1. Dedikasi Personal
Dedikasi personal menggambarkan keinginan individu untuk bersama dengan satu pasangan; keinginan seorang individu untuk mempertahankan atau meningkatkan kualitas hubungannya untuk kepentingan bersama. Dedikasi personal ini mencakup memiliki pandangan jangka panjang terhadap hubungan, menjadikan hubungan tersebut sebagai prioritas, dan berkorban untuk pasangan atau kebaikan hubungan.
“Sekarang sih (hubungan partisipan dengan pasangan) lagi baik-baik saja. P1 W1 12”
“Ya pernah sih (berpikir rencana hubungannya ke depan), kita sudah ada komitmen mau jalin hubungan lebih serius. (P1 W1 20-21)”
“Pernah, pernah (membicarakan soal pernikahan). Itu ngomongnya juga
waktu sedang di rumah sana. Pas lagi di tempat asalnya. Jadi ada mamanya,
ada papanya. (P1 W1 66-69)”
“Pokoknya udah, udah yang mikir ke masa depan. (P1 W1 74-75)”
“Aku jadi jarang main sama anak-anak kampus. Jadi jarang punya temen pokoknya. Sehari-harinya sama dia gitu. (P1 W1 123-126)”
“Pokoknya hariannya sama dia. Maen kemana gitu nggak boleh. Harus sama dia. (P1 W1 164-166)”
Walaupun partisipan telah menerima perlakukan kekerasan dari pasangannya, partisipan akan memaafkan pasangannya. Apalagi pasangannya akan bersikap manis setelah melakukan kekerasan. Bahkan partisipan mengaku sudah terbiasa dengan perlakuan tersebut.
“Kalau misal abis mukul, ya udah nggak aku masalahin. Soalnya ya begitu, kalau misal abis-abis mukulin, abis… langsung minta maaf, nangis-nangis, jadi merasa bersalah banget, nyesel. Kayak gitu-gitu. (P1 W1 326-332)” “Iya, he’em. Dianya merasa menyesal kayak gitu. Jangan sampe itu lah, jangan sampai, maksudnya, jangan sampai putus lah.... Dia pokoknya menyesal. Mukanya tu menyesal. Kayak..tadi tu, jadi tu kalau-kalau aku gampang luluh tu gara-garanya mikirnya gini eee… apa ya, tadi tu khilaf, tadi tu kayak orang kesetanan. Nah, sekarang tu dia, sekarang sudah sadar. Gitu sih. (P1 W1 559-569)”
“Terus ya itu gara-gara dia abis ngasarin, jadi manis. Jadi kayak muka menyesal, merasa bersalah gitu sih. Bikin akhirnya lama-lama juga terbiasa. Soalnya iya itu, sifat manisnya habis mukul itu jadi bisa lupa tadi habis diapain gitu. (P1 W1 1202-1208)”
Partisipan justru merasa jika perlakuan kasar pasangannya dilakukan karena akibat dari kesalahan yang dilakukan partisipan juga.
“Aku sih, cuman ya kadang ya gimana. Ini juga aku yang salah. Aku kan mikirnya begitu. Gitu sih. Jadi dia kan kayak gini gara-gara negur aku. Caranya dia negur aku. Daripada aku... nggak papa aku disakitin di badan, daripada di hati. Gitu mikirnya aku. Makanya ya sudah buta lah. Hahaha…
(P1 W1 250-257)”
“Kadang tu lebih sering, lebih sering aku yang salah. (P1 W1 551-552)” 2. Komitmen Kendala (Constraint)
Komitmen kendala mengacu pada aspek dari hubungan seseorang atau pasangan yang membuat sulit untuk putus atau mengakhiri hubungan.
a) Tekanan sosial (social pressure)
Mengacu pada tekanan yang orang lain berikan pada pasangan untuk memelihara hubungan mereka, terutama dari keluarga dan teman-teman.
Keluarga dari partisipan tidak menyetujui hubungan dengan pasangannya, tetap tidak pernah disampaikan secara terus-terang. Walaupun pasangan mengetahui ketidaksetujuan tersebut, tetapi ia tetap memilih untuk tetap bertahan.
“Cuman kalau masalah setuju apa ndak, orang tuaku kayaknya ndak setuju kalau sama dia. (P1 W1 401-403)”
“Tapi kalau orang tuaku tu apa ya, kayak rikuhan itu lho, cik. Itu kan anaknya orang. Mau di, apa, mau di, masak mau dimarah-marahin gitu kan nggak enak. Paling cuma didiemin aja sih. Pas jemput aku gitu didiemin. (P1 W1 434-440)”
“Ya pas liat bekas-bekas memar-memar gitu. Bekas-bekas kayak gitu, dipukulin. Ditanya-in, “Itu kenapa?” Terus ditanyain, “A**?”.Apa, belom… pernah komentar, “Belom nikah aja udah kayak gitu. Masih pacaran aja udah kayak gitu.” Udah gitu aja sih, cik. Tapi dia nggak berani negur langsung ke sananya. (P1 W1 457-464)”
Sebaliknya, keluarga dari pasangan partisipan sangat mendukung hubungan tersebut, terutama ibu dari pasangan, dan pernah menyatakan keinginan untuk datang melamar kepada keluarga partisipan. Partisipan mengakui jika ibu dari pasangannya sering melakukan intervensi terhadap hubungan tersebut.
“Soalnya dari pihak keluarga dari pihak sananya juga sudah bilang udah kamu sama ini aja, sudah jalanin fokus ke depan, soalnya tante ama o’om juga mikir masa depan kalian. (P1 W1 21-26)”
“Kalau misal ada masalah juga, mamanya juga ikut nyelesai’in. (P1 W1 75-77)”
“He’em. Yang lebih setuju itu malah orang tuanya cowoknya. (P1 W1 405-406)”
“Orang tuanya sana bilang ke aku, “Nok, sampein ke mamamu, apa tante sama o’om datang ke rumah mamamu buat ngelamar. Apa ya? Biar ada ikatan tunangan lah. (P1 W1 413-417)”
“Terus mamanya telepon, “Nok, kalau ada masalah, diselesaiin baik-baik ya. … Jangan langsung diambil keputusan yang putus.” (P1 W1 979-983)”
Reaksi beragam muncul dari teman-teman partisipan. Ada yang mendorongnya untuk putus, ada yang memilih untuk tidak ikut campur dan diam, serta ada yang menyetujui hubungan tersebut dengan berharap partisipan
akan melanjutkan hubungan dengan pasangannya, karena mereka menilai bahwa pasangan dari partisipan menjadi lebih baik setelah berpacaran dengan partisipan.
“Abis berantem ya? Terus kenapa kamu masih bertahan. Ada yang gitu-gitu. Ada yang cuman diem, cuma tanya aja, nggak berani komen kan. Kalau yang, eee… Ada sih temen yang suka komen, “Udah sih putus aja. Kayak gitu kok. Ngapain dipertahanin?” (P1 W1 241-248)”
“Awalnya, awalnya tu aku curhat sama satu temen … Ada yang jengkel, ada yang gimana-gimana, ada yang udah nggak mau ikut campur. (P1 W1 264-268)”
“Kebanyakan sih temen-temennya kan mungkin itu temen pacarku, jadi mereka lebih, lebih cuek gitu ya. Lebih nggak mau ikut campur. (P1 W1 287-290)”
“Tapi ada juga kok temennya yang, “Udah lah sama ini aja. Udah serius -serius sama A** aja.” Itu temennya. (P1 W1 342-345)”
“Temennya tu aku lihat sudah kayak emosi gitu lho. Emosi. “Kamu tu
cowok apa cewek kok mukulin cewek sampai kayak gitu?” (P1 W1
316-319)”
“Tapi ada juga kok temennya yang, “Udah lah sama ini aja. Udah serius -serius sama A** aja.” Itu temennya. (P1 W1 342-345)”
“He’em. Di kos juga kejadiannya. Pokoknya gitu. Terus dia, dia ngeliat, nyaksiin gitu, terus nggak enak. Kok berantem. Dia pamit pulang. Udah gitu. Besoknya, besoknya eee… SMS aku sih, “Gimana, M*, kemarin? Keadaannya kamu. Diapain? Sorry ya tak tinggal pulang… Kalau misal kamu nggak betah sama dia, udah lah kamu omongin baik-baik.” Dia malah nyaranin kayak gitu. Itu temen cowok. (P1 W1 371-381)”
b) Ketersediaan alternatif pasangan lain (available alternative partners)
Ketersediaan alternatif pasangan lain yang memungkinkan untuk dijalani apabila hubungan yang sekarang berakhir. Partisipan mengaku awalnya merasa kawatir tidak ada alternatif pasangan lain jika harus mengakhiri hubungan, karena pasangannya sangat membatasi hubungan partisipan dengan orang lain.
“Kan memang sudah dari awal dia itu ngekang, dari awal ngekang. Sudah sampai ganti nomor, terus kok ada nomor baru masuk. Terus kalau nggak nomor siapa, mantan aku ngontek aku. Aku kan nggak tau dia dapet nomer dari siapa. Dia salah paham. Mikirnya aku yang ngasih. (P1 W1 99-106)”
“Kalau pria, pasti. Itu tetep nggak boleh, tetep dilarang. (P1 W1 130-131)”
“Itu pas dulu sih. Pas apa ya, pas aku ganti simcard, terus handphoneku kontak-kontak cowoknya dihapus, diilangin semua, itu sempet aku mikir nanti kalau misal aku putus, nggak punya temen. Aku sama siapa ya. (P1
W11082-1087)”
Tetapi sekarang partisipan tidak demikian, bahkan partisipan pernah berhubungan dengan dengan pria lain saat hubungan dengan pasangannya memburuk, walapun pada awalnya partisipan hanya berniat untuk membalas dendam terhadap pasangannya.
“Aku nanggepin cowok itu pas lagi ada masalah sama pacar. Jadi aku nanggepin sana. Dan sananya juga yang tadinya datang ke aku. Aku jadi
respon gara-gara berantem. (P1 W1 769-773)”
“He’em. Tapi akhir-akhir ini sih sudah mulai ini sih, sudah mulai…
hehe… ada lah. (P1 W1 1091-1093)”
c) Status keuangan alternatif (alternative financial status)
Status keuangan alternatif mencakup sejauh mana seseorang akan tidak bahagia tentang beberapa atau semua hal akan kemungkinan perubahan hidup ketika hubungan berakhir. Partisipan tidak kawatirkan mengalami kesulitan dalam hal keuangan jika hubungannya berakhir, karena justru partisipan yang harus mengeluarkan lebih banyak uang. Pasangannya meyakinkan partisipan jika tindakan itu dilakukan untuk mengurangi kebiasaan partisipan berbelanja. Padahal saat awal pacaran, pasangannya yang selalu mentraktir partisipan.
“Mungkin kalau bulan-bulan awal dulu itu masih jaim-jaiman. Ya belum saling terbuka gitu. Ya,ya dia sih yang sering, sering eee… kalau makan dibayarin. Kalau makan dibayarin sama dia. Kalau kemana juga pake uang dia. Gini-gini-gini. Tapi pas jalan berapa bulan, enam bulanan gitu, dia sempet complain sama aku, sempet-sempet gini sih bilangnya sambil malu-malu gitu, “Eee… Yang, apa namanya, kita kan ketemunya tiap hari. Kalau misal, aku kan anak kos kayak gitu, kalau misal ketemunya tiap hari juga dibuat jatah, jatah apa, eee… jatah mingguanku kan segini, kalau dibuat berdua juga nggak, ini ya juga nggak pas-pas juga ya. Pokoknya, intinya tu mepet-mepet banget. Jadi sering abisnya, sering abisnya, sering
kurangnya gitu. Kamu kan juga kadang ada uang jajan. Kalau misal kadang gantian gimana?” Gitu. Dia bilangnya begitu. “Oya, oya udah nggak papa.” Aku juga mikirnya, “Oiya ya, kasian kan tiap hari ketemu gitu. Kalau dia terus ya uangnya abis.” (P1 W1 618-643)”
“Sampai tahun-tahun terakhir ini ya, bulan-bulan akhir ini ya malah jadi kebiasaan akunya yang lebih sering keluar uang. (P1 W1 648-651)”
“Mungkin saking lamanya pacaran. Terus udah kebiasaan juga, udah saling terbuka juga, nggak jaim-jaiman, nggak ada sungkan-sungkanan. Dia yang bilang, “Pakai uangmu ya. Pakai uangmu dulu ya.” (P1 W1 673-678)“
“Ya iya sih, keberatan juga kalau misal, apa ya, aku juga udah mulai mau bilang sama dia. Mungkin tu gini, dia tu eee… minta, minta, kadang tu gini, minta-minta dibayarin sama aku, alesannya biar aku nggak belanja.
“Udah lah uangnya buat berdua.” (P1 W1 720-726)”
“He’em (malah senang jika putus). Malah bisa nabung. Hahaha. (P1 W1
742)”
d) Kepedulian terhadap kesejahteraan pasangan (concern for partner welfare) Kepedulian terhadap kesejahteraan pasangan mengacu kepada kekawatiran akan kondisi kesejahteraan pasangan jika hubungan berakhir. Partisipan merasa kawatir jika memutuskan hubungan, maka pasangannya akan melakukan tindakan yang membahayakan dirinya karena pasangannya pernah beberapa kali mengancam dengan cara menyakiti dirinya sendiri dengan benda tajam.
“Aku dah takut di situ. “Ya, ya, udah. Aku nggak bakal putusin kamu. Iya udah, kita nggak putus. Tapi kamu jangan kayak gitu.” Aku takutnya, ini anak orang. Kalau misalkan kenapa-kenapa di sini adanya aku kan takut ya, cik. (P1 W1 964-971)”
“He’em. Sempet takut makanya, sempet takut. Tapi kok itu, ya aku terpaksa. Ya udah jalanin. Kan takut ya kalau misal nanti dia nekat atau
gimana. (P1 W1 1019-1022)”
e) Prosedur pemutusan hubungan (termination procedures)
Prosedur pemutusan hubungan mengacu pada kesulitan dari langkah-langkah yang harus diambil untuk mengakhiri hubungan tersebut. Partisipan mengaku kesulitan setiap kali partisipan meminta putus setelah terjadi kekerasan atau masalah lainnya, karena pasangannya akan memohon, meminta maaf,
menangis, bahkan mengancam akan menyakiti diri sendiri jika partisipan memutuskannya, sehingga partisipan memilih untuk kembali berpacaran.
“Terus pas aku udah jatuh pingsan, baru aku dibawa ke kamar. Dianya langsung sadar, nangis. (P1 W1 311-313)
“Soalnya ya begitu, kalau misal abis-abis mukulin, abis… langsung minta maaf, nangis-nangis, jadi merasa bersalah banget, nyesel. (P1 W1 328-331)”
“Dianya merasa menyesal kayak gitu. Jangan sampe itu lah, jangan sampai, maksudnya, jangan sampai putus lah... Dia pokoknya menyesal. Mukanya tu menyesal. Kayak..tadi tu, jadi tu kalau-kalau aku gampang luluh tu gara-garanya mikirnya gini eee… apa ya, tadi tu khilaf. (P1 W1 559-567)”
“Dia, dia bilang nggak mau putus... Sampai dia tu mau bunuh diri. Kayak gitu. Sampai gunting tu mau ditancepin ke tangannya. Di dadanya juga udah ditulis pakai gunting itu tu namaku. (P1 W1 954-959)
“Terus ya itu gara-gara dia abis ngasarin, jadi manis. Jadi kayak muka menyesal, merasa bersalah gitu sih. Bikin akhirnya lama-lama juga terbiasa. Soalnya iya itu, sifat manisnya habis mukul itu jadi bisa lupa tadi habis diapain gitu. (P1 W1 1202-1208)”
f) Investasi struktural (structural investments)
Investasi struktural adalah hal-hal yang terkait dalam suatu hubungan, terutama harta dan investasi keuangan. Partisipan lebih sering mengeluarkan uang dan membelanjakan barang untuk pasangannya, seperti sepatu, baju, dompet, ikat pinggang, jam, dan sebagainya. Partisipan merasa sayang atas banyaknya uang yang dikeluarkan jika hubungannya harus berakhir.
“Kalau itu sih mungkin ini ya, apa, kalau aku pas lagi belanja gitu aku juga inget dia. Beliin sepatu, baju, dompet, apa jam, apa ini sih, sabuk kayak gitu, ikat pinggang, gitu-gitu sih. Terus juga lebih sering bayarin sih akhir-akhir ini. (P1 W1 1105-1109)”
“He’em, makanya itu yang bikin gampang balikkan. Sayang nih udah
Partisipan 2
1. Dedikasi Personal
Dedikasi personal dibuktikan oleh keinginan (dan perilaku yang terkait) tidak hanya untuk melanjutkan hubungan, tetapi juga untuk meningkatkannya, berkorban untuk hubungan, berinvestasi di dalamnya, menghubungkan tujuan pribadi dengan hubungan, dan mencari kesejahteraan pasangan, tidak hanya untuk diri sendiri.
“Kalau saat ini sih baik-baik saja ya. Nggak ada masalah. (P2 W1 12-13)” “Dari dia selalu bilang bahwa saya ini akan dijadikan sebagai calon istrinya. Dari situ saya lihat bahwa dia memang ada ke arah yang lebih serius. (P2
W123-26)”
“Dia memang sayang. Cuman dia terlalu ngekang, jadi kayak eee… nggak ngasih kebebasan ke aku. (P2 W1 355-357)”
“Tapi sebenarnya sih dari dianya, dari temen (laki-laki) saya itu mintanya lebih. Cuman dari sayanya nggak lah, karena sayanya juga sudah komitmen dengan cowok saya itu. (P2 W1 409-413)”
"Paling sih belum kalau pernikahan, tapi eee… ke lamaran dulu. (P2 W1 647-648)”
“Dan ini juga sudah lima tahun. Saya sudah tau karakternya dia, sudah saling tahu. Dan saya juga kadang masih bisa, ya menerima dia apa adanya juga, dengan sikapnya dia yang seperti itu. (P2 W1 688-693)”
Meskipun partisipan mendapat perlakuan kekerasan dari pasangannya, partisipan memilih untuk bertahan. Partisipan mengaku kerapkali luluh jika pasangannya meminta maaf dan minta berbaikan, selain itu partisipan juga sudah malas jika harus memulai hubungan dengan orang lain dari awal.
“Karena mungkin saya juga terlanjur sayang ya sama dia, jadinya mmm… kalau dia minta balikan lagi yo nggak papa gitu. (P2 W1 300-303)”
“Itu sih langsung, karena dia juga sudah minta maaf ke saya. Setelah dia minta maaf, ya sudah saya jadi kayak luluh lagi seperti itu. Tetep mau nyambung sama dia. Ya mungkin itu kelemahan saya juga sih. (P2 W1 309-314)”
“Kadang ada juga. Karena saya juga capek ya. Maksudnya eee… pacaran berkali-kali, terus juga nggak jadi-jadi, dan ini juga sudah lima tahun. Saya sudah tau karakternya dia, sudah saling tahu. Dan saya juga kadang masih bisa, ya menerima dia apa adanya juga, dengan sikapnya dia yang seperti itu,
dengan yang eee… apa, posesifnya dia. Karena sih saya juga merasa, kadang kalau dia berbuat seperti itu ya kadang ada benernya juga, untuk kebaikkan saya juga. (P2 W1 686-697)”
Partisipan justru merasa jika perlakuan kasar pasangannya dilakukan karena untuk kebaikan partisipan, atau bahkan akibat dari kesalahan yang dilakukan partisipan juga.
“Karena sih saya juga merasa, kadang kalau dia berbuat seperti itu ya kadang ada benernya juga, untuk kebaikkan saya juga. (P2 W1 694-697)” 2. Komitmen Kendala (Constraint)
Komitmen kendala mengacu pada pemaksaan yang dilakukan terhadap dirinya sendiri yang membatasi individu untuk menjaga hubungan, terlepas dari komitmen dedikasi mereka.
a) Tekanan sosial (social pressure)
Tekanan sosial mengacu pada tekanan yang orang lain berikan pada pasangan untuk memelihara hubungan mereka, terutama teman-teman dan keluarga. Keluarga partisipan sebenarnya tidak menentang hubungan partisipan dengan pasangannya, dan cenderung setuju karena keluarga partisipan berharap partisipan mendapatkan pasangan dari suku bangsa yang sama. Tetapi keluarga juga marah jika mengetahui partisipan diperlakukan buruk oleh pasangannya.
“Responnya mereka jadi dari situ mereka, ini sih seakan-akan juga, “Udah lah dipertimbangkan lagi kalau dengan cowok seperti, pacaran dengan cowok seperti itu ngapain?” Karena dia juga sudah berbuat kasar. Katanya seperti itu. (P2 W1 584-589)”
“Keluarga saya sebenarnya lebih setuju kalau saya berpacaran dengan ko W. Soalnya ko W orang Chinese, sedangkan mantan-mantan pacar saya sebelumnya ada yang beda suku. Tapi waktu mereka tau saya sering dibentak, dimarah-marahi, dikasari atau ditampar, mereka bisa ikut marah. Tapi semua dikembalikan lagi ke keputusan saya. (P2 W2 3)”
Sedangkan teman-teman partisipan cenderung tidak setuju terhadap keputusan partisipan untuk bertahan terhadap hubungan tersebut dan meminta partisipan mempertimbangkannya lagi. Tetapi partisipan cenderung memilih untuk tidak memperdulikannya.
“Ya responnya temen-temen sih mereka malah merasa, mereka melihat juga ya saya kasihan. (P2 W1 201-203)”
“Sebetulnya banyak yang menentang sih hubungan saya sama dia, tapi ya saya cuekin saja. (P2 W1 215-217)”
“Sebenernya sih temen-temen kantor ada yang nggak setuju. Cuma kan karena ya… sayanya juga tetep eee… tetep menjalani seperti itu, mereka juga nggak bisa apa-apa sih. Mereka ya terima. Tapi mereka kadang cuma ngasi tau aja apa nggak dipikir ulang kamu pacaran sama dia, dengan sikap dia yang seperti itu, yang posesif, dan yang lain sebagainya. (P2 W1 330-339)”
b) Ketersediaan alternatif pasangan lain (available alternative partners)
Ketersediaan alternatif pasangan lain yang memungkinkan untuk dijalani apabila hubungan yang sekarang berakhir. Partisipan sebenarnya tidak pernah berpikir akan kesulitan memperoleh alternatif pasangan jika mengakhiri hubungan, bahkan saat ini partisipan mengaku sedang dekat dengan teman kantor sekaligus teman gerejanya. Tetapi pria tersebut juga merupakan sahabat dari pasangannya. Jika hubungan partisipan harus berakhir dengan pasangannya, partisipan akan tetap memilih berpacaran dengan pria tersebut.
“Ya… saya kalau misal curhat-curhat tentang cowok saya itu ya curhatnya ke dia, karena kan … kayak jalan satu-satunya buat saya untuk apa ya, menceritakan keluh kesah saya. (P2 W1 401-406)”
“Cuman kan saya nggak mungkin kalau eee… saya memutuskan, memutuskan pacar saya, terus lalu saya sama temen saya itu. Karena kan mereka juga sahabatan. Jadi saya juga serba salah. Kalau nanti saya sudah putus sama pacar saya, kemudian saya juga pacaran sama yang, temen saya itu, dan itu pun juga sahabat saya, nantinya kan saya juga apa ya, rasa kayak dikiranya gimana gitu. (P2 W1 473-483)”
“Saya lebih nyaman dengan temen saya itu daripada dengan pacar saya jujur aja. (P2 W1 486-487)”
Pasangan dari partisipan mengetahui kedekatan partisipan dengan laki-laki lain, sehingga pasangannya membatasi hubungan partisipan dengan laki-laki tersebut.
“Apalagi dengan kedekatan saya dengan temen saya yang satu itu, eee…
dia juga mungkin merasa cemburu. (P2 W1 230-233)”
“Ya dia jadi membatasin ini .. saya dengan temen cowok itu. (P2 W1 441-442)”
c) Status keuangan alternatif (alternative financial status)
Status keuangan alternatif mencakup sejauh mana seseorang akan tidak bahagia tentang beberapa atau semua hal akan kemungkinan perubahan hidup ketika hubungan berakhir. Walaupun pasangan dari partisipan selalu mengeluarkan uang jika pergi bersama, partisipan mengaku tidak kawatir dengan kondisi keuangannya jika harus putus dengan pasangannya, karena partisipan masih tinggal bersama orang tuanya dan mendapatkan makan dari orang tuanya.
“Kalau selama ini sih makan saya selalu di ini ya, dibayarin sama dia. Setiap kali saya mau bayar, dia nggak pernah mau. “Nggak usah.
Uangnya disimpen aja.” Seperti itu sih kalau untuk makan. (P2 W1 658
-662)”
“Nggak ada sih. Karena kan saya juga masih tinggal dengan orang tua. Otomatis kan saya makan juga masih ikut orang tua. Jadi biasa-biasa aja.
(P2 W1 668-671)”
Namun partisipan merasa kawatir jika pasangannya akan merasa dendam dan menjatuhkan karier partisipan, karena pasangannya tersebut merupakan tangan kanan dari pemilik perusahaan. Padahal partisipan merupakan salah satu tulang punggung keluarga.
“Karena dia kan di kantor punya power. (P2 W1 323-324)”
“Saya sama dia satu kantor, dan dia kan deket sama ownernya. Kalau misalnya saya nanti, kalau misalkan ni saya putus sama dia, nanti takutnya dia jadi dendam sama saya kemudian melaporkan hal-hal yang nggak-nggak ke owner, saya sendiri yang nanti jadi repot. Jadi kalau
misalkan ada masalah apa-apa yang sudah saya, jadi kadang lebih baik udah lah. Kalau memang seperti itu, nanti saya yang, apa ya, kadang
mempertahankan. (P2 W1 281-292)”
“Saya takut nanti kalau eee… saya misalkan nanti putus sama dia, lalu dia jadi dendem sama saya, nanti dia bisa ngadu yang nggak-nggak ke owner saya kan saya sendiri yang repot. Karena saya juga kan masi satu kerjaan sama dia. Hanya itu sih pertimbangannya. Itu aja. (P2 W1 711-718)”
d) Kepedulian terhadap kesejahteraan pasangan (concern for partner welfare) Kepedulian terhadap kesejahteraan pasangan mengacu kepada kekawatiran akan kondisi kesejahteraan pasangan jika hubungan berakhir. Partisipan merasa