• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV METODE PENELITIAN

4.7 Analisa Data

Analisa data di lakukan setelah semua data terkumpul melalui beberapa tahap dimulai dengan editing untuk memeriksa kelengkapan identitas dan data responden serta memastikan bahwa semua jawaban telah di isi,kemudian data yang sesuai diberi kode.koding untuk memudahkan penelitian dalam melakukan tabulasi dan analisa data yang telah dikumpulkan. Selanjutnya memasukan Entry data ke dalam computer. Data demografi akan ditampilkan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi dan persentasi. Hasil analisa data juga disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi dan presentasi, yang bertujuan untuk Mengidentifikasi Hubungan Pengetahuan Perawat Tentang Perilaku Asertif Dengan Tingkat Stres Kerja Perawat di RSJD Provsu Medan. Untuk menguji ada tidaknya hubungan antara kedua variabel digunakan Uji chi square. Uji chi square dapat digunakan untuk menganalisis hasil untuk mengetahui apakah terdapat hubungan yang signifikan pada penelitian dengan tingkat kemaknaan a = 0,05. Hasil yang diperoleh pada analisis chi square dengan menggunakan program SPSS yaitu nilai p value, kemudian dibandingkan dengan a = 0,05 apabila nilai p < dari a = 0,05 maka ada hubungan antara dua variabel tersebut (signifikan) dan jika p > a maka tidak ada hubungan antara kedua variabel (tidak signifikan) (Aziz, 2009).

BAB V

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

5.1 Hasil Penelitian

Dalam bab ini diuraikan hasil penelitian dan pembahasan penelitian mengenai karakteristik responden dan hubungan pengetahuan perawat tentang perilaku asertif dengan tingkat stres kerja perawat di RSJD Provsu Medan dengan jumlah sampel sebanyak 30 orang.

5.1.1. Karakteristik Responden

Berdasarkan Tabel 5.1 dibawah ini menunjukkan bahwa sebagian besar perawat berjenis kelamin perempuan sebanyak 20 responden (66,6%), sebagian besar berumur 25-30 tahun sebanyak 10 responden (33,3%) dan berumur 37-42 tahun sebanyak 10 responden (33,3%), sebagian besar beragama Islam sebanyak 16 responden (53,3%), sebagian besar adalah suku Batak sebanyak 10 responden (33,3%), sebagian besar perawat berpendidikan D3 Keperawatan sebanyak 18 responden (60%), dengan lama kerja mayoritas >5 tahun sebanyak responden (50%).

Tabel 5.1 Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Sumatera Utara Tahun 2012. (n = 30)

Karakteristik Frekuensi Persentase(%) Jenis Kelamin Laki-laki 10 33,3 Perempuan 20 66,6 Umur 25-30 10 33,3 31-36 37-42 43-48 49-54 6 10 2 2 20 33,3 6,7 6,7 Agama Islam Kristen Katolik Kristen Protestan 16 7 7 53,3 23,3 23,3 Suku Batak Karo Jawa Lain-lain 10 7 8 5 33.3 23.3 26,7 16,7 Pendidikan D3 S1 18 12 60 40 Lama Kerja <1 Tahun 1-5 Tahun > 5 Tahun 1 14 15 3,3 46,7 50

5.1.2 Pengetahuan Perawat Tentang Perilaku Asertif

Berdasarkan Tabel 5.2 dibawah ini menunjukkan bahwa mayoritas perawat memiliki pengetahuan tentang perilaku asertif dalam kategori cukup yakni sebanyak 15 orang (50%).

Tabel 5.2 Distribusi Frekuensi Pengetahuan Perawat tentang Perilaku Asertif di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Sumatera Utara Tahun 2012. (n=30)

5.1.3 Stres Kerja Perawat

Berdasarkan tabel 5.3 dibawah ini menunjukkan bahwa tingkat stres kerja pada perawat di RSJD Provsu mayoritas dalam kategori sedang yakni sebanyak 18 orang (60%).

Tabel 5.3 Distribusi Frekuensi Tingkat Stres Kerja Perawat di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Sumatera Utara Tahun 2012.(n=30)

Pengetahuan Perawat

tentang Perilaku Asertif Frekuensi Persentase(%)

Baik 6 20

Cukup 15 50

Rendah 9 30

Stres Kerja Perawat Frekuensi Persentase(%)

Tinggi 5 16,7

Sedang 18 60

5.1.4 Hubungan Pengetahuan Perawat tentang Perilaku Asertif dengan Tingkat Stres Kerja Perawat

Tabel 5.4 Hubungan Pengetahuan Perawat Tentang Perilaku Asertif Dengan Tingkat Stres Kerja Perawat di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Sumatera Utara Tahun 2012. (n=30)

Hasil analisis hubungan antara pengetahuan perawat tentang perilaku asertif dengan tingkat stres kerja perawat diperoleh bahwa perawat berpengetahuan asertif yang cukup mengalami tingkat stres kerja yang sedang sebanyak 9 orang (60%) sedangkan perawat yang berpengetahuan asertif yang rendah mengalami tingkat stres kerja yang tinggi sebanyak 4 orang (44,5%). Hasil uji statistik diperoleh nilai ? = 0,03 maka dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan stres kerja pada perawat berpengetahuan asertif yang baik dengan yang berpengetahuan asertif yang rendah (ada hubungan yang signifikan antara pengetahuan perawat tentang perilaku asertif dengan tingkat stres kerja perawat).

Pengetahuan perawat tentang

perilaku asertif

Stres kerja perawat

Total

P value Rendah Sedang Tinggi

n % n % n % N % Baik 1 16,6 4 66,7 1 16,6 6 100 0,03 Cukup 6 40 9 60 0 0 15 100 Rendah 0 0 5 55,5 4 44,5 9 100 Jumlah 7 23,3 18 60 5 16.6 30 100

5.2. Pembahasan

5.2.1 Pengetahuan Perawat Tentang Perilaku Asertif Di RSJD Provsu

Dalam penelitian ini pengetahuan perawat tentang perilaku asertif adalah semua pemahaman perawat tentang perilaku asertif yang meliputi pendekatan dalam membangun asertif, unsur-unsur perilaku asertif, keterampilan bersikap asertif, ciri-ciri perawat asertif, teknik-teknik bertindak asertif dan kategori perilaku asertif.

Hasil penelitian tentang pengetahuan perawat tentang perilaku asertif menunjukkan bahwa mayoritas pengetahuan perawat tentang perilaku asertif termasuk dalam kategori cukup sebanyak 15 orang (50%), 6 orang (20%) dengan pengetahuan asertif yang baik dan 9 orang (30%) berpengetahuan asertif yang rendah.

Pengetahuan perawat tentang perilaku asertif termasuk kategori cukup karena responden pada umumnya memiliki pemahaman bahwa perilaku asertif merupakan perilaku yang positif misalnya sabar, ramah kepada pasien dan sesama perawat, suka membantu teman, dan mempunyai sifat yang kooperatif. Berdasarkan kuesioner yang telah dibagikan pada responden diketahui bahwa responden mau menerima dan menghargai tema n mereka, merespon keluhan sesama perawat dan pasien, mengungkapkan pendapat mereka secara jujur serta mampu membangun kerjasama antar sesama perawat. Namun sebagian dari responden tidak dapat mengungkapkan pendapat mereka secara jujur karena takut

mengecewakan orang lain sehingga dirinya tidak diterima diantara teman-temannya.

Berdasarkan wawancara peneliti dengan para responden, perawat di RSJD Provsu masih belum memiliki pemahaman yang baik tentang asertif karena mereka beranggapan bahwa perilaku asertif bertujuan untuk membuat orang lain senang, misalnya mereka tidak menolak ketika teman meminta tolong walau hal itu bertentangan dengan keinginan mereka. Hal ini merupakan pemahaman yang salah, karena asertif merupakan suatu kejujuran dan usaha untuk melakukan hal yang terbaik yang dapat kita lakukan dan tujuannya bukan untuk menyenangkan orang lain.

Hal ini sejalan dengan pendapat Pratanti (2007), bahwa kebanyakan orang tidak mau bersikap asertif karena ada rasa takut mengecewakan orang lain, takut jika akhirnya dirinya tidak disukai atau diterima. Selain itu alasan untuk mempertahankan kelangsungan hubungan juga sering menjadi alasan karena salah satu pihak tidak ingin membuat pihak lain sakit hati. Padahal, dengan membiarkan diri untuk bersikap tidak asertif justru akan mengancam hubungan yang ada karena salah satu pihak kemudian akan merasa dimanfaatkan oleh pihak lain.

Perawat di RSJD Provsu sebagian besar berjenis kelamin perempuan. Jenis kelamin juga menentukan perilaku asertif dimana perawat perempuan lebih memilih diam jika menghadapi suatu konflik baik itu yang datang dari sesama perawat, dokter maupun pasien dengan alasan bahwa itu suatu bentuk kesopanan.

Hal ini juga dilatar belakangi oleh tingkat pendidikan, perawat yang bekerja di RSJD Provsu sebagian besar adalah tamatan D3 keperawatan. Pengetahuan mereka tentang perilaku asertif masih belum baik, hal ini disebabkan karena mereka merupakan perawat vokasional yang lebih menjurus kepada praktek. Pendidikan mempunyai andil yang cukup besar terhadap pembentukan perilaku, khususnya perilaku asertif. Pendidikan mempunyai tujuan untuk menghasilkan individu yang mudah menerima dan menyesuaikan diri terhadap lingkungan kerja, lebih mampu untuk mengungkapkan pendapatnya, memiliki rasa tanggung jawab dan lebih berorientasi ke pendapatnya.

Hal ini sejalan dengan penelitian Muing A. (2012) di RSUD Labuang Baji Makassar yang menyatakan bahwa Perawat belum semuanya bersikap asertif dalam pelayanan keperawatan. Hal ini disebabkan oleh latar belakang pend idikan perawat yang mayoritas berpendidikan D3 keperawatan sebanyak 96,7 %.

Hal ini juga berkaitan dengan lama kerja perawat tersebut di rumah sakit. Pengalaman dalam menghadapi pasien dan teman sekerja akan mempengaruhi perilaku asertif seorang perawat. Rata-rata perawat di RSJD Provsu telah bekerja > 5 tahun, Pengalaman belajar dalam bekerja yang dikembangkan memberikan pengetahuan dan keteramp ilan dalam berperilaku asertif terhadap pasien dan sesama perawat.

Hal ini sesuai dengan pendapat Notoadmojo (2003) yang menyatakan bahwa tingkat pengetahuan seseorang yang bervariasi dapat

dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain pendidikan, usia, jenis kelamin dan pengalaman kerja.

5.2.2 Tingkat Stres Kerja Perawat Di RSJD Provsu

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa sebagian besar responden dikategorikan dalam tingkat stres kerja sedang yakni sebanyak 18 orang (60%), tingkat stres yang rendah sebanyak 7 orang (23,3%) dan 5 orang (16,7%) responden mengalami stres dalam kategori tinggi . Hal ini menunjukkan bahwa perawat di RSJD Provsu telah menyesuaikan diri dengan situasi kerja dan memahami apa yang menjadi penyebab dari stres kerja mereka sebagai seorang perawat sehingga stres kerja yang mereka alami menurun.

Menurut Hans Selye dalam Sunaryo (2002) stres merupakan respon tubuh yang sifatnya nonspesifik terhadap setiap tuntutan beban yang ada dalam dirinya. Misalnya bagaimana respon tubuh perawat ketika mengalami beban pekerjaan yang berlebihan. Bila perawat sanggup mengatasinya artinya tidak ada gangguan pada fungsi organ tubuh, maka perawat tidak mengalami stress. Namun jika perawat mengalami gangguan pada fungsi organ tubuh sehingga tidak dapat menjalankan pekerjaannya dengan baik maka ia mengalami stress.

Abraham C. dan Shanley F. (1997) menyatakan bahwa sumber stres dalam keperawatan meliputi beban kerja berlebihan, kesulitan menjalin hubungan dengan staf yang lain, kesulitan terlibat dalam merawat pasien

kritis, berurusan dengan pengobatan/perawatan pasien dan merawat pasien yang gagal untuk membaik.

Berdasarkan wawancara dan kuesioner yang telah dibagikan kepada responden beban kerja yang dialami perawat di RSJD Provsu tergolong sedang, hal ini disebabkan pasien yang dirawat sebagian telah mampu beraktivitas seperti biasa dan membantu perawat dalam mengawasi serta merawat pasien yang masih belum mampu seperti membersihkan ruangan, memandikan pasien, memberi makan dan obat pada pasien. Pembagian shift kerja disesuaikan dengan proporsi kerja dimana shift pagi lebih banyak perawat jaganya karena jumlah kerja lebih banyak di pagi hari daripada sore dan malam hari.

Waktu yang tersisa setelah melaksanakan tugasnya dalam merawat pasien digunakan untuk mendokumentasikan asuhan keperawatan yang diberikan kepada pasien, bercakap-cakap dengan pasien atau sesama perawat. Namun banyaknya waktu luang diantara jam kerja dan melakukan kegiatan yang sama setiap hari membuat perawat merasa jenuh bekerja, perawat bosan untuk bekerja yang menyebabkan potensi perawat merasakan keletihan.

Perbedaan beban kerja memberikan gambaran terhadap terjadinya stres kerja yang berbeda dimana setiap individu memiliki batasan ukuran kemampuan dalam bekerja, bila beban terlalu ringan maka timbul kebosanan dan bila terlalu berat akan menimbulkan kelelahan yang berpengaruh terhadap stres kerja. Menurut penelitian yang dilakukan

Supardi (2007) di RS Putri Hijau Kesdam Medan menunjukkan bahwa perawat dengan beban kerja yang sedang mengalami stres kerja yang disebabkan oleh kebosanan, kondisi kerja yang kurang baik dan ketidakpuasan.

Hal ini tidak sejalan dengan penelitian Chusna (2010) di RSU Islam Surakarta yang menyatakan bahwa perawat mengalami tingkat stres kerja yang tinggi. Peningkatan beban kerja yang dialami oleh perawat dalam memberikan pelayanan menimbulkan stres yang menyebabkan kondisi perawat menjadi tidak stabil. Dari hasil analisis data terdapat hubungan yang signifikan antara beban kerja dengan stres kerja. Hal ini membuktikan bahwa beban kerja yang berlebihan pada perawat dapat menyebabkan timbulnya stres kerja yang dialami oleh perawat.

Konflik yang mereka alami antara sesama perawat jarang terjadi karena mereka telah mengetahui perannya masing- masing . Mereka tidak kesulitan dalam berinteraksi dengan staf yang lain misalnya dokter, bagian obat-obatan. Hal ini juga dipengaruhi lama kerja perawat di RSJD Provsu mayoritas <5 tahun (50%), hal ini memberikan pengaruh terhadap kematangan pengalaman perawat di ruangan baik dalam merawat pasien maupun berkomunikasi dengan sesama perawat, perawat dengan sendirinya telah menyesuaikan diri dengan sifat dan macam pekerjaan yang harus dilakukan, lama kerja setiap hari, penyesuaian dengan teman sejawat dan para pimpinan, dengan lingkungan pekerjaan dan peraturan yang berlaku.

Namun sebagian responden yakni 5 orang (16,7%) mengalami stres kerja yang tinggi, hal ini disebabkan perawat masih belum bisa menyesuaikan dirinya dengan lingkungan kerja dan kurang berinteraksi dengan perawat yang lain, hal ini biasanya dialami perawat yang masih baru kerja di RSJD Provsu, mereka masih canggung untuk berkomunikasi dengan perawat yang telah lama bekerja disana. Perawat merasa bosan dengan pekerjaan mereka yang menurut mereka terus berulang setiap hari dan merasa tidak mampu memberi dukungan yang dibutuhkan teman sekerjanya serta tidak mampu merawat pasien dengan baik. Bahkan ada yang mengalami konflik dengan sesama perawat yang lain dan tidak bisa berkomunikasi dengan baik kepada pasien hal ini semua menyebabkan mereka mengalami stres kerja

Hal ini sejalan dengan penelitian Andreas K (2008) terhadap perawat di RS tipe C Semarang yang menyatakan bahwa komunikasi yang kurang antara sesama perawat menjadi faktor pemicu stres yang dialami perawat di tempat kerja. Selain itu, kemampuan individu dalam mengambil sikap di tempat kerja memberi pengaruh yang cukup besar sebagai penyebab stres kerjsa.

Hal ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan Ade (2010) di Rumah Sakit Jiwa Menur Surabaya yang mengatakan bahwa perawat di Rumah Sakit Jiwa Menur Surabaya mengalami stres kerja yang tinggi. Hal ini disebabkan oleh lingkungan kerja yang tidak kondusif, beban kerja yang berlebihan dan ancaman di lingkungan kerja.

5.2.3 Hubungan Pengetahuan Perawat Tentang Perilaku Asertif Dengan Tingkat Stres Kerja Perawat Di RSJD Provsu

Berdasarkan hasil analisa statistik yang diperoleh menunjukkan bahwa ada hubungan antara pengetahuan perawat tentang perilaku asertif dengan tingkat stres kerja perawat di RSJD Provsu. Dari analisa statistik diperoleh nilai signifikan p = 0,03. Nilai ini lebih kecil dari nilai signifikan a = 0,05 sehingga dapat disimpulkan bahwa hipotesa diterima artinya bahwa adanya hubungan antara pengetahuan perawat tentang perilaku asertif dengan tingkat stres kerja perawat di RSJD Provsu dapat diterima. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Kristianingsih (2008) menunjukkan adanya hubungan yang berkorelasi negatif antara stres kerja dengan perilaku asertif yaitu semakin seorang perawat berperilaku asertif maka stres kerjanya akan semakin rendah. Perawat yang mengalami stres kerja disebabkan oleh lingkungan kerja yang tidak mendukung, komunikasi antara sesama staf tidak terjalin dengan baik dan beban kerja yang berlebihan. Untuk itu perawat harus beradaptasi dengan lingkungan dimana dia bekerja, lebih terbuka dengan staf yang lain sehingga komunikasi bisa terjalin dengan baik dan menerima tanggung jawab dan perannya dengan baik.

Perawat berpengetahuan asertif yang baik mengalami penurunan stres kerja karena perawat mampu menghargai dan menerima tugas dan tanggung jawabnya sebagai perawat baik diantara sesama perawat ataupun

pasien. Perawat mampu mengungkapkan pendapatnya secara langsung dan bersikap tegas dalam menghadapi pasien dan sesama perawat.

Pengetahuan perawat tentang perilaku asertif berhubungan dengan tingkat stres kerja perawat di tandai dengan perawat yang memiliki pemahaman tentang perilaku asertif misalnya sabar, ramah kepada pasien dan sesama perawat, suka membantu teman, menghargai sesama staf dan menerima tanggung jawabnya masing- masing seperti merawat pasien, memandikan pasien, memberi makan dan obat kepada pasien mampu untuk beradaptasi dengan situasi kerja, mampu mengungkapkan pendapatnya dan mampu berinteraksi dengan sesama perawat dan pasien. Hal ini dapat menurunkan stres kerja yang dialami perawat selama bekerja.

Perawat berpengetahuan asertif yang rendah cenderung mengalami tingkat stres yang tinggi, hal ini disebabkan perawat masih belum mampu mengeluarkan pendapatnya dan terus memendamnya karena takut dirinya tidak diterima diantara teman-temannya sehingga hal ini memicu munculnya stres kerja. Selain itu kemampuan berinteraksi dengan lingkungan kerja juga kurang, merasa bosan dengan pekerjaan mereka yang menurut mereka terus berulang setiap hari.

Hal ini sejalan dengan penelitian Putri (2012) yang menyatakan bahwa ada hubungan negatif yang sangat signifikan antara kecerdasan emosi dengan stres kerja pada perawat ICU dan perawat IGD. Seorang perawat yang memiliki pengetahuan yang baik dapat mengatasi tuntutan

dan tekanan lingkungan (lingkungan pekerjaannya), mereka akan tetap tenang walaupun berada dibawah tekanan dan mampu bekerja dengan baik.

Namun berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa ada perawat yang berpengetahuan asertif yang baik memiliki stres kerja ya ng tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa tinggi rendahnya stres kerja tidak hanya dipengaruhi oleh perilaku asertif seorang perawat, tetapi lama bekerja perawat < 5 tahun yang merasa bosan dengan pekerjaannya misalnya melakukan pendokumentasian keperawatan pada pasien gangguan jiwa yang dilakukan secara berulang- ulang, melakukan intervensi keperawatan pada pasien gangguan jiwa setiap hari secara rutin dan kondisi psikologis individu yang mengalami stres kerja serta cara pandang perawat tersebut dalam menangani stres yang dialaminya.

Hal ini sejalan dengan Rasmun (2004) yang mengatakan bahwa cara pandang perawat dalam melihat situasi kerja akan menentukan besarnya stres yang dialami perawat. Stres pada tingkat tertentu bertindak sebagai stimulus atau dorongan untuk bertindak, namun ketika stres meningkat sampai pada fase kelelahan maka prestasi kerja dapat menurun secara dratis.

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

Sesuai dengan tujuan penelitian sebelumnya telah disebutkan dalam BAB 1, maka kesimpulan dari penelitian ini menjawab dari tujuan penelitian yang telah ditentukan. Hasil yang diperoleh dari penelitian Hubungan Pengetahuan Perawat Tentang Perilaku Asertif Dengan Tingkat Stres Kerja Perawat di RSJD Provsu ini adalah sebagai berikut :

1. Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa sebagian besar perawat di RSJD Provsu memiliki pengetahuan tentang perilaku asertif dalam kategori cukup (n= 15, 50%).

2. Berdasarkan hasil penelitian didapatkan hasil bahwa sebagian besar perawat di RSJD Provsu mengalami tingkat stres kerja dalam kategori sedang (n=18, 60%).

3. Dari hasil uji analisa statistik didapat hasil bahwa ada hubungan yang signifikan antara pengetahuan perawat tentang perilaku asertif dengan tingkat stres kerja perawat di RSJD Provsu (p value = 0,03).

Berdasarkan hasil tersebut dapat diambil kesimpulan penelitian yaitu semakin baik pengetahuan perawat tentang perilaku asertif maka tingkat stres kerja yang dialami perawat menurun.

6.2 Saran

6.2.1 Praktek Keperawatan

Rumah sakit sebaiknya mempertimbangkan pelatihan asertif dalam pengembangan staf dan kualitas keperawatan. Meskipun pelatihan asertif bukan hal yang bersifat urgent namun pelatihan ini bisa diadakan mengingat manfaat asertif merupakan strategi dalam upaya menurunkan stres kerja yang dialami perawat. Selain itu, diharapkan perawat dapat mengembangkan kerjasama yang positif dan terpadu melalui tolong menolong dan keterbukaan antar sesama perawat.

6.2.2 Pendidikan Keperawatan

Sebagai rekomendasi untuk peserta didik keperawatan sebaiknya mengakses pengetahuan tentang perilaku asertif serta berlatih berperilaku asertif. Diharapkan institusi pendidikan dapat memberikan kontribusi seperti seminar dan pelatihan berperilaku asertif kepada peserta didik sehingga tingkat stres kerja yang dialami perawat dapat diturunkan.

6.2.3. Penelitian

Sebagai rekomendasi untuk peneliti berikutnya yang ingin membahas asertif dan stres kerja sebaiknya menggunakan instrumen standar seperti Rathus Assertiveness Scale (RAS) dan Depression Anxiety Stress Scale (DASS) serta memilih sampel yang lebih homogen agar hasilnya lebih representatif. Selain itu, dapat diadakan penelitian

lebih lanjut tentang pengaruh perilaku asertif terhadap tingkat stres kerja perawat.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Perilaku

Menurut Skinner seorang ahli psikologi merumuskan bahwa perilaku merupakan respons atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar). Oleh karena perilaku ini terjadi melalui proses adanya stimulus terhadap organisme dan kemudian organisme merespon (Notoadmojo, 2003).

Berdasarkan teori Skinner maka perilaku dibedakan menjadi dua, yaitu : a. Perilaku tertutup (covert behaviour)

Respons seseorang terhadap stimulus dalam bentuk terselubung atau tertutup(covert). Respons atau reaksi terhadap stimulus ini masih terbatas pada perhatian, persepsi, pengetahuan, dan sikap yang terjadi pada orang yang menerima stimulus tersebut dan belum diamati secara jelas oleh orang lain.

b. Perilaku terbuka (overt behavior)

Respons seseorang terhadap stimulus dalam bentuk tindakan nyata atau terbuka.Respons terhadap stimulus tersebut sudah jelas dalam bentuk tindakan atau praktek yang dengan mudah dapat diamati atau dilihat oleh orang lain.

Perilaku Asertif

Keasertifan diri didefenisikan sebagai suatu kemampuan untuk berkeinginan kuat merasa nyaman dengan pikiran, perasaan dan tindakan kita, tidak menghambat juga tidak membuat tindakan yang agresif, untuk memperbaiki diri sendiri di dalam lingkungan. Keasertifan diri telah menjadi fokus utama dalam mengubah perilaku yang berkaitan dengan stres. Keasertifan adalah salah satu dari tiga gaya umum perilaku manusia, yang terletak diantara perilaku pasif dan perilaku agresif (National Safety Council, 2003).

Perilaku asertif adalah kemampuan untuk mengemukakan pikiran, perasaan, pendapat secara langsung, jujur dan dengan cara yang tepat dan sesuai dalam penyampaiannya yaitu tidak menyakiti atau merugikan diri sendiri maupun orang lain. Beberapa aspek dari perilaku asertif, yaitu berusaha mencapai tujuan, kemampuan mengungkapkan perasaan, menyapa atau memberi salam kepada orang lain, menampilkan cara yang efektif dan jujur, menanyakan alasan, berbicara mengenai diri sendiri, menghargai pujian dari orang lain, penolakan, menatap lawan bicara, dan respon melawan rasa takut (Retnaningsih, 2007).

2.1.2 Pendekatan dalam Membangun Perilaku Asertif

Dalam membangun assertivitas terdapat beberapa pendekatan yang dapat ditempuh. Salah satunya adalah Formula 3 A, yang terangkai dari tiga kata Appreciation, Acceptance, Accommodating.

Appreciation berarti menunjukkan penghargaan terhadap kehadiran orang lain, dan tetap memberikan perhatian sampai pada batas-batas tertentu

atas apa yang terjadi pada diri mereka. Mereka pun seperti kita, tetap membutuhkan perhatian orang lain. Dengan demikian, agar mereka mau memperhatikan, memahami, dan menghargai diri kita, maka sebaiknya kita

Dokumen terkait