• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pelaksanaan Hukum Kewarisan Di Perkampungan Budaya Betawi Srengseng Sawah Jakarta Selatan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pelaksanaan Hukum Kewarisan Di Perkampungan Budaya Betawi Srengseng Sawah Jakarta Selatan"

Copied!
96
0
0

Teks penuh

(1)

PELAKSANAAN HUKUM KEWARISAN DI PERKAMPUNGAN BUDAYA BETAWI SRENGSENG SAWAH JAKARTA SELATAN

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.sy)

Oleh :

Achmad Fachmi Ramdhan

NIM : 1110044100071

KONSENTRASI PERADILAN AGAMA

P R O D I H U K U M K E L U A R G A ( A L- A K H W A L S Y A K H S IY Y A H) F A K U L T A S S Y A R I A H D A N H U K U M

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

i

Dengan mengucapkan syukur kehadirat Allah SWT, karena rahmatNyalah penulis

dapat menyelesaikan skripsi ini. Sebagai kelengkapan tugas dan memenuhi sebagian dari

syarat-syarat guna mencapai gelar Sarjana Syariah pada Fakultas Syariah dan Hukum

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Dalam penyusunan skripsi ini, penulis menyadari masih banyak kekurangan,

terutama disebabkan karena keterbatasan penulis sebagai manusia biasa. Tanpa adanya

dorongan dan bimbingan dari berbagai pihak tidaklah mungkin skripsi ini dapat

terselesaikan. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan

terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada Bapak/Ibu:

1. J.M. Muslimin, MA, Ph.D Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam

Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Drs. H. Basiq Djalil, SH, MA, Ketua Program Studi Peradilan Agama, Rosdiana, SH,

MA, Sekretaris Jurusan Peradilan Agama Fakultas Syariah dan Hukum Universitas

Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dan selaku Pembimbing Skripsi.

3. Hj. Maskufa, MA selaku dosen Penasehat Akademik

4. Seluruh dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang telah memberikan ilmu dan

(7)

ii

5. Orang tua tercinta yang telah merawat dan membesarkan penulis, yang selalu

memotivasi dengan penuh keikhlasan membantu penulis baik moril maupun materi.

6. Kantor Pengelola Perkampungan Budaya Betawi.

7. Sahabat –sahabat penulis PA B 2010 : Irfan, Muslim, Adam, Syauqi, Adib, Zaki, Nurdin, Jajang, Muhdi, Uzma, Ema, Fitri, Futi, Sahro, Aida, Fani, Dinda, Sena,

Neneng, Mila, Abiati, dan lainnya atas doa dan semangatnya.

8. Semua pihak yang ikut membantu penulisan skripsi ini yang tidak dapat penulis

tuliskan satu persatu.

Akhirnya penulis hanya bisa berdoa dan berharap semoga skripsi ini dapat

bermanfaat bagi penulis dan para pembaca dan semoga amal baik mereka diterima Allah

SWT. Amin.

(8)

iii

ABSTRAK

Achmad Fachmi Ramdhan, NIM: 1110044100071, PELAKSANAAN HUKUM

KEWARISAN DI PERKAMPUNGAN BUDAYA BETAWI SRENGSENG SAWAH

JAKARTA SELATAN. Program studi Peradilan Agama, Konsentrasi Hukum Keluarga,

Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1435

H/2014 M.

Dalam penelitian ini, penulis mengangkat suatu permasalahan yaitu warisan yang

berbeda dengan pembagian warisan dalam Islam.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana pembagian waris dan

pemahaman masyarakat tentang waris.

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian normative, yaitu meneliti apa saja

alasan masyarakat melaksanakan kewarisan mereka. Dengan pendekatan kualitatif dan

wawancara dengan masyarakat. Bahan –bahan penelitian tersebut kemudian disusun secara sistematis, dikaji, kemudian ditarik kesimpulan dalam hubungannya dalam

masalah yang diteliti.

Kesimpulan dari hasil penelitian ini adalah bahwa menurut hukum Islam umat

Islam harus tunduk taat dan patuh pada ajaran Islam. Ternyata pada kenyataanya yang

terjadi di perkampungan budaya betawi berbeda. Dengan alasan lebih baik berbuat

keadilan.

Kata kunci: Pembagian waris

Pembimbing : Drs.H.A. Basiq Djalil, SH, MA

(9)

vii DAFTAR ISI

LEMBAR PERNYATAAN ... i

LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING ... ii

LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

ABSTRAK ... vi

DAFTAR ISI... vii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 10

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian... 11

D. Metode Penelitian dan Teknik Penulisan ... 12

E. Tinjaun Pustaka ... 14

F. Sistematika Penulisan ... 15

BAB II KEWARISAN DALAM ISLAM ... 16

A. Pengertian dan Dasar Hukum Kewarisan ... 16

B. Rukun dan Syarat-Syarat Kewarisan ... 20

C. Sebab Penghalang Menerima Waris dan Macam-Macam Ahli Waris ... 23

D. Pembagian Para Ahli Waris ... 27

BAB III POTRET PERKAMPUNGAN BETAWI ... 31

A. Sejarah Singkat Perkampungan Betawi Srengseng Sawah ... 31

B. Tujuan Sasaran dan Fungsi Perkampungan Betawi ... 35

C. Ruang Lingkup dan Zona Perkampungan Betawi ... 37

(10)

viii

C. Analisa Penulis ... 59

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 74

B. Saran-Saran ... 75

DAFTAR PUSTAKA ... 76

LAMPIRAN-LAMPIRAN ... 80

1. Hasil Wawancara dengan tokoh dan masyarakat... 80

2. Surat permohonan menjadi Pembimbing Skripsi ... 84

3. Surat Permohonan Data dan Wawancara ... 85

(11)

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Allah telah menetapkan aturan main bagi kehidupan manusia di atas dunia ini.

Aturan ini dituangkan dalam bentuk titah atau kehendak Allah tentang perbuatan

yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh manusia. Aturan Allah tentang tingkah

laku manusia secara sederhana adalah syariah atau hukum syara’ yang sekarang ini

disebut hukum Islam.1

Hukum Islam melingkupi seluruh segi kehidupan manusia di dunia, baik

untuk mewujudkan kebahagian di atas dunia maupun di akhirat kelak. Di antara

hukum tersebut ada yang tidak mengandung sanksi, yaitu tuntutan untuk patuh dan

ada juga yang mengandung sanksi yang dapat dirasakan di dunia layaknya sanksi

pada umumnya. Adapula sanksi yang tidak dirasakan di dunia namun ditimpakan di

akhirat kelak dalam bentuk dosa dan balasan atas dosa tersebut.2

Segi kehidupan manusia tidak bisa terlepas dari kodrat kejadiannya sebagai

manusia. Pada diri manusia sebagai makhluk hidup, terdapat dua naluri yang juga

terdapat pada makhluk hidup lainnya, yaitu naluri untuk mempertahankan hidup dan

naluri untuk melanjutkan hidup. Sebagai makhluk beragama, manusia membutuhkan

sesuatu untuk mempertahankan dan menyempurnakan agamanya.

1

Moh. Muhibbin dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam, ( Jakarta: Sinar Grafika, 2009), h.1

2

(12)

Hukum Islam, fiqh atau syariat Islam merupakan sebuah jalan atau ketentuan

yang mengatur hubungan antara manusia dengan Allah, hubungan manusia dengan

manusia, dan hubungan manusia dengan alam lingkungannya.3

Islam bukan hanya mengandung ajaran tentang keimanan dan apa-apa yang

harus dilakukannya untuk Tuhan dalam rangka pelaksanaan ibadat; namun juga

mengandung aturan tentang pergaulan mereka dalam kehidupan di dunia yang disebut

muamalat dalam arti yang umum; termasuk aturan tentang pembagian waris.4

Umat Islam harus menjalankan aturan yang ditetapkan Islam sebagai

manifestasi dari keimanannya kepada Allah SWT. Aturan tentang penyelesaian

warisan disampaikan kepada umat untuk dijalankan dan dipatuhi oleh mereka. Di

antara aturan Islam itu ada yang memang sejalan dengan apa yang selama ini mereka

ikuti, sehingga tidak sulit bagi mereka untuk meninggalkan yang lama untuk

mengikuti aturan baru.

Namun sebagian di antara aturan baru itu berbeda bahkan bertentangan

dengan aturan yang telah biasa mereka jalankan; sehingga dalam menjalankan aturan

baru, mereka menghadapi suatu kesulitan dalam penyesuaian. Namun karena yang

baru merupakan aturan agama yang harus mereka patuhi, maka mereka dalam

keadaan apapun harus mematuhinya.5

3

Yayan Sopyan, Islam-Negara, (jakarta: PT Semesta Rakyat Merdeka, 2012), h.14

4

Amir Syarifuddin, Permasalahan dalam Pelaksanaan Faraid (Padang, IAIN-IB press, 1999), h.1

5

(13)

3

Aturan-aturan yang ditetapkan Allah termasuk faraid, diturunkan Allah untuk

menjadi rahmat bagi umat manusia. Rahmat ini dalam bahasa hukum disebut

‘’Kemaslahatan Umat’’ baik dalam bentuk memberikan manfaat untuk manusia atau

menghindarkan mudharat dari manusia. Hal ini sering disebutkan Allah dalam

al-Qur’an.6

Salah satu masalah pokok yang banyak dibicarakan oleh al-Qur’an adalah

kewarisan. Kewarisan, pada dasarnya merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari

hukum, sedang hukum adalah bagian dari aspek ajaran islam yang pokok.7

Oleh karena itu, dalam mengaktualisasikan hukum kewarisan yang terdapat

dalam al-Qur’an, maka eksistensinya harus dijabarkan dalam bentuk praktik

faktualnya. Dalam hal ini, pelaksanaan hukum kewarisan harus kelihatan dalam

sistem kekeluargaan yang berlaku dalam masyarakat.8

Dari seluruh hukum yang berlaku dalam masyarakat, maka hukum

perkawinan dan kewarisanlah yang menentukan dan mencerminkan sistem

kekeluargaan yang sekaligus merupakan salah satu bagian dari hukum perdata.9

Hukum kewarisan pada dasarnya berlaku untuk umat Islam di mana saja di

dunia ini. Sungguhpun demikian, corak suatu negara Islam dan kehidupan masyarakat

di negara atau daerah tersebut memberi pengaruh atas hukum kewarisan daerah itu.

6

Amir Syarifuddin, Permasalahan dalam Pelaksanaan Faraid, h.36

7

Ali Parman, Kewarisan dalam Alquran, (Jakarta:PT Raja Grafindo Persada, 1995), h.1

8

Ali Parman, Kewarisan dalam Alquran, h.1

9

(14)

Pengaruh itu adalah pengaruh terbatas yang tidak dapat melampaui garis pokok-garis

pokok dari ketentuan hukum kewarisan Islam tersebut. Namun pengaruh tadi dapat

terjadi pada bagian-bagian yang berasal dari ijtihad atau pendapat ahli-ahli hukum

Islam sendiri.10

Hukum Waris merupakan salah satu bagian dari hukum perdata secara

keseluruhan dan merupakan bagian terkecil dari hukum kekeluargaan. Hukum waris

sangat erat kaitannya dengan ruang lingkup kehidupan manusia, sebab setiap manusia

pasti akan mengalami peristiwa hukum yang dinamakan kematian.11

Akibat hukum yang selanjutnya timbul, dengan terjadinya peristiwa hukum

kematian seseorang, di antaranya ialah masalah bagaimana pengurusan dan

kelanjutan hak-hak dan kewajiban-kewajiban seseorang yang meninggal dunia

tersebut. Penyelesaian hak-hak dan kewajiban sebagai akibat meninggalnya

seseorang, diatur oleh hukum waris.12

Hukum kewarisan yang merupakan salah satu bagian dari sistem kekeluargaan

berpokok pangkal pada sistem menarik garis keturunan, pada pokoknya dikenal 3

(tiga) macam sistem keturunan yaitu:

(1) Sistem Patrinial, yaitu pada prinsipnya adalah sistem yang menarik garis

keturunan, dimana seseorang itu menghubungkan dirinya kepada ayah dan

10

Sajuti Thalib, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, (Jakarta:Gramedia,2004 ), h.1

11

Eman Suparman, Hukum Waris Indonesia dalam perspektif Islam, Adat, &BW, h.1

12

Eman Suparman, Hukum Waris Indonesia dalam perspektif Islam, Adat, &BW

(15)

5

seterusnya kepada ayahnya ayah sampai pada suatu titik nenek moyangnnya

yang laki-laki, dan karenanya mereka menganggap semuanya termasuk satu

clan yang patrilinial.

(2) Sistem Matrilinial, dimana setiap orang selalu menghubungkan dirinya

kepada ibunya dan seterusnya ke atas kepada ibunya dari ibunya ibu dan

karenanya semua mereka menganggap termasuk clan ibunya.

(3) Sistem Bilateral atau Parental, dimana orang merasa mempunyai hubungan,

baik melalui garis bapak maupun garis ibu, disini tidak terbentuk clan, suku

atau tribe seperti dalam sistem patrilinial dan matrilinial. Mungkin masih ada

variasi dari ketiga bentuk atau sistem masyarakat tersebut di atas tetapi

kesimpulannya akan menuju salah satu bentuk atau sistem tersebut.13

Pada umumnya masalah kewarisan diselesaikan sendiri oleh orang-orang yang

bersangkutan melalui musyawarah dalam keluarga. Penyelesaian masalah kewarisan

melalui musyawarah dalam keluarga. Penyelesaian melalui musyawarah keluarga ini

merupakan cara penyelesaian yang paling banyak terdapat dalam masyarakat

Indonesia.

Cara penyelesaian kewarisan seperti ini dibenarkan oleh hukum kewarisan

Islam yang walaupun sifatnya ijbari, namun dalam pelaksanaannya dimungkinkan

adanya perdamaian diantara ahli waris melalui musyawarah keluarga. Musyawarah

keluarga ini mungkin dilangsungkan oleh para ahli waris sendiri, mungkin pula

13

(16)

dilaksanakan dengan bantuan seorang kiyai atau ulama daerah tempat tinggal para

ahli yang berkepentingan.14

Bagi orang-orang Islam (umat Islam yang sadar akan kewajibannya,

menyelesaikan masalah kewarisan merupakan kewajiban agama. Yang dimaksud

dengan kewajiban agama adalah kewajiban asasi yang dilaksanakan seorang menurut

garis-garis ketentuan agamanya. Hukum (agama) Islam mengenai kewarisan

mengatur dengan pasti siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagian

masing-masing.15

Bagi seorang muslim, tidak terkecuali apakah dia laki-laki atau perempuan

yang tidak memahami atau tidak mengerti hukum waris Islam maka wajib hukumnya

(dilaksanakan berpahala, tidak dilaksanakan berdosa) baginya untuk mempelajarinya.

Dan sebaliknya barangsiapa yang telah memahami dan menguasai hukum waris Islam

maka berkewajiban pula untuk mengajarkannya kepada orang lain.16

Istilah faraid yang dipergunakan untuk menggambarkan bagian tertentu bagi

orang-orang tertentu dalam keadaan-keadaan tertentu di dalam sistem kewarisan

Islam, berasal dari kata fard yang berarti kewajiban. Kewajiban itu seyogyanya

dilaksanakan dalam jangka waktu tertentu setelah pewaris meninggal dunia, agar

14

Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam, (Keputusan Seminar Hukum Waris Islam, tanggal 5-8 April, Cisarua Bogor),h.45

15

Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam, (keputusan Seminar Hukum Waris

Islam,tanggal 5-8 April,Cisarua Bogor), h.44

16

(17)

7

masing-masing ahli waris yang berhak atas harta peninggalan segera memperoleh

bagiannya.

Bilamana disepakati bahwa hukum adalah merupakan salah satu aspek

kebudayaan baik rohaniah atau spiritual, maupun kebudayaan jasmaniah, inilah

barangkali salah satu penyebab kenapa adanya beraneka ragam sistem hukum

terutama hukum kewarisan. Dalam kaitan ini khusus mengenai hukum kewarisan

Islam yang bersumber dari wahyu Allah dalam al-Qur’an dan Hadis Rasul yang

berlaku dan wajib ditaati oleh umat islam, dulu, sekarang dan di masa yang akan

datang tidak termasuk dalam kontek ini. Hukum menentukan bentuk masyarakat.17

Setiap ahli waris mendapat bagian sesuai ketentuan Al-Quran yakni ada ahli

waris yang mendapatkan 1/2, 1/3, ¼, 1/6, 1/8, 2/3.18

Sunnah Nabi pada dasarnya muncul untuk memberikan penjelasan kepada

ayat-ayat al-Qur’an yang memerlukan penjelasan, baik penjelasan itu dalam bentuk

penjelasan arti maupun dalam bentuk membatasi atau memperluas pengertian.

Kewarisan atau faraid termasuk bidang fikih yang paling jelas diatur dalam

al-Qur’an. Oleh karena itu, Hadis Nabi yang berkenaan dengan faraid ini tidak banyak

jumlahnya.19

17

M. Idris Ramulyo, Perbandingan Hukum Kewarisan Islam di Pengadilan dan Kewarisan menurut BW( Jakarta:Cv Pedoman Jaya, 1992), h.3

18

Ali Parman, Kewarisan dalam Alquran, h.3

19

(18)

Hukum Waris berkaitan dengan proses pengalihan harta peninggalan dari

seseorang(pewaris) kepada ahli warisnya, berkaitan dengan hal tersebut Soepomo

menyatakan bahwa:

Hukum adat Waris memuat peraturan-peraturan yang mengatur proses

meneruskan serta mengoperkan barang-barang harta benda dan barang-barang yang

tidak terwujud benda dari suatu angkatan manusia kepada turunannya. Proses tersebut

tidak menjadi halangan oleh sebab orang tua meninggal dunia.20

Namun demikian ada sebagian pendapat yang mengemukakan bahwa

pembagian harta warisan boleh tidak dilaksanakan sebagaimana ketentuan pembagian

yang terdapat dalam Al-Qur’an yang pembagiannya dapat dilaksanakan dengan jalan

musyawarah di antara keluarga.21

Pendapat di atas sebenarnya didasarkan kepada pemahaman tentang sifat-sifat

hukum, yang terdiri dari:

1. Hukum yang memaksa

2. Hukum yang mengatur

Disebut sebagai hukum yang memaksa apabila ketentuan hukum yang ada

tidak dapat dikesampingkan, maksudnya tidak bisa tidak perintah atau larangan

hukum tersebut harus diperbuat (di dalam hukum, berbuat dapat berarti berbuat

20

R. Otje Salman, Kesadaran Hukum Masyarakat terhadap Hukum waris, ( 1993), h.55

21

(19)

9

sesuatu dan dapat pula tidak dapat berbuat sesuatu) dan andainya tidak diperbuat

maka dapat dikategorikan sebagai perbuatan melanggar hukum.22

Sedangkan hukum yang mengatur yaitu teks hukum yang ada dapat

dikesampingkan (tidak dipedomani) seandainya para pihak berkeinginan lain (sesuai

kesepakatan atau musyawarah di antara mereka), dan kalaupun tidak dilaksanakan

ketentuan hukum yang ada perbuatan tersebut tidak dikategorikan sebagai perbuatan

melanggar hukum, sebab sifatnya hanya mengatur.23

Bahwa dalam hal ini ketentuan tentang pembagian harta warisan yang

terdapat dalam al-Qur’an dan al-Hadis adalah merupakan ketentuan hukum yang

bersifat memaksa, dan karenanya wajib pulalah bagi setiap pribadi muslim untuk

melaksanakannya.24

Sebagaimana yang telah dijelaskan diatas bahwa al-Qur’an dan Hadis telah

merinci tentang bagian-bagian terhadap ahli waris secara terperinci, mulai dari ahli

waris, sampai sebab-sebab seorang mendapatkan warisan dan bagian waris. Akan

tetapi, masih saja ada sebagian masyarakat yang melaksanakan hukum kewarisan

tidak sesuai dengan al-Qur’an dan Hadis, atau keluar dari hukum Islam. Inilah yang

terjadi pada masyarakat khususnya masyarakat Perkampungan Betawi Srengseng

Sawah, Jakarta Selatan.

22

Suhrawardi K. Lubis dan Komis Simanjuntak, Hukum Waris Islam,h.4

23

Suhrawardi K. Lubis dan Komis Simanjuntak, Hukum Waris Islam , h. 4-5

24

(20)

Pada orang tua dalam membagikan kewarisan sesuai dengan hukum adat yang

berlaku, akan tetapi yang kita ketahui selama ini bahwasanya orang Betawi sangat

terkenal dengan keIslamannya, dia menjalankan hukum Islam yang mereka anut, tapi

pada kenyataannya berbeda. Dalam pembagian waris mereka menggunakan hukum

waris adat yakni hukum adat Betawi. Hukum adat yang sesuai dengan para leluhur

mereka atau hukum yang mereka percayai secara turun temurun. Misalnya: Membagi

warisan sebidang tanah tanpa merinci pembagiannya (Laki-laki 2 bagian dari anak

perempuan).

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka penulis tertarik

mengambil masalah ini kedalam penelitian yang berjudul ‘’ PELAKSANAAN

HUKUM KEWARISAN DI PERKAMPUNGAN BUDAYA BETAWI

SRENGSENG SAWAH, JAKARTA SELATAN’’. B. Pembatasan dan Perumusan masalah

1. Pembatasan Masalah

Agar memudahkan penulis dalam tugas ini, penulis membatasi ruang lingkup

permasalahan ini hanya pada pelaksanaan hukum kewarisan Islam pada masyarakat

kp.Betawi di Jagakarsa, Jakarta Selatan. Penulis memilih lokasi tersebut agar lebih

memudahkan dan lebih fokus dalam penulisannya, serta lokasi tersebut mudah

dijangkau dan juga baik untuk diteliti.

2. Rumusan Masalah

Menurut Ketentuan dalam Al-Qur’an dan Hadits laki-laki dengan perempuan

(21)

11

Rumusan di atas penulis rangkum dalam beberapa pertanyaan sebagai berikut:

1. Bagaimana pengetahuan masyarakat kp. Betawi tentang hukum waris?

2. Bagaimana sikap masyarakat terhadap pembagian waris adat mereka?

3. Apakah pelaksanaan pembagian waris yang terjadi di masyarakat kp. Betawi

sesuai dengan hukum Islam?

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Adapun mengenai tujuan penelitian dalam skripsi ini adalah:

a. Untuk mengetahui pemahaman masyrakat kp. Betawi tentang hukum waris.

b. Untuk mengetahui sikap masyarakat kp. Betawi tentang pembagian waris mereka.

c. Untuk mengetahui pelaksanaan hukum kewarisan di kp. Betawi Jagakarsa, Jakarta

Selatan.

2. Kegunaan Penelitian

a. Kegunaan Teoritis, yaitu pengembangan dan pemahaman ilmu pengetahuan terutama

tentang pelaksanaan pembagian waris terhadap hukum waris Islam kepada

masyarakat Betawi.

b. Kegunaan Praktis, yaitu dengan hasil penulisan ini diharapkan dapat berguna dan

dijadikan motivasi kepada fakultas dan berguna bagi seluruh masyarakat dan literatur

kepustakaan mengenai pelaksanaan pembagian waris khususnya di kp.

Betawi,Srengseng Sawah, Jakarta Selatan.

D. Metode Penelitian dan Teknik Penulisan

(22)

a. Jenis Penelitian

Mengingat kajian ini bersifat ilmiah dan dituangkan dalam bentuk skripsi,

maka penulis berusaha mendapatkan data yang akurat dan bukti-bukti yang benar.

Dalam penyusunan skripsi ini, penulis menggunakan dua jenis penelitian yaitu

metode penelitian kepustakaan (Library Research) dan metode lapangan (Field

Research).

Penelitian kepustakaan (Library Research), yaitu dengan meneliti buku buku,

majalah, surat kabar, artikel, dan tulisan ilmiah baik berupa tulisan yang disimpan di

lembaga pemerintahan maupun kepustakaan umum tentunya berkaitan dengan karya

ilmiah ini.

Penelitian Lapangan (Field Research), yaitu penulis langsung mengadakan

penelitian dengan mendatangi objek penelitian pada masyarakat di kp. Betawi yang

melakukan praktek pembagian waris di wilayah jagakarsa, Jakarta Selatan.

b. Sumber Data

Dalam penyusunan skripsi ini, penulis menggunakan dua jenis sumber data yaitu:

1) Data Primer

Data primer merupakan data yang diperoleh langsung dari responden melalui

wawancara dengan masyarakat di kp.Betawi di kelurahan Srengseng Sawah, Jakarta

Selatan.

(23)

13

Data sekunder merupakan data yang diperoleh dari literatur- literature kepustakaan

seperti buku-buku, kitab-kitab, dan sumber sumber lainnya yang berkaitan dengan

skripsi ini.

c. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan oleh penulis dalam penelitian ini

adalah wawancara. Wawancara merupakan suatu percakapan antara dua orang atau

lebih yang pertanyaannya di ajukan peneliti kepada subjek atau sekelompok subjek

penelitian untuk dijawab.

2. Teknik penulisan

Dalam penyusunan skripsi ini, penulis menggunakan teknik yang biasa

digunakan dalam penulisan karya ilmiah yang dalam hal ini berpedoman kepada buku

pedoman penulisan skripsi yang disusun oleh Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2007.

E. Tinjauan Pustaka

Ada beberapa penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti-peneliti

sebelumnya mengenai Hukum Waris. Salah satu penelitian terdahulu tersebut,

dilakukan oleh Mariyah, Dalam skripsinya yang berjudul ‘’Kesadaran Hukum

(24)

Mariyah juga mengungkapkan bahwa perilaku masyarakat terhadap hukum

waris islam berjumlah 20%, dan perilaku netral berjumlah 70%, dan berperilaku

negative 49%.

Sedangkan skripsi ini membahas tentang pelaksanaan hukum kewarisannya,

dan bagaimana akibat hukum dari pelaksanaan waris di perkampungan budaya

betawi. Tidak hanya mengenai hal tersebut, dari segi data pun hanya menggunakan

wawancara tanpa menggunakan penelitian kuesioner.

Kedua. Siti Azizah, fakultas Syariah dan Hukum jurusan peradilan Agama,

yang berjudul ‘’Pembagian Waris Betawi Ditinjau Dari Hukum Islam (Studi

Kasus pada masyarakat Kel. Lebak Bulus Kec. Cilandak, Jakarta Selatan)’’,

Tahun 2009. Pada skripsi tersebut menjelaskan bahwa pelaksanaan hukum waris

betawi, yang mana ada kelompok masyarakat Betawi melakukan pembagian secara

rata antara laki-laki dan perempuan. Namun, ada juga yang melakukan sama dengan

hukum Islam yang mana bagian laki-laki lebih besar.

Skripsi ini sangat berbeda dengan skripsi di atas, karena dalam skripsi ini

penulis membahas tentang pelaksanaan hukum waris, dengan kebijakan-kebijakan

yang terjadi sesuai atau tidak dengan hukum Islam atau Faraid. Dari segi jenis

penelitian pun berbeda di atas menggunakan responden beberapa orang, dalam skripsi

ini dengan data wawancara dengan para tokoh dan masyarakat.

F. Sistematika Penulisan

Untuk memudahkan dalam memahami skripsi ini, penulis ingin membagi

(25)

15

Bab Pertama merupakan pendahuluan di mana dikemukakan latar belakang masalah yang memuat alasan-alasan pemunculan masalah. Pokok masalah merupakan

penegasan terhadap apa yang terkandung dalam sub bab latar belakang masalah,

pembatasan dan perumusan masalah kemudian dilanjutkan dengan tujuan dan

kegunaan, metode penelitian, tinjaun pustaka dan sistematika penulisan skripsi ini.

Bab Kedua mengupas gambaran secara umum tentang kewarisan dalam Islam. Dalam bab ini digambarkan pengertian dan dasar hukum kewarisan, rukun dan

syarat-syarat kewarisan, sebab penghalang menerima waris dan macam-macam ahli

waris, serta pembagian para ahli waris.

Bab Ketiga memuat mengenai potret perkampungan betawi, meliputi sejarah singkat, tujuan sasaran dan fungsi, ruang lingkup dan zona, dan keadaan demografi.

Bab Keempat merupakan substansi dari penelitian (skripsi) ini, dalam bab ini dipaparkan tentang analisis terhadap pelaksanaan kewarisan betawi srengseng sawah.

Dimulai mengenai sistem kewarisan, dan analisis pelaksanaan kewarisan meliputi

harta waris, ahli waris serta bagian-bagiannya, dan analisa penulis.

Bab Kelima merupakan bab terakhir yang memuat kesimpulan yang merupakan jawaban dari pokok permasalahan yang diangkat dan ditutup dengan

saran-saran yang ditujukan kepada para pihak yang berkepentingan dengan persoalan

(26)
(27)

16 BAB II

KEWARISAN DALAM ISLAM

A. Pengertian dan Dasar Hukum Kewarisan 1. Pengertian Kewarisan

Dalam literatur hukum Islam, ada beberapa istilah untuk menamakan

hukum kewarisan Islam yaitu: Faraid, Fikih Mawaris, dan Hukm al-waris. Lafazh

Faraid jama’ dari Faridlah. Kata ini diambil dari fardlu. fardlu dalam istilah

ulama fiqh mawaris ialah: bagian yang telah ditetapkan oleh syara’. Untuk waris

seperti ½, ¼.1

Sehingga Ilmu Faraidh atau Ilmu Waris didefinisikan oleh para ulama,

yaitu: Ilmu Fiqh yang berkaitan dengan pembagian harta pusaka, pengetahuan

tentang cara perhitungan yang dapat menyampaikan kepada pembagian harta

pusaka dan pengetahuan tentang bagian-bagian yang wajib dari harta peninggalan

untuk setiap pemilik harta pusaka.2

Mawaris jama’ dari Mirats, yang dimaknakan dengan mauruts ialah: harta

peninggalan orang yang meninggal yang diwarisi oleh para warisnya.

Orang yang meninggalkan harta disebut muwarits, sedangkan yang berhak

menerima pusaka disebut warits.

1

Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddiqy, Fiqh Mawaris, (Semarang:Pustaka Rizki Putra,1999), h.5

2

(28)

Waris adalah bentuk isim fa’il dari kata waritsa, yaritsu, irtsan, fahuwa

waritsun yang bermakna orang yang menerima waris. Kata-kata itu berasal dari

kata waritsa yang bermakna perpindahan harta milik atau perpindahan pusaka.

Sehingga secara istilah ilmu waris adalah ilmu yang mempelajari tentang proses

perpindahan harta pusaka peninggalan mayit kepada ahli warisnya. Ada beberapa

kata dalam penyebutan waris, seperti: warits, muwarris, al-irts, warasah dan

tirkah.3

2. Dasar Hukum Kewarisan

Ketentuan-ketentuan yang mengatur secara langsung masalah kewarisan

terdapat dalam Al-Qur’an.

Di dalam al-Qur’an terdapat ayat-ayat yang secara tegas menjelaskan

bahwa baik laki-laki maupun perempuan merupakan ahli waris, seperti dalam Q.S.

an-Nisa (4):7



























































Artinya:’’bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan

ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta

peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian

yang telah ditetapkan’’.

3

(29)

18

Selain itu, ayat-ayat yang secara tegas menjelaskan tentang ketentuan ahli

waris yang mendapatkan harta peninggalan dari ibu-ibu bapaknya dan ahli waris

yang mendapatkan harta peninggalan dari saudara seperjanjian, seperti yang

tercantum dalam Q.S. an-Nisa (4):11-12

















































































































































Artinya:’’Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk)

anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua

orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua,

Maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan

itu seorang saja, Maka ia memperoleh separo harta. dan untuk dua orang

ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang

meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak

dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), Maka ibunya mendapat sepertiga; jika

(30)

seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat

yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan

anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat

(banyak) manfaatnya bagimu. ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya

Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana’’.

Bagian laki dua kali bagian perempuan adalah karena kewajiban

laki-laki lebih berat dari perempuan, seperti kewajiban membayar maskawin dan

memberi nafkah.

Lebih dari dua Maksudnya : dua atau lebih sesuai dengan yang diamalkan

(31)

20

Artinya:’’Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang

ditinggalkan oleh isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. jika

isteri-isterimu itu mempunyai anak, Maka kamu mendapat seperempat dari harta yang

ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah

dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu

tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. jika kamu mempunyai anak, Maka

Para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah

dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu.

jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan

ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki

(seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), Maka bagi

masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. tetapi jika saudara-saudara

seibu itu lebih dari seorang, Maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu,

sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya

dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris) (Allah menetapkan yang

demikian itu sebagai) syari'at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha

mengetahui lagi Maha Penyantun’’.

B. Rukun dan Syarat-Syarat Kewarisan 1. Rukun-Rukun Kewarisan

Terjadinya hubungan saling mewarisi apabila terpenuhi rukun-rukun

(32)

a. Yang mewariskan adalah orang yang harta peninggalannya pindah ke tangan

yang lain (ahli warisnya),dan ia adalah si mayit.

b. Ahli waris adalah orang yang menerima harta peninggalan si mayit.

c. Yang diwariskan adalah harta peninggalan (si mayit).4

2. Syarat-Syarat Kewarisan

Dalam Syariat Islam ada tiga syarat supaya pewarisan dinyatakan ada,

sehinggadapat member hak kepada seseorang atau ahli waris untuk menerima

warisan, yaitu:

a. Orang yang mewariskan (muwarris) benar telah meninggal dunia dan dapat

dibuktikan secara hukum bahwa ia telah meninggal.

Ini berarti bahwa apabila tidak ada kematian, maka tidak ada pewarisan.

Pemberian atau pembagian harta kepada keluarga pada masa hidupnya, tidak

termasuk ke dalam kategori waris mewarisi, tetapi pemberian atau pembagian ini

disebut Hibah.5

b. Orang yang mewarisi (ahli waris atau waris) hidup pada saat orang yang

mewariskan meninggal dunia dan bisa dibuktikan secara hukum. Termasuk

dalam pengertian hidup di sini adalah:

1. Anak (embrio) yang hidup dalam kandungan ibunya pada saat orang yang

mewariskan meninggal dunia.

4

Asy-Syaikh Muhammad bin Shaleh Al-Utsaimin, Ilmu Waris Metode Praktis Menghitung Warisan dalam Syariat Islam, (Saudi Arabia,1424 H),.h.22

5

(33)

22

2. Orang yang menghilang dan tidak diketahui tentang kematiannya, dalam hal

ini perlu adanya keputusan hakim yang mengatakan bahwa ia masih hidup.

Apabila dalam waktu yang ditentukan ia tidak juga kembali, maka bagian

warisannya dibagikan kembali kepada ahli waris.

Apabila dua orang yang mempunyai hubungan nasab meninggal

bersamaan waktunya, atau tidak diketahui siapa yang lebih dulu meninggal dunia,

maka keduanya tidak saling mewarisi, karena ahli waris harus hidup ketika orang

yang mewariskan meninggal dunia.6

1. Ada hubungan pewarisan antara orang yang mewariskan dengan orang yang

mewarisi, yaitu:

a. Hubungan nasab: (keturunan, kekerabatan), baik pertalian garis lurus ke atas,

seperti: Ayah, Kakek dan lainnya, atau pertalian lurus ke bawah, seperti:

anak, cucu, atatu pertalian mendatar atau menyamping seperti: paman,

saudara dan anak turunannya sebagaimana Firman Allah Swt:



























































Artinya:’’bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan

ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari

harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak

menurut bahagian yang telah ditetapkan’’.

6

(34)

b. Hubungan pernikahan, yaitu seseorang dapat mewarisi disebabkan

menjadi suami atau istri dari orang yang mewariskan.

Yang dimaksud dengan perkawinan di sini adalah perkawinan yang

sah menurut syari’at Islam, dimulai sejak akad nikah sampai putusnya ikatan

perkawinan.7

c. Hubungan perbudakan (wala’) adalah seorang budak yang dimerdekakan

yaitu ikatan antara dirinya dengan orang memerdekakannya dan ahli

warisnya yang mewarisi dengan bagian ashobah dengan sebab dirinya

ashobah bin nafsi seperti ikatan antara orang tua dengan anaknya, baik

dimerdekakan secara sukarela atau karena wajib seperti karena nadzar atau

zakat atau kafarah.8

C. Sebab Penghalang Menerima Waris dan Macam-Macam Ahli Waris

1. Penghalang Pewarisan (Mawani’ Al-Irs)

Yang dimaksud dengan Mawani’ al-Irs ialah penghalang terlaksananya waris

mewarisi; yang menyebabkan orang tersebut tidak dapat menerima warisan padahal

sudah cukup syarat-syarat dan ada hubungan pewarisan.9

Keadaan-keadaan yang menyebabkan seorang ahli waris tidak dapat

memperoleh harta warisan adalah sebagai berikut:

a. Pembunuhan

7

Amin Husein Nasution, Hukum Kewarisan,h.75

8

Asy-Syaikh Muhammad bin Shaleh Al-Utsaimin, Ilmu Waris, (Saudi Arabia, 1424 H), h.27

9

(35)

24

Seseorang yang membunuh orang lain, maka ia tidak dapat mewarisi harta

orang yang terbunuh itu, sebagaimana sabda Rasullah Saw:

‘’Dari ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya ia berkata: Rasullah Saw

bersabda: Orang yang membunuh tidak dapat mewarisi sesuatu apapun dari harta

warisan orang yang dibunuhnya.’’

Ketentuan ini mengandung kemaslahatan agar orang tidak mengambil jalan

pintas untuk mendapat harta warisan dengan membunuh orang yang mewariskan.10

b. Berlainan Agama

Berlainan Agama dalam hukum waris Islam dimaksudkan bahwa seseorang

yang beragama Islam tidak dapat mewarisi kepada orang non muslim.11

Menurut jumhur ulama fikih, yang menjadi ukuran dalam penetepan

perbedaan agama adalah pada saat meninggal orang yang mewariskan. Apabila

meninggal seorang Muslim, sedang orang yang akan menerima tidak beragama Islam,

maka ia terhalang mendapat warisan walaupun kemungkinan dia masuk Islam

sebelum pembagian harta dilaksanakan.

c. Perbudakan

Seorang budak adalah milik dari tuannya secara mutlak, karena itu ia tidak

berhak untuk memiliki harta, sehingga ia tidak bisa menjadi orang yang mewariskan

dan tidak akan mewarisi dari siapapun sesuai dengan firman Allah Swt. Dalam Surat

Al-nahl (16):75

10

Amin Husein Nasution, Hukum Kewarisan,h.78

11

(36)















’Allah membuat perumpamaan dengan seorang hamba sahaya yang dimiliki yang

tidak dapat bertindak terhadap sesuatupun’’.

2. Macam-Macam Ahli Waris

Menurut hukum Islam, ahli waris di bagi menjadi dua macam, yaitu:

1. Keluarga dekat yang kemudian mereka akan mendapatkan bagian ‘’furudhul

muqaddarah’’ atau ‘’furudul ashabah’’.

Ashabul Furudh adalah orang yang mempunyai bagian harta peninggalan

yang sudah ditentukan oleh Al-Qur’an, As-Sunnah dan Ijmak. Adapun bagian

yang sudah ditentukan adalah 1/2 ,1/4, 1/8, 1/3, 2/3, dan 1/6.12

2. Keluarga yang jauh: yang baginya masih diperselisihkan. Keluarga yang jauh

ini disebut dengan ‘’dzawil arham’.13

Para ahli waris yang berhak menjadi pewaris harta benda muwarris berjumlah 25

orang; 15 orang laki-laki dan 10 perempuan.14

Ahli waris dari laki-laki adalah sebagai berikut.

1) Anak laki-laki.

2) Cucu laki-laki dari anak laki-laki.

3) Ayah.

12

Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta:Sinar Grafika,2009), h.63

13

Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam, h.63

14

(37)

26

4) Kakek (ayah dari ayah).

5) Saudara laki-laki sekandung.

6) Saudara laki-laki seayah.

7) Saudara laki-laki seibu.

8) Keponakan laki-laki.( anak laki-laki dari anak saudara laki-laki sekandung).

9) Keponakan laki-laki (anak laki-laki dari anak saudara laki-laki seayah).

10)Saudara seayah (paman) yang seibu seayah.

11)Saudara seayah (paman) yang seayah.

12)Anak paman yang seibu seayah.

13)Anak paman yang seayah.

14)Suami.

15)Orang laki-laki yang memerdekakannya.

Apabila ahli waris di atas ada semuanya maka hanya 3 (tiga) ahli waris

yang mendapatkan warisan, yaitu sebagai berikut:15

a) Suami

b) Ayah

c) Anak

Para ahli waris dari pihak perempuan adalah.

a. anak perempuan

b. anak permpuan dari anak laki laki dan seterusnya dalam garis ke

(38)

bawah, sepanjang pertalianya dengan si mayit masih melalui kerabat laki laki

saja.

c. Ibu.

d.Nenek (ibu dari bapak).

e. Nenek (ibu dari ibu).

f. Saudara perempuan yang seibu sebapak

g. Saudara perempuan yang sebapak saja .

h. Saudara perempuan yang seibu saja.

i. Istri.

j. Perempuan yang memerdekakan si mayit (yang mantan budaknya), jika si

mayit tidak meninggalkan ahli waris.16

D. Pembagian Para Ahli Waris

a. Ahli Waris Utama

a.1. Bagian istri

 1/8 bagian jika pewaris mempunyai anak

 1/4 bagian jika pewaris tidak mempunyai anak

a.2. Bagian Suami

 1/4 bagian jika pewaris mempunyai anak

 1/2 bagian jika pewaris tidak mempunyai anak

a.3. Bagian Ibu

16

(39)

28

 1/6 bagian jika pewaris mempunyai anak

 1/6 bagian jika pewaris mempunyai beberapa saudara

 1/3 bagian jika pewaris tidak mempunyai anak

 Dalam hal ibu mewaris bersama bapak dan tidak ada anak laki-laki,

maka bagian ibu adalah 1/3 dari sisa, yaitu jumlah harta awal

dikurangi bagian istri dan anak perempuan.

a.4. Bagian Bapak

 1/6 bagian jika pewaris mempunyai anak

 1/6 bagian+ sisa jika pewaris hanya mempunyai anak perempuan

 Sisa, jika pewaris tidak mempunyai anak

a.5. Bagian Anak Perempuan

 1/2 bagian jika seorang

 2/3 bagian jika beberapa orang

 masing-masing 1 bagian dari sisa jika mereka mewarisi bersama anak

laki-laki.

a.6. Bagian Anak Laki-Laki

 Masing-masing 1 bagian dari sisa jika mereka mewaris bersama anak

laki-laki lainnya.

 Masing-masing 2 bagian dari sisa jika mereka mewaris bersama anak

perempuan.17

17

(40)

b. Ahli Waris Utama Pengganti

b.1. Bagian Nenek

 kedudukan nenek sebagai ahli waris baru terbuka jika tidak ada ibu.

 Bagian nenek adalah 1/6 bagian, baik sendirian maupun bersama

b.2. Bagian Kakek

 Kedudukan kakek sebagai ahli waris baru terbuka jika tidak ada bapak.

 1/6 bagian jika pewaris mempunyai anak

 1/6 bagian+ sisa jika pewaris hanya mempunyai satu anak perempuan

 sisa, jika pewaris tidak mempunyai anak

b.3. Cucu Perempuan

 Menjadi ahli waris jika: hanya ada satu anak perempuan atau cucu perempuan

yang lebih tinggi derajatnya, ada cucu laki-laki yang menjadi muasib mereka.

 1/2 bagian jika seorang

 2/3 bagian jika beberapa orang

 1/6 bagian jika pewaris sebagai cucu perempuan pelengkap

 masing-masing 1 bagian dari sisa jika mereka mewarisi bersama anak

laki-laki.

b.4. Cucu Laki-laki

 Cucu laki-laki sebagai ahli waris baru terbuka jika tidak ada anak laki-laki

(bapaknya).

(41)

30

c.1. Saudara seibu

 Saudara seibu baru terbuka haknya jika tidak ada bapak dan anak

 kedudukan saudara seibu, baik perempuan maupun laki-laki adalah sama

 1/6 jika sendiri

 1/3 jika lebih dari satu

c.2. Saudara sekandung/sebapak

 Saudara sekandung/sebapak baru terbuka haknya jika tidak ada bapak atau

anak.18

18

(42)

31

A. Sejarah Singkat Perkampungan Betawi Srengseng Sawah

Perkampungan budaya betawi tidak langsung menjadi perkampungan begitu

saja, tapi melalui proses yang sangat panjang dan ada proses yang mengawali itu.

Ketika kita tahu dan berpikir bahwa jakarta ini kota metropolitan dan mengarah ke

megapolitan, hampir kehilangan jati diri betawi dan ibu kandungnya sendiri yaitu

betawi.1

Kemudian muncullah kekuatan kolektif kolegial, melalui

organisasi-organisasi yang berharap untuk mempertahankan budaya betawi yang tidak mau

kalau ibu kandungnnya hilang. Pada tahun 1880, ketika itu memang sudah ada

yaitu condet tapi tidak maksimal. SK nya bukan untuk pemberdayaan tapi untuk

buah-buahan, kita berharap dan tidak mau betawi ini hilang ,ada satu tempat yang

akan menjadi tempat kebetawian, pada saat itu belum pasti dan belum ketahui,

apakah Jakarta Utara yaitu Marunda, Jakarta Utara yaitu Rorotan, Jakarta Pusat

yaitu Kemayoran, Jakarta Barat yaitu Srengseng Sawah, dan Jakarta Selatan ada

juga Srengseng Sawah. Ketika itu semakin kuat keinginan dan didorong dengan

cara butten-up yaitu dari tokoh-tokoh dan organisasi-organisasi, pada saat

mengajukan ternyata pemda menangkap dan menerima dengan baik, dan melalui

1

(43)

32

sarasehan yang melalui pemilihan beberapa tempat tadi dan ternyata yang terpilih

adalah Srengseng Sawah Jakarta Selatan, karena lebih diunggulkan pada tahun

1994.2

Pada tanggal 13 September 1997 dibuat acara konsep acaranya satu hari di

setu babakan atau festival setu babakan, kemudian pada saat itu muncul

budayanya, komunitasnya, masyarakatnya, kekentalan budayanya sehingga

menjadi kekuatan yang lebih tinggi dari tempat lain. Tetapi sayangnya, acara

tersebut tertunda, karena pada tahun 1998 kita mengalami krisis ekonomi.3

Pada tahun 2000, muncul SK Gubernur Nomor 92 Tahun 2000 dan

sekaligus ditetapkannya SK tersebut tanggal 18 Agustus Tahun 2000. Yang

berbunyi:’’ Penataan perkampungan budaya Srengseng Sawah’’. Pemerintah

Daerah Provinsi DKI Jakarta menguatkan dengan memberikan aset 65 Hektar

danau, dan dari masyarakat 100 Hektar, menjadi 165 di kelurahan Srengseng

Sawah.4

Dan para tokoh dan masyarakat sepakat untuk memunculkan konsep

budaya, kearifan lokal, agar tidak hilang atas kampungnya budaya itu sendiri.

Tanggal 20 Januari Tahun 2001 Peresmian Perkampungan Budaya Betawi oleh

Gubernur pada saat itu Sutiyoso.

2

Wawancara pribadi dengan Bapak Indra (Tokoh Masyarakat Betawi),Srengseng Sawah, Jakarta, 24 November 2013.

3

Wawancara pribadi dengan Bapak Indra (Tokoh Masyarakat Betawi),Srengseng Sawah, Jakarta, 24 November 2013.

4

(44)

Semenjak itu terus mengalir dan memunculkan konsep-konsep baru,

bahkan didorong dengan regulasi yang makin kuat, dikeluarkannya Peraturan

Daerah Nomor 3 Tahun 2005, yang berbunyi:’’ Penetapan Perkampungan Budaya

Betawi di kelurahan Srengseng Sawah Jakarta Selatan. Yang terdiri dari 156 RT,

19 RW, dan populasinya 60.000 Jiwa, dan menjadi 289 Hektar, Seolah-olah ini

adalah dapurnya budaya.5

Perkampungan budaya betawi adalah suatu kawasan di jakarta selatan

dengan komunitas yang ditumbuh kembangkan oleh budaya yang meliputi gagasan

dan karya baik fisik maupun non fisik yaitu: adat istiadat, foklor, sastra, kuliner,

pakaian serta arsitektur yng bercirikan kebetawian.6

Kawasan perkampungan budaya betawi terletak di kel.srengseng sawah,

kecamatan jagakarsa kota administrasi jakarta selatan, dengan luas sekitar 289

hektar. Dengan batas fisik sebelah utara: jl. Mochammad Kahfi ii sampai dengan

jl. Desa putra (jl. H. pangkat ), sebelah timur: jl. Desa putra (jl. H. pangkat) jl.

Pratama (Wika, mangga bolong timur), jl. lapangan merah, sebelah selatan: Batas

wilayah provinsi DKI Jakarta dengan kota depok, sebelah barat, jl. Mochmmad

Kahfi ii.7

5

Wawancara pribadi dengan Bapak Indra (Tokoh Masyarakat Betawi), Srengseng Sawah, Jakarta, 24 November 2013.

6

Pemerintah Kota Administrasi Jakarta Selatan, Suku Dinas Dan Budaya, Betawi Culture Village.

7

(45)

34

Dalam kawasan seluas itu dapat dengan mudah dijumpai aktifitas

keseharian masyarakat kampung betawi seperti: latihan pukul (pencak silat),

ngederes, aqiqah, injek tanah, ngarak pengantin sunat,memancing, menjala, budi

daya ikan air, tawar, bertani, berdagang sampai pada kegiatan memasak makanan

khas betawi seperti: sayur asem, sayur lodeh, soto mie, soto babat, ikan pecak, bir

pletok, jus, belimbing, kerak telor, laksa, toge goreng, tape uli, geplak, wajik, dll.8

Perkampungan yang diampit oleh dua danau (setu dan situ) ini mempunyai

luas wilayah sekitar 289 hektar dan sebagian besar penduduknya adalah orang asli

betawi yang sudah turun temurun tinggal di daerah tersebut. Sedangkan sebagian

kecil lainnya adalah para pendatang, seperti pendatang dari Jawa Barat dan

Kalimanatan yang sudah tinggal lebih dari 30 tahun ini.9

Sebagai kawasan wisata budaya, wisata agro, dan wisata air.

Perkampungan budaya betawi memiliki potensi lingkungan alam yang asri dan

sangat menarik, yang sulit dijumpai ditengah hiruk pikuknya kota jakarta. Dua

buah setua alam yang ada di perkampungan budaya betawi yaitu: setu babakan,

dan setu mangga bolong yang dikelilingi hijau dan rindangnya pohon-pohon buah

khas betawi seperti: kecapi, belimbing, rambutan, sawo, pepaya, pisang, jambu,

nangka, dan tumbuhan yang hidup sehat di halaman depan, disamping dan diantara

rumah-rumah penduduk betawi sebagai objek wisata yang paling lengkap dan

8

Pemerintah Kota Administrasi Jakarta Selatan, Suku Dinas Dan Budaya, Betawi Culture Village.

9

(46)

menarik serta menjadi pilihan bagi para wisatawan baik lokal maupun

mancanegara.10

Wisatawan yang berkunjung ke perkampungan ini juga dapat berkeliling ke

perkebunan, pertanian, serta melihat tanaman-tanaman khas betawi di pelataran

rumah-rumah penduduk. Apabila berkunjung ke pelataran rumah penduduk, tak

jarang pengunjung akan dipetikkan buah sebagai tanda penghormatan. Jika

wisatawan tertarik untuk memetik dan berniat membawa pulang buah-buahan

tersebut, maka pengunjung dapat membelinya terlebih dulu bernegoisasi harga

dengan pemiliknya. Buah-buahan yang tersedia diperkampungan ini antara lain

belimbing, rambutan, buni, jambu, dukuh, menteng, gandaria, mengkudu,

nam-nam, kecapi, durian, jengkol, kemuning, krendang, dan masih banyak lagi.

B. Tujuan, Sasaran dan Fungsi Perkampungan Betawi

Tujuan perkampungan budaya betawi adalah membina dan melindungi secara

sungguh-sungguh dan terus menerus tata kehidupan serta nilai-nilai budaya betawi,

menciptakan dan menumbuhkembangkan nilai-nilai budaya betawi sesuai dengan

akar budayanya, menata dan memanfaatkan potensi lingkungan fisik, baik alami

maupun buatan yang bernuansa betawi, mengendalikan pemanfaatan lingkungan

fisik dan non fisik sehingga saling bersinergi untuk mempertahankan ciri khas

betawi.

10

(47)

36

Perkampungan budaya betawi mempunyai fungsi yang sangat membantu

penduduk setempat khususnya dan masyarakat luas pada umumnya. Fungsi dari

perkampungan budaya betawi setu babakan, antara lain: sarana pemukiman, sarana

ibadah, sarana informasi, sarana seni budaya, sarana penelitian, sarana pelestarian

dan pengembangan, dan sarana pariwisata.11

Pemanfaatan dan pengembangan perkampungan budaya betawi termasuk

fasilitasnya menjadi tugas dan tanggung jawab masyarakat dengan didukung oleh

pemerintah daerah. Pemerintah daerah berkewajiban melengkapi sarana dan

program yang dianggap perlu.12

Visi dari perkampungan budaya betawi ini adalah pembangunan prioritas

ditingkat madya kotamadya diarahkan pada bagian wilayah kota yang memilki

peran besar dan fungsi strategis bagi pengembangan ekonomi sosial, budaya dan

lingkungan kota, seperti pengembangan perkampungan budaya betawi yang

merupakan satu kesatuan budaya betawi yang didukung hutan kota yang serasi

untuk kawasan wisata budaya.13

Misi yang dimiliki perkampungan budaya betawi setu babakan merupakan

pola pengembangan dan pelestarian seni budaya rencana tata ruang bagian dari

wilayah jakarta selatan meningkatkan pendapatan masyarakat, seperti lapangan

11

Fitri Utami Ningrum, Strategi Meningkatkan Jumalah Pengunjung Wisata Perkampungan Budaya Betawi, (Universitas Indonesia, 2009), h.30

12

Faradillah , Konservasi Kawasan Wisata Perkampungan Budaya Betawi, (Universitas Pendidikan Indonesia) , h.60

13

(48)

kerja yang lebih baik untuk masyarakat sekitar perkampungan budaya betawi

khususnya dan diluar perkampungan betawi umumnya.14

C. Ruang Lingkup dan Zona Perkampungan Betawi

Berdasarkan peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 151 Tahun

2007 tentang pedoman pembangunan perkampungan budaya betawi di kelurahan

srengseng sawah, kecamatan jagakarsa, kota administrasi jakarta selatan, ruang

lingkup pembangunan perkampungan budaya betawi meliputi:

 Pembangunan fisik yang terdiri atas bidang:

1. Prasarana, sarana dan fasilitas umum serta fasilitas sosial

2. Sarana dan fasilitas khusus kesenian

3. Penataan lingkungan

4. Penataan pemukiman penduduk/masyarakat

5. Penataan Perumahan penduduk/masyarakat

6. Pemeliharaan Setu

7. Penanaman tanaman dan pohon ciri khas jakarta

8. Penataan lahan terbuka hijau dan hutan kota

9. Penataan dan pengendalian pemanfaatan lahan oleh dan untuk masyarakat.

 Pembagian non fisik yang terdiri dari bidang;

1. Tata kehidupan

14

Fitri Utami Ningrum, Strategi Meningkatkan Jumalah Pengunjung Wisata Perkampungan Budaya Betawi, (Universitas Indonesia, 2009), h.35

(49)

38

2. Nilai seni budaya

3. Penelitian dan Pengkajian seni budaya

4. Pendidikan dan pelatihan seni budaya

5. Pendokumentasian seni budaya

6. Permuseuman seni budaya15

Untuk memudahkan pelaksanaan pembangunan fisik dan non fisik

tersebut, pembangunan kawasan perkampungan betawi dibagi menjadi zona

sebagai berikut:

1. Zona permukiman

Zona permukiman merupakan bagian dari kawasan perkampungan

budaya betawi yang menjadi permukiman penduduk, dengan ketentuan

sebagai berikut:

a. Rumah berarsitektur Betawi.

b. Luas areal tertutup bangunan koefisiensi dasar bangunan (KBD) harus

sesuai dengan ketentuan yang berlaku.16

2.Zona seni dan Budaya

Wisata budaya adalah suatu kegiatan sebagai upaya menumbuhkan

kembali nilai-nilai tradisional yang dikemas sehingga layak tampil, layak

15

Fitri Utami Ningrum, Strategi Meningkatkan Jumalah Pengunjung Wisata Perkampungan Budaya Betawi, (Universitas Indonesia, 2009), h.35

16

(50)

ditonton dan layak dijual. Wisata budaya yang dapat dinikmati langsung

adalah:

a. Pergelaran seni musik, tari dan teater tradisional di arena teater terbuka.

b. Pelatihan seni tari, musik dan teater tradisional bagi anak dan remaja.

Bagian dari kawasan perkampungan budaya betawi yang dijadikan

seni pusat budaya, dengan ketentuan sebagai berikut:

1. Bangunan berarsitektur Betawi.

2. Dilengkapi gedung, fasilitas, sarana dan perlengkpan kesenian

3. Pusat/tempat pergelaran, pameran, lomba, pelatihan dan pendidikan

kesenian.

4. Museum budaya betawi.17

3. Zona wisata agro

Merupakan suatu bentuk kegiatan pariwisata yang memanfaatkan

usaha pertanian (argo) sebagai objek wisata dengan tujuan rekreasi, keperluan

ilmu pengetahuan, memperkaya pengalaman dan memeberikan peluang usaha

di bidang pertanian.18 Yang menjadi daya tarik dan keunikan wisata agro di

perkampungan budaya betawi adalah lokasi pertanian tidak berada khusus,

melainkan berada diperkarangan dan di halaman rumah-rumah penduduk,

sehingga bila musim buah tiba, ranumnya aneka buah khas betawi dapat

17

Faradillah , Konservasi Kawasan Wisata Perkampungan Budaya Betawi, (Universitas Pendidikan Indonesia) ,h.60

18

(51)

40

menggiurkan para wisatawan untuk singgah di rumah-rumah penduduk dan

biasanya tuan rumah akan segera menyapa wisatawan dan bergegas memetik

buah untuk diberikan kepada wisatawan sebagai tanda hormat.19

Bagian dari kawasan perkampungan budaya betawi yang dapat

dilihat/dijumpai dari kegiatan dan kenyataan tata kehidupan agraris

masyarakat betawi, dengan bercirikan:

1. Pohon dan tanaman khas jakarta

2. Buah dan sayuran khas jakarta

4. Zona Wisata Air

Merupakan upaya meningkatkan daya tarik wisata dari aspek olahraga

air yang mampu menarik wisatawan. Dua buah setu yang dimiliki oleh

perkampungan budaya betawi yaitu: setu babakan dan setu mangga bolong

telah menjadikan perkampungan budaya betawi sebagai tempat wisata yang

paling menarik dan menjajikan. Wisata air yang dapat dinikmati saat ini

adalah : Sepeda air, olahraga kano, dan memancing.20

Zona wisata air adalah situ babakan dan situ mangga bolong yang

terpelihara, bersih dan indah, dengan bercirikan:

a. Kehidupan unggas

19

Pemerintah Kota Administrasi Jakarta Selatan, Suku Dinas Dan Budaya, Betawi Culture Village.

20

(52)

b. Kehidupan ikan

5. Zona Wisata Industri

Wisata industri merupakan bagian dari kawasan perkampungan

budaya betawi yang menjadi pusat industri perumahan betawi, dengan

bercirikan:

a. Makanan dan minuman olahan khas betawi

b. Hasil karya kerajinan khas betawi

c. Cinderamata khas betawi21

D. Keadaan Demografis

1. Kependudukan dan Catatan Sipil

Terletak antara -160’ 48’ 30’’ BT -106’ 49’ 50’’ dan 06’20’07’’ LS -06’2i’10’’

LS.22

Wilayah kelurahan Srengseng Sawah kecamatan jagakarsa kotamadya Jakarta

Selatan, terbagi kedalam 19 RW dan 156 RT. Dengan jumlah penduduk pada

bulan juli 2013 sebanyak 59.948 yang terdiri atas:

Tabel 1

Berdasarkan Jenis Kelamin

21

Pemerintah Kota Administrasi Jakarta Selatan, Suku Dinas Dan Budaya, Betawi Culture Village.

22

(53)

42

Jenis Kelamin Jiwa

Laki-laki 30.562

Perempuan 29.386

KK. laki-laki 15.404

KK. perempuan 2.452

Kepadatan penduduk 6,757

Wajib KTP 40.974

KTP laki-laki 20.529

KTP perempuan 20.445

[image:53.612.107.531.113.375.2]

Sumber: Monografi 201323

Tabel 2

Jumlah jiwa berdasarkan jenis usia

Jenis Usia Jiwa

0-4 5.300

5-9 4.602

10-14 4.428

15-19 6.301

20-24 5.596

25-29 5.437

23

(54)

30-34 4.621

35-39 4.214

40-44 3.498

45-49 3.893

50-54 3.076

55-59 2.561

60-64 2.140

65-69 1.677

70-74 1.173

75-keatas 1.395

Jumlah 55.445

Sumber: Monografi 201324

2. Ekonomi

Mata pencaharian masyarakat kelurahan srengseng sawah lebih dominan

bermata pencaharian sebagai pegawai negri sipil (PNS), TNI, dan swasta. Perincian

[image:54.612.106.534.112.428.2]

datanya sebagai berikut:25

Tabel 3

Jumlah Mata Pencaharian

24

Laporan Bulanan: Desember 2013, Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Kelurahan Srengseng Sawah Jakarta Selatan.

25

(55)

44

Mata Pencaharian Jiwa

PNS 1.618

TNI 2.933

Swasta 7.864

Pensiunan 926

Pedagang 3.353

Petani 1.999

Pertukangan 463

Nelayan -

Pemulung 178

Buruh 1.625

Jasa 465

Pengangguran 359

Ibu rumah tangga 13.236

Pelajar 16.994

Balita 2.836

Jumlah 55.445

Sumber: Monografi 201326

3. Bidang Keagamaan

26

(56)

Mayoritas penduduk kelurahan Srengseng Saw

Gambar

Tabel 2
Tabel 3
Tabel 4
Tabel 5

Referensi

Dokumen terkait

Mengaplikasikan metode pencatatan dan penilaian persediaan bahan baku pada CV Pitulas Semarang dengan standar akuntansi keuangan- entitas tanpa akuntabilitas publik

Bagaimana melakukan kompresi pada citra dengan metode Fast

Nilai 1 : Jika indikator horizontal kurang penting daripada indikator vertikal Nilai 2 : Jika indikator horizontal sama penting dengan indikator vertikal Nilai 3 : Jika

[r]

Drs KRT Kawendro Susilo / Sekretaris Persatuan Pedalangan Indonesia (Pepadi) /ketika ditemui Tim Apa Kabar Jogja RBTV /menjelaskan bahwa untuk menanamkan rasa seni serta lebih

Saat ini saya sedang melaksanakan penelitian yang berjudul “ Pengaruh Mutu Pelayanan KIA Terhadap Kepuasan Ibu Bersalin Secara Normal Di Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten

Faktor dominan yang menentukan keberhasilan proses belajar dengan mengenal dan memahami bahwa individu adalah unik dengan gaya belajar yang berbeda satu dengan

Pengetahuan gizi adalah hasil dari suatu pendidikan gizi yang dapat merubah perilaku gizi seseorang baik dalam pemilihan makanan, pola makan dan kesadaran terhadap