• Tidak ada hasil yang ditemukan

T1 802012716 Full text

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "T1 802012716 Full text"

Copied!
53
0
0

Teks penuh

(1)

OLEH

YUNITA JAYANTI SANTOSO 802012716

TUGAS AKHIR

Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagian Dari Persyaratan Untuk Mencapai Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA

SALATIGA

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)

KEKERASAN DALAM BERPACARAN

Yunita Jayanti Santoso Berta Esti A. Prasetya Jusuf Tjahjo Purnomo

Program Studi Psikologi

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA

SALATIGA

(8)

i Abstrak

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui komitmen dalam berpacaran pada

korban Kekerasan dalam Berpacaran. Metode penelitian yang digunakan adalah metode

penelitian kualititatif. Partisipan dalam penelitian ini berjumlah 2 orang yang

merupakan korban KDP. Hasil dari penelitian ini ialah adanya kesulitan dalam

usaha-usaha yang dilakukan untuk memutuskan hubungan dan tekanan sosial dari pihak lain,

terutama intervensi dan harapan-harapan dari kedua belah pihak keluarga. Selain itu,

adanya rencana untuk tetap menjalin hubungan hingga tahap pernikahan, serta

kepedulian terhadap kesejahteraan pasangan ke depannya, semakin memperkuat

komitmen tersebut. Namun, tidak ditemukan adanya kekawatiran terhadap ketersediaan

alternatif pasangan lain dan investasi struktural yang telah dikontribusikan selama masa

berpacaran.

(9)

ii Abstract

The purpose of this study was to determine the commitment on Dating Violence victim.

As the method used in this research is qualitative. Participants in this research were

two people who were victims of Dating Violence. Results of this research is the

existence of difficulties in the efforts being made to cut ties and social pressure from

other parties, especially the interventions and expectations of both family. In addition,

there is a plan to maintain contact until the stage of marriage, as well as concern for

the welfare of the couple in the future, further strengthens that commitment. However,

there were no concerns about the availability of alternatives other couples and

structural investments that have contributed during courtship.

(10)

PENDAHULUAN

Manusia memiliki kebutuhan dalam relasi interpersonal dengan individu lain di

setiap fase rentang kehidupannya. Karena itulah manusia dikenal sebagai makhluk

sosial. Relasi interpersonal tersebut sudah dimulai sejak kecil, yaitu ketika bayi belajar

memberi respon dan membentuk rasa aman dengan ibu atau orang terdekatnya. Dalam

tumbuh kembangnya, seorang individu bergerak dalam dimensi hubungan yang lebih

dalam, dalam ruang lingkup sosial yang lebih luas. Relasi yang dimulai dalam ruang

lingkup terdekat, yaitu keluarga, itu bertambah luas dengan membangun relasi dengan

teman sebaya ketika individu mulai memasuki usia sekolah. Hubungan interpersonal ini

dimulai dengan hubungan yang terjalin dengan teman-teman sepermainan yang

memiliki jenis kelamin sama dalam kelompok-kelompok bermain, yang kemudian juga

berkembang ke arah hubungan antara dua individu yang memiliki jenis kelamin yang

berbeda. Hubungan ini dibangun dalam beberapa tahapan yang dimulai dengan tahap

pertemanan, hingga sekedar membuat janji untuk bertemu (Hurlock, 1999).

Memasuki usia dewasa awal, hubungan antara dua individu yang berbeda jenis

kelamin itu memasuki tahap yang lebih intim, seiring dengan kematangan

sosio-emosional dan tanggung jawab sebagai orang dewasa. Seseorang akan memilih

pasangannya untuk menjalin kedekatan secara emosional maupun seksual, dan

memelihara hubungan tersebut (Lamanna & Riedmann, 1985). Hubungan itu tidak lagi

hanya sekedar membuat janji untuk bertemu, tetapi berkembang menjadi hubungan

yang lebih intim dan memiliki komitmen untuk melanjutkan hubungan sampai ke tahap

pernikahan (Hurlock, 1999). Tahap ini dikenal dengan istilah pacaran.

Sebagian besar orang menganggap bahwa masa pacaran merupakan masa

(11)

Namun, pada kenyataannya, tidak semua pasangan melalui masa pacaran yang

menyenangkan itu. Salah satu kasus yang terjadi, yaitu kekerasan dalam pacaran (KDP).

Kekerasan dalam pacaran adalah serangan, baik seksual, fisik atau psikologis, yang

dilakukan secara sengaja pada satu pasangan oleh yang lain dalam hubungan pacaran

(Tutty, Bradshaw, Thurston, Barlow, Marshall, Tunstall, et al, 2005).

Hubungan pacaran yang di dalamnya terdapat kekerasan, bagi kebanyakan

orang, dinilai sebagai hubungan yang tidak mungkin dapat dipertahankan (Kesehatan

Reproduksi Indonesia, 2007). Namun, banyak kasus Kekerasan dalam Berpacaran

(KDP) justru dapat bertahan lama. Komitmen yang dibangun membuat seseorang

memutuskan untuk tetap tinggal dalam hubungan meskipun mengalami kondisi yang

buruk sekalipun, karena masalah dan konflik dianggap sebagai suatu bagian yang

normal dalam perkembangannya (Collins, 2011; Taylor, Peplau & Sears, 2009; Millon

& Lerner, 2000).

Namun mereka perlu memperhatikan dampak kekerasan yang dialami seseorang

setelah mengalami kekerasan dalam berpacaran tersebut, antara lain : 1). Dampak

kejiwaan, korban menjadi trauma atau benci kepada lawan jenis, 2). Dampak sosial,

posisi korban menjadi lemah dalam hubungannya dengan lawan jenis, 3). Dampak fisik,

apabila terjadi kekerasan fisik, korban mengalami cidera permanen, kehamilan, ataupun

penyakit menular seksual (Hadi & Aminah, 2000).

Jika dipandang dari pengertian berpacaran menurut Lamanna dan Riedmann

(1985), pasangan berpacaran mengembangkan komitmen bersama untuk menikah.

Orang yang sangat berkomitmen pada hubungan sangat mungkin untuk tetap bersama

(12)

korban kekerasan memungkinkan dirinya tetap bertahan dalam hubungan berpacaran

yang terdapat kekerasan di dalamnya.

Mempertahankan hubungan yang dimaksud adalah ketika salah satu, atau

bahkan kedua belah pihak, yang terlibat dalam hubungan pacaran memutuskan untuk

tetap menjalin hubungan tersebut. Tentu saja hubungan pacaran tersebut berlangsung

dalam rentang waktu yang cukup lama. Dan dalam hal ini, peneliti menetapkan batasan

minimal dalam hubungan pacaran yang telah dijalani oleh subjek penelitian adalah satu

tahun, meskipun salah satu ataupun kedua belah pihak pernah berusaha memutuskan

hubungan itu di tengah-tengah rentang satu tahun mereka menjalin hubungan pacaran

tersebut.

Komitmen seseorang terhadap hubungan didasarkan oleh adanya saling

ketergantungan yang terjadi pada pasangannya. Menurut Owen, Rhoades, Stanley &

Markman (2011), saling ketergantungan tersebut terbentuk melalui perilaku yang

mendukung hubungan tersebut, yaitu keinginan individu untuk bersama dengan

pasangannya (dedikasi personal) dan perasaan dirugikan jika hubungan tersebut

berakhir (komitmen kendala / constraint).

Dedikasi personal mengacu kepada keinginan seseorang, dalam hal ini korban

kekerasan dalam berpacaran (KDP), untuk tetap bertahan di dalam hubungan yang

terdapat kekerasan di dalamnya yang dibuktikan dengan tindakan-tindakan yang

meningkatkan kualitas hubungan tersebut. Semakin besar usaha atau tindakan yang

dilakukan untuk melanjutkan hubungan dan meningkatkan kualitas hubungan, makin

besar komitmen individu terhadap hubungan tersebut (Owen, dkk, 2011; Stanley &

(13)

Sedangkan komitmen kendala mengacu pada aspek-aspek yang membuat

individu sulit untuk meninggalkan hubungan tersebut. Komitmen kendala terdiri dari

tekanan sosial (social pressure), ketersediaan alternatif pasangan lain (available

alternative partners), status keuangan alternatif (alternative financial status),

kepedulian terhadap kesejahteraan pasangan (concern for partner welfare), prosedur

pemutusan hubungan (termination procedures), dan investasi struktural (structural

investments) (Owen, dkk, 2011).

Semakin besar tekanan yang diberikan orang-orang di luar hubungan tersebut

(terutama dari teman-teman dan keluarga), semakin sedikit tersedianya alternatif

pasangan lain dan alternatif status finansial yang lebih baik selain hubungan tersebut,

semakin besar kepedulian individu terhadap kesejahteraan pasangannya, semakin sulit

prosedur pemutusan hubungan yang harus dilalui, semakin besar investasi yang telah

diberikan individu terhadap hubungan tersebut, maka semakin sulit pula individu

tersebut untuk meninggalkan hubungan (Owen, dkk, 2011).

Sebaliknya, semakin kecil tekanan yang diberikan orang-orang di luar

hubungan tersebut (terutama dari teman-teman dan keluarga), semakin banyak

tersedianya alternatif pasangan lain dan alternatif status finansial yang lebih baik selain

hubungan tersebut, semakin kecil kepedulian individu terhadap kesejahteraan

pasangannya, semakin mudah prosedur pemutusan hubungan yang harus dilalui,

semakin kecil investasi yang telah diberikan individu terhadap hubungan tersebut, maka

mudah bagi individu tersebut untuk meninggalkan hubungan (Owen, dkk, 2011).

Berdasarkan uraian di atas maka permasalahan yang akan dikaji dalam

penelitian ini adalah bagaimana komitmen dalam berpacaran pada korban Kekerasan

(14)

pengetahuan secara khusus kepada korban kekerasan dalam berpacaran, serta kepada

pasangan berpacaran yang lain, mengenai perilaku kekerasan dalam berpacaran dan

dampak yang ditimbulkan, serta dapat menjadi data tambahan untuk membantu

psikolog dan konselor psikologi sosial dan klinis dalam penanganan individu korban

Kekerasan dalam Berpacaran.

TINJAUAN PUSTAKA Komitmen Hubungan

a) Pengertian Komitmen Hubungan

Rusbult (dalam Collins, 2011) mengartikan komitmen sebagai pilihan

seseorang untuk tetap berada di dalam hubungan untuk jangka waktu yang panjang

dan berhubungan dengan kepuasan seseorang, investasi dan kualitas alternatif dari

hubungan. Komitmen adalah gagasan yang terkait dengan keputusan seseorang

untuk tetap tinggal atau meninggalkan sebuah hubungan romantis. Sedangkan

Taylor, dkk (2009) memberikan istilah teknisnya sebagai commitment in a

relationship (komitmen dalam suatu hubungan), yaitu semua kekuatan, positif atau

negatif, yang menjaga individu tetap berada dalam suatu hubungan. Menurut

Millon & Lerner (2000), commitment to stay in relationship menjaga seseorang

untuk tetap tinggal dalam hubungan, meskipun orang tersebut merasa tidak bahagia

dengan hubungan tersebut.

Dari beberapa pengertian tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa

komitmen adalah pilihan seseorang yang merupakan hasil dari kebulatan tekadnya

untuk tetap berada di dalam hubungan, dimana masalah dan konflik dianggap

(15)

b) Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Komitmen Hubungan

Johnson; Surra dan Gray (dalam Taylor, dkk, 2009) menyebutkan ada tiga

faktor utama yang mempengaruhi komitmen pada suatu hubungan, yaitu :

1. Kekuatan daya tarik partner atau hubungan tertentu

Jika seseorang menyukai orang lain, menikmati kehadirannya, dan merasa orang

tersebut ramah dan gaul, maka ia akan termotivasi untuk meneruskan hubungan

dengan orang tersebut.

2. Nilai dan prinsip moral individu

Disebut juga “komitmen moral”, yaitu perasaan bahwa individu seharusnya tetap

berada dalam suatu hubungan. Didasarkan pada perasaan kewajiban, kewajiban

agama, atau tanggung jawab sosial.

3. Kekuatan negatif atau penghalang yang menyebabkan individu akan rugi besar

jika meninggalkan hubungan

Faktor yang dapat menahan individu untuk tetap dalam hubungan, antara lain

adalah tidak adanya alternatif hubungan dan investasi yang telah individu

tanamkan dalam suatu hubungan.

a) Ketersediaan alternatif

Attridge, Creed, Berscheid dan Simpson (dalam Taylor, dkk, 2009)

menyatakan bahwa ketika individu tergantung pada hubungan untuk

mendapatkan hal-hal yang ia hargai dan tidak bisa mendapatkan hal itu di

(16)

b) Investasi

Rusbult (dalam Taylor, dkk, 2009) menjelaskan bahwa komitmen juga

dipengaruhi oleh investasi yang individu tanamkan dalam membentuk

hubungan.

c) Aspek-Aspek Komitmen

Menurut Owen, dkk (2011), kebanyakan teori komitmen didasarkan pada

Teori Interdependensi yang menunjukkan bahwa saling ketergantungan di antara

pasangan terbentuk melalui perilaku yang mendukung hubungan tersebut, yaitu :

1. Dedikasi Personal

Dedikasi personal menggambarkan keinginan individu untuk bersama dengan

satu pasangan (Owen dkk, 2011); keinginan individu untuk mempertahankan

atau meningkatkan kualitas hubungannya untuk kepentingan bersama (Stanley &

Markman, 1992).

2. Komitmen Kendala (Constraint)

Menurut Owen, dkk (2012), komitmen kendala mengacu pada aspek dari

hubungan seseorang atau pasangan yang membuat sulit untuk putus atau

mengakhiri hubungan. Komitmen ini terdiri atas :

a) Tekanan sosial (social pressure), mengacu pada tekanan yang orang lain

berikan pada pasangan untuk memelihara hubungan mereka, yang terpenting

merupakan teman-teman dan keluarga.

b) Ketersediaan alternatif pasangan lain (available alternative partners)

c) Status keuangan alternatif (alternative financial status), mencakup sejauh

(17)

kemungkinan perubahan hidup ketika hubungan berakhir (misalnya,

perubahan tempat tinggal, perubahan status ekonomi).

d) Kepedulian terhadap kesejahteraan pasangan (concern for partner welfare)

e) Prosedur pemutusan hubungan (termination procedures), engacu pada

kesulitan dari langkah-langkah yang harus diambil untuk mengakhiri

hubungan tersebut.

f) Investasi struktural (structural investments), adalah hal-hal yang terkait dalam

suatu hubungan, terutama harta dan investasi keuangan. Meningkatnya

investasi berkontribusi terhadap peningkatan kendala, karena adanya

keinginan untuk tidak kehilangan apa yang telah diinvestasikan.

Dedikasi personal dan komitmen kendala tidak diharapkan untuk berdiri

sendiri. Lebih banyak yang diinvetasikan, orang lain mengharapkan dan

menginginkan hubungan tersebut berlanjut, prosedur yang lebih rumit untuk

mengakhiri hubungan, dan alternatif menjadi kurang menarik. Sederhananya,

dedikasi hari ini merupakan kendala untuk esok.

Berpacaran

a) Pengertian Berpacaran

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2002), pacar adalah kekasih atau

teman lawan jenis yang tetap dan mempunyai hubungan berdasarkan cinta-kasih.

Sedangkan berpacaran adalah bercintaan; atau berkasih-kasihan (dengan sang

pacar. Dalam bahasa Inggris, ada beberapa istilah yang digunakan untuk menyebut

istilah berpacaran, yaitu courtship, dating, dan steady dating. Lamanna &

(18)

mengembangkan komitmen bersama untuk menikah, sedangkan dating diartikan

sebagai suatu bentuk dari courtship dimana, melalui serangkaian pertemuan yang

ditentukan, suatu hubungan eksklusif yang seringkali berkembang.

Dari beberapa pengertian tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa

berpacaran adalah proses perkenalan antara dua insan manusia yang didasarkan atas

rasa cinta atau kasih sayang, dimana masing-masing mengembangkan komitmen

bersama, yang didapatkan melalui serangkaian pertemuan yang telah ditentukan

bersama, sebagai proses belajar mengerti dan mengenal pasangan dalam rangka

menuju kehidupan pernikahan.

b) Perkembangan Hubungan Berpacaran

Hubungan berpacaran berkembang menuju kehidupan pernikahan melalui

serangkaian tahapan yang disusun secara hati-hati (Lamanna & Reidmann, 1985),

dimana setiap tahap memiliki ciri-ciri tersendiri yang membedakannya dengan

tahapan yang lain.

Sedangkan perkembangan hubungan berpacaran menurut Fishbein dan

Burgess (1947) dibagi ke dalam lima tahapan, yaitu :

1. Dating

Muncul secara spontan di antara orang-orang muda sebagai sebuah

adaptasi untuk memenuhi kebutuhannya. Dating memberikan kesempatan untuk

berkenalan dengan sejumlah besar orang dari lawan jenis sebelum menentukan

pasangan. Proses pemilihan pasangan tidak berhenti pada perkenalan dengan

satu orang saja, tetapi perkenalan terus berlanjut ke orang-orang yang lainnya

(19)

2. Keeping company

Keeping company berarti bahwa individu memusatkan perhatian pada

kencannya dengan seseorang, tetapi dia masih bebas untuk berkencan dengan

orang lain. Individu tersebut dapat membandingkan beberapa pasangan

kencannya sebelum terlibat dalam komitmen yang lebih serius.

3. Going steady

Keeping company menandakan pilihan bersama yang mungkin hanya

mewakili persahabatan saja, bukan cinta. Sedangkan going steady

mengindikasikan perasaan cinta yang lebih kuat, minimal pada salah seorang

individu dalam sebuah hubungan. Kedua pihak telah membuat kesepakatan

untuk membatasi hubungan dengan lawan jenis. Going steady harus

dimanfaatkan sebagai sebuah periode eksplorasi untuk saling mengetahui apakah

mereka saling jatuh cinta, menguji kesesuaian temperamen, kepuasan akan

kebutuhan personal mereka, kesamaan minat, dan cita-cita.

4. Private understanding

Private understanding adalah sebuah pengakuan saling mencintai oleh

pasangan. Perkembangan hubungan ini umumnya dirahasiakan atau

diberitahukan hanya kepada teman-teman terdekat. Biasanya pasangan ini mulai

saling memperkenalkan kepada keluarga masing-masing. Fungsi dari periode ini

adalah untuk menguji lebih lanjut mengenai kepastian pilihan seseorang sebelum

menuju komitmen yang lebih serius dan pertunangan (engagement).

5. Engagement

Engagement adalah tes terakhir mengenai kesesuaian dalam hal

(20)

idealisme sebelum menuju pernikahan. Rata-rata dibutuhkan waktu satu tahun

untuk mencapai tujuan tersebut. Hal terpenting dalam periode ini adalah

pemanfaatan waktu oleh pasangan untuk mengatasi kesulitan di antara mereka,

membuat penyesuaian yang dibutuhkan satu sama lain, dan membangun

hubungan yang lebih dalam akan kepercayaan dan memahami satu sama lain.

Kekerasan dalam Berpacaran

a) Pengertian Kekerasan dalam Berpacaran

Definisi kekerasan dalam berpacaran, menurut Tutty, dkk (2005), kekerasan

dalam berpacaran adalah serangan, baik seksual, fisik atau psikologis, yang

dilakukan secara sengaja pada satu pasangan oleh yang lain dalam hubungan

pacaran. The University of Michigan Sexual Assault Prevention and Awareness

Center di Ann Arbor (dalam Murray, 2000) mengartikan kekerasan dalam

berpacaran merupakan suatu tindakan yang dengan sengaja dilakukan kepada

pasangan, dengan menyalahkan, mengisolasi, memanipulasi, mengancam,

menghina, serta melakukan kekerasan verbal, emosional, seksual, hingga kekerasan

fisik. Di dalam perilaku kekerasan dalam berpacaran, terdapat kekuasaan, kontrol,

dan dominasi yang kuat, yang membuat korban tetap bersamanya, dan akan selalu

tunduk atas semua perkataannya. Kekerasan merupakan perilaku yang dipelajari

dan benar-benar dilakukan secara sadar. Tidak ada yang memaksa para pelaku

kekerasan bertindak demikian karena yang memiliki kekuasaan penuh untuk

menghentikan tindakan tersebut adalah diri para pelaku itu sendiri.

Dari kedua pengertian tersebut, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa

(21)

oleh seseorang, baik secara fisik, emosional, psikologis maupun seksual, kepada

pasangannya dalam hubungan pacaran.

b) Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kekerasan dalam Berpacaran

Menurut Domestic and Dating Violence : An Information and Resource

Handbook, yang disusun Metropolitan King City Council tahun 1996 (dalam

Murray, 2000), ada beberapa faktor yang meningkatkan kekerasan dalam

berpacaran :

1. Penerimaan sosial

Penilaian manusia sangat bergantung pada penerimaan sosial atau

masyarakat. Jika masyarakat meyakini bahwa perlakuan kasar yang ditunjukkan

oleh pacar merupakan hal yang normal, maka ia biasanya tidak mampu menilai

apakah perilaku pacar tersebut termasuk dalam perilaku yang salah.

2. Ekspektasi gender

Meskipun sekarang emansipasi wanita berkembang lebih baik

dibandingkan beberapa tahun silam, namun dominasi pria dan kepasifan wanita

tetap merupakan konsep yang berlaku umum. Hal yang sama juga diungkapkan

oleh Hurlock (1999) dalam konsep perasaan superioritas maskulin dan

prasangka seks (seks bias). Perasaan superioritas maskulin menempatkan

laki-laki pada peran yang lebih penting dan bergengsi, meskipun sebenarnya

perempuan bisa lebih unggul dalam suatu kesempatan yang sama. Perasaan

superioritas maskulin ini berpengaruh pada prasangka seks (seks bias) yang

timbul pada perempuan. Barangkali keyakinan yang sudah lazim, perbedaan

pria-wanita yakni, pria lebih agresif daripada wanita (Dagun, 1992). Meskipun

(22)

melebihi laki-laki, namun ia menyadari bahwa apabila ia mengatakan atau

mengungkapkan hal itu mengakibatkan dirinya tidak memperoleh dukungan

sosial. Konsekuensinya, perempuan selalu menganggap dirinya lebih rendah

daripada laki-laki.

3. Kurang pengalaman

Minimnya pengalaman dalam berpacaran dan menjalin hubungan

menyebabkan seseorang belum mengetahui apa yang boleh dan tidak boleh

dilakukan. Misalnya, pacar penyiksa yang cemburu dan posesif dianggap

sebagai tanda cinta dan kesetiaan.

4. Punya sedikit kontak dengan orang dewasa / orang tua

Anggapan bahwa orang yang lebih dewasa ataupun orang tua tidak

menanggapi secara serius, ataupun campur tangan mereka justru menyebabkan

hilangnya kepercayaan dan kemandirian, merupakan salah satu penyebab

seseorang menyimpan rahasia untuk dirinya sendiri.

5. Kurangnya akses pada sumber-sumber sosial

Korban kekerasan seringkali tidak mengetahui bahwa kekerasan dalam

berpacaran merupakan tindakan yang salah dan menyebabkan mereka menutupi

permasalahan ini untuk dirinya sendiri, sehingga akses kepada penanganan

medis ataupun lembaga perlindungan pun menjadi minim.

6. Masalah legal

Umumnya korban kekerasan dalam berpacaran merupakan remaja atau

orang dewasa dini yang kurang memiliki peluang legal berupa akses ke

(23)

bagi korban yang tidak menginginkan adanya keterlibatan orang tua mereka

dalam mengatasi kekerasan tersebut.

7. Penyalahgunaan substansi

Meskipun penyalahgunaan substansi bukan penyebab kekerasan dalam

berpacaran, hal itu dapat meningkatkan peluang dan parahnya kekerasan.

Alkohol dan obat-obatan mengurangi kemampuan untuk menunjukkan kontrol

diri dan kemampuan membuat keputusan dengan baik.

c) Aspek-Aspek Kekerasan dalam Berpacaran

Menurut Murray (2000), ada empat aspek kekerasan dalam berpacaran,

yaitu : kekerasan verbal, kekerasan emosional, kekerasan seksual, dan kekerasan

fisik.

1. Kekerasan verbal

Tindakan yang termasuk dalam kekerasan verbal, antara lain :

memanggil dengan sebutan buruk (seperti : jalang, pelacur, bodoh), berkata

kasar dengan nada tinggi, dan memaki-maki pasangan pada saat berdua maupun

ketika secara sengaja maupun tidak, mempermalukan pacar di depan umum

dengan kata-kata yang kasar atau mengejek.

2. Kekerasan emosional

Kekerasan emosional, oleh Marshall (dalam Collins, 2011), diartikan

sebagai sebuah usaha untuk mengontrol orang lain atau mengurangi harga diri

mereka dengan menggunakan informasi pribadi yang melawan mereka.

Kekerasan ini berasal dari keinginan seseorang untuk mengontrol dan

mengendalikan pasangannya, sehingga korban merasa tidak percaya diri dan

(24)

antara lain : menghina atau mengucapkan sumpah serapah kepada pasangan,

meremehkan, mengancam atau meneror, menghancurkan barang milik pasangan,

mengisolasi pasangan dari teman-teman dan keluarga, serta memperlakukan

pasangan dengan posesif irasional atau kecemburuan yang berlebihan (Tutty

dkk, 2005).

3. Kekerasan seksual

Kekerasan seksual mencakup sentuhan seksual yang tidak diinginkan,

memaksa atau menekan pasangan untuk menyetujui aktivitas seksual,

pemerkosaan dan percobaan pemerkosaan, serta mencoba atau berhubungan seks

dengan seseorang yang berada di bawah pengaruh alkohol atau obat-obatan

(Tutty dkk, 2005). Koss (dalam Collins, 2011) mengklasifikasikan kekerasan

seksual ke dalam empat kelompok sentuhan seksual yang tidak diinginkan,

yaitu:

a) Sentuhan yang tak diinginkan, seperti ciuman, adalah tipe yang paling ringan.

b) Kekerasan verbal, terjadi ketika seseorang menekan orang lain dalam

hubungan seksual tanpa menggunakan kekerasan.

c) Percobaan perkosaan, adalah ketika seseorang menggunakan kekerasan atau

ancaman kekerasan tetapi tidak terjadi penetrasi.

d) Perkosaan, adalah penggunaan kekerasan atau ancamana kekerasan untuk

melakukan penetrasi terhadap seseorang dengan jari, penis, atau objek lain ke

dalam mulut, vagina atau anus.

4. Kekerasan fisik.

Menurut Straus (dalam Collins, 2011), kekerasan fisik adalah semua

(25)

memukul, menarik secara paksa, mendorong atau melempar sesuatu kepada

korban. Kekerasan ini meliputi : mendorong, menampar, mencekik, memukul,

menendang, menggigit, membakar, menarik rambut, menggunakan senjata,

mengancam dengan menggunakan senjata, atau membatasi pasangan dengan

sengaja (Tutty dkk, 2005). Kekerasan fisik menyebabkan kerusakan, baik secara

emosional maupun fisik. Biasanya, laki-laki menggunakan kekerasan fisik untuk

menegaskan kontrol kepada pasangannya, sedangkan perempuan menggunakan

kekerasan fisik untuk melindungi diri mereka sendiri, untuk membalas, atau

karena mereka takut pasangannya akan menyerang mereka.

METODE

a) Jenis Penelitian

Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian kualitatif.

Penelitian kualitatif bersifat deskriptif, karena berusaha untuk menggambarkan

keadaan, gejala dan proses yang terjadi pada diri individu.

b) Subjek

Karakteristik subjek penelitian yang ditentukan dalam penelitian ini adalah

perempuan korban kekerasan dalam berpacaran, meliputi beberapa aspek berikut,

yaitu : kekerasan verbal, kekerasan emosional, dan kekerasan fisik, yang telah

menjalani hubungan berpacaran tersebut selama minimal satu tahun. Batasan masa

pacaran selama satu tahun tersebut juga berlaku meskipun salah satu ataupun kedua

belah pihak pernah berusaha memutuskan hubungan itu di tengah-tengah rentang

satu tahun mereka menjalin hubungan pacaran tersebut. Selain itu, peneliti juga

(26)

penelitian dikarenakan kesulitan dalam penggalian informasi berkenaan dengan

kasus tersebut, yang dinilai terlalu tabu dan sensitif untuk diteliti (kandidat subjek

penilitian menolak untuk diwawancara), dan kesulitan mendiferensiasi kekerasan

seksual dengan perilaku pemerkosaan.

Jenis Kelamin Perempuan Perempuan

Agama Islam Kristen

Suku Bangsa Jawa Tionghoa

Pekerjaan Mahasiswi Karyawan Swasta

Detail Pekerjaan Mahasiswi Fakultas Bahasa Inggris Angkatan 2009 Pekerjaan Ayah Tidak bekerja (stroke) Tidak bekerja

Pekerjaan Ibu Wiraswasta Wiraswasta

Anak ke ... dari … saudara 1, 3 3, 7

LATAR BELAKANG PARTISIPAN Latar Belakang Partisipan 1

Di dalam keluarga, ibu partisipan 1 yang berperan sebagai tulang punggung

keluarga sejak ayahnya tidak dapat bekerja karena mengalami stroke beberapa tahun

terakhir. Ibu dari partisipan membuka usaha rumah makan yang sudah cukup terkenal di

Semarang. Hubungan partisipan dengan orang tuanya cenderung kurang terbuka dan

kurang dekat. Sejak SMA, ayahnya cenderung keras terhadap dirinya. Menurut

(27)

Hubungan partisipan lebih dekat dengan adik keduanya yang berbeda usia empat tahun.

Sedangkan dengan adik pertama yang berbeda usia dua tahun cenderung kurang dekat,

karena partisipan menilai adiknya tersebut sangat pendiam.

Partisipan pernah berpacaran sebanyak tiga kali pada masa sekolah. Hubungan

berpacaran yang terakhir dijalaninya pada masa SMA selama sekitar dua tahun.

Partisipan 1 mengakhiri hubungan dengan pasangan ketiganya karena pasangannya

tersebut harus melanjutkan kuliah di luar kota Semarang, sedangkan partisipan 1

memutuskan tetap berkuliah di kota Semarang. Karena alasan perbedaan jarak tersebut,

partisipan 1 dan pasangannya sepakat untuk mengakhiri hubungan. Namun, partisipan

mengaku jika hubungan partisipan dengan mantan pasangannya tersebut masih baik,

karena mantan pasangannya tersebut masih menghubungi partisipan 1, bahkan setelah

partisipan 1 menjalin hubungan dengan pasangannya yang sekarang.

Sekitar tahun 2010-2011, partisipan diperkenalkan oleh temannya dengan seorang

laki-laki, yang saat ini menjadi pasangannya. Setelah beberapa bulan sejak berkenalan,

kira-kira awal tahun 2012, partisipan mulai menjalani hubungan pacaran dengannya.

Pasangan dari partisipan ini berasal dari Sukorejo dan merupakan mahasiswa fakultas

keguruan di sebuah universitas yang berbeda dengan partisipan di kota Semarang Ia

tinggal di sebuah kamar kos di Semarang.

Awal masa berpacaran, pasangan dari partisipan belum memperlihatkan perilaku

kekerasan. Partisipan menilai pasangannya sangat baik, karena pasangannya sangat

perhatian dan selalu mentraktir partisipan saat mereka pergi bersama. Tetapi setelah

sekitar enam bulan berpacaran, pasangannya mulai memperlihatkan sikap

over-protective dan mudah cemburu. Pasangannya mulai membatasi pergaulan partisipan

(28)

sehingga partisipan menghabiskan lebih banyak waktunya dengan pasangannya.

Handphone milik partisipan selalu diperiksa dan menghapus semua kontak teman

laki-laki. Pasangannya akan marah jika menemukan pesan dan daftar panggilan telepon dari

teman laki-laki atau mantan pacar dari partisipan, kemudian akan mengganti nomor /

simcard dari partisipan. Bahkan pasangannya pernah membanting handphone partisipan

dan akan memaki-maki partisipan dengan kata-kata yang tidak pantas jika mengetahui

partisipan diketahui telah berkomunikasi dengan laki-laki lain.

Setelah satu tahun lebih berpacaran, yaitu sekitar tahun 2013, partisipan mulai

mendapatkan kekerasan fisik dari pasangannya. Partisipan akan didorong atau dipukul

jika partisipan memaksa pasangannya untuk membahas masalah yang sedang mereka

alami, sementara pasangannya lebih memilih untuk menenangkan diri terlebih dahulu

daripada membahasnya langsung. Bahkan partisipan pernah dipukul oleh pasangannya

hingga jatuh pingsan. Pasangannya juga pernah menginjak kaki partisipan dan memaksa

partisipan untuk mengikutinya ke kos, kemudian mengancam akan bunuh diri setelah

partisipan meminta memutuskan hubungan.

Latar Belakang Partisipan 2

Di antara keenam saudaranya, partisipan dinilai paling beruntung karena bisa

mengenyam pendidikan sampai tingkat strata satu. Kedua kakak partisipan bahkan

hanya lulusan SMP, sedangkan keempat adiknya hanya bersekolah sampai tingkat

SMA/SMK. Oleh karena itu, partisipan diharapkan mampu membantu perekonomian

keluarganya, yang selama ini hanya mengandalkan penghasilan dari kakak kedua yang

bekerja sebagai driver dan ibunya yang membuka toko jamu tradisional. Ayahnya sudah

(29)

Partisipan sebenarnya mengaku lebih dekat dan terbuka dengan ibunya. Tetapi

karena takut membebani pikiran ibunya, akhir-akhir ini partisipan lebih memilih untuk

bercerita kepada adik perempuannya. Partisipan mengaku sering bertengkar dengan

kakak keduanya. Yang memiliki sifat keras dan paling dominan di dalam keluarga,

bahkan dibandingan dengan ayahnya.

Setelah lulus kuliah sekitar tahun 2009, partisipan mendapatkan pekerjaan di salah

satu perusahaan developer di Pekalongan. Di situlah partisipan mulai mengenal laki-laki

yang menjadi pasangannya sekarang. Pasangan dari partisipan merupakan karyawan

senior, bahkan bisa dikatakan merupakan tangan kanan dari pemimpin perusahaan.

Pasangannya tersebut sudah menunjukkan rasa ketertarikannya sejak awal partisipan

mulai bekerja, tetapi partisipan tidak menanggapinya karena saat itu partisipan baru saja

putus dengan pacarnya. Karena intensitas pertemuan terjadi setiap hari, akhirnya sekitar

tahun 2010, partisipan bersedia menjalani hubungan pacaran dengan pasangannya

tersebut.

Partisipan mengaku bahwa sejak awal pasangannya sangat posesif terhadap

partisipan. Pergaulan partisipan dibatasi oleh pasangannya. Partisipan hanya boleh

diantar-jemput kerja oleh pasangannya atau keluarganya. Bahkan jika ingin bepergian

dengan keluarga, partisipan akan berkali-kali menerima short message service,

blackberry messenger, atau telepon dari pasangannya untuk segera pulang. Pasangan

pernah mengetahui partisipan pergi dan makan bersama dengan teman pria, yang juga

merupakan teman kerja dan teman gereja dari partisipan dan pasangannya. Mengetahui

hal tersebut, pasangan memarahi, membentak-bentak, menganggap partisipan telah

(30)

Meskipun bekerja dalam perusahaan yang sama, partisipan dan pasangannya

sepakat untuk tidak membawa masalah pekerjaan ke dalam kehidupan pribadi. Tapi

sejak 1-2 tahun terakhir, permasalahan yang terjadi di kantor juga mempengaruhi

kehidupan pribadi partisipan dan pasangannya. Pada suatu hari terjadi kesalahpahaman

di kantor, pasangan dari partisipan akan membentak, mendorong, dan juga pernah

menutup mulut partisipan dengan paksa. Pertengkaran tersebut juga terbawa setelah jam

kerja usai. Apalagi saat ini kondisi kantor yang sedang sulit membuat pasangan dari

partisipan mudah marah dan partisipan pernah menerima tamparan dari pasangannya

saat sedang bertengkar.

ANALISA Partisipan 1

1. Dedikasi Personal

Dedikasi personal menggambarkan keinginan individu untuk bersama dengan

satu pasangan; keinginan seorang individu untuk mempertahankan atau

meningkatkan kualitas hubungannya untuk kepentingan bersama. Dedikasi personal

ini mencakup memiliki pandangan jangka panjang terhadap hubungan, menjadikan

hubungan tersebut sebagai prioritas, dan berkorban untuk pasangan atau kebaikan

hubungan.

“Sekarang sih (hubungan partisipan dengan pasangan) lagi baik-baik saja. P1 W1 12”

“Ya pernah sih (berpikir rencana hubungannya ke depan), kita sudah ada komitmen mau jalin hubungan lebih serius. (P1 W1 20-21)”

“Pernah, pernah (membicarakan soal pernikahan). Itu ngomongnya juga

waktu sedang di rumah sana. Pas lagi di tempat asalnya. Jadi ada mamanya,

ada papanya. (P1 W1 66-69)”

“Pokoknya udah, udah yang mikir ke masa depan. (P1 W1 74-75)”

(31)

“Pokoknya hariannya sama dia. Maen kemana gitu nggak boleh. Harus sama dia. (P1 W1 164-166)”

Walaupun partisipan telah menerima perlakukan kekerasan dari pasangannya,

partisipan akan memaafkan pasangannya. Apalagi pasangannya akan bersikap manis

setelah melakukan kekerasan. Bahkan partisipan mengaku sudah terbiasa dengan

perlakuan tersebut.

“Kalau misal abis mukul, ya udah nggak aku masalahin. Soalnya ya begitu, kalau misal abis-abis mukulin, abis… langsung minta maaf, nangis-nangis, jadi merasa bersalah banget, nyesel. Kayak gitu-gitu. (P1 W1 326-332)” “Iya, he’em. Dianya merasa menyesal kayak gitu. Jangan sampe itu lah, jangan sampai, maksudnya, jangan sampai putus lah.... Dia pokoknya menyesal. Mukanya tu menyesal. Kayak..tadi tu, jadi tu kalau-kalau aku gampang luluh tu gara-garanya mikirnya gini eee… apa ya, tadi tu khilaf, tadi tu kayak orang kesetanan. Nah, sekarang tu dia, sekarang sudah sadar. Gitu sih. (P1 W1 559-569)”

“Terus ya itu gara-gara dia abis ngasarin, jadi manis. Jadi kayak muka menyesal, merasa bersalah gitu sih. Bikin akhirnya lama-lama juga terbiasa. Soalnya iya itu, sifat manisnya habis mukul itu jadi bisa lupa tadi habis diapain gitu. (P1 W1 1202-1208)”

Partisipan justru merasa jika perlakuan kasar pasangannya dilakukan karena

akibat dari kesalahan yang dilakukan partisipan juga.

“Aku sih, cuman ya kadang ya gimana. Ini juga aku yang salah. Aku kan mikirnya begitu. Gitu sih. Jadi dia kan kayak gini gara-gara negur aku. Caranya dia negur aku. Daripada aku... nggak papa aku disakitin di badan, daripada di hati. Gitu mikirnya aku. Makanya ya sudah buta lah. Hahaha…

(P1 W1 250-257)”

“Kadang tu lebih sering, lebih sering aku yang salah. (P1 W1 551-552)” 2. Komitmen Kendala (Constraint)

Komitmen kendala mengacu pada aspek dari hubungan seseorang atau

pasangan yang membuat sulit untuk putus atau mengakhiri hubungan.

a) Tekanan sosial (social pressure)

Mengacu pada tekanan yang orang lain berikan pada pasangan untuk

(32)

Keluarga dari partisipan tidak menyetujui hubungan dengan pasangannya, tetap

tidak pernah disampaikan secara terus-terang. Walaupun pasangan mengetahui

ketidaksetujuan tersebut, tetapi ia tetap memilih untuk tetap bertahan.

“Cuman kalau masalah setuju apa ndak, orang tuaku kayaknya ndak setuju kalau sama dia. (P1 W1 401-403)”

“Tapi kalau orang tuaku tu apa ya, kayak rikuhan itu lho, cik. Itu kan anaknya orang. Mau di, apa, mau di, masak mau dimarah-marahin gitu kan nggak enak. Paling cuma didiemin aja sih. Pas jemput aku gitu didiemin. (P1 W1 434-440)”

“Ya pas liat bekas-bekas memar-memar gitu. Bekas-bekas kayak gitu, dipukulin. Ditanya-in, “Itu kenapa?” Terus ditanyain, “A**?”.Apa, belom… pernah komentar, “Belom nikah aja udah kayak gitu. Masih pacaran aja udah kayak gitu.” Udah gitu aja sih, cik. Tapi dia nggak berani negur langsung ke sananya. (P1 W1 457-464)”

Sebaliknya, keluarga dari pasangan partisipan sangat mendukung

hubungan tersebut, terutama ibu dari pasangan, dan pernah menyatakan

keinginan untuk datang melamar kepada keluarga partisipan. Partisipan

mengakui jika ibu dari pasangannya sering melakukan intervensi terhadap

hubungan tersebut.

“Soalnya dari pihak keluarga dari pihak sananya juga sudah bilang udah kamu sama ini aja, sudah jalanin fokus ke depan, soalnya tante ama o’om juga mikir masa depan kalian. (P1 W1 21-26)”

“Kalau misal ada masalah juga, mamanya juga ikut nyelesai’in. (P1 W1 75-77)”

“He’em. Yang lebih setuju itu malah orang tuanya cowoknya. (P1 W1 405-406)”

“Orang tuanya sana bilang ke aku, “Nok, sampein ke mamamu, apa tante sama o’om datang ke rumah mamamu buat ngelamar. Apa ya? Biar ada ikatan tunangan lah. (P1 W1 413-417)”

“Terus mamanya telepon, “Nok, kalau ada masalah, diselesaiin baik-baik ya. … Jangan langsung diambil keputusan yang putus.” (P1 W1 979-983)”

Reaksi beragam muncul dari teman-teman partisipan. Ada yang

mendorongnya untuk putus, ada yang memilih untuk tidak ikut campur dan

(33)

akan melanjutkan hubungan dengan pasangannya, karena mereka menilai bahwa

pasangan dari partisipan menjadi lebih baik setelah berpacaran dengan

partisipan.

“Abis berantem ya? Terus kenapa kamu masih bertahan. Ada yang gitu-gitu. Ada yang cuman diem, cuma tanya aja, nggak berani komen kan. Kalau yang, eee… Ada sih temen yang suka komen, “Udah sih putus aja. Kayak gitu kok. Ngapain dipertahanin?” (P1 W1 241-248)”

“Awalnya, awalnya tu aku curhat sama satu temen … Ada yang jengkel, ada yang gimana-gimana, ada yang udah nggak mau ikut campur. (P1 W1 264-268)”

“Kebanyakan sih temen-temennya kan mungkin itu temen pacarku, jadi mereka lebih, lebih cuek gitu ya. Lebih nggak mau ikut campur. (P1 W1 287-290)”

“Tapi ada juga kok temennya yang, “Udah lah sama ini aja. Udah serius -serius sama A** aja.” Itu temennya. (P1 W1 342-345)”

“Temennya tu aku lihat sudah kayak emosi gitu lho. Emosi. “Kamu tu

cowok apa cewek kok mukulin cewek sampai kayak gitu?” (P1 W1

316-319)”

“Tapi ada juga kok temennya yang, “Udah lah sama ini aja. Udah serius -serius sama A** aja.” Itu temennya. (P1 W1 342-345)”

“He’em. Di kos juga kejadiannya. Pokoknya gitu. Terus dia, dia ngeliat, nyaksiin gitu, terus nggak enak. Kok berantem. Dia pamit pulang. Udah gitu. Besoknya, besoknya eee… SMS aku sih, “Gimana, M*, kemarin? Keadaannya kamu. Diapain? Sorry ya tak tinggal pulang… Kalau misal kamu nggak betah sama dia, udah lah kamu omongin baik-baik.” Dia malah nyaranin kayak gitu. Itu temen cowok. (P1 W1 371-381)”

b) Ketersediaan alternatif pasangan lain (available alternative partners)

Ketersediaan alternatif pasangan lain yang memungkinkan untuk dijalani

apabila hubungan yang sekarang berakhir. Partisipan mengaku awalnya merasa

kawatir tidak ada alternatif pasangan lain jika harus mengakhiri hubungan,

karena pasangannya sangat membatasi hubungan partisipan dengan orang lain.

(34)

“Kalau pria, pasti. Itu tetep nggak boleh, tetep dilarang. (P1 W1 130-131)”

“Itu pas dulu sih. Pas apa ya, pas aku ganti simcard, terus handphoneku kontak-kontak cowoknya dihapus, diilangin semua, itu sempet aku mikir nanti kalau misal aku putus, nggak punya temen. Aku sama siapa ya. (P1

W11082-1087)”

Tetapi sekarang partisipan tidak demikian, bahkan partisipan pernah

berhubungan dengan dengan pria lain saat hubungan dengan pasangannya

memburuk, walapun pada awalnya partisipan hanya berniat untuk membalas

dendam terhadap pasangannya.

“Aku nanggepin cowok itu pas lagi ada masalah sama pacar. Jadi aku nanggepin sana. Dan sananya juga yang tadinya datang ke aku. Aku jadi

respon gara-gara berantem. (P1 W1 769-773)”

“He’em. Tapi akhir-akhir ini sih sudah mulai ini sih, sudah mulai…

hehe… ada lah. (P1 W1 1091-1093)”

c) Status keuangan alternatif (alternative financial status)

Status keuangan alternatif mencakup sejauh mana seseorang akan tidak

bahagia tentang beberapa atau semua hal akan kemungkinan perubahan hidup

ketika hubungan berakhir. Partisipan tidak kawatirkan mengalami kesulitan

dalam hal keuangan jika hubungannya berakhir, karena justru partisipan yang

harus mengeluarkan lebih banyak uang. Pasangannya meyakinkan partisipan

jika tindakan itu dilakukan untuk mengurangi kebiasaan partisipan berbelanja.

Padahal saat awal pacaran, pasangannya yang selalu mentraktir partisipan.

(35)

kurangnya gitu. Kamu kan juga kadang ada uang jajan. Kalau misal kadang gantian gimana?” Gitu. Dia bilangnya begitu. “Oya, oya udah nggak papa.” Aku juga mikirnya, “Oiya ya, kasian kan tiap hari ketemu gitu. Kalau dia terus ya uangnya abis.” (P1 W1 618-643)”

“Sampai tahun-tahun terakhir ini ya, bulan-bulan akhir ini ya malah jadi kebiasaan akunya yang lebih sering keluar uang. (P1 W1 648-651)”

“Mungkin saking lamanya pacaran. Terus udah kebiasaan juga, udah saling terbuka juga, nggak jaim-jaiman, nggak ada sungkan-sungkanan. Dia yang bilang, “Pakai uangmu ya. Pakai uangmu dulu ya.” (P1 W1 673-678)“

“Ya iya sih, keberatan juga kalau misal, apa ya, aku juga udah mulai mau bilang sama dia. Mungkin tu gini, dia tu eee… minta, minta, kadang tu gini, minta-minta dibayarin sama aku, alesannya biar aku nggak belanja.

“Udah lah uangnya buat berdua.” (P1 W1 720-726)”

“He’em (malah senang jika putus). Malah bisa nabung. Hahaha. (P1 W1

742)”

d) Kepedulian terhadap kesejahteraan pasangan (concern for partner welfare)

Kepedulian terhadap kesejahteraan pasangan mengacu kepada kekawatiran

akan kondisi kesejahteraan pasangan jika hubungan berakhir. Partisipan merasa

kawatir jika memutuskan hubungan, maka pasangannya akan melakukan

tindakan yang membahayakan dirinya karena pasangannya pernah beberapa kali

mengancam dengan cara menyakiti dirinya sendiri dengan benda tajam.

“Aku dah takut di situ. “Ya, ya, udah. Aku nggak bakal putusin kamu. Iya udah, kita nggak putus. Tapi kamu jangan kayak gitu.” Aku takutnya, ini anak orang. Kalau misalkan kenapa-kenapa di sini adanya aku kan takut ya, cik. (P1 W1 964-971)”

“He’em. Sempet takut makanya, sempet takut. Tapi kok itu, ya aku terpaksa. Ya udah jalanin. Kan takut ya kalau misal nanti dia nekat atau

gimana. (P1 W1 1019-1022)”

e) Prosedur pemutusan hubungan (termination procedures)

Prosedur pemutusan hubungan mengacu pada kesulitan dari

langkah-langkah yang harus diambil untuk mengakhiri hubungan tersebut. Partisipan

mengaku kesulitan setiap kali partisipan meminta putus setelah terjadi kekerasan

(36)

menangis, bahkan mengancam akan menyakiti diri sendiri jika partisipan

memutuskannya, sehingga partisipan memilih untuk kembali berpacaran.

“Terus pas aku udah jatuh pingsan, baru aku dibawa ke kamar. Dianya langsung sadar, nangis. (P1 W1 311-313)

“Soalnya ya begitu, kalau misal abis-abis mukulin, abis… langsung minta maaf, nangis-nangis, jadi merasa bersalah banget, nyesel. (P1 W1 328-331)”

“Dianya merasa menyesal kayak gitu. Jangan sampe itu lah, jangan sampai, maksudnya, jangan sampai putus lah... Dia pokoknya menyesal. Mukanya tu menyesal. Kayak..tadi tu, jadi tu kalau-kalau aku gampang luluh tu gara-garanya mikirnya gini eee… apa ya, tadi tu khilaf. (P1 W1 559-567)”

“Dia, dia bilang nggak mau putus... Sampai dia tu mau bunuh diri. Kayak gitu. Sampai gunting tu mau ditancepin ke tangannya. Di dadanya juga udah ditulis pakai gunting itu tu namaku. (P1 W1 954-959)

“Terus ya itu gara-gara dia abis ngasarin, jadi manis. Jadi kayak muka menyesal, merasa bersalah gitu sih. Bikin akhirnya lama-lama juga terbiasa. Soalnya iya itu, sifat manisnya habis mukul itu jadi bisa lupa tadi habis diapain gitu. (P1 W1 1202-1208)”

f) Investasi struktural (structural investments)

Investasi struktural adalah hal-hal yang terkait dalam suatu hubungan,

terutama harta dan investasi keuangan. Partisipan lebih sering mengeluarkan

uang dan membelanjakan barang untuk pasangannya, seperti sepatu, baju,

dompet, ikat pinggang, jam, dan sebagainya. Partisipan merasa sayang atas

banyaknya uang yang dikeluarkan jika hubungannya harus berakhir.

“Kalau itu sih mungkin ini ya, apa, kalau aku pas lagi belanja gitu aku juga inget dia. Beliin sepatu, baju, dompet, apa jam, apa ini sih, sabuk kayak gitu, ikat pinggang, gitu-gitu sih. Terus juga lebih sering bayarin sih akhir-akhir ini. (P1 W1 1105-1109)”

“He’em, makanya itu yang bikin gampang balikkan. Sayang nih udah

(37)

Partisipan 2

1. Dedikasi Personal

Dedikasi personal dibuktikan oleh keinginan (dan perilaku yang terkait) tidak

hanya untuk melanjutkan hubungan, tetapi juga untuk meningkatkannya, berkorban

untuk hubungan, berinvestasi di dalamnya, menghubungkan tujuan pribadi dengan

hubungan, dan mencari kesejahteraan pasangan, tidak hanya untuk diri sendiri.

“Kalau saat ini sih baik-baik saja ya. Nggak ada masalah. (P2 W1 12-13)”

“Dari dia selalu bilang bahwa saya ini akan dijadikan sebagai calon istrinya. Dari situ saya lihat bahwa dia memang ada ke arah yang lebih serius. (P2

W123-26)”

“Dia memang sayang. Cuman dia terlalu ngekang, jadi kayak eee… nggak ngasih kebebasan ke aku. (P2 W1 355-357)”

“Tapi sebenarnya sih dari dianya, dari temen (laki-laki) saya itu mintanya lebih. Cuman dari sayanya nggak lah, karena sayanya juga sudah komitmen dengan cowok saya itu. (P2 W1 409-413)”

"Paling sih belum kalau pernikahan, tapi eee… ke lamaran dulu. (P2 W1 647-648)”

“Dan ini juga sudah lima tahun. Saya sudah tau karakternya dia, sudah saling tahu. Dan saya juga kadang masih bisa, ya menerima dia apa adanya juga, dengan sikapnya dia yang seperti itu. (P2 W1 688-693)”

Meskipun partisipan mendapat perlakuan kekerasan dari pasangannya,

partisipan memilih untuk bertahan. Partisipan mengaku kerapkali luluh jika

pasangannya meminta maaf dan minta berbaikan, selain itu partisipan juga sudah

malas jika harus memulai hubungan dengan orang lain dari awal.

“Karena mungkin saya juga terlanjur sayang ya sama dia, jadinya mmm… kalau dia minta balikan lagi yo nggak papa gitu. (P2 W1 300-303)”

(38)

dengan yang eee… apa, posesifnya dia. Karena sih saya juga merasa, kadang kalau dia berbuat seperti itu ya kadang ada benernya juga, untuk kebaikkan saya juga. (P2 W1 686-697)”

Partisipan justru merasa jika perlakuan kasar pasangannya dilakukan karena

untuk kebaikan partisipan, atau bahkan akibat dari kesalahan yang dilakukan

partisipan juga.

“Karena sih saya juga merasa, kadang kalau dia berbuat seperti itu ya kadang ada benernya juga, untuk kebaikkan saya juga. (P2 W1 694-697)” 2. Komitmen Kendala (Constraint)

Komitmen kendala mengacu pada pemaksaan yang dilakukan terhadap dirinya

sendiri yang membatasi individu untuk menjaga hubungan, terlepas dari komitmen

dedikasi mereka.

a) Tekanan sosial (social pressure)

Tekanan sosial mengacu pada tekanan yang orang lain berikan pada

pasangan untuk memelihara hubungan mereka, terutama teman-teman dan

keluarga. Keluarga partisipan sebenarnya tidak menentang hubungan partisipan

dengan pasangannya, dan cenderung setuju karena keluarga partisipan berharap

partisipan mendapatkan pasangan dari suku bangsa yang sama. Tetapi keluarga

juga marah jika mengetahui partisipan diperlakukan buruk oleh pasangannya.

“Responnya mereka jadi dari situ mereka, ini sih seakan-akan juga, “Udah lah dipertimbangkan lagi kalau dengan cowok seperti, pacaran dengan cowok seperti itu ngapain?” Karena dia juga sudah berbuat kasar. Katanya seperti itu. (P2 W1 584-589)”

(39)

Sedangkan teman-teman partisipan cenderung tidak setuju terhadap

keputusan partisipan untuk bertahan terhadap hubungan tersebut dan meminta

partisipan mempertimbangkannya lagi. Tetapi partisipan cenderung memilih

untuk tidak memperdulikannya.

“Ya responnya temen-temen sih mereka malah merasa, mereka melihat juga ya saya kasihan. (P2 W1 201-203)”

“Sebetulnya banyak yang menentang sih hubungan saya sama dia, tapi ya saya cuekin saja. (P2 W1 215-217)”

“Sebenernya sih temen-temen kantor ada yang nggak setuju. Cuma kan karena ya… sayanya juga tetep eee… tetep menjalani seperti itu, mereka juga nggak bisa apa-apa sih. Mereka ya terima. Tapi mereka kadang cuma ngasi tau aja apa nggak dipikir ulang kamu pacaran sama dia, dengan sikap dia yang seperti itu, yang posesif, dan yang lain sebagainya. (P2 W1 330-339)”

b) Ketersediaan alternatif pasangan lain (available alternative partners)

Ketersediaan alternatif pasangan lain yang memungkinkan untuk dijalani

apabila hubungan yang sekarang berakhir. Partisipan sebenarnya tidak pernah

berpikir akan kesulitan memperoleh alternatif pasangan jika mengakhiri

hubungan, bahkan saat ini partisipan mengaku sedang dekat dengan teman

kantor sekaligus teman gerejanya. Tetapi pria tersebut juga merupakan sahabat

dari pasangannya. Jika hubungan partisipan harus berakhir dengan pasangannya,

partisipan akan tetap memilih berpacaran dengan pria tersebut.

“Ya… saya kalau misal curhat-curhat tentang cowok saya itu ya curhatnya ke dia, karena kan … kayak jalan satu-satunya buat saya untuk apa ya, menceritakan keluh kesah saya. (P2 W1 401-406)”

“Cuman kan saya nggak mungkin kalau eee… saya memutuskan, memutuskan pacar saya, terus lalu saya sama temen saya itu. Karena kan mereka juga sahabatan. Jadi saya juga serba salah. Kalau nanti saya sudah putus sama pacar saya, kemudian saya juga pacaran sama yang, temen saya itu, dan itu pun juga sahabat saya, nantinya kan saya juga apa ya, rasa kayak dikiranya gimana gitu. (P2 W1 473-483)”

(40)

Pasangan dari partisipan mengetahui kedekatan partisipan dengan laki-laki

lain, sehingga pasangannya membatasi hubungan partisipan dengan laki-laki

tersebut.

“Apalagi dengan kedekatan saya dengan temen saya yang satu itu, eee…

dia juga mungkin merasa cemburu. (P2 W1 230-233)”

“Ya dia jadi membatasin ini .. saya dengan temen cowok itu. (P2 W1 441-442)”

c) Status keuangan alternatif (alternative financial status)

Status keuangan alternatif mencakup sejauh mana seseorang akan tidak

bahagia tentang beberapa atau semua hal akan kemungkinan perubahan hidup

ketika hubungan berakhir. Walaupun pasangan dari partisipan selalu

mengeluarkan uang jika pergi bersama, partisipan mengaku tidak kawatir

dengan kondisi keuangannya jika harus putus dengan pasangannya, karena

partisipan masih tinggal bersama orang tuanya dan mendapatkan makan dari

orang tuanya.

“Kalau selama ini sih makan saya selalu di ini ya, dibayarin sama dia. Setiap kali saya mau bayar, dia nggak pernah mau. “Nggak usah.

Uangnya disimpen aja.” Seperti itu sih kalau untuk makan. (P2 W1 658

-662)”

“Nggak ada sih. Karena kan saya juga masih tinggal dengan orang tua. Otomatis kan saya makan juga masih ikut orang tua. Jadi biasa-biasa aja.

(P2 W1 668-671)”

Namun partisipan merasa kawatir jika pasangannya akan merasa dendam

dan menjatuhkan karier partisipan, karena pasangannya tersebut merupakan

tangan kanan dari pemilik perusahaan. Padahal partisipan merupakan salah satu

tulang punggung keluarga.

“Karena dia kan di kantor punya power. (P2 W1 323-324)”

(41)

misalkan ada masalah apa-apa yang sudah saya, jadi kadang lebih baik udah lah. Kalau memang seperti itu, nanti saya yang, apa ya, kadang

mempertahankan. (P2 W1 281-292)”

“Saya takut nanti kalau eee… saya misalkan nanti putus sama dia, lalu dia jadi dendem sama saya, nanti dia bisa ngadu yang nggak-nggak ke owner saya kan saya sendiri yang repot. Karena saya juga kan masi satu kerjaan sama dia. Hanya itu sih pertimbangannya. Itu aja. (P2 W1 711-718)”

d) Kepedulian terhadap kesejahteraan pasangan (concern for partner welfare)

Kepedulian terhadap kesejahteraan pasangan mengacu kepada kekawatiran

akan kondisi kesejahteraan pasangan jika hubungan berakhir. Partisipan merasa

kawatir jika memutuskan hubungan, maka pasangannya akan melakukan

tindakan yang membahayakan dirinya. Partisipan juga kawatir tidak ada wanita

lain yang mau berpacaran dengan pasangannya karena karakternya yang aneh.

“Iya, saya kasihan. Saya nggak tega lihatnya. Takutnya nanti malah dia bunuh diri. (P2 W1 623-625)”

“Iya, kasian juga (tidak ada wanita lain yang mau) sama dia. Ya karena orangnya seperti itu sih. Unik. (P2 W1 721-722)”

e) Prosedur pemutusan hubungan (termination procedures)

Prosedur pemutusan hubungan mengacu pada kesulitan dari

langkah-langkah yang harus diambil untuk mengakhiri hubungan tersebut.Pasangan dari

partisipan selalu menolak jika partisipan meminta untuk putus. Partisipan

merasa kesulitan untuk meminta putus karena pasangannya akan

memohon-mohon dan meminta maaf sambil menangis. Terkadang pasangan dari partisipan

melukai badannya agar partisipan mengurungkan niatnya untuk mengakhiri

hubungan.

“Waktu itu saya sempet minta putus, tapi diane nggak mau. (P2 W1

272-273)”

(42)

“Saya sih sebenarnya juga pengen lepas ya dari dia. Cuma dianya kadang kalau misalkan dari dulu kejadian, kalau misalkan saya mau minta putus, dia selalu ndak pernah mau. Jadi dia selalu merayu-rayu saya lagi, selalu ya memohon-mohon saya, sampai nangis-nangis seperti itu. (P2 W1 603-609)”

“Sampai kadang nyayat-nyayat tangannya juga. (P2 W1 611-612)”

“Ya kalau misalkan saya sudah mau minta putus gitu, dan saya maksa putus, dia selalu melakukan seperti itu. (P2 W1 616-618)”

“Terus sampai rumah dia minta maaf, telpon sama saya. Ya kayak gitu lagi. Saya jadi ini lagi, memaafkan dia lagi. (P2 W1 637-640)”

f) Investasi struktural (structural investments)

Investasi struktural adalah hal-hal yang terkait dalam suatu hubungan,

terutama harta dan investasi keuangan. Partisipan mengaku tidak

mempermasalahkan seberapa besar uang yang telah dikeluarkan selama

berpacaran jika hubungannya berakhir.

(43)

PEMBAHASAN

Tabel 2 Perbandingan Komitmen Partisipan

Aspek Partisipan 1 Partisipan 2

Dedikasi Personal Menganggap perilaku kekerasan yang diterima adalah akibat dari kesalahannya.

Menganggap pasangan melakukan kekerasan untuk kebaikkan partisipan.

Tekanan Sosial Adanya intervensi dari ibu pasangan.

Harapan keluarga partisipan terhadap kriteria pasangan dari suku bangsa yang sama.

Ketersediaan Alternatif

Ada alternatif pasangan lain, tidak kawatir putus.

Ada alternatif pasangan lain, tidak kawatir putus.

Status Keuangan Alternatif

Partisipan lebih banyak mengeluarkan uang, justru merasa senang jika putus.

Adanya resiko buruk dalam pekerjaan dimana pasangan juga merupaka atasannya di kantor. Kepedulian terhadap

Kesejahteraan Pasangan

Kawatir pasangan akan menyakiti diri sendiri jika putus.

Kawatir pasangan akan menyakiti diri sendiri dan akan kesulitan mengancam menyakiti diri sendiri jika diputus

Pasangan selalu meminta maaf dan memohon-mohon, bahkan mengancam menyakiti diri sendiri jika diputus

Investasi Struktural Tidak mudah untuk putus karena banyaknya investasi keuangan yang diberikan selama pacaran.

Tidak mempermasalahkan investasi keuangan, tapi banyaknya investasi waktu yang diberikan.

Berdasarkan hasil penelitian tersebut, dapat dilihat gambaran komitmen dari kedua

partisipan sebagai berikut :

1. Dedikasi Personal

Terdapat persamaan antara dedikasi personal kedua partisipan, yaitu walaupun

mereka telah mengalami kekerasan, baik secara verbal, psikologis dan fisik, tapi

mereka tetap memilih untuk bertahan, karena pasangan mereka selalu berhasil

membuat partisipan merasa tidak tega dengan memohon-mohon, meminta maaf,

menangis, bahkan mengancam bunuh diri atau hanya sekedar menyakiti diri sendiri.

Pola-pola khas ini muncul secara berulang-ulang, dimulai dengan pelaku yang

melakukan kekerasan terhadap korban, kemudian pelaku merasa bersalah, menyesal,

(44)

hingga korban bersedia untuk melanjutkan hubungan kembali dengan pelaku, tetapi

kemudian pelaku melakukan kekerasan kembali di kemudian hari.

Selain itu, kedua partisipan merasa bahwa perlakuan kasar yang dilakukan

pasangan mereka adalah akibat dari kesalahan partisipan sendiri. Perbedaannya

adalah partisipan 2 justru kadang merasa bahwa perilaku kekerasan dilakukan oleh

pasangannya karena demi kebaikannya juga.

Selain itu, partisipan 2 memilih melanjutkan hubungan karena sudah merasa

malas jika harus memulai hubungan yang baru dengan pria lain dari awal. Karena

partisipan 2 sudah dua kali menjalani hubungan berpacaran dengan laki-laki lain,

tapi tidak berhasil.

Menurut Thibaut dan Kelley (dalam West & Turner, 2007), setiap individu

secara sukarela memasuki dan tinggal di dalam suatu hubungan hanya selama

hubungan itu cukup memuaskan dalam hal penghargaan dan pengorbanannya.

Dalam kasus yang dialami oleh kedua partisipan, keduanya justru pengorbanan yang

harus dikeluarkan lebih banyak, namun mereka tetap memilih untuk bertahan.

2. Komitmen Kendala (Constraint)

a) Tekanan sosial (social pressure)

Menurut Metropolitan King City Council (dalam Murray, 2006), penilaian

manusia sangat bergantung pada penerimaan sosial atau masyarakat. Tekanan

yang paling besar adalah dari pihak keluarga atau teman-teman dalam

memelihara hubungan (Stanley & Markman, 2010). Dalam hal ini partisipan 1

dan partisipan 2 sangat dipengaruhi oleh respon dari keluarganya.

Partisipan 1 merasa sungkan dengan intervensi yang dilakukan oleh ibu

(45)

membantu pasangannya untuk meminta agar partisipan 1 tidak memutuskan

hubungan.

Sedangkan partisipan 2 mengetahui bahwa keluarganya marah saat

mengetahui partisipan diperlakukan kasar oleh pasangannya, tetapi keluarga

partisipan 2 sebenarnya lebih suka partisipan 2 berpacaran dengan pasangannya

karena akhirnya partisipan 2 mendapatkan pasangan yang berasal dari suku yang

sama.

b) Ketersediaan alternatif pasangan lain (available alternative partners)

Pada awalnya, partisipan 1 merasa kawatir tidak akan mendapatkan

alternatif pasangan lain jika hubungannya berakhir, karena pasangannya sangat

membatasi hubungan partisipan 1 dengan lawan jenis. Tetapi sekarang partisipan

1 mengaku tidak merasa kawatir lagi, bahkan partisipan akan berhubungan dekat

dengan pria lain saat sedang mengalami masalah dengan pasangannya.

Sedangkan partisipan 2 mengaku tidak kawatir dengan ketersediaan

alternatif pasangan lainnya jika hubungannya berakhir. Ada pun saat ini pun

partisipan 2 sedang dekat dengan seorang laki-laki dan mengaku merasa lebih

nyaman dengannya daripada dengan pasangannya. Tapi partisipan 2 mengaku

sungkan jika nantinya harus menjalin hubungan pacaran dengan laki-laki

tersebut, karena laki-laki tersebut juga merupakan sahabat dari pasangannya saat

ini.

West dan Turner (2007) berpendapat jika orang melihat tidak ada alternatif

dan takut sendirian lebih daripada jika ia bertahan dalam hubungan itu, Teori

(46)

cenderung tidak sesuai dengan kondisi yang dialami oleh partisipan 1 dan

partisipan 2, karena sebenarnya mereka memiliki alternatif pasangan lain,

namun hal tersebut tidak menjadikan mereka meninggalkan hubungan tersebut.

Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Collins (2011) bahwa orang seringkali

memilih untuk bertahan di dalam hubungan yang tidak memuaskan daripada

mencari alternatif pasangan lain, sekalipun terdapat kekerasan di dalam

hubungan tersebut, karena adanya kesulitan, bahkan kegagalan, dalam

usaha-usaha yang harus dilakukan untuk meninggalkan hubungan tersebut

c) Status keuangan alternatif (alternative financial status)

Kedua partisipan mengaku tidak bermasalah dalam hal keuangan jika

hubungan dengan pasangannya berakhir. Partisipan 1 justru merasa senang,

karena pastisipan 1 justru mengeluarkan lebih banyak uang selama berpacaran

dengan pasangannya.

Sedangkan partisipan 2, walaupun selama ini pasangannya yang lebih

sering mengeluarkan uang, namun partisipan 2 tidak kawatir karena partisipan 2

masih tinggal bersama keluarganya dan masih mendapatkan makanan dari

keluarganya.

Namun pertisipan 2 merasa kawatir jika meminta untuk mengakhiri

hubungan, maka pasangannya akan membalas dendam dengan cara

menjelek-jelekkan partisipan 2 di hadapan pemilik perusahaan dengan resiko partisipan

akan dikeluarkan dari perusahaan, karena pasangan dari partisipan 2 merupakan

tangan kanan pemilik perusahaan. Partisipan 2 yang merupakan salah satu tulang

punggung keluarga mengaku kawatir jika dikeluarkan dari perusahaan tersebut

(47)

Menurut Bienenstock dan Bianchi (dalam West & Turner, 2007), beberapa

peneliti mengamati bahwa pertukaran tertentu, seperti pemberian hadiah,

memberikan status dan kekuasaan pada si pemberi. Hal itu tidak dialami oleh

partisipan 1 sebagai pemberi, dimana pasangannya tetap bersikap lebih dominan.

Sedangkan partisipan 2 mengalami ketakutan akan masalah keuangan justru

bukan dari apa yang diberikan oleh pasangannya, tapi dampak jika partisipan 2

meminta putus, akan memungkinkan dirinya kehilangan pekerjaan.

d) Kepedulian terhadap kesejahteraan pasangan (concern for partner welfare)

Kedua partisipan mengaku kawatir dan takut jika pasangannya akan

menyakiti dirinya sendiri lagi dengan benda tajam, sampai ancaman usaha

bunuh diri, jika pastisipan meminta untuk mengakhiri hubungan.

Tetapi selain hal tersebut, partisipan 2 juga merasa kasihan jika ia

memutuskan hubungan, maka pasangannya akan kesulitan menemukan wanita

yang mau berpacaran dengannya karena karakternya yang aneh.

e) Prosedur pemutusan hubungan (termination procedures)

Kesulitan mengambil langkah-langkah dalam mengakhiri hubungan

dengan pasangan memaksa seseorang bertahan dalam hubungan berpacaran

(Owen, dkk, 2011). Kedua partisipan mengaku mengalami kesulitan ketika ingin

memutuskan hubungan dengan pasangannya karena pasangannya akan

memohon-mohon maaf, menangis, dan bahkan menyakiti dirinya dengan benda

tajam untuk membuktikan niat dan penyesalannya. Setelah itu, partisipan akan

Gambar

Tabel 1 Identitas Partisipan
Tabel 2 Perbandingan Komitmen Partisipan

Referensi

Dokumen terkait

Sehubungan dengan telah dilakukannya Proses Pengadaan untuk Kegiatan dan Paket sebagaimana tersebut diatas, dengan ini Kami selaku Pokja Pengadaan Barang Dinas Kebersihan Dan

Dari beberapa definisi tsunami yang diungkapkan oleh ahli, dapat disimpulkan bahwa tsunami merupakan sebuah gelombang besar di laut yang mempunyai panjang

berupa informasi-informasi yang penulis dapatkan dari perusahaan yang menjadi objek penelitian yaitu PT Sri Metriko Utamawidjaja Palembang, mulai dari sejarah,

skripsi tersebut menjelaskan bahwa syarat zakat binatang ternak menurut Yusufal-Qardawi adalah wajib apabila telah sampai nishab , telah dimiliki satu

kemampuan menulis dengan memanfatkan media sosial Kompasiana pada siswa kelas XI.IPA 5 SMA Negeri 3 Mataram tahun pembelajaran 2014-2015 yang dijadikan sebagai

Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa setelah digabungkan kedua stasiun pengamatan hasil kerapatan vegetasi pohon pada hutan mangrove di Kenagarian Gasan

Tahapan dalam Perancangan Basis Data Konseptual dimulai dengan pembuatan sebuah konseptual data model dari perusahaan, yang mana secara keseluruhan terbebas dari detil

Pada penentuan profil disolusi dari serbuk dispersi padat, dan ketoprofen menunjukkan bahwa pada sistem dispersi padat terjadi peningkatan laju disolusi dari