• Tidak ada hasil yang ditemukan

A. Analisis Dasar Pertimbangan Hakim Terhadap Penetapan Isbat Nikah Dalam Rangka Poligami oleh Hakim

Perkara yang diputuskan di Pengadilan harus mempunyai alasan atau dasar-dasar yang jelas, majelis hakim butuh pembuktian tersebut untuk bisa memutuskan perkaranya. Di dalam pasal 62 ayat (1) Undang- undang No.3 tahun 2006 tentang perubahan atas Undang-undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama disebutkan bahwa segala penetapan dan putusan pengadilan selain harus memuat alasan-alasan dan dasar- dasarnya juga harus memuat pasal-pasal tertentu dari peraturan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.

Dalam memutus perkara permohonan Isbat Nikah di Pengadilan Agama, Majelis Hakim memerlukan berbagai pertimbangan. Agar nantinya putusan yang diberikan itu adil dan bijaksana. Seperti pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Agama Ambarawa mengenai beberapa perkara permohonan Isbat Nikah sebagai berikut:

1. Permohonan dikabulkan

Suatu permohonan di kabulkan dengan pertimbangan sebagai berikut: a. Berdasarkan Fakta-fakta hasil persidangan, hakim akan melihat

perundang-undangan yang berlaku, dalam hal ini Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

b. Permohonan telah sesuai dengan ketentuan pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 jo pasal 4 dan 7 ayat (3) KHI.

c. Berdasarkan fakta hukum yang ditemukan dari keterangan pemohon, surat bukti, dan keterangan saksi-saksi yang salaing berkaitan.

2. Permohonan tidak diterima a. Surat bukti tidak terbukti

b. Alasan isbat nikah seperti dalam pasal 7 ayat 3 KHI tidak terpenuhi.

3. Permohonan di cabut oleh Pemohon

a. Pemohon memohon kepada majelis hakim untuk dapat mencabut permohonannya.

b. Permohonan pencabutan tersebut dilakukan oleh pemohon sebelum pemerikasaan pokok perkara.

Adapun pertimbangan Majlis Hakim dalam mengesahkan Isbat Nikah dalam rangka Poligami Pemohon dengan isteri kedua pemohon Nuryanti Binti Sujono adalah:

1. Berdasar bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaanya itu.

2. Bahwa Tri Basuki Bin Solaeman dalam pernikahannya dengan Nuryanti Binti Sujono selaku istri kedua telah mendapat ijin dari Emilia Binti Abdullah Thorieq selaku isteri pertama yang dibuktikan dengan surat pernyataan tidak keberatan untuk dimadu yang dibuat dan ditanda tangani oleh Tri Basuki Bin Solaeman dan Emilia Binti Abdullah Thorieq adalah merupakan kesangupan atau kesediaan bagi seorang isteri untuk dimadu dan sekaligus menunjukan kerelaanya 3. bahwa Nuryanti Binti Sujono selaku isteri kedua Pemohon telah

dikaruniai 4 (empat) orang anak dan Anak-anak tersebut butuh pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum dari Negara sebagaimana pasal 28-D Undang-undang Dasar 1945, oleh karena telah diisbatkan maka anak tersebut merupakan anak yang lahir sebagai akibat dari perkawinan yang sah. Selain itu menurut Hakim Pengadilan Agama Ambarawa Bapak Drs. Syamsuri putusan ini berdasar maslahah mursallah yaitu sesuatu yang dipandang baik oleh akal sehat karena mendatangkan kebaikan dan menghindarkan keburukan bagi manusia. Dari beberapa dasar pertimbangan Majlis Hakim tersebut ada beberapa hal yang perlu diperhatikan yaitu bahwa perkawinan Pemohon dengan isteri kedua Pemohon yang dilakukan secara sirri pada tanggal 03 Juni tahun 2000 oleh Majlis Hakim dianggap sah padahal pernikahan tersebut dilakukan secara sirri. Perkawinan mengandung sirri karena sesorang menyembunyikanya. Sesuatu yang dengan sengaja

disembunyikan, tidak dilaporkan atau dengan sengaja tidak dicatatkan di kantor Urusan Agama (KUA) berkecenderungan mengandung arti menyimpan masalah. Masalah dapat berupa kemungkinan ada pada diri orang yang melakukan pernikahan atau adanya ketentuan hukum yang tidak dapat dipenuhi. Hal ini seharusnya diperhatikan oleh Majlis Hakim.

Selain itu mengingat salah satu prinsip yang terdapat dalam Undang-undang No.1 Tahun 1974 adalah bahwa setiap perkawinan harus dicatatkan pada pejabat pencatat perkawinan, maka hal ini akan berhubungan erat dengan sahnya perkawinan. mengenai sahnya perkawinan, maka penting untuk melihat ketentuan dalam pasal 2 pada undang-undang tersebut. Dalam perumusan pasal 2 Undang-undang No.1 tahun 1974 tersebut, jelas dirumuskan bahwa:

a. perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing- masing agamanya dan kepercayaanya itu;

b. Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku;

Dengan adanya pencatatan perkawinan tersebut, maka pemerintah akan segera mengetahui, apakah ada pelanggaran syarat-syarat perkawinan, dan apabila ada, maka yang berkepentingan dapat mengambil tindakan-tindakan hukum demi untuk meniadakan ikatan perkawinan tersebut atau untuk memperbaiki lagi.

Maka seharusnya perkawinan memperhatikan dua aspek, yaitu harus memperhatikan hukum Negara dan hukum agama, Hukum Negara

dalam hal ini adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang harus diterapkan secara bersama dan sejalan. Artinya tidak dipertentangkan dan tidak dipergunakan untuk saling menyelundupi satu terhadap yang lainnya. Dapat dibayangkan apabila hanya dilakukan dengan melihat pada aspek agama saja, maka dapat dipastikan suami dalam hal ini dapat dengan mudah akan melakukan kesewenang-wenangan dalam perkawinan, tanpa memperhatikan kewajibanya yang harus dipenuhi terhadap isteri maupun anak dari perkawinan terdahulu. Berkaitan dengan pencatatan perkawinan ini pula, maka bagi mereka yang tunduk pada ketentuan hukum islam, terdapat pengaturan yang perlu juga dicermati yakni dalam KHI (Kompilasi Hukum Islam), yang merumuskan bahwa suatu perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah. Dalam hal ini ada ketentuan yang perlu diperhatikan juga, yaitu jika ternyata dalam perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akta Nikah, dapat diajukan itsbat nikahnya ke Pengadilan Agama. Istbat nikah yang dimaksudkan tidak serta merta dapat dilakukan, karena terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan. Bahwa Istbat nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas mengenai hal-hal berkenaan dengan:

a. Adanya perkawinan dalam rangka perceraian. b. Hilangnya Akta Nikah.

c. Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan

d. Adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya Undang-undang No.1 tahun 1974.

e. Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut Undang-undang No.1 tahun 1974.

Hakim Pengadilan Agama ambarawa Drs. Syamsuri yang penulis wawancarai pada tanggal 12 september 2013 mengatakan bahwa pernikahan sirri tersebut sah karena dilakukan sesuai agama Islam, oleh karena belum dicatatkan maka bisa diisbatkan. Lebih lanjut beliau mengatakan bahwa alasan bisa diisbatkan karena perkawinan yang mereka lakukan tidak mempunyai halangan perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974. Padahal jelas perkawinan sirri tersebut melangar ketentuan Undang-undang, sehingga Putusan Majlis Hakim yang mengesahkan perkawinan sirri Pemohon Tri Basuki Bin Solaeman dengan isteri kedua Nuryanti Binti Sujono pada tanggal 3 Juni tahun 2000 menurut penulis ditinjau dari hukum Negara tidak tepat, sebab melangar ketentuan pasal 9 Undang-undang perkawinan yang menentukan bahwa: seorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi, kecuali dalam hal yang tersebut dalam pasal 3 ayat (2) dan pasal (4) Undang-undang ini. Sementara Pemohon saat itu sudah beristerikan Termohon Emilia Binti Abdullah Thorieq. Hal ini juga dapat menimbulkan persepsi-persepsi negative dalam masyarakat, sisi negative ini juga akan digunakan oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab

untuk mempermudah urusan pernikahan. Mereka akan berpikir akan menikah terlebih dahulu tanpa dicatatkan, nantipun bisa diisbatkan.

Putusan Majlis Hakim ini tidak menjawab bagaimana hukum sebagai alat penggerak sosial kemasyarakatan dapat mendorong masyarakat untuk menempatkan lembaga perkawinan sebagai sesuatu yang sakral dan dihormati.

B. Analisis Terhadap Dasar Hukum Penetapan Isbat Nikah dalam Rangka Poligami oleh Hakim

Dalam menyelesaikan suatu perkara, Hakim akan memutuskan dengan memperhatikan apa yang dituntut dan putusan tidak boleh melebihi apa yang dituntut (ultra petita) dengan pertimbangan yang memperhatikan 3 (tiga) unsur :

1. Rasa keadilan (justice)

2. Kepastian Hukum (legal certainity) 3. Manfaat (utility)

Dalam memenuhi ketiga unsur tersebut majelis hakim harus memenuhi kaidah-kaidah yang sudah digariskan dalam undang-undang dan peraturan yang ada dan hukum syar‟i yang berkaitan dengan perkara yang diajukan, maka fungsi peradilan dalam menggali hukum yang hidup akan dapat diwujudkan. Karena salah satu tugas yustisial hakim adalah memberikan pengayoman kepada masyarakat pencari keadilan.

Perkara pemohonan ijin poligami pemohon Tri Basuki bin Sulaiman perkara No.0030/Pdt.G/2012/PA.Amb. telah diselesaikan oleh

majlis hakim dengan dikeluarkanya putusan No.0030/Pdt.G/2012/PA.Amb. yang menerima ijin poligami Pemohon Tri Basuki bin Solaiman, menetapkan pernikahan sirri Pemohon dengan isteri kedua Pemohon sebagai pernikahan yang sah sekaligus mengesahkan status anak hasil pernikahan sirri tersebut sebagai anak yang lahir dalam atau sebagai akibat dari perkawinan yang sah.

Putusan hakim yang mengesahkan Pernikahan sirri Pemohon dengan Nuryanti Binti Sujono di Semarang tanggal 3 Juni 2000 bertentangan dengan Undang-undang, karena Pemohon dalam melakukan pernikahan dengan Nuryanti Binti Sujono telah bersetatus sebagai suami dari Termohon yang bernama Emilia Binti Abdullah Thorieq. Sehingga disini terjadi perkawinan poligami sedemikian perlu dilihat ketentuan di dalam Undang-undang perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 pasal 3 ayat (2)

yang berbunyi” Pengadilan dapat memberi ijin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila di kehendaki oleh piha-pihak

yang bersangkutan”. selain itu Pemohon juga melangar ketentuan pasal 4

ayat (1) Undang-undang No. 1 tahun 1974 yang mengatakan bahwa dalam hal seorang suami akan beristeri lebih dari seorang sebagaimana tersebut dalam Pasal 3 ayat (2) Undang-undang ini, maka ia wajib mengajukan permohonan kepada pengadilan di daerah tempat tinggalnya. Dengan demikian poligami hanya bisa dilakukan setelah memperoleh ijin dari pengadilan, apabila persyaratan tersebut tidak terpenuh, maka perkawinan tersebut tidak sah. Selain itu juga dalam pasal 7 ayat (3) huruf (d)

menyatakan adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya UU No. 1 Tahun 1974, dimana perkawinan Tri Basuki Bin Solaeman dengan isteri kedua Nuryanti Binti Sujono dilakukan pada tanggal 3 Juni tahun 2000.

Sementara perkawinan yang sah sesuai bunyi pasal 2 Undang- undang No 1 tahun 1974 adalah:

1) Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing- masing agama dan kepercayaanya itu.

2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Perlu mendapat perhatian bahwa ketentuan pasal 2 ayat (1) dan (2) tersebut tidak dapat dipisahkan, apabila yang satu lepas maka yang lain berkurang kekuatanya atau bahkan hilang sama sekali, seperti juga halnya tidak dapat dipisahkan secara mutlak penafsiran Al Quran Surat Al Nisa ayat (3) yang menentukan prinsip perkawinan menurut islam itu adalah monogami, bilamana Qur‟an Surat Al Nisa ayat (3) itu dipisahkan secara mutlak maka dapat kita simpulkan bahwa prinsip (asas) perkawinan menurut Islam adalah poligami yaitu dua, tiga atau empat isteri untuk seorang laki-laki, tanpa melihat syarat-syarat yang mengikutinya atau penafsiranya.

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari uraian tersebut diatas dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut:

1. Dasar pertimbangan hakim dalam menetapkan permohonan isbat nikah dikarenakan seluruh syarat dan rukun nikah pemohon tidak ada yang dilanggar dan tidak ada indikasi penyimpangan serta penyalahgunaan terhadap perkawinan tersebut. Isbat nikah pemohon hanya untuk kepentingan pencatatan dan masa depan anak dan hakim melihat pada aspek “Dar‟ul mafaasidi muqaddamun a‟la jalbil

mashalihi”

2. Dasar hukum Majlis Hakim dalam mengesahkan pernikahan dalam perkara ijin poligami No.0030/Pdt.G/2012/PA Amb adalah karena perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing- masing agama dan kepercayaanya itu sesuai bunyi pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 tahun 1974, sehingga setiap perkawinan yang dilakukan sesuai ketentuan pasal 2 ayat (1) Undang-undang tersebut meskipun tidak dilakukan dihadapan petugas pencatat pernikahan tetap bisa dianggap sebagai perkawinan yang sah yang kemudian hari dapat diisbatkan.

B. Saran-saran

1. Perlu adanya sosialisasi dari pemerintah ataupun pejabat yang berwenang mengenai Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan terutama mengenai keharusan mencatatkan setiap pernikahan ke Kantor Urusan Agama (KUA) pada semua Masyarakat 2. Untuk Hakim Pengadilan Ambarawa dalam memutus perkara yang

serupa dengan perkara No. 0030/Pdt.G/2012/PA.Amb hendaknya para hakim cermat dalam mempertimbangkan dasar hukumnya sehingga sesuai dengan rasa keadilan bagi semua pihak.

3. Dan perlu adanya aturan kedepan, bagi yang menikah di bawah tangan harus dikenakan sanksi untuk menimbulkan efek jera bagi para pelaku agar tidak menimbulkan dampak-dampak negatif dikemudian hari. C. Penutup

Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat taufik, hidayah dan kesempatan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Dan betapapun penulis berharap tulisan- tulisan yang ada dalam skripsi ini terbebas dari kekurangan dan kesalahan, tetapi kekurangan dan kesalahan itu pasti ada, karena itu penulis berharap saran dan kritik yang membangun sehingga dapat menambah keilmuan penulis. Akhirnya penulis berharap skripsi ini bisa memberi manfaat. .

DAFTAR PUSTAKA

Departemen Agama RI. Al-Qur‟an dan terjemahannya

Abdurrahman dan syahrini. 2001. Masalah-masalah Hukum Perkawinan di Indonesia. Bandung: Penerbit Alumni.

Kansil, C.S.T., Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1989)

Ali, Mohammad Daud. 2002 Hukum Islam dan Peradilan Agama. (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.

Sabiq, Sayyid. 1980. Fikih Sunnah Jilid VI. Bandung : PT Alma‟arif.

Undang-Undang Perkawinan. Tt. Sursbaya: Arkola

Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam. 2001. Himpunan peraturan perundang-undangan dalam lingkungan peradilan agama. Jakarta: Departemen Agama RI

Khalaf, Abdul Wahab. 2002. Ilmu ushul al-Fiqh, Jakarta: majlis al-A‟la al- Indonesiya li al-da‟wah al-Islamiyah

Poerwadarminta, W.J.S. 2006. Kamus Umum Bahasa Indonesia Rosyadi. Hanafi. 1995. Kamus Indonesia-Arab. Jakarta: Rineka Cipta.

Munawir, Achmad Warson. Muhammad Fairus. Al-munawir Kamus Arab- Indonesia. Surabaya: Pustaka Progressif.

Depdiknas. 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Syarifudin, Amir. 2007. Hukum Perkawinan Islam di ndonesia antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan. Jakarta: Kencana.

Subekti. 2010. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Jakarta : PT Pradnya Paramita.

Tihami, Sohari Sahrani. 2009. Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap.

Jakarta: Rajawali Pers

Soejono, Soekamto. 1984. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Pers

Suharsimi, Arikunto. 1996. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta

Tatang, M. Arifin. 1990. Menyusun Rencana Penelitian. Jakarta: Rajawali Pres Shihab, Quraish. 1999. Wawasan Alquran. Cet IX. Jakarta. Tp

Nasution, Khairudin. 2002. Status wanita di Asia Tenggara: studi terhadap perundang-undangan perkawinan muslim kontemporer di Indonesia dan Malaysia. Jakrata-leiden : INIS.

Nurudin, Amiur, Azhari Akmal Tarigan. 2006 Hukum Perdata Islam di Indonesia: Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No. 1/1974 sampai KHI. Jakarta: Kencana.

Ali, Zainudin. 2007. Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.

Problematika dan Implikasi Perkawinan di Bawah Tangan/Nikah Sirri,

http://dispendukcapil.banyuwangikab.go.id/ index.php?option=com

Akibat hukum dari nikah sirri, http://irmadevita.com/2013/akibat-hukum-dari- nikah-siri

Panduan Isbat Nikah, www.pekka.or.id/.../docs/PANDUANISBATNIKAH.doc www.bimasIslam.kemenag.go.id

RIWAYAT HIDUP PENULIS

Acmad Kurniawan……

anak ke-3 dari tujuh bersaudara yang lahir 30 tahun yang lalu di Lemahmendak RT 02 RW 03 Desa Karangkepoh, Kecamatan Karanggede, Kabupaten Boyolali, tepatnya……..pada hari jum‟at, tanggal 25 November 1983 dari pasangan suami istri, Paimin dan Nur Hidayah,

Achmad Kurniawan….

menyelesaikan pendidikan Dasar di Madrasah Ibtidaiyah Al-Ma‟arif Karangkepoh Pada Tahun 1996, kemudian menyelesaikan pendidikan lanjutan tingkat pertama di Madrasah Tsanawiyah Al-Ma‟arif Karanggede pada tahun 1999, dan menyelesaikan pendidikan lanjutan tingkat atas di Madrasah Aliyah Negeri Boyolali Filial di Karanggede pada Tahun 2002, Dan baru pada tahun 2014 menyelesaikan pendidikan perguruan tinggi di Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Salatiga.

Dokumen terkait