenis makanan tergantung kepada
faktor fisik dan kimia makanan, jenis makanan, umur ikan, sifat fisik dan kimia
air serta jumlah enzim pencernaan pada sistem pencernaan gastrointestinal (NRC
1983). Secara umum daya cerna untuk protein berkisar 70-90%, untuk karbohidrat
berkisar 5-15%, dan untuk tepung selulosa dan glukosa 1%. Daya cerna ikan
terhadap karbohidrat sangat rendah, tergantung pada spesies ikannya (Zonnelveld
et al.1991). Pakan yang berasal dari bahan nabati biasanya lebih sedikit dicerna dibanding dengan bahan hewani. Hal ini dikarenakan bahan nabati memiliki serat
kasar yang sulit dicerna dan mempunyai dinding sel kuat yang sulit dipecahkan
(Hepher 1988).
Untuk mengukur kecernaan terdapat dua metode yaitu metode koleksi
feses dan metode indikator (Maynard et al. 1979). Sangat sulit memisahkan feses dari air dan sisa-sisa ransum. Oleh sebab itu pendekatan yang paling tepat untuk
mengatasi sulitnya pengukuran jumlah konsumsi dan pengumpulan feses adalah
Indikator adalah bahan yang bersifat inert yang berarti dapat ditemukan
kembali di dalam feses, dengan kriteria : (1) harus tidak dapat diabsorbsi, (2)
harus tidak disamarkan oleh proses pencernaan, (3) harus secara fisik sama atau
bergabung dengan bahan pakan yang akan diuji dan (4) metode pengambilan
sampel digesta harus spesifik dan sensitif (Maynardet al.1979).
Indikator yang mempunyai sifat tersebut adalah Chromium oxide (Cr2O3). Jumlah kromium yang digunakan dalam penentuan kecernaan adalah 0,5-1,0%.
Keuntungan dari penggunaan indikator ini adalah feses yang telah dikumpulkan
dapat dianalisa kandugan nutriennya sehingga dapat diketahui koefisien daya
cerna suatu nutrien dalam pakan tersebut (Takeuchi 1988).
Kelapa Sawit dan Hasil Sampingnya
Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) merupakan tanaman daerah hutan hujan tropik (10° dari katulistiwa) yang berasal dari Afrika Barat. Habitat alami
kelapa sawit adalah di daerah beriklim panas yang lembab pada ketinggian 500 m
di atas permukaan laut dengan suhu optimum pertumbuhan antara 22 °C–32 °C
serta curah hujan rata-rata antara 1 600 mm (minimum) sampai 2 500–3 500 mm
per tahun (Schultz 2001).
Ada 2 macam metode untuk proses ekstraksi minyak yaitu menggunakan
mesin expeller secara mekanis dan ekstraksi solvent secara kimia. Metode
expeller akan menghasilkan BIS yang mempunyai kandungan minyak (5-12%)
lebih tinggi dibandingkan dengan BIS yang dihasilkan dari proses ekstraksi
solvent (0,5-3%). Pada umumnya metode solvent menghasilkan BIS dengan nilai
serat kasar dan protein yang lebih tinggi dibandingkan metode expeller
(Wanasuria 2008).
Menurut Devendra (1998) yang diacu dalamSinurat (2003), bahwa dalam proses pengolahan buah sawit menjadi crude palm oil(CPO) akan menghasilkan hasil samping berupa lumpur sawit, bungkil inti sawit dan serabut sawit yang
berpotensi untuk digunakan sebagai bahan pakan (Gambar 3). Minyak kelapa
Gambar 3 Proporsi hasil pengolahan buah sawit menjadi minyak sawit (Devandra 1998dalamSinurat 2003).
Kandungan Nutrien Bungkil Inti Sawit
Bungkil inti sawit mempunyai kandungan nutrien yang cukup baik untuk
dijadikan sebagai bahan pakan. Menurut Jaelani dan Firahmi ( 2007) kandungan
protein kasar bungkil inti sawit adalah 16,5-17,69%, lemak kasar 5,69-9,46% dan
kandungan serat kasarnya 24,22-30,50%. Kandungan nutrisi BIS secara lengkap
dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2 Kandungan nutrien pada bungkil inti sawit
Nutrien A B C
SF F
Kadar Air (%) 10,4 5,50–12,00 10,72 10,55
Protein kasar (%) 16,8 14,50–19,60 16,5 20,12
BETN 35 46,70–58,80 -
-Serat Kasar 24 13,00–20,00 19,24 24,22
Lemak 9,5 5,00– 8,00 5,69 4,97
Abu (%) 4,3 5,00– 8,00 4,69 4,18
NDF (%) 70,07* 66,80–78,90 -
-Keterangan: BETN = Bahan ekstrak tanpa nitrogen; NDF =Neutral detergent fibre. A = Simanjuntak (1998)
B = Alimon (2005
Pemanfaatan Bungkil Inti Sawit (BIS) untuk Pakan
Penelitian pemanfaatan BIS telah banyak dilakukan untuk bahan baku
pakan ternak (unggas, kambing, sapi, kelinci, ayam). Sedangkan penelitian
pemanfaatan BIS dalam bidang akuakultur belum sebanyak dalam bidang
peternakan.
Mirwandhono dan Siregar (2004) melaporkan bahwa fermentasi
menggunakan Aspergillus niger (3% dari bahan kering BIS secara nyata mampu meningkatkan kandungan protein dari 15,03% menjadi 18,50%. Selanjutnya
dilaporkan bahwa penggunaan 2% Aspergillus niger pada fermentasi BIS secara nyata meningkatkan kandungan energi bruto pada BIS yaitu dari 1 661 kkal/kg
(BIS sebelum fermentasi) menjadi 1 837 kkal/kg (setelah fermentasi).
Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa pakan dengan bahan baku
limbah sawit yang difermentasi dengan enzim rumen dapat digunakan untuk
pembesaran ikan nila, meskipun belum dapat menyamai pakan yang
menggunakan bungkil kedelai. Namun dari segi harga, pakan ini lebih murah
sehingga dapat dijadikan sebagai pakan alternatif (Hadadi et al. 2007).
Menurut Zahari dan Alimon ( 2004), penggunaan BIS untuk bahan baku
ikan catfish maksimal 30 %, dan untuk tilapia maksimal 20%. Limet al(2001) melaporkan bahwa BIS dapat digunakan dalam pakanOreochromis mosambicus
mencapai 30%. Sedangkan Amri (2007), menyatakan bahwa penggunaan bungkil
inti sawit yang difermentasi dengan Rhizopus oligosporus sebanyak 18% dalam pakan ikan mas secara nyata meningkatkan jumlah konsumsi pakan, pertambahan
berat tertinggi, dan menurunkan konversi pakan.
Jaelani (2007) melaporkan bahwa penggunaan BIS yang difermentasi
menggunakan kapang Trichoderma reesei dapat dilakukan sampai taraf 15% dalam ransum ayam pedaging tanpa mengganggu bobot badan, konsumsi dan
Onggok
Onggok merupakan hasil sampingan industri tapioka. Komponen penting
yang terdapat dalam onggok adalah kandungan zat organik berupa pati. Onggok
berpotensi sebagai bahan pakan karena mengandung karbohidrat atau pati sekitar
60-80% dari berat kering. Onggok cukup potensial digunakan sebagai sumber
karbon dalam fermentasi padat, meskipun masih memerlukan suplementasi zat
gizi seperti nitrogen dan unsur-unsur mineral lainnya (Sumantiet al.2005).
Sianida dapat bersifat racun apabila diberikan dalam jumlah yang tinggi
dalam pakan (Parrakasi 1990). Kandungan total HCN ubi kayu dapat hilang
hingga lebih dari 86% selama pengeringan dengan sinar matahari. Sjofjan et al.
(2001) menyatakan fermentasi campuran onggok dan kotoran ayam dengan A. niger, Rhizopus oligosporus atau Saccaromyces cerevisiae dapat memperbaiki nutrisi campuran onggok dan kotoran ayam tersebut.
Fermentasi
Fermentasi adalah proses penguraian unsur organik kompleks terutama
karbohidrat untuk menghasilkan energi melalui reaksi enzim yang dihasilkan oleh
mikroorganisme, yang biasanya terjadi dalam keadaan anaerob dan diiringi
dengan pembebasan gas. Simanjuntak (1998) melaporkan bahwa fermentasi dapat
dilakukan untuk meningkatkan nutrien pada bahan yang berkualitas rendah,
fermentasi merupakan salah satu cara pengolahan dalam rangka pengawetan
bahan serta cara untuk mengurangi bahkan menghilangkan zat racun yang
terkandung pada suatu bahan.
Menurut jenis mediumnya proses fermentasi dibagi menjadi dua yaitu
fermentasi medium padat dan fermentasi medium cair. Pada fermentasi medium
padat yang digunakan tidak larut tetapi cukup mengandung air untuk keperluan
mikroorganisme, sedangkan fermentasi medium cair adalah proses fermentasi
yang substratnya larut atau tersuspensi di dalam fase cair (Hardjoet al. 1989). Perlakuan secara fisik yang diberikan sebelum proses fermentasi dapat
berupa pengeringan, pemotongan, penggilingan, perendaman, dan pengukusan.
kualitas bahan pakan kasar. Dengan pengukusan menyebabkan pengembangan
serat sehingga memudahkan untuk dicerna oleh enzim mikroorganisme. Uap akan
menghancurkan ikatan antara selulosa, hemiselulosa dan lignin sedangkan
komposisi kimianya tidak berubah. Pengukusan mampu meningkatkan
ketersediaan energi karena meningkatnya kelarutan selulosa dan hemiselulosa dan
atau pembebasan substansi terhidrolisis dari lignin dan silika (Murniet at .2008).
Hidrolisis Selulosa oleh Kapang
Aplikasi hidrolisis menggunakan enzim secara sederhana dilakukan
dengan mengganti tahap hidrolisis asam dengan tahap hidrolisis enzim selulosa.
Hidrolisis enzimatis memiliki beberapa keuntungan dibandingkan hidrolisis asam,
antara lain: tidak terjadi degradasi gula hasil hidrolisis, kondisi proses yang lebih
lunak (suhu rendah, pH netral), berpotensi memberikan hasil yang tinggi, dan
biaya pemeliharaan peralatan relatif rendah karena tidak ada bahan yang korosif
(Hamelincket al. 2005).
Degradasi selulosa oleh kapang merupakan hasil kerja sekelompok enzim
selulolitik yang bekerja secara sinergis (Howard et al. 2003). Hidrolisis selulosa oleh enzim selulase terjadi dalam dua tahap. Tahap awal merupakan tahap
aktivasi, kemudian dilanjutkan dengan tahap hidrolisis seperti tersaji pada
Gambar 4.
Gambar 4 Mekanisme hidrolisis selulosa secara enzimatis (Muchtadiet al.1992).
Aktivasi selulosa disebabkan oleh enzim non hidrolisis C1, dan hidrolisis
selulosa yang telah diaktifkan oleh enzim Cx. Hidrolisis selulosa secara efektif
memerlukan enzim β -glukosidase yang memecah selobiosa menjadi 2 molekul
glukosa (Perez et al. 2002). Proses hidrolisis oleh kapang adalah terjadinya
degradasi terhadap dinding sel yang diselaputi oleh lignin, selulosa dan
hemiselulosa. Akibat hidrolisis sebagian lignin akan terdegradasi, selulosa dan
KapangTrichoderma harzianumRifai
KlasifikasiTrichoderma harzianummenurut Frazier dan Westhoff (1978) adalah divisi Thallophyta, kelas Deuteromycetes, famili Moniliaceae dan ordo Moniliales.
Koloni kapang yang tua berwarna hijau tua dan bentuknya bola-bola
konidia yang berwarna hijau yang melekat satu sama lain. Ciri spesifik kapang ini
adalah (1) miselium septat, (2) konidia bercabang banyak, septat dan ujung
percabanganya merupakan sterigma, membentuk konidia bulat atau oval, berwarna hijau terang dan berbentuk bola-bola (Fardiaz 1998).
Trichoderma adalah salah satu kapang tanah yang tersebar luas (kosmopolitan) di lahan-lahan pertanian dan perkebunan. Trichoderma
merupakan salah satu jamur yang bersifat selulolitik yang potensial menghasilkan
selulase dalam jumlah yang relatif banyak untuk mendegradasi selulosa.
Trichoderma menghasilkan enzim kompleks selulase yang dapat merombak selulosa menjadi selobiosa hingga menjadi glukosa. Trichoderma spp. memiliki kemampuan untuk menghasilkan berbagai enzim ekstraseluler, khususnya selulase
yang dapat mendegradasi polisakarida kompleks (Harman 2006). Trichoderma
adalah salah satu kapang perombak selulosa yang mempunyai kombinasi enzim
C1 dan Cx (Wiseman 1981).
Menurut Schmidt (2006) Trichoderma merupakan kapang selulolitik yang memiliki potensi yang baik mendekomposisi selulosa dan hemiselulosa
dibandingkan lignin. Hal ini juga dilaporkan oleh Samingan (2009) bahwa T.
harzianummampu mendekomposisi selulosa lebih tinggi dibandingkan lignin.
T. harzianum memiliki peranan yang sangat berarti untuk meningkatkan kualitas lumpur sawit. Untuk menurunkan serat kasar penggunaanT. harzianum
BAHAN DAN METODE
Penelitian terdiri dari dua tahap yaitu Tahap I: Fermentasi Bungkil Inti
Sawit dan Onggok denganTrichoderma harzianum. Tahap II: Uji kecernaan pada ikan nila dengan pakan yang mengandung BIS (Bungkil Inti Sawit) dan BISOF
(Bungkil Inti Sawit dan Onggok Fermentasi).
Tahap I: Fermentasi Campuran BIS dan Onggok
Penelitian tahap I bertujuan untuk mendapatkan fermentasi terbaik dari
campuran BIS dan onggok oleh T. harzianum. BIS dan onggok yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari Lampung. Penelitian Tahap I dilakukan di
Laboratorium Mikrobiologi Pusat Penelitian Biologi LIPI Cibinong. Pengeringan
inokulum dilakukan di SEAFAST Center IPB, analisis proksimat dan serat (Van
Soest 1991) dilakukan di Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan Fakultas
Peternakan IPB.
Peremajaan kapangT.harzianum
Isolat (biakan murni) yang digunakan adalah Trichoderma harzianum
Rifai LIPIMC 732 (koleksi Laboratorium Mikrobiologi LIPI Cibinong). Media
pertumbuhan kapang yang digunakan adalah Potato Dextrose Agar (PDA) dan basal media (nutrien) terdiri dari NH4)2SO4,yeast extract, KH2PO4,MgSO4.7H2O, CaCl2.2H2O. Isolat T. harzianum ditanam pada media miring yang dilakukan di dalamlaminar air flow,kemudian disimpan pada suhu ruang selama 7-10 hari.
Pembuatan inokulum padatT. harzianum
Inokulum padat (biomassa T.harzianum) adalah bibit T. harzianum yang telah dicampur dengan pembawa. Pembawa yang digunakan dalam penelitian ini
adalah onggok yang telah disterilkan dan ditambah basal media sebanyak 5%
(dari volume). Basal media terdiri dari: (NH4)2SO4 (0,2%),yeast extract(0.1%), KH2PO4 (0,028%), MgSO4.7H2O (0,025%), CaCl2.2H2O (0,007%) yang
Isolat yang telah matang spora ditambahkan 9 ml akuades steril secara
aseptik, dengan menggunakan jarum ose steril spora dikerik hingga terlepas dari
miselia sehingga terbentuk suspensi spora, selanjutnya suspensi spora dimasukkan
dalam erlenmeyer volume 250 ml yang berisi onggok yang telah disterilkan.
Selanjutnya ditambahkan akuades steril sampai kadar air 60% dan diaduk sampai
homogen. Erlenmeyer kemudian ditutup dengan kapas yang dilapisi plastik dan
diinkubasi selama 7 hari.
Uji enzim selulase
Uji enzim selulase dilakukan dengan menggunakan substrat karboksi
metil selulosa. Aktivitas enzim ditentukan dengan menghitung konsentrasi produk
glukosa yang terbentuk. Konsentrasi diukur secara spektrofotometri menurut
metode Somogy Nelson.
Fermentasi campuran BIS dan onggok
Sebelum difermentasi, BIS dan onggok diayak menggunakan saringan
ukuran 2 mm, kemudian ditimbang dengan komposisi 80 g BIS dan 20 g
onggok. BIS dan onggok dicampur sampai homogen, dan dimasukkan dalam
plastik tahan panas, kemudan disterilisasi pada suhu 121 oC selama 15 menit.
Campuran BIS-onggok didinginkan dan ditempatkan di nampan plastik dengan
ketebalan ± 2 cm, kemudian ditambahkan larutan basal media sebanyak 5% dari
volume, selanjutnya penambahan inokulum T. harzianumsebanyak 5% dari berat BIS dan onggok (substrat) dengan kepadatan 2,6x106CFU/ml. Substrat kemudian
diaduk sampai homogen dan ditambah air steril hingga kadar air mencapai 60-70
%, selanjutnya nampan ditutup denganplastik wrap. Proses fermentasi campuran
BIS dan onggok seperti ditunjukkan pada Gambar 5, dengan perlakuan :
Gambar 5 Bagan alur proses fermentasi.
Substrat yang telah difermentasi kemudian dipanen, dikeringkan dalam
oven pada suhu 60 oC selama 4-6 jam, kemudian digiling. Penampilan secara
visual BISOF selama fermentasi diamati secara makroskopis. Pengukuran peubah
dilakukan terhadap bahan sebelum fermentasi dan sesudah fermentasi meliputi
kandungan bahan kering, protein kasar, lemak, serat kasar, abu (Takaeuchi 1988)
dan fraksi serat (Van Soest 1991).
Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak
Lengkap (RAL) dengan 3 perlakuan dan 3 ulangan. Data hasil fermentasi BIS
yang diperoleh dianalisis menggunakan analisis sidik ragam (anova). Untuk melihat kecenderungan dari pengaruh masing-masing perlakuan dilakukan uji
Jarak Berganda Duncan (Steel & Torrie 1995).
Tahap II: Uji Kecernaan pada Nila
Pada penelitian Tahap II bertujuan mengkaji kecernaan campuran BIS dan
onggok yang telah difermentasi untuk pakan ikan nila. BISOF yang digunakan
dalam uji kecernaan adalah hasil fermentasi pada masa inkubasi 8 hari. Penelitian
dilaksanakan pada bulan Nopember–Desember 2010 di Laboratorium Nutrisi
Uji kecernaan pakan
Uji kecernaan bahan dilakukan berdasarkan metode yang dikemukakan
oleh Watanabe (1988), yaitu terdiri dari pakan acuan (references diet) yang terdiri dari 100% pakan komersil, pakan uji (test diet) yang terdiri dari 70% pakan acuan dan 30% bahan yang akan diuji (Tabel 3). Semua pakan perlakuan dibuat dalam
bentuk pelet kering. Pakan yang telah dibuat kemudian dianalisis kembali untuk
mengetahui komposisi nutrien pakan. Tabel 4 dan 5 menunjukkan hasil análisis
proksimat pakan dan fraksi serat. Pakan diberikan dua kali sehari secara at satiation(sekenyangnya).
Percobaan menggunakan 9 akuarium masing-masing berukuran 40x50x35
cm yang dilengkapi aerasi dan heater diatur pada suhu 30 oC. Untuk menjaga kualitas air, dilakukan penyiponan dan penggantian air. Berat rata-rata ikan nila
yang digunakan 41,27±2,16 g, dengan kepadatan 5 ekor per akuarium. Ikan
diaklimasi selama 1 minggu dengan diberi pakan uji. Pada hari ke 8, feses mulai
dikumpulkan dan pengumpulan feses selama 15 hari. Pengambilan feses dengan
penyiponan dilakukan segera setelah ikan mengeluarkan feses untuk menghindari
pencucian feses. Feses ditampung dan disimpan dalam freezer. Feses yang telah terkumpul dikeringkan di dalam oven bersuhu 110 °C selama 4-6 jam.
Selanjutnya dilakukan analisis kandungan protein, serat kasar, Cr2O3, kalsium,
fosfor, energi. Pengukuran kadar Cr2O3 menggunakan spektrofotometer yang
memiliki panjang gelombang 350 nm.
Tabel 3 Komposisi pakan acuan dan pakan uji kecernaan (%)
Bahan
Tabel 4 Hasil proksimat pakan (% bobot kering)
Serat kasar (%) 4.92 8.01 5.61
BETN1(%) 48.10 49.59 50.44
GE (kkal/100 g pakan) 432.72 408.64 414.94
C/P 14.69 16.46 16.10
Tabel 5 Kandungan fraksi serat pakan (% bobot kering)
Fraksi serat (%) Pakan
Parameter kecernaan yang diukur adalah kecernaan total dan kecernaan
nutrien yang meliputi kecernaan protein, kalsium, fosfor, energi. Nilai kecernaan
nutrien dan kecernaan total dihitung berdasarkan persamaan yang dikemukakan
oleh Takeuchi (1988) :
Kecernaan nutrien = [1-a/a’x b’/b]*100 Kecernaan total = [1-a/a’]*100 Energi tercerna = Ep-{Ef x n/n’}
Kecernaan Energi = [Energi tercerna/Energi Pakan] x 100% Keterangan :
a = % Cr2O3dalam pakan
a’ = % Cr2O3dalam feses
b = % nutrien dalam pakan b’ = % nutrien dalam feses
Ep = Energi pakan (kkal/100 g pakan) Ef = Energi feses (kkal/100 g pakan) n = mg Cr2O3/g pakan
Sedangkan nilai kecernaan masing-masing bahan uji yang digunakan dapat
dihitung dengan menggunakan persamaan yang dikemukakan oleh
Watanabe (1988), yaitu :
Kecernaan bahan = (ADT-0,7 AD)/0,3
Keterangan :
ADT = nilai kecernaan pakan uji
AD = nilai kecernaan pakan acuan
Analisis Data
Rancangan penelitian yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap
dengan 3 perlakuan dan 3 kali ulangan. Data yang diperoleh dianalisis dengan
HASIL DAN PEMBAHASAN
Tahap I: Fermentasi Campuran BIS dan Onggok
Jumlah koloni kapangTrichoderma harzianum
Kultur murni kapang T. harzianum Rifai LIPIMC 732 diperoleh dari
Laboratorium Mikrobiologi Pusat Penelitian Biologi LIPI Cibinong. Biakan
inokulum kapangT. harzianumpada media PDA terlihat pada Gambar 6. Tabel 6 menunjukkan rata-rata jumlah koloni kapangT. harzianum.
Gambar 6 Biakan kapangTrichoderma harzianumRifai LIPI MC 732
Tabel 6 Jumlah spora Trichoderma harzianumselama pertumbuhan
Umur pertumbuhan Jumlah koloni
(jam) (CFU/ml)
24 belum terlihat
30 2,03x105
36 2,25x105
42 3,55x105
48 1,90x106
54 2,15x106
60 2,60x106
66 2,60x106
Penghitungan Total Plate Count (TPC) dilakukan pada isolat yang telah ditumbuhkan pada media PDA dalam cawan petri berdiameter 9 cm, dan
diinkubasi 48-72 jam pada suhu kamar. Penghitungan jumlah spora dan viabilitas
spora dilakukan setiap 6 jam dan dimulai pada 24 jam pertama, karena sampai
pada 24 jam pertama belum terlihat pertumbuhan koloni kapang yang berarti. Hal
ini disebabkan masih dalam fase adaptasi dan pertumbuhan awal. Jumlah koloni
kapang mulai konstan (stationary phase), dicapai pada umur 60 jam yakni
mencapai jumlah koloni 2,6 x 106CFU/ml.
Jumlah awal sel yang tinggi akan mempercepat fase adaptasi. Mulai umur
pertumbuhan 30 jam, jumlah koloni kapang semakin banyak hingga pada umur 60
jam masa pertumbuhan, tercapai jumlah koloni yang maksimal. Setelah 60 jam
jumlah koloni tidak bertambah lagi. Hal ini disebabkan kapang sudah memasuki
fase statis. Pada fase stationary ini jumlah populasi sel tetap karena jumlah sel yang tumbuh sama dengan jumlah sel yang mati.
Hasil pembuatan inokulum padat
Gambar 7 menunjukkan hasil pembuatan inokulum padat. Pemanenan
inokulum padat dilakukan pada hari ke 7, kemudian dikeringkan dengan
pengeringan hampa (vacuum dry) pada suhu 400C. Penyimpanan inokulum padat
menggunakan caravacuum.
Hasil Uji Enzim Selulase
Hasil uji enzim selulase menunjukkan hasil positif karena terbentuknya
warna merah bata pada tabung reaksi 1, 2 dan 3 (inokulum padat), sedangkan pada
tabung reaksi kontrol (K= substrat tanpa penambahan T. harzianum) berwarna kuning atau negative (Gambar 8).
Gambar 8 Hasil uji enzim selulase.
Penampilan makroskopis BISOF (Bungkil Inti Sawit Onggok Fermentasi)
Penampilan secara makroskopis, pertumbuhan kapang T. harzianum pada 24 jam pertama fermentasi belum terlihat pertumbuhan hifa. Pertumbuhan hifa
dimulai pada umur 48 jam dengan adanya titik-titik putih di permukaan media
fermentasi, kemudian pertumbuhan hifa terlihat seperti kapas putih tipis di
permukaan. Selanjutnya pada jam ke 120, mulai terjadi perubahan warna dari
putih kapas menjadi putih kehijauan dan selanjutnya hijau muda. Perubahan
warna terus berlangsung menjadi hijau tua pada jam ke 192, dan jam 240 warna
hijau tua dan kusam. Penampilan makroskopis BISOF selama inkubasi seperti
ditunjukkan pada Gambar 9.
Kandungan nutrisi hasil fermentasi
Tabel 7 menunjukkan bahwa pada masa inkubasi 6 dan 8 hari terjadi
penurunan serat kasar, namun pada masa inkubasi 10 hari terjadi peningkatan
serat kasar. Persentase penurunan serat kasar tertinggi dicapai pada perlakuan T8
yaitu 44,28% (Tabel 8). Selama masa inkubasi 6, 8 dan 10 hari terjadi penurunan
lemak secara konsisten. Penurunan lemak tertinggi dicapai pada masa inkubasi 10
hari sebesar 38,6 % (Tabel 8).
Tabel 7 Rataan kandungan nutrisi pada masing-masing perlakuan sebelum dan setelah difermentasi (% bobot kering)
Kandungan nutrisi (%) Perlakuan
SF T6 T8 T10
Abu 4,85 5,08±0,11a 5,06±0,14a 5,27±0,10b
Protein kasar 12,35 14,94±0,14a 15,74±0,12b 16,16±0,16c
Serat kasar 16,78 11,23±0,21b 9,35±0,22a 10,93±0,07b
Lemak 9,04 6,09±0,17b 5,70±0,10a 5,55±0,80a
BETN 56,98 62,67±0,38a 64,15±0,11b 62,09±0,29a
- Glukosa 1,049 1,401 1,576 1,565
Keterangan : Huruf superskrip di belakang nilai standar deviasi yang berbeda pada setiap baris menunjukkan adanya perbedaan nyata antara perlakuan (p<0.05)
SF = Sebelum fermentasi T6 = Inkubasi 6 hari T8 = Inkubasi 8 hari T10 = Inkubasi 10 hari
Tabel 8 Persentase penurunan kandungan serat kasar dan lemak (%)
Komponen Perlakuan
T6 T8 T10
Serat kasar 33,07 44,28 34,86
Lemak 32,63 36,94 38,6
PEMBAHASAN
Campuran 80% BIS dan 20% onggok merupakan media yang cocok untuk
pertumbuhan kapang, karena selain onggok kaya akan pati sebagai sumber
karbon, onggok berongga sehingga memperbaiki sifat fisik media. Sifat porusitas
akan mempengaruhi transfer oksigen (penetrasi udara) kapang dalam substrat
Hasseltine (1977) dalamNagai (1979) juga menekankan bahwa fermentasi
substrat padat harus dalam bentuk yang memungkinkan berlangsungnya sirkulasi
udara. Butiran substrat padat harus sedikit berongga (retak) supaya spora dapat
menempel dengan cepat pada permukaan butiran substrat dan segera setelah
germinasi, penetrasi ke dalam butiran akan berlangsung dengan cepat pula.
Fermentasi BIS dengan kapang T harzianum menyebabkan perubahan kandungan beberapa nutrien. Kandungan serat kasar mengalami penurunan secara
konsisten pada masa inkubasi 6 dan 8 hari. Persentase penurunan serat kasar
tertinggi dicapai pada masa inkubasi 8 hari yaitu sebesar (44,28%). Hal ini
dikarenakan aktivitas enzim selulase T. harzianum mencapai titik optimum, sehingga mampu mendegradasi selulosa menjadi glukosa (Kim et al. 1994). Peningkatan glukosa tertinggi dicapai pada masa inkubasi 8 hari, seperti
ditunjukkan pada Tabel 7. Lama inkubasi 10 hari, terjadi peningkatan kandungan
serat kasar, hal ini disebabkan berkurangnya enzim selulase dan kehilangan dari
sejumlah padatan lainnya (Shutleff & Aoyagi 1979). Lama inkubasi 8 hari
merupakan masa inkubasi yang optimal untuk menurunkan serat kasar. Hasil ini
memperkuat simpulan Ginting dan Krisnan (2006) bahwa penurunan serat kasar
BIS yang optimal diperkirakan tercapai pada lama fermentasi antara 6-9 hari.
Hasil penurunan serat kasar pada penelitian ini lebih tinggi dari yang
dilaporkan oleh Ginting dan Krisnan (2006), dengan menggunakan BIS dan
kapang yang sama terjadi penurunan serat kasar 33%, sedangkan Siregar (2004)
melaporkan penurunan serat kasar sebesar 13,27% pada fermentasi BIS dengan T. viridae.
Apabila dibandingkan dengan hasil penelitian Pamungkas (2010), yang
melakukan penelitian yang sama dengan penambahan enzim cairan rumen
domba, penurunan serat kasarnya mencapai 56,47%. Perbedaan hasil tersebut
diduga disebabkan perbedaan sumber enzim yang digunakan. Hal ini
dikarenakan jenis enzim selulase dari genus Trichoderma hanya sedikit memproduksi enzim selobiase (β -glukosidase) yang akan menghidrolisis
selobiosa menjadi glukosa. Enzim selulase utama yang dihasilkan dari genus
T. harzianum menghasilkan enzim C1(β exoglukanase) 0,307U/ml, dan Cx (β -endoglukanase) sebesar 0,655U/ml (Wizna et al. 2007). Penurunan serat kasar menggunakan T. harzianum membutuhkan masa inkubasi yang lebih lama dibandingkan dengan menggunakancrude enzyme (enzim kasar) secara langsung. Hal ini dikarenakan dalam pertumbuhannya, kapang mengalami beberapa fase
antara lain: fase lag (adaptasi) untuk menyesuaikan dengan kondisi lingkungan
sekitarnya, fase pertumbuhan awal, fase logaritmik, fase statis dan fase kematian.
Kapang mempunyai waktu generasi yang lebih lama dibandingkan dengan bakteri
dan khamir (Fardiaz 1988). Oleh karena itu untuk penurunan serat kasar BIS perlu
dicoba penggunaan crude enzyme (enzim kasar) dari T. harzianum, agar masa inkubasi lebih efektif.
Kandungan NDF, ADF, selulosa, lignin, hemiselulosa
Gambar 15 menunjukkan bahwa pada masa inkubasi 8 hari (T8), terjadi
penurunan fraksi ADF, selulosa dan lignin, sedangkan fraksi NDF dan
hemiselulosa mengalami peningkatan. Analisis fraksi serat hanya dilakukan pada
perlakuan T8, dengan pertimbangan penurunan serat kasarnya tertinggi (44,28%).
Fermentasi dengan T. harzianum dapat menurunkan fraksi serat ADF, selulosa dan lignin, namun NDF dan hemiselulosa mengalami peningkatan.
Terjadinya penurunan ADF, selulosa dan lignin menunjukkan kemampuan T. harzianum kapang dalam menghasilkan enzim selulase untuk mendegradasi komponen selulosa.T. harzianumadalah fungi yang menghasilkan enzim selulase dan dapat menghidrolisis selulosa (Hamelincket al.2005).
Kandungan NDF pada BISOF terjadi peningkatan, dikarenakan
pertumbuhan kapang yang ikut menyumbangkan dinding sel. Gandjar et al. (2006) menyatakan bahwa salah satu komponen dinding sel kapang adalah kitin
(polisakarida). Peningkatan NDF juga terjadi pada fermentasi BIS dengan
Trichoderma reesei (Jaelani et al.2008). Menurut Daud (1995), kandungan NDF di atas 52% mengindikasikan bahwa tinggi akan komponen dinding sel,
sedangkan Chong et al. 1998 melaporkan bahwa kandungan NDF dari BIS berkisar 67,95-74,25%.
Tahap II: Uji Kecernaan Pada Ikan Nila
Tabel 9 menunjukkan bahwa nilai kecernaan pakan acuan lebih baik
dibandingkan dengan pakan uji. Penggantian sebagian pakan acuan dengan 30%
BIS dan 30% BISOF menurunkan kecernaan dari pakan tersebut. Namun
demikian kecernaan total BISOF yang ditambahkan 30% masih jauh lebih tinggi
daripada penambahan BIS 30%. Ini menunjukkan bahwa BISOF mempunyai
kecernaan lebih baik. Data ini didukung oleh kecernaan bahan BISOF (54,72%)
dibandingkan BIS (30,75%).
Tabel 9 Nilai kecernaan total, protein, fosfor, kalsium, energi dan bahan
Kecernaan (%)
Total 72,92±0,92a 60,27±0,18b 67.46±0,13c
Protein 88,71±0,19a 80,19±0,52b 86,85±0,2b
Fosfor 64,04±1,70a 53,6±0,48b 61,12±0,38c
Kalsium 69,10±0,70a 53,03±0,15b 63,93±1,30c
Energi 84,44±0,55a 69,4±0,4b 75,47±0,70c
Bahan - 30,75±3,07 54,72±0,61
PEMBAHASAN
Terjadinya penurunan serat kasar pada BISOF dapat meningkatkan
kecernaan nutrien dan bahan tersebut. Perbedaan kecernaan BIS dan BISOF
diduga karena kualitas bahannya terutama kandungan serat kasar. Hal ini
didukung data perbedaan serat kasar yang signifikan antara BIS dan BISOF
(Tabel 7). Perbedaan serat kasar dalam pakan akan mempengaruhi kecernaan
nutrien, karena serat kasar menghambat kerja enzim pencernaan. Kecernaan yang
tinggi pada BISOF menyebabkan kerja enzim di saluran usus ikan nila lebih
rendah, sehingga nutrien yang diserap lebih banyak. Ikan mempunyai
keterbatasan untuk mencerna serat, hal ini berkaitan dengan terbatasnya
ketersediaan enzim selulolitik dalam saluran pencernaan. Menurut Fitriliyani
(2010), enzim selulase yang dihasilkan dalam saluran pencernaan ikan nila
sebesar 0,0176 unit/ml/menit, enzim amilase sebesar 0,2341 unit/ml/menit dan
enzim protease 0,425 unit/ml/menit. Profil aktivitas enzim pada saluran
pencernaan ikan nila tersebut merupakan indikator dari kemampuan mencerna dan
memanfaatkan nutrisi dalam pakan.
Serat kasar terdiri dari selulosa dan lignin yang sulit dicerna. Komponen
tersebut dalam saluran pencernaan hanya dapat dihidrolisis oleh enzim selulase.
Menurut Clarke & Bouchop (1977) dalam Affandi et al. (2009), menyimpulkan bahwa aktivitas enzim selulase ada hubungannya dengan kebiasaan ikan
mengkonsumsi bagian dari tumbuhan yang sedang mengalami penghancuran.
Penggantian sebagian pakan acuan dengan BISOF pada pakan nila
memberikan hasil kecernaan yang lebih baik dibandingkan dengan BIS. Pakan
yang mengandung serat kasar tinggi akan menghasilkan feses yang lebih banyak,
karena serat kasar yang tidak tercerna dapat membawa zat-zat makanan yang
dapat dicerna. Secara umum batas toleransi ikan terhadap kandungan serat dalam
pakan sampai 8%. Kandungan serat yang terlalu tinggi akan menekan
pertumbuhan (Buhler and Halver, 1961; Leary and Lovell, 1975; Edwards et al., 1977; Hilton et al., 1983; Poston, 1986 dalam NRC 1993). Serat yang melebihi batas maksimal akan menurunkan nilai gizi pakan. Penurunan nilai gizi tersebut
disebabkan sebagian besar zat-zat makanan keluar bersama ekskreta sebelum
kandungan serat kasar lebih dari 8%, secara visual fesesnya lebih banyak
dikeluarkan dan lebih cepat diekskresikan dibandingkan pakan uji BISOF, yang
mempunyai kandungan serat kasar lebih rendah (5,61%).
Fakta menunjukkan bahwa kandungan nutrisi dalam serat kasar rendah,
namun keberadaannya dalam pakan mutlak diperlukan. Kandungan serat kasar
dalam jumlah sedikit dapat meningkatkan gerak peristaltik usus, namun apabila
jumlahnya berlebih maka menyebabkan proses penyerapan makanan menjadi
tidak efisien (Guillameet al. 1999). Kirchgessener (1986) juga melaporkan bahwa peningkatan kadar serat kasar dalam komposisi pakan akan menurunkan
kecernaan nutrisi. Sesuai pendapat Cho et al. (1985) yang menyatakan bahwa serat kasar yang tinggi menyebabkan porsi ekskreta lebih besar, sehingga
menyebabkan semakin berkurangnya penyerapan protein yang dapat dicerna.
Selain itu, serat kasar tinggi akan memberikan rasa kenyang karena
komposisi karbohidrat kompleks yang menghentikan nafsu makan sehingga
mengakibatkan turunnya konsumsi makanan (Piliang 2006). Keberadaan serat
kasar yang semakin meningkat menyebabkan terganggunya penyerapan nutrien.
Hal ini terjadi karena adanya peningkatan viskositas digesta dan berpengaruh pada
kesempatan nutrien untuk dicerna dan diserap oleh saluran pencernaan menjadi
lebih singkat (Choct et al.1996). NRC (1983) juga menyatakan bahwa tingginya serat kasar pada pakan dapat mempengaruhi kecernaan nutrien lainnya.
Penggantian sebagian pakan acuan dengan BIS dan BISOF 30%,
kecernaannya belum setara dengan pakan acuan. Untuk itu perlu penelitian lebih
lanjut mengenai jumlah BIS dan BISOF sebagai bahan pengganti pakan acuan,
hingga memiliki tingkat kecernaan yang setara.
Kecernaan bahan BISOF lebih baik dibandingkan dengan BIS, karena
proses fermentasi denganT. harzianumdapat menurunkan serat kasar. Teknologi fermentasi merupakan cara untuk dapat memperbaiki nilai kecernaan bahan
menjadi lebih baik, karena mikroorganisme (kapang) mampu memecah
komponen yang komplek menjadi senyawa yang lebih sederhana sehingga mudah
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Affandi R., Sjafei DS, Rahardjo MF, Sulistiono. 2009. Fisiologi Ikan Pencernaan dan Penyerapan Makanan. IPB Press.
Alexander,M. 1977. Introduction to Soil Microbiology.2th .John Willey and Sons.New York.
Amri M. 2007. Pengaruh bungkil kelapa sawit pada pakan ikan mas (Cyprinus carpio). Jurnal Ilmu-ilmu Pertanian Indonesia Volume 9, No.1. Hlm 71-76.
[BPS] Biro Pusat Statistik.2010. Produksi Tanaman Pangan Nasional.
Bureau DP, Harris AM, Cho CY. 1999. Apparent digestibility of endered animal protein ingredients for rainbow trout (Oncorhynchus mykiss). Aquaculture
180 (3-4):345-358.
Cheeke PR. 1981. The significance of fiber in rabit In Meeting Word Food Needs.Journal of Applied Rabbit Research. Vol 3.
Cho CY, Cowey CB, Watanabe R. 1985. Finfish Nutrition in Asia Methodological Approaches Research Center Ottawa 154 pp.
Choct Met al.1996. Increased small intestinal fermentation is partly responsible for the anti nutritive activity of non starch polysaccharides in chickens. Br Poult Sci37:609–621.
Chong et al. 1999. Physical and chemical characteristics of Malaysian palm kernel cake (PKC) Proc.20thMSAP Conf.27-28 July.Putrajaya. Malaysia
Sci Food Agric59:151–160.
Daud MJ. 1995. Technical innovation in the utilization of local feed resources for more efficient animal production. Proceeding, 17th Annual. Conference.
Kuala Lumpur, Malaysia
[Ditjenbun] Direktorat Jendral Perkebunan. 2010. Komoditi Perkebunan; Kelapa Sawit. [terhubung berkala] http://database.go.id/bdsp/newkom.asp [1 Januari 2010].
De Silva SS, Anderson TA. 1995. Fish nutrition in aquaculture. London: Chapman & Hall.
Fitriliyani I.2010. Peningkatan kualitas nutrisi tepung daun lamtoro dengan penambahan ekstrak enzim cairan rumen domba untuk pakan ikan nila
Oreochromis sp.[disertasi]. Bogor. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Frazier WC, and Westhoff DC. 1978. Food Microbiology. New Delhi : McGraw Hill Book Publ. Co.
Furuichi M. 1988. Fish Nutrition. P. 1-78. In Fish Nutrition and Mariculture. JICA Text book. The General Aquaculture Course. T. Watanabe (Ed). Departement of Aquatic Bioscience, Tokyo University of Fisheries.
Gandjar I, Sjamsuridzal W, Oetari A. 2006. Mikologi Dasar dan Terapan. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.
Ginting SP, Krisnan R. 2006. Pengaruh fermentasi menggunakan beberapa strain
Trichoderma dan masa inkubasi berbeda terhadap komposisi kimiawi bungkil inti sawit. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner Hal 939:944.
Guillaume J, Kaushik S, Bergot P, Metailler. 1999. Nutrition and Feeding of Fish and Crustaceans. Springer-Praxia Book in Aquaculture and Fisheries. Chichester. UK.
Hadadi Aet al. 2007. Pemanfaatan limbah sawit untuk bahan pakan ikan.Jurnal Budidaya Air TawarVol 4: 1 Mei 2007 (11-18).
Hamelinck et al. 2005. Ethanol from lignocellulosic biomass: techno-economic performance in short-, middle- and long-term. Biomass and Bioenergy, Vol. 28, pp. 384-410.
Hardjo SS, Indrasti NS, Tajuddin B. 1989. Biokonversi : Pemanfaatan Limbah Industri Pertanian. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. IPB.
Harman GE. 2006. Trichoderma spp., including T. harzianum, T. viridae, T.koningii, T.hamatum and other spp. Deuteromycetes, Moniliales ( asexualclassification system).http://www.nysaes.cornell.edu/ent/biocontrol / pathogens/Trichoderma.html.
Handoko H. 2010. Isolasi dan karakterisasi enzim pendegradasi serat peningkat kualitas bungkil inti sawit untuk pakan ayam pedaging [tesis]. Bogor. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Howard RL, Masoko P, Abotsi E. 2003. Enzyme activity of Phanerochaete chrysosporium cellobiohydrolase (CBHI.1) expressed as a heterologous protein fromEscherichia coli.African J. Botechnol.2(9): 296-300.
Iluyemi FB, Hanafi MM, Radziah O, Kamarudin MS. 2005. Fungal solid state culture of palm kernel cake.J. Biortech 97: 477-482.
Iyayi EA, Aderolu ZA. 2004. Enhancement of the feeding value of some agroindustrial by products for laying hens after their solid state fermentation withTrichoderma viride.African J Biotechnol3:182–185.
Jaelani A, Firahmi N, 2007. Kualitas sifat fisik dan kandungan nutrisi bungkil inti sawit dari berbagai proses pengolahan crude palm oil (CPO). Al ‘Ulum
Vol.33 No.3 Halaman 1-7.
Jaelani A. 2007. Peningkatan kualitas bungkil inti sawit oleh kapangTrichoderma reeseisebagai pendegradasi polisakarida mannan dan pengaruhnya terhadap penampilan ayam pedaging [disertasi]. Bogor. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Jaelani A, Piliang WG, Suryahadi, Rahayu I. 2008 Hidrolisis bungkil inti sawit (Elaeis guineensis Jacq) oleh kapang Trichoderma reesei sebagai pendegradasi polisakarida mannan.Animal ProductionVol 10:1 Hlm 42-49.
Juhasz T, Kozma K, Zsolt S, Reczey K. 2003. Production of β-glucosidase in mixed culture of Aspergillus niger BJMF 1305 and Trichoderma reesei
RUT C30.J. Food Tehnol Biotechnol41: 49-53.
Kim DW, Jeong YH, Jang JK, Lee. 1994. Purification and chararaterization of endoglucanase and exoglucanase component from Trichoderma viridae.
J.Ferment. Bioeng.77 (4):363-369.
Kirchgessener M, Kurzinger H, Schwartz FJ. 1986. Digestibility of crude nutrients in different feedsand estimation of their energy contents for carp (Cyprinus carpio L)Aquaculture58:185-194.
Lim HA, Ng WK, Lim SL, Ibrahim CO. 2001.Contamination of palm kernel meal with Aspergillus flavus affects its nutritive value in pelleted feed for tilapia
Oreochromis mossambicus.Aquaculture Research32:895-905.
Maynard LA, Loosli JK, Hintz HF, Warner RG. 1979.Animal Nutrition.Seventh Edition McGraw-Hill Book Company. New Delhi 602 pp.
Muchtadi D, Palupi NS, Astawan M. 1992. Enzim Dalam Industri Pangan. PAU IPB Bogor.
Murni et al. 2008. Metode Pengolahan Limbah untuk Pakan Ternak. Laboratorium Makanan Ternak Fakultas Peternakan. Universitas Jambi
Nagai S. 1979. Control of Solid State Cultivation, Proc. GIAM-V Bangkok. (NRC) National Research Council. 1983. Nutrient Requirements of Warm Water
Fishes and Shellfish. Reved Edition. National Academy Press, Washington D.C.
(NRC) National Research Council. 1993.Nutrient Requirements Of Fish. National Academy Press,Washington, D.C.
Parrakasi. 1990. Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Monogastrik. Angkasa. Bandung.
Perez et al. 2002. Biodegradation and biological treatments of cellulose, hemicelluloses and lignin: overview.Int Microbiol.5:53-63.
Piliang W, Djojosoebagio SA. 2006. Fisiologi Nutrisi Volume I. IPB Press Jakarta.
Samingan. 2009. Suksesi fungi dan dekomposisi serasah daun Acacia mangium
Willd dalam kaitan dengan keberadaan Ganoderma dan Trichoderma di lantai hutan akasia (disertasi). Bogor. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Sayed EA. 1999. Alternative dietary protein sources for farmed tilapia
Oeochromisspp.Aquaculture179 : 149-168.
Simanjuntak SDD. 1998. PenggunaanAspergillus nigeruntuk meningkatkan nilai gizi bungkil inti sawit dalam ransum broiler [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Sinurat AP. 2003. Pemanfaatan lumpur sawit untuk bahan pakan unggas.
Wartazoa13:39–47.
Siregar Z. 1995. Pengaruh suplementasi enzim selulosa pada ransum yang mengandung bungkil inti sawit terhadap penampilan ayam pedaging strain bromo. [Tesis ]. Malang . Program Pascasarjana Universitas Brawijaya.
Schmidt O. 2006. Wood and Free Fungi : Biology, Damage, Protection and Use . Hamburg: Springer.
Sjofjan O , Aulanni’am, Irfan D, Surisdiarto. 2001. Perubahan kandungan bahan
Shurtleff W and Aoyagi A. 1979. The Book of Tempeh: A Soy Food from Indonesia. New York: Harper and Row
Steel RGD, Torrie JH. 1995. Prinsip dan Prosedur Statistika: Suatu Pendekatan Biometrik. Sumantri B, penerjemah; Jakarta: Gramedia Pustaka Utama Cetakan ke-4. Terjemahan dari:Principles and Procedures of Statistics.
Sumanti DM, Tjahjadi C, Herudiyanto M, Sukarti T. 2005. Mekanisme produksi minyak sel tunggal dengan sistem fermentasi padat pada media onggok-ampas tahu dengan menggunakan kapang Aspergillus terreus . J. Teknologi dan Industri PanganVol XVI, No.1 Tahun 2.
Sundu B, Kumar A, Dingle JG. 2004. Perbandingan dua produk enzim komersial pencerna beta mannan pada ayam pedaging yang mengkonsumsi bungkil kelapa sawit dengan level yang berbeda. Prosiding Seminar Nasional Pemanfaatan Sumber Daya Hayati Berkelanjutan. Hlm:19–25. Palu:Tadulako Univ Pr.
Sutardi, 1997. Landasan Ilmu Nutrisi. Departemen Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak. Fakultas Peternakan IPB. Bogor.
Takeuchi T. 1988. Laboratory work-chemical evaluation of dietary nutrients, p. 179-233. In Watanabe T. (ed): Fish Nutrition and Mariculture. Tokyo. Departement of Aquatic Biosciences Tokyo Univercity of Fisheries. JICA.
Tillman AD, Hartadi H, Reksohadiprodjo S, Lebdosukodjo S. 1998. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Yogjakarta : Gajah Mada University Press.
Tjiptadi W, Sutamiharja RTM. 1985. Pemanfaatan Limbah Padat IndustriTapioka
Sebagai Bahan Makanan Manusia. Laporan Riset Unggulan Terpadu II/1984. FATETA, IPB. Bogor.
Van Soest PJ, Robertson JB, Lewis BA. 1991.Methods for dietary fiber and non-starch polysaccharides in relation to animal nutrition. J. Dairy Sci. 74:3583-3597.
Wanasuria S, 2008. Seberapa Penting Bungkil Inti Sawit Dalam Pakan. http://www.Feed Indonesia.net/index.php/palm Kernel Cake (diakses pada tanggal 16 Juli 2009)
Watanabe T. 1988. Fish Nutrition and Mariculture, JICA Text Book. The General Aquaculture Course. Departement of Aquatic Bioscience. Tokyo University of Fisheries. Tokyo.
Wizna, H. Abbas, Y. Rizal, A. Dharma & I. P. Kompiang. 2007. Selection and identifi cation of cellulase-producing bacteria isolated from the litter of mountain and swampy forest.J. Microbiology Indonesia1: 135-139.
Zahari W, Alimon AR. 2004. Use of palm kernel cake and oil palm by products in compound feed.Palm Oil Dev40:5–9.
Lampiran 1. Prosedur Analisa Proksimat Pakan dan Feses
1. Analisa Kadar Air (Takeuchi 1988).
1. Cawan dipanaskan pada suhu 105° C selama 3 jam
2. Bahan seberat A gram dimasukkan ke dalam cawan dan ditimbang (X
gram)
3. Cawan yang sudah berisi bahan dimasukkan dalam oven pada suhu 105°
C selama 3 jam, kemudian didinginkan dalam eksikator selama minimal
30 menit dan ditimbang (Y gram)
4. Prosedur no.3 diulangi, jika sudah tidak ada perubahan bobot pakan maka
pengukuran selesai
5. Persentase (%) kadar air :
[
(X-Y) / A]
x 100%2. Analisa Kadar Abu (Takeuchi 1988).
1. Cawan porselen dipanaskan dengan muffle furnace pada suhu 600° C
selama 1 jam, kemudian dibiarkan sampai suhu muffle furnace turun
menjadi 110° C. selanjutnya, cawan porselen dikeluarkan dan didinginkan
dalam eksikator selama 30 menit atau lebih. Setelah dingin, cawan
ditimbang (A gram)
2. Sampel dimasukkan kemudian ditimbang (B gram) dengan ketelitian 4
desimal
3. Kemudian dianaskan kembali dalam muffle furnace pada suhu 600° C
selama 24 jam
4. Cawan porselen dikeluarkan lalu didinginkan dalam eksikator selama 30
menit, kemudian timbang (C gram)