• Tidak ada hasil yang ditemukan

PELAKSANAAN KEWARISAN BETAWI

C. Analisa Penulis

Ada hal-hal penting yang penulis ingin kemukakan mengenai pelaksanaan kewarisan di perkampungan Betawi Secara umum, yaitu:

Hukum Islam sebagai tatanan hukum yang dipegangi (ditaati) oleh mayoritas penduduk dan rakyat Indonesia adalah hukum yang telah hidup di dalam masyarakat, merupakan sebagian dari ajaran dan keyakinan Islam dan ada dalam kehidupan nasional serta merupakan bahan dalam pembinaan dan pengembangannya.32 Dari sumber ajarannya, realitas kehidupan hukum masyarakat, sejarah pertumbuhannya, dan perkembangan hukum di Indonesia, yang menyangkut teori berlakunya hukum Islam di Indonesia, terlihat ada beberapa teori berlakunya hukum di Indonesia.

Dari sumber ajaran Islam, terlihat bahwa orang yang beriman (Islam) berkewajiban menaati hukum Islam. Tingkatan kehidupan beragama seorang

31

Wawancara Pribadi dengan Bapak Indra (Tokoh Masyarakat Kampung Betawi), Srengseng Sawah, Jakarta , 24 November 2013.

32

Rachmat Djatnika, Hukum Islam di Indonesia Perkembangan dan Pembentukan, (Bandung, PT Remaja Rosdakarya, 1994), h.100

muslim dikaitkan dengan sikap dan ketaatannya kepada ketentuan Allah dan Rasul-Nya.33

Dalam Al-Quran ada ketentuan bahwa kepada orang Islam pada dasarnya diperintahkan untuk taat kepada Allah dan Rasul-Nya (QS:4:59, QS:24:51). Orang Islam tidak dibenarkan mengambil pilihan lain kalau ternyata Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan hukum yang pasti dan jelas.34

Mengambil pilihan hukum lain sementara Allah dan Rasul-Nya telah memberikan ketentuan hukum dianggap kafir, dzalim, dan fasik (QS:5:44,45,47). Oleh karena itu, dari segi ajaran Islam sendiri tanpa dikaitkan dengan hukum lain di dalam masyarakat, berlaku prinsip bahwa bagi orang Islam berlaku hukum Islam. Orang Islam diperintahkan taat kepada hukum Islam. Islam mengajarkan kepada orang Islam yang beriman untuk berhukum kepada hukum Islam. Hal tersebut merupakan keyakinan agama dan keyakinan hukum serta merupakan kelanjutan dari keyakinan mengesakan tuhan di dalam hukum (tauhid al-tasyri). Oleh karena itu, dari segi ajaran Islam sendri, tanpa dikaitkan dengan keadaan hukum di masyarakat, berlaku prinsip bagi orang Islam berlaku hukum Islam.35

Allah yang maha adil dan bijaksana tidak akan mengabaikan hak setiap ahli waris. Bahkan dengan aturan yang sangat jelas dan sempurna Dia menentukan

33

Rachmat Djatnika, Hukum Islam di Indonesia Perkembangan dan Pembentukan.h.100

34

Rachmat Djatnika, Hukum Islam di Indonesia Perkembangan dan Pembentukan.h.102

35

61

pembagian hak kewarisan dengan adil dan bijaksana sesuai kodrat bagi setiap individu tersebut. Dalam hal ini timbul beberapa poin-poin sebagai berikut:

1. Bahwa kewarisan dalam Al-Quran pewaris bukan saja terbatas pada ayah dan ibu. Akan tetapi, anak dan saudara dapat menjadi pewaris. Demikian pula ahli waris menurut Al-Quran adalah keluarga dekat dari pewaris, baik laki-laki maupun perempuan. Setiap ahli waris mendapat bagian sesuai ketentuan Al-Quran yakni ada ahli waris yang mendapat ½, 1/3, ¼,1/6, 1/8, atau 2/3.36

2. Warisan terbatas dalam lingkungan keluarga, dengan adanya hubungan perkawinan atau karena hubungan nasab/keturunan yang sah. Keluarga yang lebih dekat hubungannya dengan mayit (pewaris) lebih diutamakan daripada yang lebih jauh; yang lebih kuat hubungannya dengan mayit (pewaris) lebih diutamakan daripada yang lebih lemah. Misalnya, ayah lebih diutamakan daripada kakek, dan saudara kandung lebih diutamakan daripada saudara seayah.

3. Dalam hukum kewarisan Islam berlaku asas keadilan berimbang, dalam arti keadilan dalam pembagian harta warisan dalam hukum Islam. Artinya, sebagaimana pria dan wanita pun mendapatkan hak yang sama kuat untuk mendapatkan warisan.37

4. Dalam pembagian warisan tidak ada kepastian waktu kapan harta warisan harus dibagikan. Seperti dalam bentuk wasiat yang meningalkannya sebelum meninggal

36

Ali Parman, Kewarisan Dalam Al-Quran, (Jakarta:PT Raja Grafindo Persada, 1995), h.13.

37

dunia, tentu saja apabila wasiat dibuat dengan lisan melalui ucapan-ucapan terakhir peninggal warisan.

Sebagaimana yang dijelaskan dalam bab-bab sebelumnya, dikatakan bahwa dalam pelaksanaan hukum kewarisan perkampungan betawi yang mayoritas beragama Islam masih ada saja yang diterapkannya bukan hukum Islam, dalam hal kewarisan.

Di bawah ini penulis akan sampaikan analisis mengenai kewarisan perkampungan budaya Betawi sebagai berikut:

Menurut penulis, jika sepintas kita dapat melihat yang terjadi pada masyarakat perkampungan betawi dalam hal pelaksanaan waris yang di satu sisi tidak menjalankan secara utuh, yang dianggap bahwa lebih baik untuk melakukan pelaksanaan waris atau perencanaan waris.

Walaupun demikian, kita tidak bisa memvonis secara langsung bahwa apa yang dilaksanakan oleh masyarakat perkampungan betawi adalah dilarang, karena jika kita lihat lebih mengutamakan kemaslahatan dan keadilan bagi para ahli waris, dan keridoan.

Dalam pembagian harta kewarisan di perkampungan betawi terdapat dua cara pembagian pertama, pembagian harta warisan berdasarkan hukum Islam atau Faraid, Dan kedua, pembagian berdasarkan kebijakan para ahli waris.38 Tergantung pada masyarakat yang melaksanakan kewarisan tersebut. Bahwa

38

Wawancara Pribadi, Bapak Indra,( Tokoh Masyarakat Betawi),Srengseng Sawah. Jakarta, 24 November 2013

63

dalam pembagian waris para ahli waris berkumpul untuk membagikan harta warisan dengan cara pembagian mana yang akan digunakan. Hal ini disebabkan masyarakat lebih mementingkan kepada tali persaudaraan daripada perpecahan, yang nantinya susah bagi kita dalam kehidupan. Dengan menggunakan formasi pembagian 2:1 laki-laki dan perempuan atau sebalikanya 1:2 laki-laki dan perempuan ketika hal ini dilihat dari berbagai alasan.

Hukum kewarisan perkampungan Betawi mempunyai budaya tersendiri khususnya dalam persoalan hukum. Budaya hukum adalah konsep yang relatif baru. konsep ini mempunyai keuntungan dapat menarik perhatian terhadap nilai-nilai yang berhubungan dengan hukum dan proses hukum, tetapi yang dapat dibedakan secara analisis dari mereka dan dianggap berdiri sendiri. Nilai-nilai yang merupakan dasar kultural dari sistem hukum dan sangat membantu dalam menentukan pemberian tempat kepada mereka untuk menentukam dan merupakan sejarah suatu masyarakat. Budaya hukum tediri atas asumsi-asumsi fundamental mengenai penyebaran dan penggunaan sumber-sumber di masyarakat, karena asumsi ini berubah menurut waktu, sebagaimana masyarakat sendiri juga berubah.39

Hukum Islam tidak pernah diterima secara penuh di mana pun di dunia ini, suatu kenyataan yang menimbulkan frustasi dan ketegangan dalam pemikiran politik Islam. Maka karena Betawi merupakan budaya yang merupakan inti dari

39

A.A.G. Peters, Hukum dan Perkembangan sosial, (Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, 1998), h.193.

masyarakat Jakarta tercipta adanya keragaman, kebersamaan, satu pandangan, sikap dan perilaku masyarakat.

Sementara itu lev memerinci kultur hukum itu ke dalam: nilai-nilai hukum prosedural dan nilai-nilai hukum substantip. Sebagai basisi kultural sistem hukum, maka komponen yang satu ini membantu menempatkan sistem yang diberikan kepada lembaga-lembaga hukum, politik, agama, atau lainnya sepanjang waktu dalam sejarah bangsa dan masyarakat bersangkutan. Adapun komponen subtantip dari kultur hukum itu terdiri dari asumsi-asumsi fundamental mengenai distribusi maupun pengguna sumber-sumber di dalam masyarakat, apa yang dianggap adil dan tidak oleh masyarakat dan sebagainya.40

Dalam ajaran-ajaran hukum yang dinamakan dengan ajaran legisme, yang mengindentikkan (menganggap sama) hukum dengan undang-undang.41 Ajaran yang demikian mungkin terjadinya diskrepansi (ketidakcocokan), antara hukum dengan kenyataan yang berlaku dalam masyarakat, lebih-lebih apabila masyarakatnya sedang berubah dan berkembang secara dinamis. Sementara perubahan (al-taghyir) hukum adalah pengamalan dan penerapan teks yang sudah ada, dengan mempertimbangkan situasi (zhuruf) teks itu yang dikaitkan dengan kepentingan atau kemaslahatan yang sifatnya situasional.42

40

Satjipto Rahardjo, Hukum dan Masyarakat, (Bandung: Angkasa Bandung), h.87

41

Sudjono Dirdjosisworo, Sosiologi Hukum, (Jakarta: Rajawali,1983), h.7

42

65

Dalam ketentuan-ketentuan bagi umat Islam, pada dasarnya disyari’atkan

Tuhan untuk mengatur tata kehidupan mereka di dunia, baik dalam masalah-masalah keagamaan dan kemasyarakatan. Dengan mengikuti ketentuan-ketentuan hukum, mereka akan memperoleh ketentraman dan kenyaman serta kebahagian dalam hidupnya.43

Tujuan Syar’i dalam mensyariatkan ketentuan-ketentuan hukum kepada

orang-orang mukallaf adalah dalam upaya mewujudkan kebaikan-kebaikan bagi kehidupan mereka, baik melalui ketentuan yang dharury, hajiy, ataupun yang tahsini.

Ketentuan hukum yang dharury adalah ketentuan-ketentuan hukum yang dapat memelihara kepentingan hidup manusia dengan menjaga dan memelihara kemaslahatan mereka. Seandainya norma-norma tersebut tidak dipatuhi, niscaya mereka akan dihadapkan pada mafsadah dan berbagai kesukaran.44 Ketentuan-ketentuan dharury itu secara umum bermuara pada upaya memelihara lima hal, yaitu: agama, jiwa, akal, harta dan keturunan.

Sedangkan ketentuan hajiy adalah ketentuan hukum yang memberi peluang bagi mukallaf untuk memperoleh kemudahan dalam keadaan mereka sukar untuk mewujudkan ketentuan-ketentuan dharury .

43

Rosyada, Hukum Islam dan Pranata Sosial, (Jakarta:PT Raja grafindo Persada,1996), h.13

44

Di antara yang telah disepakati oleh Jumhur Ulama Islam, yaitu bahwasanya Allah SWT tidak membentuk hukum kecuali untuk memaslahatan hambanya, dan sesungguhnya kemaslahatan itu adakalanya menarik keuntungan bagi mereka dan adakalanya menolak bahaya dari mereka. Maka yang mendorong

pembentukan syara’ apa saja, ialah menarik manfaat bagi manusia, atau menolak

bahaya daripadanya, yang disebut dengan Hikmah hukum.45

Di dalam kaidah-kaidah hukum Islam kita mengenal ‘’Al-Maslahah

al-Mursalah’’ yakni kesejahteraan umum yang dimutlakkan, yang didahulukan, bahkan menurut Ulama Ushul yaitu, maslahah itu, juga tidak terdapat dalil yang menunjukan atas pengakuannya atau pembatalannya.46 Maslahah itu disebut mutlak, karena tidak dibatasi dengan dalil pengakuan atau dalil pembatalan. Semua itu untuk mendatangkan keuntungan bagi mereka dan menolak madharat serta menghilangkan kesulitan daripadanya.

Wahbah Al-Zuhaili, sebagaimana dikutip oleh Mushlih Usman, membagi kesulitan yaitu kesulitan khafifah, yaitu kesulitan karena sebab yang ringan. Misalkan dalam pembagian waris yang mengharuskan para ahli waris membagikan harta secara adil, ketika hal tersebut menjadi sulit maka boleh dilakukan hal yang dianggap menjadikan ahli waris menjadi bersatu dan tidak adanya percekcokan.47

45

Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah-Kaidah Hukum Islam, (Jakarta:PT Raja Grafindo Persada, 2000), h.93

46

Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah-Kaidah Hukum Islam, (Jakarta:PT Raja Grafindo Persada, 2000), h.123

47

67

Dalam kaidah-kaidah hukum Islam ada yang dinamakan dengan ‘Urf atau

adat, Menurut Rachmat Syafi’i, dalam hukum Islam secara harfiyah adalah suatu

keadaan, ucapan, perbuatan, atau ketentuan yang dikenal manusia dan telah menjadi tradisi untuk melaksanakannya atau meninggalkannya.48 ‘Urf telah ada

dan hidup dalam masyarakat secara turun-temurun sebagai cermin dari religiusitas

masyarakat perkampungan Betawi. ‘Urf adalah adat yang baik, yang tidak

menyimpang dari tujuan syariat Islam.

Dalam kehidupan sehari-hari tidak selamanya manusia menjalani kehidupan yang biasa dan wajar. Pada tempat dan masa tertentu ia akan mengalami hal-hal yang berada diluar kemampuannya untuk menolak, menghindar, dan menguasainya. Maksudnya, keadaan yang membahayakan hidupnya, atau yang lainnya, akan berubah. Dengan berdasarkan pada prinsip keadilan dan kemaslahatan, Islam menawarkan jalan keluar berupa pengecualian-pengecualian. Dan mempermudah manusia dalam melaksanakan kewajiban-kewajiban agamanya menurut keadaan yang sesuai dengan kenyataan hidup dan pribadi-pribadi manusia yang berbeda pula.49

Pelaksanaan hukum pengecualian syari’at Islam sangat alami dan

manusiawi karena mengutamakan azas kemudahan dan pemudahan serta

48

Beni Ahmad Saebani, Ilmu Ushul Fiqh,.h.226

49

Wahbah Az-Zuhaili, Konsep Darurat Dalam Hukum Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama,1997). h.viii.

menghindarkan kesempitan dan kesulitan.50 Ditambah lagi dengan sikap ajaran yang lemah lembut sehingga tidak seorang pun yang memiliki alasan dan cara untuk meninggalkan tuntutan hukum Islam karena mengalami kesulitan dan kesempitan.51

Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) terungkap bahwa ahli waris dapat bersepakat untuk melakukan perdamaian dalam pembagian harta warisan setelah masing-masing menyadari bagiannya.19 Dengan adanya rumusan ini dapat memungkinkan adanya pembagian harta warisan dengan porsi yang sama secara matematis (1:1) diantara semua ahli waris melalui jalur perdamaian tersebut, sebagai penyimpangan dari pasal 176 KHI yang mengatur ketentuan anak laki-laki dan anak perempuan (2:1); dan antara saudara laki-laki sekandung dengan saudara perempuan sekandung – saudara laki-laki seayah dengan saudara perempuan seayah sebagi penyimpangan terhadap pasal 182 KHI. 52

Prinsip perdamaian ( al-shulh ) telah mendapat pembenaran sebagai mana yang tercantum dalam al-qur’an surat al-Nisa (4): 127, asalkan saja tidak dimaksudkan untuk mengenyampingkan ajaran.53 Memang dalam menyikapi hal tersebut perlu adanya sikap arif dan bijaksana pada semua ahli waris sehingga

50

Wahbah Az-Zuhaili, Konsep Darurat Dalam Hukum Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama,1997). h.viii.

51

Wahbah Az-Zuhaili, Konsep Darurat Dalam Hukum Islam,.h.viii.

52

http://makalahkomplit.blogspot.com/2013/01/a-hukum-kewarisan-dalam-kompilasi-hukum.html, diakses pada tanggal 6 Januari 2014

53

http://makalahkomplit.blogspot.com/2013/01/a-hukum-kewarisan-dalam-kompilasi-hukum.html, diakses pada tanggal 6 Januari 2014

69

semua ahli waris bisa menerima bagiannya masing-masing tetapi mereka masih memikirkan keadaan kerabat lain yang mendapatkan bagian yang lebih kecil sedangkan beban hidupnya lebih berat. Sehingga melalui perdamaian ini seorang kerabat bisa saja memberikan sebagian jatah warisnya untuk diberikan kepada kerabat perempuannya.

Dalam hal ini KHI mengakomodir hal tersebut. Dalam pasal 189 ayat (1) dikatakan, bila harta warisan yang akan dibagi berupa lahan pertanian yang luasnya kurang dari 2 (dua) hektar, supaya dipertahankan kesatuannya seperti semula, dan dimanfaatkan untuk kepentingan bersama para ahli waris yang bersangkutan. Bunyi ayat (1) pasal 89 KHI mendapat penegasan melalui ayat (2)

yang berbunyi: “Bila ketentuan tersebut pada ayat (1) pasal ini tidak

memungkinkan karena diantara para ahli waris yang bersangkutan ada yang memerlukan uang, lahan tersebut dapat dimiliki oleh seorang ahli waris atau lebih.54

Untuk itu, adanya konsep pemeliharaan Keutuhan dan Kesatuan Lahan salah satunya didasarkan atas semangat kepentingan untuk mempertahankan dan meningkatkan produksi dalam bidang pertanian. Namun rumusan hukum dalam pasal 189 ayat (1) KHI tidak bersifat kaku sebagai harga mati. Karena kemungkinan dan peluang untuk tidak dapat memelihara keutuhan dan kesatuan lahan tersebut sangat terbuka, apabila diantara ahli waris ada yang yang

54

http://makalahkomplit.blogspot.com/2013/01/a-hukum-kewarisan-dalam-kompilasi-hukum.htm , diakses pada tanggal 6 Januari 2014

benar terdesak membutuhkan uang, sedangkan diantara ahli waris yang lainnya tidak memiliki kemampuan membayar, baik secara perorangan maupun secara bersama-sama. Maka kiranya lahan bisa saja dijual kepada pihak lain yang mampu membelinya.55

Filosofinya sangat mungkin para pembentuk KHI berkemauan untuk menghormati kesamaan dan /atau kesejajaran kedudukan pasangan suami-istri dalam konteks kewajiban dan hak dalam semua urusan kerumahtanggaan termasuk harta-benda yang diperolah selama perkawinan. Pada umumnya, yang mencari nafkah adalah pihak suami, sedangkan istri kebanyakan hanya mengurusi hal-hal yang bersifat domestik kerumahtanggaan. Sungguhpun demikian, peran sentral istri sebagai ibu rumah tangga dalam sebuah keluarga, tidaklah layak untuk diabaikan peran-sertanya bagi sukses suami dalam mencari nafkah yang menghasilkan harta kekayaan itu. Terutama sukses anak-anaknya yang dipersembahkan untuk suami itu (al-mauludu-lah). Di sinilah terletak motivasi para penyusun KHI untuk menetapkan harta pasangan suami istri selama masa perkawinan menjadi harta bersama suami-istri.56

55

http://makalahkomplit.blogspot.com/2013/01/a-hukum-kewarisan-dalam-kompilasi-hukum.htm , diakses pada tanggal 6 Januari 2014

56

Muhammad Amin Suma, Keadilan Hukum Waris Islam dalam Pendekatan Teks & Konteks, (Jakarta:Rajawali Pers,2013), h.103

71

Maka pasal dan pembahasan di atas, tidak menutup kemungkinan harta warisan seseorang dibagikan dengan jalur damai dan kesepakatan para ahli waris bisa dilakukan dan boleh untuk dilakukan.57

Dengan adanya asas keadilan antara laki-laki dan perempuan, sehingga akan tercipta kesejahteraan sosial dalam menghindari adanya kesenjangan maupun kecemburuan sosial.58

Disatu sisi masyarakat menghendaki hukum waris dilaksanakan, namun realisasinya telah ditempuh secara hibah, dalam masyarakat betawi disebut perencanaan waris, yaitu sebelum pewaris meninggal dunia dengan membagikan hartanya. Bahwa kemudian kompilasi menegaskan demikian kelihatannya didasari oleh kebiasaan yang dianggap positif oleh masyarakat. Karena bukanlah suatu yang aneh, apabila dalam pembagian harta warisan dilakukan akan menimbulkan penderitaan pihak-pihak tertentu, lebih-lebih menghancurkan tali persaudaraan dan penyelesaiaanya dalam bentuk gugatan pengadilan.59

Bentuk pembagian warisan ini yang terjadi pada masyarakat perkampungan betawi, aturan yang telah disepakati, walaupun kita tidak bisa berlari atau pindah dari rujukan agama. Yang hal lain mereka lebih mementingkan kerukunan dalam

57

Muhammad Amin Suma, Keadilan Hukum Waris Islam dalam Pendekatan Teks & Konteks, h.103

58Azharudin Latif dan Jaenal Aripin, Filsafat Hukum Islam Tasyri dan Syar’i, (Jakarta: UIN

Jakarta Press, 2006), h.131

59

Wawancara Pribadi, Bapak Indra,( Tokoh Masyarakat Betawi),Srengseng Sawah. Jakarta, 24 November 2013

keluarga yang diidamkan semua pihak, Tidak halnya seperti daerah-daerah lain. Akan tetapi tetap rujukan yang jadikan ialah surat an-Nisa, karena dalam hal lain mereka tidak mau menjadikan suatu hal yang sangat sulit, tidak semat-mata ikut dengan waris tetapi kalaupun dilihat hal tersebut mendekati kepada waris 2:1. Alasannya agak tidak terjadi pertengkaran antara keluarga, demi menjaga kekeluargaan dan mencari keberkahan.60

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan penulis diketahui bahwa walaupun dalam pembagian waris perkampungan betawi merujuk kepada agama, tetapi pada kenyataan lain berbeda. Perbedaan tersebut antara lain dalam pewarisan yakni pewaris masih hidup atau yang disebut dengan perencanaan waris berupa hibah yang telah dibagikan masing-masing kepada ahli waris, dengan alasan ketika pewaris masih hidup lebih mengerti dan lebih nurut, untuk mengantisipasi terjadi pertengkaran dan saling membunuh.61 Dalam hukum waris Islam pewarisan baru berlaku ketika ada seseorang yang meninggal dunia.

Wasiat dan hibah berkaitan dengan pembagian waris, memiliki beragam variasi dalam praktik, yaitu:62

a. Seseorang menentukan kepada siapa saja harta yang dimilikinya nantinya akan berpindah tangan setelah ia meninggal dunia.

60

Wawancara Pribadi, Bapak Indra,( Tokoh Masyarakat Betawi),Srengseng Sawah. Jakarta, 24 November 2013

61

Wawancara pribadi dengan Bapak Indra (Tokoh Masyarakat Betawi),Srengseng Sawah. Jakarta, 24 November 2013

62

Abd. Shomad, Hukum Islam Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum Indonesia, (Jakarta:Kencana,2010), h.419.

73

b. Seorang melakukan pembagian hartanya kepada keluarganya dan pembagian ini berlaku, setelah ia mati dan seketika.

Sedangkan persamaan dalam pembagian harta waris dengan hukum Islam yakni bagian laki-laki yang tetap diyakini jauh lebih besar dibandingkan dengan anak perempuan, karena anak laki-laki adalah umara dan tanggung jawab yang besar bagi keluarganya, persamaan yang lain yakni, harta warisan yang ditingalkan oleh pewaris dapat diwarisi kepada ahli waris setelah hak-haknya orang tua terpenuhi seperti; pembayaran hutang serta kewajiban sadaqah dan kewajiban lain yang belum sempat dilakukan semasa hidupnya pewaris.

Dari hasil seluruh pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan pembagian kewarisan perkampungan Betawi mengutamakan kebijakan positif yang diterima oleh ahli waris dan musyawarah setidak-tidaknya tidak bertentangan dengan hukum Islam karena di dalam KHI pasal 183 membolehkan dengan cara musyawarah dengan menyadari bagiannya masing-masing.

74 BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan seluruh pembahasan dalam bab-bab sebelumnya, maka penulis dapat mengambil suatu kesimpulan, sebagai berikut:

1. Secara garis besar masyarakat perkampungan Betawi sangat memahami tentang waris. Hal ini dibuktikan dengan hasil wawancara yang menunjukan bahwa masyarakat betawi sudah sangat mengerti dan mengetahui waris.

2. Kewarisan yang berlaku diperkampungan Betawi pada dasarnya berlandaskan kepada hukum fikih, tetapi terhadap yang mereka lakukan dan yang terbiasa mereka menggunakan kebudayaan mereka. Dan lebih memilih budaya mereka yaitu perencanaan waris, membagikan harta ketika orang tua dalam keadaan hidup.

3. Pelaksanaan pembagian waris di perkampungan budaya betawi belum sepenuhnya menggunakan hukum waris Islam, ada sebagian kecil masyarakat yang melihat situasi dan kondisi dalam keluarga mereka dalam membagikan harta waris. Tetapi dilihat dari segi data wawancara sudah sesuai dan mengikuti hukum Islam atau Faraid.

B. Saran –saran

1. Perlu adanya kurikulum pada setiap madrasah ataupun lembaga pendidikan lainnya tentang tradisi pembagian waris pada tiap-tiap hukum waris adat yang ada.

2. Adanya sosialisasi melalui khutbah-khutbah atau ceramah-ceramah tentang tradisi atau budaya waris dalam Islam dan waris dalam hukum adat.

3. Pembagian harta waris hendaknya dibagi berdasarkan atas kesepakatan keluarga, agar tidak menimbulkan percekcokan dalam pembagiannya, karena masalah warisan adalah masalah muamalah yang bisa diselesaikan dengan cara musyawarah.

76

Dokumen terkait