• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV PENYAJIAN DATA

4.2. Analisa Data

Setelah diuji secara empiris maka hipotesa yang diajukan tidak dapat diterima. Hal ini berarti kebijakan penataan pedagang kaki lima belum berjalan dengan baik sehingga masyarakat belum merasakan pengaruh yang positif terhadap kehidupan mereka.

Menurut Kwik Kian Gie (dalam Doli D. Siregar, 2004:219) ada 4 strategi untuk menanggulangi kemiskinan, yaitu :

1. Penciptaan kesempatan (creating opportunity) berkaitan dengan sarana pemulihan ekonomi makro, perwujudan kepemerintahan yang baik, dan peningkatan pelayanan umum.

2. Pemberdayaan masyarakat (people empowerment) berkaitan dengan penyediaan akses masyarakat miskin ke sumberdaya ekonomi dan keterlibatan mereka dalam pengambilan keputusan.

3. Peningkatan kemampuan (increasing capacity) berkaitan dengan sasaran peningkatan pelayanan pendidikan, kesehatan pangan, perumahan agar masyarakat memiliki produktivitas.

4. Perlindungan sosial (social protection), berkaitan dengan sasaran pemberian jaminan kehidupan bagi masyarakat yang mengalami kecacatan, fakir miskin, keterisolasian, konflik sosial, dan kehilangan pekerjaan sehingga berpotensi menjadi miskin.

Kegiatan berjualan di badan jalan mampu memberikan kesempatan pagi para PKL untuk meningkatkan kesejahteraan keluarga. Hal tersebut sesuai dengan strategi pertama agar pemerintah membuka diri untuk bertanggungjawab terhadap kesejahteraan warga kotanya dengan menciptakan lapangan pekerjaan sebagai

mata pencaharian penduduk. Usaha PKL merupakan usaha sendiri dan tidak menggantungkan diri pada pemerintah. Dengan adanya pengakuan dari pemerintah maka diharapkan kegiatan PKL dapat semakin berkembang dan dapat memperbaiki kualitasnya. Karena pemberantasan kemiskinan tidak bisa dilakukan tanpa ada penghormatan terhadap hak asasi manusia, kesetaraan jender, demokrasi dalam pembuatan kebijakan, perbaikan iklim usaha, serta pemerintahan yang baik. Oleh sebab itu, berkenaan dengan masalah PKL maka pemerintah perlu membuat suatu kebijakan yang memberikan perhatian besar terhadap hak-hak asasi masyarakat miskin.

Sehubungan dengan itu, penciptaan lapangan kerja tanpa diiringi dengan adanya upaya pemberdayaan maka PKL akan sulit memperbaiki diri dan berkembang. Dengan strategi kedua yang telah dikemukakan oleh Kwik Kian Gie di atas, maka pemberdayaan masyarakat (people empowerment) yang berkaitan dengan penyediaan akses masyarakat miskin ke sumberdaya ekonomi seperti menjadi PKL dan keterlibatan masyarakat dalam pengambilan keputusan yang berhubungan dengan kegiatan ekonomi sektor informal perlu mendapat dukungan pemerintah khususnya pemerintah kota. Kegiatan PKL pada sektor informal dapat dianggap sebagai salah satu katup penyelamat atau salah satu strategi untuk bertahan hidup (survival strategy) dari golongan masyarakat yang berpendapatan rendah.

Keberadaan sektor informal ini dapat membuka lapangan kerja bagi yang tidak terserap pada sektor formal. Oleh sebab itu, sudah sewajarnya jika dalam pembangunan ekonomi Pemerintah memberikan perhatian terhadap sektor

informal terutama terhadap PKL, sehingga kelak kegiatan PKL dapat diharapkan menjadi kegiatan yang tidak lagi dianggap sebagai sesuatu yang mengganggu kehidupan masyarakat lainnya.

Namun keberadaan PKL merupakan sesuatu kegiatan yang dapat saling mengisi dengan kegiatan sektor formal lainnya. Oleh sebab itu, sektor informal perlu dibina dan diarahkan untuk mampu berkembang tanpa beranggapan untuk menghapus sektor ini dari kehidupan perekonomian. Di mana pada dasarnya manusia itu saling membutuhkan satu sama lain demi kepentingan masing- masing.

Dari grafik 4.1 menunjukan bahwa 57 responden atau 57,6 % responden menyatakan setuju bahwa makin hari jumlah pedagang kaki lima semakin bertambah, sedangkan 16 responden atau 16,2 % menyatakan sangat setuju, 12 responden atau 12,1 % menyatakan ragu-ragu, 11 responden atau 11,1 % menyatakan tidak setuju dan 3 responden atau 3,0 % menyatakan sangat tidak setuju.

Dari grafik 4.2 dapat kita lihat bahwa 54 responden atau sekitar 54,5 % menyatakan setuju bahwa lebih suka berbelanja pada pedagang kaki lima yang berjualan di badan jalan, 18 responden atau 18,2 % menyatakan sangat setuju, kemudian 12 responden atau 12,1 % menyatakan ragu-ragu, 9 responden atau 9,1 % menyatakan tidak setuju dan 6 responden atau 6,1 % menyatakan sangat tidak setuju.

Dari garfik 4.3 dapat kita lihat bahwa 40 responden atau sekitar 40,4 % menyatakan tidak setuju dengan keberadaan pedagang kaki lima, 25 responden

atau 25,3 % menyatakan sangat tidk setuju, kemudian 10 responden atau 10,1 % menyatakan ragu-ragu, 15 responden atau 15,1 % menyatakan setuju dan 9 responden atau 9,1 % menyatakan sangat setuju.

Dari grafik 4.4 dapat kita lihat bahwa 54 responden atau 54,5 % menyatakan setuju bahwa berbelanja pada pedagang kaki lima lebih murah dibandingkan di tempat lain, sedangakan 18 responden atau 18,2 % menyatakan sangat setuju, 12 responden atau 12,1 % menyatakan ragu-ragu dan 9 responden atau 9,1 % menyatakan tidak setuju, 6 responden atau 6,1 % menyatakan sangat tidak setuju.

Dari 4.5 dapat kita lihat bahwa 55 responden atau sekitar 55,6 % menyatakan setuju bahwa pedagang kaki lima penyebab kurang bersihnya pasar Sukaramai, 30 responden atau 30,3 % menyatakan sangat setuju, kemudian 7 orang atau 7,1 % menyatakan ragu-ragu, 4 responden atau 4,0 % menyatakan tidak setuju dan 3 responden atau 3,0 % menyatakan sangat tidak setuju.

Dari grafik 4.6 dapat kita lihat bahwa 56 responden atau sekitar 56,6 % menyatakan setuju bahwa pedagang kaki lima penyebab terganggunya ketertiban umum di sekitar pasar sukaramai, 32 responden atau 32,3 % menyatakan sangat setuju, kemudian sebanyak 5 responden atau 5,1 % menyatakan ragu-ragu, 3 responden atau 3,0 % menyatakan tidak setuju dan 3 responden atau 3,0 % menyatakan sangat tidak setuju.

Dari grafik 4.7 menunjukan bahwa 55 responden atau sekitar 55,6 % menyatakan setuju bahwa pedagang kaki lima penyebab kurang indahnya pasar Sukaramai, 31 responden atau 31,3 % menyatakan sangat setuju, kemudian 7

responden atau 7,1 % menyatakan ragu-ragu, 3 responden atau 3,0 % menyatakan tidak setuju dan 3 orang atau 3,0 % menyatakan sangat tidak setuju.

Dari grafik 4.8 dapat kita lihat bahwa 56 responden atau sekitar 56,6 % menyatakan setuju bahwa pedagang kaki lima penyebab kurang teraturnya pasar sukaramai, 31 responden atau 31,3 % menyatakan sangat setuju, kemudian 4 responden atau 4,0 % menyatakan ragu-ragu, 5 responden atau 5,1 menyatakan tidak setuju dan 3 responden atau 3,0 menyatakansangat tidak setuju.

Dari grafik 4.9 dapat kita lihat bahwa 56 responden atau sekitar 56,6 % menyatakan setuju bahwa pedagang kaki lima penyebab meningkatnya gangguan keamanan pasar sukaramai, 32 responden atau 32,3 % menyatakan sangat setuju, kemudian 4 responden atau 4,0 % menyatakan ragu-ragu, 4 responden atau 4,0 % menyatakan tidak setuju dan 3 responden menyatakan sangat tidak setuju.

Dari 4.10 dapat kita lihat bahwa 55 responden atau 55,6 % menyatakan setuju bahwa pedagang kaki lima penyebab kemacetan lalu lintas di sekitar pasar sukaramai, 34 responden atau 34,3 % menyatakan sangat setuju, kemudian 4 responden atau 4,0 % menyatakan ragu-ragu, 3 responden atau 3,0 % menyatakan tidak setuju dan 2 responden atau 2,0 % menjawab sangat tidak setuju.

Dari garfik 4.11 dapat kita lihat bahwa 54 responden atau 54,5 % menyatakan setuju dengan penertiban dan penataan terhadap pedagang kaki lima, 21 responden atau 21,2 % menyatakan sangat setuju, kemudian 10 responden atau 10,1 % menyatakan ragu-ragu, 10 responden atau 10,1 menyatakan tidak setuju dan 4 responden atau 4,0 % menyatakan sangat tidak setuju.

Dari grafik 4.12 dapat kita lihat bahwa 51 responden atau sekitar 51,5 % menyatakan setuju bahwa dalam pelaksanaan kebijakan penataan pedagang kaki lima benar-benar untuk menciptkan kebersihan, keindahan, ketertiban dan keamanan pasar Sukaramai, 20 responden atau 20,2 % menyatakan sangat setuju, kemudian 15 responden atau 15,1 % menyatakan ragu-ragu, dan 6 responden atau 6,1 % menyatakan tidak setuju, 7 responden atau 7,1 % menyatakan sangat tidak setuju.

Dari grafik 4.13 dapat kita lihat bahwa 55 responden ata 55,6 % menyatakan tidak setuju, 30 responden atau 30,3 % menyatakan sangat tidak setuju, kemuudian 7 responden menyatakan ragu-ragu, 4 responden atau 4,0 % menyatakan setuju dan 3 responden atau 3,0 % menyatakan sangat setuju.

Dari grafik 4.14 dapat kita lihat bahwa 54 responden atau sekitar 54,5 % menyatakan tidak setuju bahwa semenjak adanya kebijakan penataan pedagang kaki lima terjadi peningkatan kebersihan, keindahan, keamanan dan ketertiban di pasar Sukaramai. 16 responden atau 16,2 % menyatakan sangat tidak setuju, 20 responden atau 20,2 % menyatakan ragu-ragu, kemudian 5 responden atau 5,1 % menyatakan setuju dan 4 responden atau 4,0 % menyatakan sangat setuju.

Dari grafik 4.15 dapat kita lihat bahwa 54 responden atau sekitar 54,5 % menyatakan setuju dengan kebijakan penataan pedagang kaki lima, 20 responden atau 20,2 % menyatakan sangat setuju, kemudian 15 responden 15,1 % menyatakan ragu-ragu, 5 responden atau 5,1 % menyatakan tidak setuju dan 5 responden atau 5,1 % menyatakan sangat tidak setuju.

Dari grafik 4.16 dapat kita lihat bahwa 56 responden atau sekitar 56,6 % menyatakan setuju dengan dilakukannya penggusuran terhadap pedagang kaki lima yang berjualan di badan jalan, 15 responden atau 15,1 % menyatakan sangat setuju, kemudian 11 responden atau 11,1 % menyatakan ragu-ragu, 10 responden atau 10,1 % menyatakan tidak setuju dan 7 responden atau 7,1 % menyatakan sangat tidak setuju.

Dari garfik 4.17 dapat kita lihat bahwa 56 responden atau sekitar 56,6 % menyatakan setuju diadakan pertemuan antara aparat yang terkait dengan pedagang kaki lima untuk mencari jalan keluar yang terbaik, 18 responden atau 18,1 % menyatakan sangat setuju, kemudian 15 responden atau 15,1 % menyataka ragu-ragu, 5 responden atau 5,1 % menyatakan tidak setuju dan 5 responden atau 5,1 % menyatakan sangat tidak setuju.

Dari grafik 4.18 dapat kita lihat bahwa 51 responden atau sekitar 51,5 % menyatakan setuju perlunya disosialisakan tentang larangan berjualan di badan jalan dengan lebih jelas dan tegas, 20 responden atau 20,2 % menyatakan sangat setuju, kemudian 19 responden atau 19,2 % menyatakan ragu-ragu, kemudian 5 responden atau 5,1 % menyatakan tidak setuju dan 4 responden atau 4,0 % menyatakan sangat tidak setuju.

Dari grafik 4.19 dapat kita lihat bahwa 52 responden atau sekitar 52,5 % menyatak setuju dengan koordinasi yang baik antara aparat yang terkait, 15 responden atau 15,2 % menyatakan sangat setuju, kemudian 20 responden atau 20,2 % menyatakan ragu-ragu, 7 responden atau 7,1 % menyatakan tidak setuju dan 5 responden atau 5.0 % menyatakan sangat tidak setuju.

Dari grafik 4.20 dapat kita lihat 54 responden atau sekitar 54,5 % menyatakan tidak setuju bahwa sudah terjalin komunikasi yang baik antara aparat yang terkait dengan pedagang, 14 responden atau 14,1 % menyatakan sangat tidak setuju, kemudian 19 responden atau 19,2 % menyatakan ragu-ragu, 7 responden atau 7,1 % menyatakan setuju dan 5 responden atau 5,1 % menyatakan sangat setuju.

Dari grafik 4.21 dapat kita lihat bahwa 52 responden atau sekitar 52,5 % menyatakan setuju dengan harus disediakannyalokasi berjualan yang layak dan adil untuk pedagang, 24 responden atau 24,2 % menyatakan sangat setuju, kemudian 12 responden atau 12,1 % menyatakan ragu-ragu, 5 responden atau 5,1 % menyatakan tidak setuju dan 6 responden atau 6,1 % menyatakan sangat setuju.

Dari grafik 4.22 dapat kita lihat bahwa 33 responden atau 33,4 % menyatakan setuju dengan cara-cara penertiban yang dilakukan walaupun sering menimbulkan bentrokan anatara pedagang dengan aparat, 22 responden atau 22,2 % menyatakan sangat setuju, kemudian 20 responden atau 20,2 % menyatakan ragu-ragu, 14 responden atau 14,1 % menyatakan setuju dan 10 responden atau 10,1 % menyatakan sangat setuju.

Berdasarkan fakta bahwa kontribusi dan fungsi masyarakat informal pada kehidupan perekonomian kota tidak boleh dilupakan. Memang permasalahan sektor informal seperti dua sisi mata uang. Pada satu segi PKL sungguh dibutuhkan masyarakat kota karena mampu untuk menyediakan kebutuhan hidup masyarakat kota yang berpendapatan rendah, sedangkan pada segi lain PKL cenderung disingkirkan oleh Pemerintah Daerah. Dalam perspektif hak asasi

manusia, sesungguhnya negara memiliki kewajiban untuk melindungi PKL tersebut sebagai salah satu representasi dalam memikul tanggungjawab.

Umumnya pedagang yang berjualan hanya pada pagi hari hingga siang adalah para pedagang sayuran. Sedangkan yang berjualan pada malam hari umumnya adalah pedagang makanan atau pedagang buah musiman seperti durian.

Kegiatan PKL ini banyak dijumpai di sekitar wilayah Pasar tradisional dan berada dekat dengan persimpangan jalan, sehingga cenderung terjadi kemacetan lalau lintas. Adapun tempat berjualan tidak hanya di atas trotoar tetapi juga menggunakan badan jalan.

Berdasarkan Rencana Umum Tata Ruang Kota (RUTRK) Kotamadya Daerah Tingkat II Medan bahwa penataan lokasi PKL belum menjadi prioritas utama. Di mana salah satu fungsi Kota Medan hanya diarahkan sebagai pusat perdagangan yang wilayah pengaruhnya mencakup seluruh Provinsi Sumatera Utara, bahkan Provinsi tetangga. Hal ini berarti orientasi usaha yang akan dikembangkan adalah usaha sektor formal dalam skala besar, sedangkan untuk kegiatan usaha informal yang merupakan kebutuhan masyarakat berpenghasilan rendah belum menjadi prioritas. Oleh sebab itu, usaha penertiban yang dilakukan semata-mata untuk menyingkirkan usaha PKL tersebut, sehingga tudingan terjadinya kemacetan lalu lintas pada lokasi pasar-pasar tradisonil adalah disebabkan keberadaan PKL.

Penanganan yang dilakukan terhadap permasalahan kemacetan lalu lintas pada persimpangan jalan baik yang diakibatkan adanya kegiatan perdagangan maupun pasar tradisional, masih terbatas pada penanganan manajemen

persimpanganan. Penanganan kemacetan lalu lintas tersebut seharusnya ditangani secara terpadu atau holistik (holistic), sehingga tindakannya selain pada pengelolaan persimpangan jalan juga dilakukan penataan para PKL yang berjualan di daerah sekitar persimpangan jalan tersebut

Menurut Eko Budihardjo (dalam Takashi Inoguchi, 2003:xiii), selama ini dalam pembangunan kota-kota di Indonesia terkesan kuat di mana sektor formal lebih diperhatikan, diprioritaskan, dan diutamakan daripada sektor informal. Jarang sekali perencanaan kota atau penentu kebijakan menetapkan sejak awal rencana lokasi-lokasi kegiatan sektor informal dalam rencana kota.

Dalam perencana kota dan lingkungan, masyarakat acap kali dilihat sekedar sebagai konsumen yang pasif dan kurang diberi peluang untuk ikut dalam proses penentuan kebijakan dan perencanaannya. Padahal, sebagai makhluk yang berakal dan berbudaya, manusia membutuhkan rasa penguasaan dan pengawasan (a sense of mastery and control) terhadap habitat atau lingkungannya. Rasa tersebut merupakan faktor mendasar dalam menumbuhkan rasa memiliki untuk kemudian mempertahankan atau melestarikan. Oleh karena itu, selayaknya masyarakat ikut diajak dalam kegiatan perencanaan, bahkan ada pendapat yang menyatakan bahwa tidak hanya dalam hal menyusun kebijaksanaan saja perlu ada peran serta rakyat.

Sehubungan dengan itu, sekarang sudah makin disadari bahwa layanan yang dibutuhkan kota besar tidak mungkin dapat dipenuhi seluruhnya tanpa bantuan aktif warga kota bersangkutan. Tetapi kenyataannya bahwa masyarakat kurang dilibatkan dalam perencanaan kota, sehingga hal ini menyebabkan para

PKL, pedagang asongan, dorongan, lesehan, dan lain-lain menempati ruang kota yang tersisa (left over urban space) yang menimbulkan rasa tidak aman dalam bekerja. Oleh sebab itu, pemerintah harus menyadari bahwa keberadaan PKL tidak sesuai dengan lingkungan kota karena ketidakmampuannya memberikan alternatif yang baik dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi PKL.

a. Kota Berkelanjutan

Dalam membangun Kota Medan harus diarahkan pada kota berkelanjutan. Adapun kota yang berkelanjutan dilandasi prinsip-prinsip ekologi, ekonomi, equity (pemerataaan), engagement (peran serta), energi, etika dan estetika. Dalam prinsip ekologi perlu diperhatikan konservasi sumberdaya, pencegahan dan penanggulangan polusi. Secara ekonomi konsep pembangunan kota diarahkan pada konsep kesejahteraaan, dimana dalam penanaman modal strategis dilakukan pada tenaga kerja dan kesempatan kerja dilihat sebagai tanggungjawab bersama pemerintah, swasta dan masyarakat. Agar pembangunan itu dapat dirasakan oleh semua lapisan masyarakat maka diperlukan pendekatan equity (pemerataan) yang disparitasnya diarahkan kepada kesempatan yang seimbang, dan dengan pendekatan jasa sosial tersebut maka jasa diintegrasikan bagi keluarga-keluarga dan komunitas.

Peran serta masyarakat merupakan sesuatu yang sangat vital sehingga perlu dioptimalkan, dan pemerintah berfungsi sebagai fasilitator, pemberdayaan, negosiator. Oleh sebab itu, pemerintah dengan kebijakannya perlu mendorong masyarakat agar sepenuhnya berpartisipasi dalam pembangunan, meskipun hal tersebut bukan hal yang mudah dilaksanakan.

Salah satu dimensi masalah lingkungan yang paling tradisional bagi manajemen lokal adalah sanitatasi. Tugas-tugas di tingkat lokal di antaranya meliputi pengumpulan sampah, pembuangan kotoran, pembersihan jalan dan pasar tradisional dengan memperluas trotoar jalan, pengawasan emisi gas, sertipikasi dan pemeriksaaan rumah pemotongan hewan, restauran, kafetaria, serta pengawasan kualitas air minum.

Tantangan utama dalam pengelolaan lingkungan hidup pada tingkat lokal adalah penciptaan sistem administrasi yang memperkenalkan konsep kualitas hidup dalam dimensi lingkungan, tidak termasuk konsep tradisional mengenai standar kehidupan, karena mendorong hubungan dinamis dengan lingkungan sehingga memungkinkan untuk mengalihkan arah pembangunan lokal, dengan manajemen yang tepat dari sumber, biaya, dan keuntungan lingkungan, yang dihasilkan pembangunan tersebut. Hal tersebut merupakan peran kepemimpinan pemerintah dalam membangkitkan kesadaran publik mengenai lingkungan, baik dengan mengorganisasi kampanye informasi maupun mengorganisasi komunitas itu sendiri untuk mengelola lingkungan.

Sehubungan dengan pembangunan Kota Medan yang menuju kota metropolitan, maka Pemerintah Kota Medan mempunyai tanggungjawab lokal dalam memperhatikan aspek lingkungan dan pembangunan berkelanjutan khususnya berkenaan dengan masalah sanitasi kota yang diakibatkan kegiatan dari PKL. Permasalahan PKL sudah menjadi masalah serius dalam pembangunan kota yang berkelanjutan, mengingat penanganannya belum optimal

Aspek ketertiban umum merupakan salah satu kebutuhan masyarakat baik masyarakat kota maupun perdesaan. Dengan ketertiban umum terdapat suatu keadaan yang menyangkut penyelenggaraan kehidupan manusia sebagai kehidupan bersama. Keadaan tertib yang umum menyiratkan suatu keteraturan yang diterima secara umum sebagai suatu kepantasan minimal yang diperlukan, supaya kehidupan bersama tidak berubah menjadi anarki.

Meningkatnya aktivitas kegiatan PKL hingga menguasai trotoar jalan maupun sebagian besar badan jalan dapat mengganggu para pejalan kaki maupun kelancaran lalu lintas karena terjadi kemacetan lalu lintas (congestion). Hal ini berarti mengganggu kepentingan kehidupan bersama, di mana para pejalan kaki terusik kenyamanannya karena trotoar dimanfaatkan untuk tempat berdagang.

Untuk melihat sejauhmana tingkat pengetahuan PKL akan dampak kegiatan terhadap gangguan ketertiban umum, disajikan pada Tabel dibawah.

Adanya pengetahuan para PKL terhadap ketertiban umum ternyata tidak menimbulkan adanya kesadaran hukum akan ketertiban lingkungan. Hal tersebut karena dorongan rasa lapar para PKL. Di samping itu, kepedulian perintah kota terhadap golongan masyarakat tersebut sangat kurang, sehingga dengan melihat ruang kosong dan mempunyai potensi ekonomi maka para PKL memanfaatkan lokasi tersebut untuk berjualan.

Sehubungan dengan hal tersebut, seharusnya Pemerintah Kota Medan dapat lebih bijaksana dalam mengatasi permasalahan tersebut, karena suatu hal yang tidak bertanggung jawab bilamana pemerintah kota hanya menerapkan kegiatan penertiban tanpa adanya usaha untuk memberdayakan masyarakat

ekonomi lemah. Berdasarkan amanat yang terkandung dalam Pasal 34 UUD 1945, bahwa masyarakat tersebut menjadi tangguang jawab pemerintah.

Dari hasil pengumpulan data diamati, diteliti dan dianalisa sejak awal sampai akhir penelitian. Penulis melihat bahwa Peraturan-peraturan dan kebijakan Pemerintah Kota Medan Tentang Kaki adalah sangat jelas konsistensinya yaitu melarang individu masyarakat untuk berjualan di kaki lima. SK Walikota Medan No. 54/SK/1983 tanggal 22 Januari 1983 tentang Larangan untuk berjualan dengan mempergunakan bangunan kios yang menjorok ke depan tanpa izin bangunan dari Pemda Tk. II Medan, termasuk menempatkan barang-barang, mengerjakan pekerjaan dan memarkir/mereperasi kendaraan bermotor di atas semua trotoir pada jalan umum dan Peraturan Daerah Tk. II Medan Nomor 31 Tahun 1993 tanggal 13 Juli 1993 tentang Pemakaian tempat berjualan. Tetapi pada pelaksanaan kebijakan dan peraturan tersebut sering sekali aparat tidak mampu menanggulangi permasalahan kaki lima secara komprehensif. Penertiban- penertiban yang dilakukan oleh Trantib (sekarang Satpol PP) hanya menyelesaikan masalah secara sementara.

Keseriusan Pemerintah Kota Medan dalam menyelesaikan masalah pedagang kaki lima dilanjutkan dalam Instruksi Walikota Medan No. 141/079/Ins Tanggal 9 Februari 2001 tentang Tugas dan Tanggung Jawab Kepala Kelurahan Dalam Rangka Pemberdayaan Kelurahan di Kota Medan.

Substansi dari instruksi tersebut adalah kewajiban Lurah untuk meningkatkan sistem penyelenggaraan dan pengembangan partisipasi amsyarakat, khususnya pada bidang kebersihan, keamanan, ketertiban dan pelayanan

masyarakat. Instruksi Walikota Medan No. 141/1417/Inst Tanggal 24 Juli 2001 tentang Tugas dan Tanggung Jawab Camat dalam Membina dan Mengawsi Program Pemberdayaan Kelurahan di Kota Medan.

Sebagai ujung tombak penyelesaian masalah, Camat dan Lurah diharuskan membina langsung ke lapangan sehingga permasalahan yang ada dapat diselesaikan.Hanya yang menjadi permasalahan adalah Camat dan Lurah juga diminta pertanggungan jawabya oleh masyarakat yang bekerja sebagai pedagang kaki lima. Tanggung jawab tersebut berupa lapangan pekerjaan pengganti bila meninggalkan profesi sebagai PKL. Secara ideal memang seharusnya pemerintah dapat menyediakan lapangan pekerjaan bagi masyarakatnya tetapi karena keterbatasan pemerintah maka hal tersebut tidak dapat dipenuhi.

Hal lain yang menjadi permasalahan yang sangat kompleks adalah Camat dan Lurah dihadapkan pada satu sisi masyarakat harus bekerja dan mencari nafkah, di satu sisi lagi mereka harus menertibkan pekerjaan masyarakatnya. Peneliti juga melihat permasalahan PKL ini sudah berlarut-larut dan sangat susah diselesaikan.

Peneliti melihat bahwa Pemerintah Kota Medan seharusnya konsisten dalam menerapkan peraturaan yang dilaksanakannya. Sebagai contoh, penulis melihat bahwa penertiban yang dilangsungkan tidak dibarengi dengan follow up meneruskan dan menjaga daerah tersebut untuk digunakan sebagai tempat berdagang kembali. Dengan kata lain penanganan kaki lima di suatu tenpat tidak boleh sementara tetapi sifatnya adalah tetap, tidak memberikan harapan/kesempatan untuk berkembang pesat. Pemerintah Kota Medan tidak

boleh menempatkan posisi PKL dalam daerah abu-abu (gray area) di mana dalam pandangan hukum jenis profesi ini dilarang tetapi dari segi lain perasaan bertanggung jawab munculnya profesi ini (pemerintah tidak dapat menyediakan lapangan pekerjaan) merupakan sisi lain yang harus dihadapi.

Selama para pedagang kaki lima masih menggantung hidupnya pada profesi ini maka mereka akan berusaha melawan dan mempertahankan mata pencahariannya. Untuk itu sebenarnya pemerintah perlu mengkoreksi pendekatan yang dilakukan dengan menganalisa sebab dan latar belakang mereka menjadi pedagang kaki lima Keresistenan terhadap tindakan maksudnya adalah kemampuan bertahan dari tindakan-tindakan dan kbijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah.

Disini akan muncul pola kondisi/kegiatan digusur-lari-bangun lagi- berdagang kembali. Intinya adalah pedagang kaki lima punya kemampuan untuk lebih cepat merecover usaha mereka. Kita bisa lihat kasus-kasus di kota Medan di mana pedagang-pedagang yang telah digusur dengan cepat berdagang kembali sementara pemerintah telah kehabisan daya dan logistik untuk mendudukung penggusuran tersebut.

Peneliti melihat Camat dan Lurah harus di bantu (back up) secara penuh oleh instansi lain yang terkait sehingga permasalahan PKL dapat diselesaikan dan masyarakat dapat tetap dapat hidup dan mencari nafkah. Sehingga bila

Dokumen terkait