VARIABEL TERIKAT
4.8 Analisa Data
Data yang diperoleh diolah secara komputerisasi dan dianalisis dengan menggunakan uji statistik non-parametrik yaitu uji Kruskal-Wallis Test dengan derajat kemaknaan (α = 0,05) untuk mengetahui perbedaan diantara seluruh kelompok perlakuan terhadap kebocoran mikro dan uji Mann-Whitney Test untuk mengetahui perbedaan kebocoran mikro pada masing-masing kelompok perlakuan.
2 3
0 1
4
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 64
yang dilakukan restorasi kavitas Kelas II berbentuk saucer berdasarkan teknik penempatan resin komposit, penggunaan sistem matriks, dan adanya pemberian gaya (load) atau tidak, yang dibagi secara random ke dalam 8 kelompok: (A) restorasi kavitas Kelas II berbentuk saucer dengan teknik penempatan resin komposit secara bulk, penggunaan sistem matriks sirkumferensial, dan pemberian gaya (load) sesuai fungsi mastikasi; (B) restorasi kavitas Kelas II berbentuk saucer dengan teknik penempatan resin komposit secara bulk, penggunaan sistem matriks sirkumferensial, dan tanpa pemberian gaya (load) sesuai fungsi mastikasi; (C) restorasi kavitas Kelas II berbentuk saucer dengan teknik penempatan resin komposit secara bulk, penggunaan sistem matriks seksional, dan pemberian gaya (load) sesuai fungsi mastikasi; (D) restorasi kavitas Kelas II berbentuk saucer dengan teknik penempatan resin komposit secara bulk, penggunaan sistem matriks seksional, dan tanpa pemberian gaya (load) sesuai fungsi mastikasi; (E) restorasi kavitas Kelas II berbentuk saucer dengan teknik penempatan resin komposit secara incremental, penggunaan sistem matriks sirkumferensial, dan pemberian gaya (load) sesuai fungsi mastikasi; (F) restorasi kavitas Kelas II berbentuk saucer dengan teknik penempatan resin komposit secara incremental, penggunaan sistem matriks sirkumferensial, dan tanpa pemberian gaya (load) sesuai fungsi mastikasi; (G) restorasi kavitas Kelas II berbentuk saucer dengan teknik penempatan resin komposit secara incremental, penggunaan sistem matriks seksional, dan pemberian gaya (load) sesuai fungsi mastikasi; dan (H) restorasi kavitas Kelas II berbentuk saucer dengan teknik penempatan resin komposit secara incremental, penggunaan sistem matriks seksional, dan tanpa pemberian gaya (load) sesuai fungsi mastikasi.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Uji kebocoran mikro dilakukan terhadap sampel untuk melihat penetrasi zat warna dengan menggunakan stereomikroskop pembesaran 20x. Hasil yang diperoleh adalah berupa penetrasi zat warna methylene blue 2% melalui tepi restorasi yang dikategorikan dalam skor kebocoran 0-4, yaitu: skor 0 untuk tidak adanya penetrasi zat warna, skor 1 untuk penetrasi zat warna hingga 1/3 dinding gingiva kavitas, skor 2 untuk penetrasi zat warna hingga 2/3 dinding gingiva kavitas, skor 3 untuk penetrasi zat warna sepanjang dinding gingiva kavitas, dan skor 4 untuk penetrasi zat warna mencapai dinding aksial kavitas.
Dari tiap kelompok diambil masing 2 sampel yang mewakili masing-masing skor celah mikro berdasarkan penetrasi zat warna.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Tabel 5.1 Skor Kebocoran Penetrasi Zat Warna Pada Tiap Kelompok
Kelompok Perlakuan N Sisi Skor Kebocoran gaya (load) sesuai fungsi mastikasi
5 gaya (load) sesuai fungsi mastikasi
5 gaya (load) sesuai fungsi mastikasi
5 gaya (load) sesuai fungsi mastikasi
5
Bukal - 1 3 1 -
Palatal - 1 3 1 -
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Dari Tabel 5.1 terlihat bahwa kebocoran mikro pada restorasi kavitas Kelas II berbentuk saucer, yaitu:
1. Kelompok A diperoleh skor yang paling rendah adalah skor 3, dengan 2 sampel pada sisi bukal dan 2 sampel pada sisi palatal (Gambar 5.1)
Gambar 5.1 Hasil foto stereomikroskop restorasi Kelas II berbentuk saucer pada kelompok A dengan teknik penempatan resin komposit secara bulk, penggunaan sistem matriks sirkumferensial, dan pemberian gaya (load) sesuai fungsi mastikasi
A. Anak panah menunjukkan foto stereomikroskop restorasi kelompok A dengan skor 4 penetrasi zat warna mencapai dinding aksial
B. Anak panah menunjukkan foto stereomikroskop restorasi kelompok A dengan skor 4 penetrasi zat warna mencapai dinding aksial
Pada kelompok A hasil pengamatan kebocoran mikro dengan Scanning Electron Microscope (SEM) ditunjukkan oleh Gambar 5.2.
Gambar 5.2 Gambaran SEM sampel kelompok A dengan perbesaran 200x dan 500x
A B
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2. Kelompok B diperoleh skor yang paling rendah adalah skor 3, dengan 3 sampel pada sisi bukal dan 3 sampel pada sisi palatal (Gambar 5.3)
Gambar 5.3 Hasil foto stereomikroskop restorasi Kelas II berbentuk saucer pada kelompok B dengan teknik penempatan resin komposit secara bulk, penggunaan sistem matriks sirkumferensial, dan tanpa pemberian gaya (load) sesuai fungsi mastikasi
A. Anak panah menunjukkan foto stereomikroskop restorasi kelompok B dengan skor 3 penetrasi zat warna sepanjang dinding gingiva kavitas
B. Anak panah menunjukkan foto stereomikroskop restorasi kelompok B dengan skor 3 penetrasi zat warna sepanjang dinding gingiva kavitas
Pada kelompok B hasil pengamatan kebocoran mikro dengan Scanning Electron Microscope (SEM) ditunjukkan oleh Gambar 5.4.
Gambar 5.4 Gambaran SEM sampel kelompok B dengan perbesaran 200x dan 500x
A B
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
3. Kelompok C diperoleh skor yang paling rendah adalah skor 3, dengan 5 sampel pada sisi bukal dan 5 sampel pada sisi palatal (Gambar 5.5)
4. A B
Gambar 5.5 Hasil foto stereomikroskop restorasi Kelas II berbentuk saucer pada kelompok C dengan teknik penempatan resin komposit secara bulk, penggunaan sistem matriks seksional, dan pemberian gaya (load) sesuai fungsi mastikasi
A. Anak panah menunjukkan foto stereomikroskop restorasi kelompok C dengan skor 3 penetrasi zat warna sepanjang dinding gingiva kavitas
B. Anak panah menunjukkan foto stereomikroskop restorasi kelompok C dengan skor 3 penetrasi zat warna sepanjang dinding gingiva kavitas
Pada kelompok C hasil pengamatan kebocoran mikro dengan Scanning Electron Microscope (SEM) ditunjukkan oleh Gambar 5.6.
Gambar 5.6 Gambaran SEM sampel kelompok C dengan perbesaran 200x dan 500x
A B
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
4. Kelompok D diperoleh skor yang paling rendah adalah skor 3, dengan 3 sampel pada sisi bukal dan 3 sampel pada sisi palatal (Gambar 5.7)
Gambar 5.7 Hasil foto stereomikroskop restorasi Kelas II berbentuk saucer pada kelompok D dengan teknik penempatan resin komposit secara bulk, penggunaan sistem matriks seksional, dan tanpa pemberian gaya (load) sesuai fungsi mastikasi
A. Anak panah menunjukkan foto stereomikroskop restorasi kelompok D dengan skor 3 penetrasi zat warna sepanjang dinding gingiva kavitas
B. Anak panah menunjukkan foto stereomikroskop restorasi kelompok D dengan skor 3 penetrasi zat warna sepanjang dinding gingiva kavitas
Pada kelompok D hasil pengamatan kebocoran mikro dengan Scanning Electron Microscope (SEM) ditunjukkan oleh Gambar 5.8.
Gambar 5.8 Gambaran SEM sampel kelompok D dengan perbesaran 200x dan 500x
A B
A B
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
5. Kelompok E diperoleh skor yang paling rendah adalah skor 2, dengan 1 sampel pada sisi bukal dan 1 sampel pada sisi palatal (Gambar 5.9)
Gambar 5.9 Hasil foto stereomikroskop restorasi Kelas II berbentuk saucer pada kelompok E dengan teknik penempatan resin komposit secara incremental, penggunaan sistem matriks sirkumferensial, dan pemberian gaya (load) sesuai fungsi mastikasi
A. Anak panah menunjukkan foto stereomikroskop restorasi kelompok E dengan skor 2 penetrasi zat warna hingga 2/3 dinding gingiva kavitas
B. Anak panah menunjukkan foto stereomikroskop restorasi kelompok E dengan skor 3 penetrasi zat warna sepanjang dinding ginginva kavitas
Pada kelompok E hasil pengamatan kebocoran mikro dengan Scanning Electron Microscope (SEM) ditunjukkan oleh Gambar 5.10.
Gambar 5.10 Gambaran SEM sampel kelompok E dengan perbesaran 200x dan 500x
A B
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
6. Kelompok F diperoleh skor yang paling rendah adalah skor 2, dengan 2 sampel pada sisi bukal dan 2 sampel pada sisi palatal (Gambar 5.11)
Gambar 5.11 Hasil foto stereomikroskop restorasi Kelas II berbentuk saucer pada kelompok F dengan teknik penempatan resin komposit secara incremental, penggunaan sistem matriks sirkumferensial, dan tanpa pemberian gaya (load) sesuai fungsi mastikasi
A. Anak panah menunjukkan foto stereomikroskop restorasi kelompok F dengan skor 2 penetrasi zat warna hingga 2/3 dinding gingiva kavitas
B. Anak panah menunjukkan foto stereomikroskop restorasi kelompok F dengan skor 3 penetrasi zat warna sepanjang dinding gingiva kavitas
Pada kelompok F hasil pengamatan kebocoran mikro dengan Scanning Electron Microscope (SEM) ditunjukkan oleh Gambar 5.12.
Gambar 5.12 Gambaran SEM sampel kelompok F dengan perbesaran 200x dan 500x
A B
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
7. Kelompok G diperoleh skor yang paling rendah adalah skor 1, dengan 1 sampel pada sisi bukal dan 1 sampel pada sisi palatal (Gambar 5.13)
Gambar 5.13 Hasil foto stereomikroskop restorasi Kelas II berbentuk saucer pada kelompok G dengan teknik penempatan resin komposit secara incremental, penggunaan sistem matriks seksional, dan pemberian gaya (load) sesuai fungsi mastikasi
A. Anak panah menunjukkan foto stereomikroskop restorasi kelompok G dengan skor 2 penetrasi zat warna hingga 2/3 dinding gingiva kavitas
B. Anak panah menunjukkan foto stereomikroskop restorasi kelompok G dengan skor 2 penetrasi zat warna hingga 2/3 dinding gingiva kavitas
Pada kelompok G hasil pengamatan kebocoran mikro dengan Scanning Electron Microscope (SEM) ditunjukkan oleh Gambar 5.14.
Gambar 5.14 Gambaran SEM sampel kelompok G dengan perbesaran 200x dan 500x
A B
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
8. Kelompok H diperoleh skor yang paling rendah adalah skor 1, dengan 1 sampel pada sisi bukal dan 1 sampel pada sisi palatal (Gambar 5.15)
Gambar 5.15 Hasil foto stereomikroskop restorasi Kelas II berbentuk saucer pada kelompok H dengan teknik penempatan resin komposit secara incremental, penggunaan sistem matriks seksional, dan tanpa pemberian gaya (load) sesuai fungsi mastikasi
A. Anak panah menunjukkan foto stereomikroskop restorasi kelompok H dengan skor 1 penetrasi zat warna hingga 1/3 dinding gingiva kavitas
B. Anak panah menunjukkan foto stereomikroskop restorasi kelompok H dengan skor 3 penetrasi zat warna sepanjang dinding gingiva kavitas
Pada kelompok H hasil pengamatan kebocoran mikro dengan Scanning Electron Microscope (SEM) ditunjukkan oleh Gambar 5.16.
Gambar 5.16 Gambaran SEM sampel kelompok H dengan perbesaran 200x dan 500x
Setiap sampel dalam setiap kelompok dilakukan perhitungan skor rerata antara bukal dan palatal.
A B
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Hasil pengamatan skor kebocoran mikro dengan stereomikroskop pembesaran 20x dianalisis secara non-parametrik dengan menggunakan uji statistik Kruskal-Wallis untuk melihat perbedaan di antara seluruh kelompok perlakuan terhadap kebocoran mikro berdasarkan teknik penempatan resin komposit, penggunaan sistem matriks, dan pemberian gaya (load). Hasil uji statistik Kruskal-Wallis dapat dilihat pada Tabel 5.2, 5.3, dan 5.5.
Tabel 5.2 Hasil Uji Statistik Kruskal-Wallis terhadap kebocoran mikro berdasarkan teknik penempatan resin komposit
PERLAKUAN Nilai p A
0.265 B
C D E
0.254 F
G H
Dari Tabel 5.2 terlihat bahwa kebocoran mikro berdasarkan teknik penempatan resin komposit, baik secara bulk maupun incremental, tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna (p>0.05) secara statistik.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Tabel 5.3 Hasil Uji Statistik Kruskal-Wallis terhadap kebocoran mikro
berdasarkan penggunaan sistem matriks
PERLAKUAN Nilai p A
0.039*
B E F C
0.047*
D G H
*Bermakna dengan uji Kruskal Wallis
Dari Tabel 5.3 terlihat bahwa ada perbedaan yang bermakna (p<0.05), dilihat dari penggunaan sistem matriks terhadap kebocoran mikro pada teknik penempatan resin komposit yang berbeda, baik diberi gaya (load) maupun tidak.
Berdasarkan hasil pada Tabel 5.3, hasil analisis statistik dilanjutkan dengan menggunakan Mann-Whitney untuk melihat apakah ada perbedaan pada teknik penempatan resin komposit dengan pemberian gaya (load) yang berbeda. Hasil uji statistik Mann-Whitney dapat dilihat pada Tabel 5.4.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Tabel 5.4 Hasil Analisis Post-Hoc berdasarkan penggunaan sistem matriks
PERLAKUAN Nilai p PERLAKUAN Nilai p
Hasil ini menunjukkan bahwa ada perbedaan yang bermakna (p<0.05) antara kombinasi teknik penempatan resin komposit secara bulk dan sistem matriks sirkumferensial dengan kombinasi teknik penempatan resin komposit secara incremental dan sistem matriks seksional, baik diberi gaya (load) maupun tidak.
Hasil ini juga menunjukkan bahwa ada perbedaan yang bermakna (p<0.05) antara kombinasi teknik penempatan resin komposit secara bulk dan sistem matriks seksional dengan kombinasi teknik penempatan resin komposit secara incremental dan sistem matriks seksional, baik diberi gaya (load) maupun tidak.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Tabel 5.5 Hasil Uji Statistik Kruskal-Wallis terhadap kebocoran mikro
berdasarkan pemberian gaya (load)
PERLAKUAN Nilai p A
0.303 C
E G B
0.049*
D F H
*Bermakna dengan uji Kruskal Wallis
Dari Tabel 5.5 terlihat bahwa tanpa pemberian gaya (load), terdapat perbedaan yang bermakna untuk teknik penempatan resin komposit dan penggunaan sistem matriks yang berbeda. Hal ini berarti bahwa tanpa pemberian gaya (load), teknik penempatan resin komposit dan penggunaan sistem matriks memegang peranan dalam mencegah terjadinya kebocoran mikro pada restorasi Kelas II resin komposit berbentuk saucer.
Berdasarkan hasil pada Tabel 5.5, analisis statistik dilanjutkan dengan menggunakan Mann-Whitney untuk melihat apakah ada perbedaan pada penempatan resin komposit dengan sistem matriks yang berbeda. Hasil uji statistik Mann-Whitney dapat dilihat pada Tabel 5.6.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Tabel 5.6 Hasil Analisis Post-Hoc berdasarkan pemberian gaya (load)
PERLAKUAN Nilai p PERLAKUAN Nilai p perbedaan yang bermakna berdasarkan pemakaian matriks. Hal ini berarti bahwa teknik penempatan resin komposit dan penggunaan sistem matriks yang berbeda akan menghasilkan kebocoran mikro yang berbeda.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 80
Bahan restorasi resin komposit telah berkembang secara signifikan, akan tetapi bahan ini masih belum sangat memuaskan secara klinis karena pengausan (tooth wear), pengerutan akibat polimerisasi, dan kebocoran mikro. Kebocoran mikro merupakan salah satu masalah yang paling sering dijumpai pada restorasi komposit posterior, terutama pada tepi gingiva kavitas Kelas II. Kebocoran mikro dianggap sebagai faktor utama yang mempengaruhi umur restorasi, kerusakan tepi, karies rekuren, sensitivitas pasca-operatif, dan kerusakan pulpa (Simi dan Suprabha, 2011).
Studi penetrasi zat warna merupakan teknik yang paling umum digunakan untuk mengukur kebocoran mikro secara in vitro. Teknik ini paling sering digunakan karena proses kerjanya yang mudah, sederhana, ekonomis, dan relatif cepat. Uji kebocoran mikro secara in vitro dapat memberikan informasi yang penting tentang kinerja klinis suatu bahan restorasi (Sadek dkk., 2003).
Sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah 40 gigi premolar mandibula yang telah diekstraksi untuk keperluan ortodonti dan sesuai dengan kriteria yang telah ditentukan, yaitu tidak ada fraktur, belum pernah direstorasi, mahkota masih utuh, dan tidak karies. Gigi-geligi tersebut direndam dalam larutan saline sehingga gigi tetap lembab sampai diberikan perlakuan. Penelitian ini dilakukan dengan melihat penetrasi zat warna methylene blue 2% dengan perendaman sampel selama 24 jam, kemudian dilakukan pembelahan sampel, selanjutnya diamati dengan stereomikroskop perbesaran 20x dan dicatat dengan skor 0-4 sesuai dengan studi yang dilakukan oleh Sadek dkk. (2003). Setelah itu, dilakukan pengamatan dengan Scanning Electron Microscope (SEM) untuk melihat kebocoran mikro secara mendetail.
Berdasarkan Tabel 5.1 yang menunjukkan hasil pengamatan kebocoran mikro berdasarkan penetrasi zat warna pada tiap kelompok terlihat bahwa tidak ada satupun
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
kelompok perlakuan yang tidak mengalami kebocoran mikro. Teknik penempatan resin komposit telah diketahui sebagai faktor utama untuk mengurangi pengerutan akibat polimerisasi (Versluis dkk., 1996). Untuk menghindari akibat klinis pengerutan akibat polimerisasi, teknik penempatan secara incremental biasanya lebih disukai daripada metode penempatan secara bulk untuk memperoleh tepi gingival yang baik (Kramer dkk., 2011; Van Dijken dan Pallesen, 2011).
Berdasarkan hasil uji statistik Kruskal-Wallis terhadap kebocoran mikro berdasarkan teknik penempatan resin komposit pada Tabel 5.2 terlihat bahwa tidak ada perbedaan yang bermakna (p>0.05), baik di dalam kelompok perlakuan dengan teknik penempatan resin komposit secara bulk maupun di dalam kelompok perlakuan dengan teknik penempatan resin komposit secara incremental, terhadap kebocoran mikro walaupun sistem matriks yang digunakan dan pemberian gaya (load) berbeda.
Hal ini mungkin disebabkan karena walaupun teknik penempatan secara incremental memungkinkan penetrasi sinar curing light yang adekuat, teknik penempatan ini juga mempunyai kekurangan, yaitu memungkinkan terjadinya ruang kosong (void) antara lapisan (Coli dan Brannstrom, 1993). Selain itu, hal ini mungkin juga disebabkan karena resin komposit bulk fill mengandung pre-polymer shrinkage stress reliever sehingga resin komposit lebih sedikit mengalami pengerutan akibat polimerisasi dan mengandung light sensitivity filter sehingga resin komposit bersifat lebih reaktif terhadap sinar curing light (Ilie dan Hickel, 2011; Roggendorf dkk., 2011).
Dalam penelitian ini terlihat bahwa tidak ada satupun resin komposit yang tidak mengalami pengerutan akibat polimerisasi. Pengerutan akibat polimerisasi merupakan salah satu faktor penting yang menyebabkan kebocoran mikro (Simi dan Suprabha, 2011). Penggunaan bahan lining telah dianjurkan untuk mengurangi pengerutan akibat polimerisasi karena dapat berfungsi sebagai lapisan antara yang fleksibel (flexible intermediate layer) (Ruiz dan Mitra, 2006). Beberapa bahan berbahan dasar resin telah digunakan sebagai bahan lining, seperti semen ionomer kaca modifikasi resin (resin-modified glass ionomer) dan komposit flowable
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
(Dewaele dkk., 2006). Semen ionomer kaca modifikasi resin mempunyai berbagai keuntungan seperti melekat secara kimiawi ke struktur gigi dan melekat secara mikromekanis ke komposit, mempunyai biokompatibilitas yang lebih baik daripada semen ionomer kaca konvensional, melepaskan fluorida, dan mempunyai integritas tepi yang lebih baik (Aboushala dkk., 1996). Komposit flowable direkomendasikan sebagai bahan lining di bawah komposit karena viskositasnya yang rendah, elastisitas yang meningkat dan sifat keterbasahan (wettability) yang baik. Hal ini akan menghasilkan perlekatan yang baik dengan lantai dan dinding preparasi kavitas (Attar dkk., 2003).
Dari Tabel 5.3 terlihat bahwa ada perbedaan yang bermakna (p<0.05), baik di dalam kelompok perlakuan yang menggunakan sistem matriks sirkumferensial maupun yang menggunakan sistem matriks seksional, terhadap kebocoran mikro walaupun teknik penempatan resin komposit dan pemberian gaya (load) berbeda. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan sistem matriks apapun merupakan hal yang sangat penting pada restorasi kavitas Kelas II berbentuk saucer.
Kemudian analisis statistik dilanjutkan dengan menggunakan Mann-Whitney untuk melihat apakah ada perbedaan pada teknik penempatan resin komposit dengan pemberian gaya (load) yang berbeda. Dari hasil uji Mann-Whitney (Tabel 5.4) diperoleh bahwa ada perbedaan yang bermakna (p<0.05) antara kelompok A yang menggunakan teknik penempatan resin komposit secara bulk dan sistem matriks sirkumferensial dengan kelompok E dan F yang menggunakan teknik penempatan resin komposit secara incremental dan sistem matriks seksional, baik dengan pemberian gaya (load) maupun tidak. Dari hasil uji Mann-Whitney juga diperoleh bahwa ada perbedaan yang bermakna (p<0.05) antara kelompok H yang menggunakan teknik penempatan resin komposit secara incremental dan sistem matriks seksional dengan kelompok C dan D yang menggunakan teknik penempatan resin komposit secara bulk dan sistem matriks seksional, baik dengan pemberian gaya (load) maupun tidak. Hal ini menunjukkan bahwa kombinasi sistem matriks seksional
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
dengan cincin separasi dianjurkan untuk menghasilkan kontak interproksimal yang lebih baik (Loomans dkk., 2006; Saber dkk., 2010) dan tepi marginal yang lebih kuat dibandingkan dengan pemakaian matriks sirkumferensial (Loomans dkk., 2008).
Dari Tabel 5.5 terlihat bahwa ada perbedaan yang bermakna (p<0.05) di dalam kelompok tanpa pemberian gaya (load) walaupun teknik penempatan resin komposit dan sistem matriks yang digunakan berbeda. Hal ini berarti bahwa pergerakan mikro restorasi sepanjang dinding kavitas sebagai akibat pemberian gaya (load) dapat menyebabkan kegagalan perlekatan mekanis (mechanical bond), yang mengarah pada kebocoran mikro. Hal ini disebabkan ketidakcocokan modulus elastisitas antara gigi dan resin komposit (Lundin dan Noren, 1991).
Kemudian analisis statistik dilanjutkan dengan menggunakan Mann-Whitney untuk melihat apakah ada perbedaan pada penempatan resin komposit dengan sistem matriks yang berbeda. Dari hasil uji Mann-Whitney (Tabel 5.6) diperoleh bahwa ada perbedaan yang bermakna (p<0.05) antara kelompok H yang menggunakan teknik penempatan resin komposit secara incremental dan sistem matriks seksional dengan kelompok B dan D yang menggunakan teknik penempatan resin komposit secara bulk dan tanpa pemberian gaya (load) walaupun sistem matriks yang digunakan berbeda.
Hal ini menunjukkan bahwa kombinasi teknik penempatan resin komposit secara incremental dan sistem matriks seksional akan menghasilkan kebocoran mikro yang lebih sedikit daripada kombinasi teknik penempatan resin komposit secara bulk dan sistem matriks sirkumferensial maupun sistem matriks seksional. Hal ini diperkuat dari gambaran Scanning Electron Microscope (SEM) yang menunjukkan bahwa pada penempatan resin komposit secara bulk dan pemakaian matriks sirkumferensial dan seksional, kebocoran mikro lebih besar daripada penempatan resin komposit secara incremental dan pemakaian matriks seksional pada pemberian gaya (load) atau tidak (Gambar 5.2, 5.4, 5.6, 5.8, 5.10, 5.12, 5.14, dan 5.16).
Dari hasil penelitian ini maka hipotesis pertama ditolak, yaitu tidak ada perbedaan kebocoran mikro pada restorasi Kelas II resin komposit berbentuk saucer
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
dengan teknik penempatan resin komposit secara bulk dan incremental setelah diberikan gaya (load) sesuai fungsi mastikasi. Tetapi hipotesis kedua diterima, yaitu ada perbedaan kebocoran mikro pada restorasi Kelas II resin komposit berbentuk saucer dengan penggunaan sistem matriks sirkumferensial dan seksional setelah diberikan gaya (load) sesuai fungsi mastikasi.
Ada beberapa kemungkinan yang menjadi penyebab tingginya skor celah mikro pada kedelapan kelompok perlakuan :
1. Pengukuran ketebalan resin komposit akan memberi hasil yang lebih akurat apabila menggunakan probe. Namun, pada penelitian ini menggunakan sonde lurus, penggaris, dan bur yang ditandai dengan spidol sehingga hasil pengukuran menjadi tidak akurat dan dapat mempengaruhi terjadinya pengerutan akibat polimerisasi karena resin komposit yang diaplikasikan terlalu tebal
2. Dalam penelitian ini satu mata bur digunakan untuk preparasi empat gigi sehingga mata bur sudah kurang tajam pada saat preparasi gigi ke-4. Panas yang terjadi akibat gesekan antara bur dengan gigi akan menyebabkan email interprismatik rusak dan kolagen pada dentin kolaps sehingga tidak dapat menerima bahan adhesif dan terjadi kebocoran mikro
3. Finishing dan polishing penelitian ini menggunakan fine, superfine diamond bur, white stone dan silicone brush bur, sehingga kualitas tekstur permukaan restorasi resin komposit masih tetap kasar. Hal ini mempermudah peresapan zat warna (methylene blue 2%) ke tepi restorasi resin komposit
4. Faktor bahan adhesif yang digunakan pada penelitian ini. Pada penelitian ini digunakan sistem adhesif one-step self-etch, yang mempunyai kekuatan perlekatan (bond strength) yang lebih lemah dibandingkan dengan sistem adhesif two-step total-etch. Hal ini disebabkan karena sistem adhesif one-step self-etch hanya menyebabkan smear layer lebih permeabel tanpa menghilangkannya secara keseluruhan, sedangkan etsa pada sistem adhesif two-step total-etch akan menghilangkan smear layer secara keseluruhan dan terjadi demineralisasi kristal
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
hidroksiapatit superfisial sehingga bahan primer dan adhesif dapat berpenetrasi ke dalam dentin yang telah teretsa (Meena dan Jain, 2011).
Selain itu, penyimpanan dan perlakuan terhadap bahan adhesif selama proses pengiriman dan pendistribusian yang tidak dapat dikendalikan dapat menyebabkan terjadinya perubahan struktur pada bahan adhesif sehingga menyebabkan berkurangnya kerapatan perlekatan antara bahan restorasi dengan dinding kavitas
5. Proses thermocycling yang dilakukan pada seluruh sampel penelitian menggunakan waterbath. Pada proses thermocycling yang dilakukan pada penelitian ini, perbedaan temperatur yang ekstrim, seperti yang terjadi di dalam rongga mulut, akan menginduksi perbedaan ekspansi dan kontraksi pada bahan restorasi dan struktur gigi sehingga terjadi perkolasi cairan mulut. Thermocycling
5. Proses thermocycling yang dilakukan pada seluruh sampel penelitian menggunakan waterbath. Pada proses thermocycling yang dilakukan pada penelitian ini, perbedaan temperatur yang ekstrim, seperti yang terjadi di dalam rongga mulut, akan menginduksi perbedaan ekspansi dan kontraksi pada bahan restorasi dan struktur gigi sehingga terjadi perkolasi cairan mulut. Thermocycling