• Tidak ada hasil yang ditemukan

ISBAT NIKAH DALAM RANGKA POLIGAMI (Studi Putusan Pengadilan Agama Ambarawa Nomor : 0030/Pdt.G/2012/PA.Amb). - Test Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "ISBAT NIKAH DALAM RANGKA POLIGAMI (Studi Putusan Pengadilan Agama Ambarawa Nomor : 0030/Pdt.G/2012/PA.Amb). - Test Repository"

Copied!
125
0
0

Teks penuh

(1)

ISBAT NIKAH DALAM RANGKA POLIGAMI

(Studi Putusan Pengadilan Agama Ambarawa Nomor :

0030/Pdt.G/2012/PA.Amb).

SKRIPSI

Disusun Untuk Memperoleh Gelar SARJANA SYARI’AH

Oleh:

ACHMAD KURNIAWAN NIM. 21209002

JURUSAN SYARI’AH

PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSIYYAH

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)

(2)
(3)
(4)
(5)

PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN

Saya yang bertanda tangan dibawah ini:

Nama : Achmad Kurniawan

NIM : 21209002

Jurusan : Syari‟ah

Progran Studi : Al-ahwal Al-Syakhsiyyah

Menyatakan bahwa skripsi yang saya tulis ini benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri, bukan jiplakan Dari karya tulis orang lain. Pendapat atau temuan orang lain yang terdapat dalam skripsi ini dikutip atau dirujuk berdasar kode etik ilmiah.

Salatiga, Januari 2014 Yang menyatakan

(6)

MOTTO DAN PERSEMBAHAN

MOTTO

دَّ مَ مَ دَّ مَ نْ مَ

Barang siapa bersungguh-sungguh pasti akan menuai hasil yang diharapkan

PERSEMBAHAN penulis persembahkan karya tulis ini untuk orang-orang yang telah memberi arti dalam perjalanan hidup penulis khususnya buat:

Bapak dan Ibu penulis tercinta yang selalu mendoakan dengan tulus ikhlas dan senantiasa memberikan dukungan baik moril maupun materiil.

(7)

KATA PENGANTAR

Alhamdulilah, segala puji hanya untuk Allah Tuhan seru sekalian alam. Banyak nikmat yang Allah berikan, tetapi sedikit sekali yang kita ingat. Kadang kita baru mampu merasakan betapa basar nikmat yang Allah berikan ketika sebagianya berkurang atau hilang.

Allahumma shalli „alaa Sayidina Muhammad wa‟ala ali Sayidina

Muhammad. Sholawat serta salam semoga tetap tercurah kepada Baginda

Rosululah shallallahu „alaihi wa sallam beserta keluarganya. Kalau hari ini, kita

bisa mengingat Allah Azza wa jalla, maka itu semua tak lepas dari jasa besar Rosulullah shallallahu „alaihi wa sallam yang selalu sabar menyampaikan kebenaran.

Dalam skripsi ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak, Oleh karena itu penulis ingin mengucapkan terimakasih banyak kepada:

1. Dr. Imam Sutomo, M.Ag. Selaku ketua Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Salatiga

2. Ketua Pengadilan Agama Ambarawa

3. Bapak Ilya Muchsin, SHI, MSI. Selaku Ketua Program Studi Ahwal Al-Syakhsiyyah

4. Ibu Dra.Siti Zumrotun M.Ag. Selaku pembimbing yang telah meluangkan waktu, tenaga dan pikiran guna memberikan bimbingan serta arahan dengan sabar dan ikhlas

(8)

6. Ibu Dra. Farkhah selaku wakil panitera yang dengan sabar meluangkan waktu untuk penulis dalam menyelesaikan penelitian ini

7. Segenap dosen jurusan syari‟ah 8. Segenap staf STAIN salatiga

9. Segenap staf pengadilan Agama Ambarawa

10. Bapak, Ibu, isteri dan anak-anakku yang selalu mendoakan penulis, mendukung serta memberi banyak bantuan baik moril maupun materiil

11. Semua kerabat dan keluarga yang selalu saya harapkan doanya 12. Teman-teman seperjuangan AS NR angkatan 2009 yang penuh warna

13. Semua teman dan seluruh pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah memberikan dukungan moral dan material hingga selesainya proses belajar.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, baik dari segi bahasa, isi maupun analisisnya oleh karena itu penulis berharap masukan, saran dan Kritik yang membangun yang menambah ilmu kepada penulis.

Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi kita semua. Aamiin.

Salatiga, Januari 2014

(9)

ABSTRAK

Kurniawan, Achmad. 2014. Isbat Nikah Dalam Rangka Poligami (Studi Putusan Pengadilan Agama Ambarawa No.0030/Pdt.G/2012/PA.Amb). Skripsi. jurusan Syariah. Program Studi Al-ahwal Al-Syakhsiyyah. Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Salatiga. Pembimbing: Dra. Siti Zumrotun, M.Ag Kata Kunci: Isbat Nikah dan Poligami

Penelitian ini untuk menganalisis pertimbangan Hakim dan dasar hukum Hakim Pengadilan Agama Ambarawa dalam mengisbat nikahkan sebuah perkawinan dalam rangka poligami yang bertujuan untuk mengetahui bagaimana pertimbangan Hakim dan apa dasar hukum penetapan isbat nikah dalam rangka poligami.

Penelitan ini adalah penelitian lapangan atau kualitatif, adapun sumber data yang yang digunakan adalah sumber data primer dan skunder. Data primer diperoleh dari berkas Penetapan Pengadilan Agama Ambarawa serta melalui wawancara dengan para hakim yang menangani masalah isbat nikah, kemudian dikaji secara mendalam selanjutnya dianalisis dengan tehnik deskriptif.

(10)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... I HALAMAN LOGO STAIN SALATIGA... II HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... III HALAMAN PENGESAHAN KELULUSAN ... IV HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN ... V HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN ... VI KATA PENGANTAR ... VII ABSTRAK ... VIII DAFTAR ISI ... IX

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Fokus Penelitian ... 6

C. Tujuan Penelitian ... 8

D. Manfaat Penelitian ... 8

E. Penegasan Istilah ... 8

F. Kerangka Teori... 9

G. Telaah Pustaka ... 10

H. Metode Penelitian... 11

(11)

BAB II KAJIAN PUSTAKA

A. Gambaran Umum Nikah ... 14

1. Pengertian, Dasar Hukum Dan Tujuan Pernikahan ... 14

2. Rukun Dan Syarat Sah Perkawinan ... 19

3. Pengertian Nikah Sirri ... 20

4. Status Hukum Pernikahan Sirri ... 23

B. Pencatatan Perkawinan... 25

C. Isbat Nikah ... 31

D. Poligami ... 48

E. Kode Etik Hakim... 52

BAB III PAPARAN DATA A. Gambaran Umum Pengadilan Agama Ambarawa ... 75

1. Sejarah Pengadilan Agama Ambarawa ... 75

2. Struktur Organisasi Pengadilan Agama Ambarawa ... 80

B. Gambaran Perkara Nomor. 0030/Pdt.G/2012/Pa Ambarawa .. 81

C. Dasar Pertimbangan Hakim Dalam Putusan Perkara No. 0030/Pgt.G/2012/Pa Ambarawa ... 86

(12)

B. Analisis Terhadap Dasar Hukum Penetapan Isbat Nikah Dalam Rangka Poligami Oleh Hakim ... 101

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ... 105 B. Saran-Saran ... 106 C. Penutup ... 106

DAFTAR PUSTAKA

(13)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Perkawinan merupakan salah satu aspek kehidupan manusia yang sangat penting baik di tinjau dari sudut sosial maupun yuridis, perkawinan mempunyai arti dan kedudukan yang sangat berarti dalam tata kehidupan manusia. Sebab dengan perkawinan dapat dibentuk ikatan hubungan pergaulan antara dua insan yang berlainan jenis secara resmi dalam suatu ikatan suami isteri menjadi satu keluarga. Selanjutnya keluarga dapat terus berkembang menjadi kelompok masyarakat. Tujuan yang ingin dicapai dari perkawinan adalah mencapai kabahagiaan hidup dunia dan akhirat.

Di tinjau dari segi yuridis, perkawinan akan menimbulkan suatu hubungan hukum yang bersifat hak dan kewajiban antara suami dan isteri secara timbal balik, selain hal tersebut juga merupakan suatu perbuatan keagaman yang erat sekali hubungannya dengan kerohanian seseorang, sebagai salah satu masalah keagamaan maka setiap agama di dunia ini mempunyai peraturan sendiri tentang perkawinan. Sehingga pada prinsipnya diatur dan harus tunduk pada ketentuan ajaran agama yang dianut oleh mereka yang akan melangsungkan perkawinan. (Abdurrahman, 2001:17)

(14)

belah pihak akan menerima beban dan tanggung jawab masing-masing. Tanggung jawab dan beban itu bukanlah sesuatu yang mudah dilaksanakan, sehingga mereka harus mampu memikul dan melaksanakannya.

Dengan melihat kepada arti, kedudukan dan tujuan yang sangat penting dan luhur dari perkawinan tersebut, maka perlu ada suatu peraturan yang dijadikan pedoman pergaulan hidup yang disebut norma atau kaidah. Menurut Kansil pergaulan hidup dibedakan empat macam norma yaitu:

1. Norma Agama 2. Norma Kesusilaan 3. Norma Kesopanan 4. Norma Hukum.

Norma agama dalam hal ini adalah agama Islam yang bersumber kepada

hukum syara‟ yang terkandung dalam al-Qur‟an dan hadist. Sedangkan

norma hukum bersumber kepada: Undang-undang, Kebiasaan (custom), Keputusan-keputusan (yurisprudensi), dan Traktat (Treaty). (Kansil, 1989:84)

Dalam hal perkawinan, seseorang muslim wajib berpedoman

kepada hukum syara‟ yang telah mengatur ketentuan segala hal yang

diwajibkan, dilarang, dan dibolehkan.

Dengan demikian perkawinan ditinjau dari hukum syar‟i adalah

(15)

semesta dengan segala kesempurnaan-Nya. Salah satu bukti kesempurnaan cipataan-Nya ialah adanya ketentuan-ketentuan syara‟ yang mengatur perkawinan manusia agar mendapat ketentraman dan kasih sayang antara suami istri yang bahagia. (Khalaf, 2002:100)

Disamping wajib mengikuti hukum syara‟ muslim warga negara indonesia harus berpedoman kepada norma hukum yang bersumber kepada undang-undang negara, sebagai negara hukum, Indonesia pun mempunyai undang-undang yang mengatur tentang perkawinan, yaitu Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan. LN Nomor 1 Tahun 1974, Tambahan LN Nomor 3019/1974, (sudarsono, 2005:6) PP Nomor 9 tahun 1975 dan Kompilasi Hukum Islam (KHI).

Menurut pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974

“Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang

(16)

oleh pegawai pencatat nikah. Kompilasi Hukum Islam pasal 5 ayat 1 menyebutkan bahwa “agar terjamin ketertiban bagi masyarakat Islam

maka setiap perkawinan harus dicatat” Jadi setiap perkawinan harus

dicatatkan dihadapan pegawai pencatat Nikah (PPN) atau Kantor urusan Agama bagi yang beragama islam. Pasangan suami isteri yang menikah namun belum memiliki buku akta nikah sebenarnya pernikahan mereka sah menurut hukum islam apabila telah memenuhi syarat dan rukunnya. Akan tetapi karena pernikahan mereka tidak dicatatkan di Kantor Urusan Agama maka pernikahan mereka tidak di akui negara atau sering disebut dengan istilah nikah sirri.

Dengan adanya pengakuan dari negara atas suatu perkawinan akan mempermudah pasangan suami isteri untuk mengurus hal-hal yang berkaitan dengan hukum dan administrasi negara. Misalnya untuk pembuatan akta kelahiran anak, untuk pembuktian pembagian warisan, dan untuk pembuktian dalam perceraian. Selain itu dengan adanya bukti catatan perkawinan dari pejabat yang berwenang, maka perkawinan yang dilangsungkan oleh seseorang akan mempunyai kekuatan yuridis, selain itu juga sebagai alat untuk mendapatkan hak-hak masing-masing pihak suami isteri.

(17)

Undang-undang nomor 1 tahun 1974 yang menjelaskan persyaratan untuk poligami yaitu :

1. Untuk dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan, dalam hal seseorang suami akan beristeri lebih dari seorang, maka harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

a. Adanya persetujuan dari isteri;

b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka;

c. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka.

Apabila menyimak maksud dari ketentuan pasal 5 ayat (1) tersebut, rasanya tidak mudah bagi suami untuk berpoligami, sehingga jalan satu-satunya untuk mempermudah poligami adalah dengan nikah sirri.

Selanjutnya bagaimana akibat hukum dari pernikahan sirri yang dilakukan oleh seorang suami yang melakukan poligami tersebut menurut Undang-undang yang berlaku di Indonesia. Apakah perkawinan tersebut sah dan menghasilkan anak yang sah pula atau justru sebaliknya.

(18)

2000 dan telah dikaruniai 4 orang anak. Suami tersebut sebagai Pemohon memohon kepada ketua Pengadilan Agama Ambarawa agar menetapkan, memberi ijin kepada Pemohon untuk menikah lagi (poligami) dengan isteri kedua Pemohon tersebut. Selain itu Pemohon juga memohon agar pernikahanya dengan isteri kedua pada tanggal 3 Juni 2000 juga disahkan.

Padahal Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 pasal 3 ayat (2) Dan menjelaskan bahwa.

Pengadilan dapat memberi ijin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila di kehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Dan pasal 4 (1) yang berbunyi. Dalam hal seorang suami akan beristri lebih dari seorang, sebagaimana tersebut dalam pasal 3 ayat (2) Undang-undang ini, maka ia wajib mengajukan permohonan kepada pengadilan di daerah tempat tinggalnya.

(19)

Berdasarkan uraian di atas dan ijin poligami pengadilan agama ambarawa (penetapan Nomor: 0030/Pdt.G / 2012 / PA.Amb) penulis ingin lebih mengetahui bagaimanakah ijin poligami dan penetapan isbat nikah yang mana pemohon sudah melakukan pernikahan tanpa dicatatkan dihadapan Pegawai Pencatat Nikah Atau melakukan nikah di bawah tangan / nikah sirri dengan isteri kedua bila hal tersebut diajukan apakah telah sesuai dengan hukum positif yang ada.

Untuk lebih terarahnya materi penulisan skripsi ini maka penulis membuat satu judul yaitu : Isbat Nikah Dalam Rangka Poligami ( Study Putusan Nomor : 0030/Pdt.G/2012/PA.Amb).

B. Fokus penelitian

Agar pembahasannya teratur dan sistematis maka perlu dirumuskan beberapa permasalahan. Permasalahan besar yang menjadi fokus penulis adalah bagaimanakah sebenarnya isbat nikah dalam rangka poligami di pengadilan agama itu terjadi. Adapun fokus penelitian yang akan dikaji adalah :

1. Bagaimana pertimbangan hakim dalam menetapkan isbat nikah dalam rangka poligami.

(20)

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan untuk :

1. Mengetahui apa pertimbangan hakim dalam menetapkan isbat nikah dalam rangka Poligami

2. Mengetahui apa dasar hukum hakim dalam menetapkan isbat nikah dalam rangka poligami

D. Manfaat penelitian

1. Menambah kontribusi keilmuan dalam rangka menganilis ketentuan aturan hukum perkawinan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, dan Kompilasi Hukum Islam khususnya tentang hukum perkawinan

2. Memberikan pemahaman yang benar tentang aturan-aturan hukum isbat nikah dan poligami, agar berguna dalam penerapannya di masyarakat.

E. Penegasan Istilah

Untuk mendapatkan kejelasan judul di atas, penulis perlu memberikan penegasan dan batasan terhadap istilah-istilah yang ada. Istilah-istilah tersebut adalah:

1. Isbat adalah penyuguhan, penetapan, ketetapan (Poerwadarminta, 2006:453).

(21)

3. Poligami: Sistim perkawinan yang salah satu pihak memiliki atau mengawini beberapa lawan jenisnya diwaktu yang bersamaan(Depdiknas,2002:885).

F. Kerangka Teori

Al-qur‟an dan Al-hadist tidak mengatur secara rinci mengenai pencatatan perkawinan, namun dirasakan masyarakat akan pentingnya hal pencatatan perkawinan, atas dasar ini diperlukan sebuah bukti yang abadi yang disebut Akta, dengan demikian dimuatnya pencatatan perkawinan adalah sebagai salah satu ketentuan perkawinan yang harus dipenuhi.

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 merupakan kodifikasi dan unifikasi hukum perkawinan yang bersifat nasional. Undang-undang perkawinan tidak saja menempatkan pencatatan perkawinan sebagai sesuatu yang penting tetapi juga menjelaskan mekanisme bagaimana pencatatan perkawinan itu dilaksanakan.

Di dalam UU No 1 Tahun 1974 pasal 2 ayat 2 dinyatakan bahwa:

“Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan

yang berlaku”. Ini adalah satu-satunya ayat yang mengatur tentang

pencatatan perkawinan. Didalam penjelasannya tidak ada uraian rinci kecuali dimuat di dalam PP No. 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan undang-undang perkawinan pasal 3 dinyatakan:

(1) Setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan memberitahukan kehendaknya kepada Pegawai Pencatat ditempat perkawinanakan dilangsungkan.

(22)

(3) pengecualian terhadap jangka waktu tersebut dalam ayat (2) disebabkan sesuatu alasan yang penting, diberikan oleh Camat atas nama Bupati Kepala Daerah.

Lebih lanjut dijelaskan dalam Kompilasi Hukum Islam mengenai pentingnya pencatatan perkawinan pada pasal 5 dan 6 mengungkapkan beberapa garis hukum sebagai berikut:

Pasal 5

(1) Agar terjamin ketertibaban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat.

(2) pencatatan perkawinan tersebut pada ayat (1) dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 jo. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1954. Pasal 6

(1) Untuk memenuhi ketentuan dalam pasal 5, setiap perkawinan harus dilangsungkan dihadapan dan dibawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah.

(2) Perkawinan yang dilakukan diluar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan hukum.

Perkawinan yang tidak dicatatkan sesuai peraturan undang-undang yang berlaku adalah perkawinan yang tidak sah sehingga tidak memiliki kekuatan hukum. Perlunya pencatatan nikah agar semua orang yang telah melakukan perkawinan tidak hanya memiliki keabsahan secara syariat tetapi juga memiliki legalitas formal yang dilindungi undang-undang Negara kita.

G. Telaah Pustaka

(23)

Skripsi yang berjudul “Pelaksanaan Isbat Nikah Pasca Berlakunya

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang perkawinan (studi Kasus di Pengadilan Agama Salatiga Tahun 2009-2011)”. Yang ditulis oleh Asa Maulida Sulhah, Nim : 21108011, Program studi Ahwal al-Syakhshiyyah, Konsentrasi peradilan Agama Tahun 2009-2011. Lebih fokus kepada Isbat Nikah yang terjadi sesudah berlakunya undang-undang Nomor 1 tahun 1974 yang terjadi di Pengadilan Agama Salatiga.

H. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian

Jenis Penelitian ini adalah Studi Pustaka yaitu berupa studi putusan yang penulis peroleh dari putusan pengadilan agama ambarawa serta mengadakan penelitian pada obyek yang dibahas yaitu bagaimana Pengadilan Agama Ambarawa dalam memeriksa dan memutus perkara tentang isbat Nikah dalam rangka Poligami

Adapun data yang digunakan dalam penelitian ini adalah: a. Data Primer yaitu berkas putusan pengadilan Agama Ambarawa b. Data sekunder yaitu mencakup dokumen-dokumen resmi, buku-buku

hasil penelitian yang berwujud laporan(Soekamto,1984:12) 2. Metode Pengumpulan Data

Untuk memperoleh data yang berhubungan dengan penelitian penulis mengunakan metode antara lain:

(24)

Responden penelitian ini adalah para hakim dan panitera di Pengadilan Agama Ambarawa.

b. Studi Pustaka yaitu sebagai penelitian yang menggali dari bahan-bahan tertulis (M.Arifin,1990:135).

c. Dokumentasi yaitu dengan mengambil data berupa putusan Pengadilan Agama Ambarawa Nomor: 0030/Pdt.G/2012/PA.Amb. 3. Metode analisis data

a. Deduktif: Penulis mengadakan analisis terhadap kasus putusan No: 0030/Pdt.G/2012/PA.Amb, dengan berpijak pada aturan Perundang-Undangan yang ada.

b. Induktif: Apa yang diperoleh dari penelitian terhadap putusan No: 0030/Pdt.G/2012/PA.Amb, akan bermanfaat untuk menyelesaikan perkara-perkara yang sejenis.

4. Teknik Penulisan

Adapun teknik penulisan, penulis menggunakan standar acuan BUKU PEDOMAN PENULISAN SKRIPSI yang diterbitkan oleh Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Salatiga tahun 2008. I. Sistematika penulisan

(25)

BAB I : merupakan bab pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah, fokus penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, penegasan istilah, kerangka teori, telaah pustaka, metode penelitian, dan sistematika penulisan.

BAB II : Dalam bab ini berisi kajian pustaka yang menjelaskan tentang Gambaran Umum Perkawinan, Undang-Undang Perkawinan, pencatatan perkawinan, Isbat Nikah, Poligami, dan Kode Etik Hakim.

BAB III : Dalam bab ini berisi paparan data Gambaran umum pengadilan Agama Ambarawa, Sejarah Pengadilan Agama Ambarawa, Struktur organisasi Pengadilan Agama Ambarawa, Gambaran Perkara Nomor 0030/Pdt.G/2012/PA.Amb dan Dasar Pertimbangan Hakim dalam Putusan Nomor: 0030/Pdt.G/2012/PA.Amb.

BAB IV : Dalam bab ini berisi Analisis Terhadap Dasar Pertimbangan Hakim Terhadap penetapan isbat nikah dalam rangka poligami, Analisis Terhadap dasar hukum penetapan isbat nikah dalam rangka Poligami oleh Hakim. BAB V : Dalam bab ini merupakan penutup yang berisi kesimpulan

dan saran dari penulis.

(26)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Gambaran Umum Pernikahan

1. Pengertian, dasar hukum dan tujuan pernikahan

Pernikahan salah satu sunatullah yang umum berlaku pada semua makhluk tuhan, baik pada manusia, hewan maupun

tumbuh-“Dan segala sesuatu kami ciptakan berpasang-pasangan supaya

kamu mengingat kebesaran Allah”. (Adz-Dzariyat : 49)

Firman-Nya pula:

“Maha Suci Tuhan yang Telah menciptakan pasangan-pasangan

semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri

mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui”. (Yasiin:36)

(27)

peranannya yang positif dalam mewujudkan tujuan pernikahan, Tuhan tidak mau menjadikan manusia itu seperti makhluk lainnya, yang hidup bebas mengikuti nalurinya dan berhubungan antara jantan dan betinanya secara anarki, dan tidak ada satu aturan. Tetapi demi menjaga kehormatan dan martabat kemuliaan manusia, Allah adakan hukum sesuai dengan martabatnya.(Sabiq, 1980:7)

Menurut ajaran Islam melangsungkan pernikahan berarti melaksanakan ibadah (Ali, 2002:3). Pernikahan merupakan sunatullah yang artinya perintah Allah dan Rasul-Nya, tidak hanya keinginan manusia semata atau hawa nafsunya saja.

Menurut Kompilasi Hukum Islam Perkawinan atau pernikahan yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalizan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya adalah ibadah. Sedangkan nikah menurut bahasa: al jam‟u dan al-dhamu yang artinya kumpul. Makna nikah (zawaj) bisa diartikan dengan aqdu al-tazwij

yang artinya akad nikah. Juga bisa diartikan (wath‟u al-zaujah)

bermakna menyetubuhi istri. Selain dari Definisi diatas dikemukakan juga bahwa kata nikah berasal dari bahasa arab “nikahun” yang merupakan masdar atau asal kata dari kata kerja (fi‟il madhi)

“nakaha” sinonimnya “tazawwaja” kemudian diterjemahkan

kedalam bahasa indonesia sebagai perkawinan.

Beberapa penulis juga kadang menyebut pernikahan dengan

(28)

kata “kawin”, yang menurut bahasa, artinya membentuk keluarga

dengan lawan jenis; melakukan hubungan kelamin atau bersetubuh. Istilah kawin digunakan secara umum, untuk tumbuhan, hewan dan manusia, dan menunjukkan proses generatif secara alami. Berbeda dengan itu, nikah hanya digunakan pada manusia karena mengandung keabsahan secara hukum nasional, adat istiadat dan terutama menurut Agama.

Adapun menurut syara‟ nikah adalah akad serah terima antara

laki-laki dan perempuan dengan tujuan untuk saling memuaskan satu sama lainnya dan untuk membentuk rumah tangga yang sakinah serta masyarakat yang sejahtera (Tihami, 2009:8). Sebagaimana disebutkan di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 bab I pasal 1

“Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan

seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang

Maha Esa”.

Dengan melihat kepada hakikat perkawinan itu merupakan akad yang membolehkan laki-laki dan perempuan melakukan sesuatu yang sebelumnya tidak dibolehkan, maka dapat dikatakan bahwa hukum asal dari pernikahan adalah boleh atau mubah.

(29)

dikatakan bahwa melangsungkan akad pernikahan diperintah oleh agama dan dengan telah berlangsungnya akad pernikahan itu maka pergaulan laki-laki dengan perempuan menjadi mubah (Syarifudin, 2007:43).

Menurut Tihami, perkawinan yang merupakan sunatullah adalah mubah tergantung pada tingkat kemaslahatannya, oleh karena itu, imam izzudin abdussalam, membagi maslahat menjadi tiga bagian, yaitu:

a. maslahat yang di wajibkan oleh Allah SWT bagi hambanya. Maslahat wajib bertingkat-tingkat, terbagi kepada fadhil (utama),

afdhal (paling utama) dan mutawassith (tengah-tengah). Maslahat yang paling utama adalah maslahat yang pada dirinya terkandung kemuliaan, dapat menghilangkan mafsadah paling buruk, dan dapat mendatangkan kemaslahatan yang paling besar, kemaslahatan jenis ini wajib dikerjakan.

b. Maslahat yang disunahkan oleh syar‟i kepada hamba-Nya demi untuk kebaikannya, tingkat maslahat paling tinggi berada sedikit di bawah tingkat maslahat wajib paling rendah. Dalam tingkatan ke bawah, maslahat sunnah akan sampai pada tingkat maslahat

yang ringan yang mendekati maslahat mubah.

(30)

Meskipun asal perkawinan itu adalah mubah, namun dapat berubah menurut ahkamal-khamsah (hukum yang lima) menurut perubahan keadaan:

a. Nikah wajib. Nikah diwajibkan bagi orang yang telah mampu, yang akan menambah taqwa. Nikah juga wajib bagi orang yang telah mampu, yang akan menjaga jiwa dan menyelamatkannya dari perbuatan haram. Kewajiban ini tidak akan terlaksanana kecuali dengan nikah.

b. Nikah haram. Nikah diharamkan bagi orang yang tahu bahwa dirinya tidak mampu melaksanakan hidup berumah tangga, melaksanakan kewajiban lahir seperti memberi nafkah, pakaian, tempat tinggal dan kewajiban batin seperti mencampuri istri. c. Nikah sunnah. Nikah disunnahkan bagi orang-orang yang telah

mampu tetapi ia masih sanggup mengendalikan dirinya dari perbuatan haram, dalam hal ini maka nikah lebih baik daripada membujang karena membujang tidak diajarkan oleh Islam.

d. Nikah mubah, yaitu bagi orang yang tidak berhalangan untuk nikah dan dorongan untuk nikah belum membahayakan dirinya, ia wajib nikah tapi tidak haram bila tidak nikah.

(31)

Nampak bahwa pernikahan itu bukan sekedar untuk memenuhi keperluan nafsu antara laki-laki dan perempuan, namun ada banyak tujuan-tujuan dalam pernikahan, diantaranya tertuang dalam

Kompilasi Hukum Islam pasal 3 yang berbunyi “perkawinan bertujuan

untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawadah, dan rahmah. Dalam bukunya Fikih Munakahat fikin nikah lengkap tihami mengungkapkan bahwa tujuan dari pernikahan adalah:

a. Mendapatkan dan melangsungkan keturunan;

b. Memenuhi hajat manusia menyalurkan syahwatnya dan menumpahkan kasing sayangnya;

c. Memenuhi panggilan agama, memelihara diri dari kejahatan dan kerusakan;

d. Menumbuhkan kesungguhan untuk bertanggung jawab menerima hak serta kewajiban, juga bersungguh untuk memperoleh harta kekayaan yang halal;

e. Membangun rumah tangga untuk membentuk masyarakat yang tenteram atas dasar cinta dan kasih sayang.

2. Rukun Dan Syarat Sah Pernikahan a. Menurut Hukum Islam

(32)

ensiklopedi hukum islam, syarat dirumuskan dengan, “sesuatu yang tergantung padanya keberadaan hukum syar‟i, dan dia berada diluar hukum itu sendiri”. Perbedaan antara rukun dan

syarat, khususnya rukun dan syarat dalam hal akad nikah, tampak begitu tipis. Pernikahan yang di dalamnya terdapat akad, layaknya akad-akad lain yang memerlukan adanya persetujuan kedua belah pihak yang mengadakan akad. Adapun rukun pernikah adalah: 1) Mempelai laki-laki;

2) Mempelai perempuan; 3) Wali;

4) Dua orang saksi; 5) Sighat ijab kabul.

Syarat-syarat sahnya pernikahan menurut Hukum Islam adalah: 1) Syarat-syarat Suami

a) Bukan mahram dari calon istri;

b) Tidak terpaksa atau atas keauan diri sendiri; c) Orangnya tertentu, jelas orangnya;

d) Tidak sedang ihram. 2) Syarat-syarat Istri

a) Tidak ada halangan syara‟ yaitu tidak bersuami, bukan mahram, tidak sedang dalam iddah;

(33)

d) Tidak sedang berihram. 3) Syarat-syarat Wali

a) Laki-laki; b) Baligh;

c) Waras akalnya; d) Tidak dipaksa; e) Adil;

f) Tidak sedang ihram. 4) Syarat-syarat Saksi a) Laki-laki;

b) Baligh;

c) Waras akalnya; d) Adil;

e) Dapat mendengar dan melihat; f) Bebas, tidak dipaksa;

g) Tidak sedang mengerjakan ihram;

h) Memahami bahasa yang dipergunakan untuk ijab qabul. 5) Syarat shigat (bentuk akad). Shigat hendaknya dilakukan

dengan bahasa yang dapat dimengerti oleh orang yang melakukan akad, penerima akad, dan saksi. (Tihami, 2009:12)

(34)

dalam perkawinan. Pengertian mahar adalah pemberian khusus yang bersifat wajib berupa uang atau barang yang diserahkan mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan ketika atau akibat dari berlangsungnya akad nikah (Syarifudin, 2007:85). Tentang mahar ini terdapat dalam firman Allah pada surat an-Nisa‟ ayat 4 yang berbunyi:









nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian

jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin

itu dengan senang hati, Maka makanlah (ambillah) pemberian itu

(sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya”.

b. Menurut Kompilasi Hukum Islam

Rukun dan Syarat perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) di tuangkan dalam Bab IV pasal 14 sampai dengan pasal 38 yang secara keseluruhan sama dengan Hukum Islam.

Kemudian dituangkan juga dalam pasal 4 KHI disebutkan tentang syarat sahnya perkawinan yang berbunyi:

“Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum

Islam sesuai dengan pasal 2 ayat (1) Undang-undang No 1 Tahun

(35)

c. Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

Rukun dan Syarat perkawinan di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 secara tegas tidak dituangkan di dalamnya. Akan tetapi undang-undang tersebut sepenuhnnya menyerahkan kepada ketentuan yang diatur oleh agama orang yang akan melangsungkan perkawinan tentang persyaratan sahnya suatu perkawinan.

Kemudian syarat sahnya perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dituangkan dalam pasal 2 yang berbunyi:

(1) Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum

masing-masing agamanya dan kepercayaannya.

(2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan

perundang-undangan yang berlaku.

3. Pengertian Nikah Sirri/Nikah di bawah tangan

(36)

Dalam pernikahan Sirri atau Nikah di bawah tangan, Petugas Pencatat Nikah (KUA) tidak akan mencatat perkawinannya tersebut karena dianggap menyimpang dari Undang-Undang yang berlaku.

Sedangkan sistem hukum Indonesia tidak mengenal istilah perkawinan sirri atau nikah di bawah tangan. Namun, secara sosiologis istilah ini diberikan bagi perkawinan yang tidak dicatatkan dan tidak memenuhi ketentuan Undang-Undang yang berlaku. Khusunya tentang pencatatan perkawinan yang diatur dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan pasal 2 ayat (2) yang menegaskan bahwa perkawinan harus dicatat sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku. (Subekti, 2009:538)

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa perkawinan Sirri atau Nikah di bawah tangan adalah perkawinan yang sudah memenuhi syarat dan rukun dalam hukum Islam. Tetapi tidak mengikuti hukum negara yang mengharuskan untuk dicatat.

4. Status Hukum pernikahan sirri.

Menurut hukum syariat bahwa sebuah perkawinan dipandang sah jika telah memenuhi rukun dan syarat perkawinan yang meliputi calon mempelai pria, calon mempelai wanita, wali mempelai wanita, dua orang saksi dan ijab qabul. Sedang menurut Undang-Undang

Perkawinan selain memenuhi aturan syari‟at pernikahan harus dicatat

(37)

kedua aturan tersebut maka perkawinan itu disebut legal wedding jika tidak tercatat maka disebut illegal wedding.

Secara dogmatis, tidak ada nas dalam Al-Qur‟an ataupun sunnah yang mengatur pencatatan untuk perkawinan, tetapi Al-Qur‟an memberikan perhatian besar kepada pencatatan setiap transaksi utang dan jual beli. Semestinya jika dalam urusan muamalah saja pencatatan diperintahkan, apalagi dalam perkawinan yang akan melahirkan hukum lain seperti hak pengasuhan anak, hak waris dan hak-hak lainnya.

Oleh karena itu, memenuhi aturan Agama dan aturan negara amat penting karena kita selain sebagai agamawan juga sebagai warga negara, sehingga perjalanan rumah tangga tidak hanya bersentuhan dengan aturan agama tetapi juga aturan negara. Dengan demikian jika kelangsungan hidup rumah tangga tidak lepas dari aturan negara dan mematuhinya maka dari itu mematuhi aturan tersebut wajib hukumnya. (http://bimasIslam.kemenag.go.id)

B. Pencatatan Perkawinan

(38)

memiliki kedudukan yang sentral. Begitu penting akad nikah sehingga ditempatkan sebagai salah satu rukun nikah yang di sepakati.

Kendati demikian tidak ada syarat bahwa akad nikah itu harus dituliskan atau diaktekan. Atas dasar inilah fikih Islam tidak mengenal adanya pencatatan perkawinan (Nasution, 2002:139). Mengapa pencatatn perkawinan tidak diberi perhatian yang serius oleh fikih walaupun ada ayat Al-Qur‟an yang menganjurkan untuk mencatat segala transaksi muamalah. Firman Allah SWT dalam QS. Al-Baqarah (2): 282 :







Artinya: “Hai oaring-orang yang beriman, apabila kamu bermu‟amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya dan hendaklah seorang penulis diantara kamu

menuliskannya dengan benar….” (QS. Al-Baqarah (282): 2)

Pertama, larangan untuk menulis sesuatu selain Al-qur‟an. Akibatnya kultur tulis tidak begitu berkembang disbanding dengan kultur hafalan (oral). Kedua, kelanjutan dari yang pertama, maka mereka sangat mengandalkan hafalan (ingatan). Agaknya mengingat sebuah peristiwa perkawinan bukanlah sebuah hal yang sulit untuk dilakukan. Ketiga, tradisi walimat al-„urusy walaupun dengan seekor kambing merupakan

saksi disamping saksi syar‟I tentang sebuah perkawinan. Keempat, ada

(39)

berlangsung dimana calon suami dan calon istri berada dalam suatu wilayah yang sama. Sehingga alat bukti kawin selain saksi belum di butuhkan.

Dengan alasan-alasan yang disebut diatas, dapatlah dikatakan bahwa pencatatan perkawinan belum dipandang sebagai sesuatu yang sangat penting sekaligus belum dijadikan alat bukti autentik terhadap sebuah perkawinan. Sejalan dengan perkembangan jaman dengan dinamika yang terus berubah maka banyak sekali perubahan-perubahan yang terjadi. Pergeseran kultur lisan (Oral) kepada kultur tulis sebagai ciri masyarakat modern, menuntut dijadikannya akta, surat sebagai bukti autentik. Saksi hidup tidak lagi bias diandalkan tidak saja karena bisa hilang dengan sebab kematian, manusia dapat juga mengalami kelupaan dan kesilapan. Atas dasar ini diperlukan sebuah bukti yang abadi itulah yang disebut Akta. Dengan demikian salah satu bentuk pembaharuan hukum kekeluargaan Islam adalah dimuatnya pencatatan perkawinan sebagai salah satu ketentuan perkawinan yang harus dipenuhi. Dikatakan pembaharuan hukum Islam karena masalah tersebut tidak ditemukan didalam kitab fiqh ataupun fatwa-fatwa ulama (Nuruddin, 2006:122).

(40)

(Ali, 2007 : 27). Undang-undang perkawinan tidak saja menempatkan pencatatan perkawinan sebagai sesuatu yang penting, tetapi juga menjelaskan mekanisme bagaimana pencatatan perkawinan itu dilaksanakan.

Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 bukanlah UU pertama yang mengatur tentang pencatatan perkawinan bagi masyarakat Muslim di Indonesia, sebelumnya sudah ada UU No 22 Tahun1946, yang mengatur tentang pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk. Semula UU ini hanya berlaku untuk daerah Jawa dan Madura, tetapi dengan lahirnya UU No. 32 tahun 1954, yang disahkan tanggal 26 Oktober 1954, UU No. 22 Tahun 1946 diberlakukan untuk seluruh daerah luar Jawa dan Madura. Dengan ungkapan lain, dengan lahirnya UU No. 32 Tahun 1954 berarti UU No.22 Tahun 1946 berlaku diseluruh Indonesia. Bahkan konon sebelum UU No. 22 Tahun 1946 sudah ada peraturan yang mengatur hal yang sama.

Tentang Pencatatan Perkawinan dalam UU No. 22 Tahun 1946 disebutkan:

(i) Perkawinan diawasi oleh Pegawai Pencatat Nikah;

(ii) Bagi pasangan yang melakukan perkawinan tanpa pengawasan dari Pegawai Pencatat Nikah dikenakan hukuman karena merupakan satu pelanggaran.

(41)

tetapi tidak mengakibatkan batalnya perkawinan. Dari penjelasan ini sangat tegas terlihat bahwa fungsi pencatatan tersebut hanyalah bersifat administrasi, bukan syarat sah atau tidaknya perkawinan. (Nasution, 2002: 146)

Kemudian dalam UU No. 1 Tahun 1974, yang pelaksanaannya berlaku secara efektif mulai tanggal 1 Oktober 1975, tentang pencatatan perkawinan disebutkan dalam pasal 2 ayat (1) dan (2) yang berbunyi: (1) perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum

masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu;

(2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Kemudian dalam PP No. 9 Tahun 1975, yang merupakan peraturan tentang pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, dalam bab II pasal 2 yang terdiri dari 3 pasal berbunyi sebagai berikut:

(1) Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut Agama Islam dilakukan oleh pegawi Pencatat sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang No.32 tahun 1954 tentang pencatatan perkawinan;

(2) pencatatan dari mereka yang melangsungkan perkawinan menurut agamanya dan kepercayaannya itu selain agama Islam, dilakukan oleh Pegawai Pencatat perkawinan pada kantor catatan sipil sebagaimana di maksudkan dalam berbagai perundang-undangan mengenai pencatatan perkawinan;

(42)

Lebih lanjut di jelaskan dalam bab 3 pasal 10 dan pasal 11 tentang tatacara perkawinan yang berbunyi:

Pasal 10:

(1) Perkawinan dilangsungkan setelah hari kesepuluh sejak pengumuman kehendak perkawinan oleh Pegawai pencatat seperti yang dimaksud dalam pasal 8 peraturan pemerintah ini;

(2) Tatacara perkawinan dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu;

(3) Dengan mengindahkan tatacara perkawinan menurut masing-masing hukum agamanya dan kepercayaannya itu, perkawinan dilaksanakan di hadapan Pegawai Pencatat dan dihadiri oleh dua orang saksi.

Pasal 11

(1) sesaat sesudah dilangsungkan perkawinan sesuai dengan ketentuan-ketentuan pasal 10 Peraturan Pemerintah ini kedua mempelai menandatangani akta perkawinan yang telah disiapkan oleh Pegawai Pencatat berdasarkan ketentuan yang berlaku;

(2) Akta perkawinan yang telah ditandatangani oleh mempelai itu, selanjutnya ditandatangani pula oleh kedua saksi dan pegawai Pencatat yang menghadiri perkawinan dan bagi yang melangsungkan perkawinan menurut agama Islam, ditandatangani pula oleh wali nikah atau yang mewakilinya;

(3) Dengan penandatanganan akta perkawinan maka perkawinan telah tercatat secara resmi.

Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 4 sampai dengan pasal 6 yang berbunyi:

Pasal 4

(43)

Pasal 5

(1) Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat;

(2) Pencatatan perkawinan tersebut pada ayat (1) dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang No. 22 tahun 1946 jo Undang-Undang No. 32 Tahun 1954.

Pasal 6

(1) Untuk memenuhi ketentuan dalam pasal 5, setiap perkawinan harus dilangsungkan dihadapan dan di bawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah;

(2) Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan hukum.

Aturan-aturan didalam KHI ini sudah melangkah lebih jauh dan tidak hanya bicara masalah administratif. Pertama, didalam pasal 5 ada

klausul yang menyatakan “agar terjaminnya ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam”. Ketertiban disini menyangkut Ghayat al-Tasyri‟

(tujuan hukum Islam) yaitu menciptakan kemaslahatan bagi masyarakat.

Kedua, pada pasal 6 ayat 2 ada klausul “tidak mempunyai kekuatan hukum”. Dan dapat diterjemahkan dengan makna tidak sah. Jadi

perkawinan yang tidak dicatatkan dipandang tidak sah (Nuruddin, 2006 : 124).

C. Isbat Nikah

1. Pengertian Istbat Nikah

Isbat nikah berasal dari dua kata dalam bahasa Arab, yaitu

(44)

penetapan atau penentuan (Rosyadi, 1995: 827). Kemudian istilah ini diserap menjadi istilah kata dalam bahasa Indonesia. Achmad warson munawir mengartikan istilah isbat dengan penetapan, penutupan dan pengiyaan (munawir, 2007: 343).

Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata isbat

diartikan dengan menetapkan yaitu berupa penetapan tentang kebenaran (keabsahan) nikah atau menetapkan kebenaran sesuatu (Depdiknas 2002 : 564)

(45)

perempuan. Isbat nikah adalah pengesahan atas perkawinan yang telah dilangsungkan menurut syariat agama Islam, akan tetapi tidak dicatat oleh KUA atau PPN yang berwenang (Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor KMA/032/SK/2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Dan Administrasi Pengadilan)

2. Proses dalam mengajukan permohonan/pengesahan isbat nikah

Eksistensi dan independensi lembaga pengadilan agama sejak terbitnya UU No. 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, kedudukannya sejajar dengan lembaga peradilan lain dilingkungan Peradilan Umum, tata Usaha Negara dan Peradilan Militer. Kewenanangan Peradilan Agama (PA) pasca terbitnya UU baru tersebut makin luas. Pengadilan Agama berkuasa atas perkara perkawinan bagi mereka yang beragama Islam, sedangkan bagi yang selain Islam, sedangkan bagi yang selain Islam menjadi kekuasaan Peradilan Umum.

(46)

perlu dikhawatirkan dan jangan selalu disudutkan dengan

menganggap mereka sebagai “masyarakat yang buta hukum.

Oleh karenanya perlu memberikan kesempatan dan pembelajaran tentang hokum kepada mereka khususnya dalam hal bagaimana beracara dimuka pengadilan yang benar

(http://eprints.undip.ac.id/18678/PATLY_PARAKASI.pdf). Adapun

proses pengajuan permohonan pengajuan/pengesahan isbat nikah adalah sebagai berikut :

Langkah 1. Datang dan mendaftar ke kantor Pengadilan setempat. a. Mendatangi kantor pengadilan agama diwilayah tempat tinggal

anda.

b. Membuat surat permohonan isbat nikah. Surat permohonan dapat dibuat sendiri. Apabila tidak bisa membuat surat permohonan, anda dapat meminta bantuan kepada pos bakum (pos bantuan hokum) yang ada pada pengadilan setempat secara cuma-Cuma. c. Surat permohonan isbat nikah ada dua jenis sesuai dengan tujuan

yaitu:

1) Surat permohonan isbat nikah digabung dengan gugat cerai. 2) Surat permohonan isbat nikah.

(47)

e. Melampirkan surat-surat yang diperlukan antara lain surat keterangan dari KUA bahwa pernikahannya tidak tercatat.

Langkah 2. Membayar panjar perkara.

a. Membayar biaya perkara. Apabila anda tidak mampu membayar panjar biaya perkara, anda dapat mengajukan permohonan untuk berperkara secara Cuma-Cuma (prodeo).

b. Apabila mendapat fasilitas prodeo, semua biaya yang berkaitan dengan perkara dipengadilan menjadi tanggung jawab pengadilan kecuali biaya transportasi dari rumah kepengadilan. Apabila biaya tersebut masih belum terjangkau, maka dapat mengajukan sidang keliling. Rincian informasi sidang keliling dapat dilihat di panduan sidang keliling.

c. Setelah menyerahkan panjar biaya perkara jangan lupa meminta bukti pembayaran yang akan dipakai untuk meminta sisa panjar perkara.

Langkah 3. Menunggu panggilan sidang dari pengadilan

a. Pengadilan akan mengirim surat panggilan yang berisi tentang tanggal dan tempat siding kepada pemohon dan termohon secara langsung ke alamat yang tertera dalam surat permohonan

Langkah 4. Menghadiri persidangan.

(48)

b. Untuk sidang pertama, bawa serta dokumen seperti surat panggilan persidangan, foto copy formulir permohonan yang telah diisi. Dalam sidang pertama ini hakim akan menanyakan identitas para pihak misalnya KTP atau kartu identitas lainnya yang asli. Dalam kondisi tertentu hakim kemungkinan akan melakukan pemeriksaan isi permohonan.

c. Untuk sidang selanjutnya, hakim akan memberitahukan kepada pemohon/termohon yang hadir dalam sidang kapan tanggal dan waktu sidang berikutnya. Bagi pemohon/termohon yang tidak hadir dalam sidang, untuk persidangan berikutnya akan dilakukan pemanggilan ulang kepada yang bersangkutan melalui surat. d. Untuk sidang kedua dan seterusnya, ada kemungkinan harus

mempersiapkan dokumen dan bukti sesuai dengan permintaan hakim. Dalam kondisi tertentu, hakim akan meminta menghadirkan saksi-saksi yaitu orang yang mengetahui pernikahan tersebut, diantaranya wali nikah dan saksi nikah, atau orang-orang dekat yang mengetahui pernikahan itu.

Langkah 5. Putusan/penetapan pengadilan.

a. Jika permohonan anda dikabulkan pengadilan akan mengeluarkan putusan/penetapan isbat nikah.

(49)

c. Salinan putusan/penetapan isbat nikah dapat diambil sendiri kekantor pengadilan agama atau mewakilkan kepada orang lain dengan surat kuasa.

b. Setelah mendapatkan salinan putusan/penetapan, anda dapat meminta KUA setempat untuk mencatatkan pernikahan anda dengan menunjukan salinan putusan/penetapan pengadilan tersebut(www.pekka.or.id/.../docs/PANDUANISBATNIKAH.doc ) di akses pada 27 september 2013.

3. Dasar Hukum Isbat Nikah. a) Kompilasi hukum Islam

Pasal 2 : perkawinan menurut hukum Islam adalah prnikahan yaitu akad yang sangat kuat atau misaqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya adalah ibadah. Pasal 4 : perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan.

Pasal 5 :

Ayat (1) agar terjalin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat.

(50)

Pasal 7:

Ayat (1) Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengn Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah;

Ayat (2) Dalam hal pekawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akta Nikah, dapat diajukan itsbat nikahnya ke Pengadilan Agama;

Ayat (3) Itsbat nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas mengenai hal-hal yang berhubungan dengan:

a) Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian; b) Hilangnya Akta Nikah;

c) Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan;

d) Adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974;

(e) Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurutUndang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.

Ayat (4) yang berhak mengajukan permohonan isbat nikah ialah sumi atau istri, anak-anak mereka, wali nikah dan pihak yang berkepentingan dengan perkawinan itu.

(51)

(1) perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu;

(2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

c) Peratuaran pemerintah Nomor 9 tahun 1975 tentang pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

Pasal 2:

Ayat (1) Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut Agama Islam, dilakukan

oleh pegawi Pencatat perkawinan sebagaimana dimaksud dalam

Undang-undang No. 32 tahun 1954 tentang pencatatan Nikah,

talak, dan rujuk;

Ayat (2) pencatatan dari mereka yang melangsungkan perkawinan menurut agamanya dan kepercayaannya itu selain

agama Islam, dilakukan oleh Pegawai Pencatat perkawinan pada

kantor catatan sipil sebagaimana di maksudkan dalam berbagai

perundang-undangan mengenai pencatatan perkawinan;

Ayat (3) dengan tidak mengurangi ketentuan-ketentuan yang khusus berlaku bagi tata cara pencatatan perkawinan

berdasarkan berbagai peraturan yang berlaku, tata cara

pencatatan perkawinan dilakukan sebagaimana ditentukan dalam

pasal 3 samapai dengan pasal 9 peraturan pemerintah ini.

(52)

Ayat (1) setiap orang yang akan melangsungkan perkawianan memberitahukan kehendaknya itu pada pegawai pencatat di

tempat perkawinan akan dilangsungkan.

Pasal 4: pemberitahuan dilakukan secara lisan atau tertulis oleh calon mempelai, atau oleh orang tua atau wakilnya.

Pasal 6:

Ayat (1) pegawai pencatat menerima pemberitahuan kehendak melangsungkan perkawinan, meneliti apakah syarat-syarat

perkawinan telah terpenuhi dan apakah tidak terdapat halangan

perkawinan menurut Undang-Undang.

Pasal 11:

Ayat (1) sesaat sesudah dilangsungkan perkawinan sesuai dengan ketentuan-ketentuan pasal 10 Peraturan Pemerintah ini

kedua mempelai menandatangani akta perkawinan yang telah

disiapkan oleh Pegawai Pencatat berdasarkan ketentuan yang

berlaku;

Ayat (2) Akta perkawinan yang telah ditandatangani oleh mempelai itu, selanjutnya ditandatangani pula oleh kedua saksi

dan pegawai Pencatat yang menghadiri perkawinan dan bagi

yang melangsungkan perkawinan menurut agama Islam,

ditandatangani pula oleh wali nikah atau yang mewakilinya;

(53)

Pasal 12: Akta perkawinan memuat:

1) Nama, tempat tanggal lahir, agama pekerjaan dan

tempat kediaman suami/istri; apabila salah satu atau

keduanya pernah kawin disebutkan juga nama istri atau

suami terdahulu.

2) Nama, agama, pekerjaan dan tempat kediaman orang

tua mereka.

3) Izin sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 ayat (2), (3),

(4), (5) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.

4) Dispensasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 ayat

(2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 .

5) Izin pengadilan sebagaimana dimaksud dalam pasal 6

ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.

6) Persetujuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 ayat

(1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.

7) Izin dari pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Hankam

Pangab bagi anggota Angkatan Bersenjata.

8) Perjanjian perkawinan apabila ada.

9) Nama, umur, agama/kepercayaan, pekerjaan dan tempat

kediaman kuasa apabila perkawinan dilakukan melalui

(54)

Pasal 13:

Ayat (1) akta perkawinan dalam rangkap 2 dua, helai pertama disimpan oleh pegawai pencatat, helai kedua disimpan oleh

panitera pengadilan dalam wilayah kantor pencatatan

perkawinan itu berada.

Ayat (2) kepada suami istri masing-masing diberikan kutipan akta perkawinan.

d) Peraturan Menteri Agama Nomor 2 tahun 1975

Pasal 7: pegawai pencatat nikah atau P.3 NTR yang menerima pemberitahuan kehendak nikah memeriksa calon suami, calon

istri dan wali nukah, tentang ada atau tidak adanya halangan

pernikahan itu dilangsungkan baik halangan karena melanggar

hukum munakahatatau melanggar peraturan

perundang-undangan tentang perkawinan.

Pasal 39:

Ayat (1) apabila kutipan akta nikah, kutipan buku pendaftaran, kutipan buku pendaftaran cerai, kutipan buku pendaftaran rujuk

hilang atau rusak padahal diperlukan untuk pengesahan

perkawinan maka orang yang bersngkutan dapat duplikat surat

dari kepala kantor yang dahulu mengeluarkan. Perkawinan yang

tidak mempunyai akta nikah memenuhi kesulitan ketika terjadi

(55)

Ayat (2) untuk mendapatkan duplikat tidk dipungut biaya kecuali ada ketentuan lain.

Ayat (3) Duplikat surat-surat harus dibubuhi materai menurut peraturan yang berlaku.

Ayat (4) Jika kantor yang dahulu mengeluarkan surat itu tidak bisa membuat duplikatnya disebabkan catatannya telah rusak

atau hilang atau karena sebab lain, maka untuk menetapkan

adanya pernikahan, talak dan rujuk harus dibuktikan dengan

keputusan Pengadilan Agama.

e) Pedoman Teknis dan Teknis Administrasi Peradilan Agama Buku II Tahun 2009.

1) Aturan pengesahan Nikah/Isbat nikah, dibuat atas dasar adanya perkawinan yang dilangsungkan berdasarkan agama atau tidak dicatat oleh PPN yang berwenang.

2) pengesahan nikah diatur dalam pasal 2 ayat (5) Undang-Undang Nomor 22 tahun 1946 jis. Pasal 49 angka 22 penjelasan Undang-undang nomor 7 Tahun 1989 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang nomor 3 tahun 2006 dan pasal 7 ayat (2), (3), (4) Kompilasi Hukum Islam

(56)

Kompilasi Hukum Islam, perkawinan yang disahkan hanya perkawinan yang dilangsungkan sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974. Akan tetapi pasal 7 ayat (3) huruf (a) KHI memberikan peluang untuk pengesahan perkawinan yang tidak dicatat oleh PPN yang dilangsungkan sebelum atau sesudah berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 untuk kepentingan perceraian . pasal 7 ayat (3) huruf (a) KHI banyak dippraktekan di Pengadilan Agama.

4) untuk menghindari penyelundupan hukum dan poligami tanpa prosedur, pengadilan Agama harus selektif dan hati-hati dalam menangani permohonn isbat nikah. Kriteria selektif antara lain: pemberlakuan DOM di Aceh dimana KUA tidak berfungsi dan perkawinan yang dilakukan oleh pasangan yang tidak mengetahui prosedur perkawinan. 5) Untuk kepentingan itu, maka proses pengajuan pemeriksaan

dan penyelesaian permohonan pengesahan nikah/isbat nikah harus mengikuti petunjuk-petunjuk sebagai berikut:

(57)

permohonan isbat nikah harus dilengkapi dengan alasan dan kepentingan yang jelas dan konkret.

(b) proses permohonan Isbat Nikah yang diajukan suami istri bersifat voluntair, produk hukumnya berupa penetapan. Jika isi penetapan tersebut menolak permohonan isbat nikah, maka pihak suami dan istri bersama-sama atau suami, istri masing-masing dapat mengupayakan kasasi. (c) Proses pemeriksaan permohonan isbat nikah yang

diajukan oleh salah seorang suami atau istri bersifat kontensius dengan mendudukkan suami atau istri yang tidak mengajukan permohonan sebagai pihak termohon, produknya berupa putusan dan terhadap putusan tersebut dapat diupayakan banding dan kasasi.

(d) Apabila dalam proses permohonan isbat nikah dalam angka 2 dan 3 tersebut di atas diketahui bahwa suaminya masih terikat dalam perkawinan yang sah dengan perempuan lain, maka istri terdahulu tersebut harus dijadikan pihak dalam perkara, jika permohonan tidak mau merubah permohonannya dengan memasukkan istri terdahulu sebagai pihak, permohonan tersebut harus dinyatakan tidak diterima.

(58)

kontensius, dengan mendudukan suami dan istri dan/atau ahli waris sebagai termohon.

(f) Suami istri yang telah ditinggal mati oleh istrinya atau suaminya dapat mengajukan permohonan isbat nikah secara kontensius dengan mendudukan ahli waris lainnya sebagai pihak termohon, produknya berupa putusan dan atas putusan tersebut dapat diupayakan banding dan kasasi.

(g) dalam hal suami atau istri yang ditinggal mati tidak mengetahui ada ahli waris lain selain dirinya maka permohonan isbat nikah diajukan secara voluntair, produknya berupa penetapan. Apabila permohonan tersebut harus ditolak, maka permohonan dapat mengajukan kasasi.

(h) Orang lain yang mempunyai kepentingan dan tidak menjadi pihak dalam perkara permohonan isbat nikah tersebut dalam angka 2 dan 6 dapat melakukan perlawanan kepada Pengadilan Agama yang memutus, setelah mengetahui ada penetapan isbat nikah.

(59)

mengajukan gugatan pembatalan perkawinan yang telah disahkan oleh pengadilan Agama tersebut.

(j) Ketua Majekis Hakim tiga hari setelah menerima penetapan Majelis Hakim, membuat penetapan Hari Sidang sekaligus memerintahkan JPS untuk mengumumkan permohonan pengesahan nikah tersebut 14 hari terhitung sejak tanggal pengumuman pada media massa, cetak atau elektronik atau sekurang-kurangnya diumumkan pada papan pengumuman Pengadilan Agama.

(k) Majelis Hakim dalam menetapkan hari sidang paling lambat tiga hari setelah berakhirnya pengumuman. Setelah hari pengumuman berakhir, Majelis Hakim segera menetapkan hari sidang.

(l) Pengesahan nikah dapat digabungkan dengan gugatan perceraian. Cara perceraiannya di putus bersama-sama dalam satu putusan.

(m) Pengesahan nikah dapat pula digabungkan dengan gugatan warisan.

(n) Pengadilan Agama hanya dapat mengabulkan permohonan isbat nikah, sepanjang perkawinan yang telah dilangsungkan memenuhi syarat dan rukun nikah

(60)

melanggar larangan perkawinan yang diatur dalam pasal 8 – pasal 10 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 jo. Pasal 39-pasal 44 Kompilasi Hukum Islam.

(o) Untuk keseragaman amar pengesahan nikah berbunyi

sebagai berikut: “menetapkan sahnya perkawinan antara

... dengan ... yang

dilksanakan pada tanggal ... di ...”.

D. Poligami

Artinya; “dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap

(hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”.

(61)

ingin mengawini anak-anak yatim yang kaya lagi cantik, dan berada dalam pemeliharaanya, tetapi tidak ingin memberikan mas kawin yang sesuai serta tidak memperlakukanya secara adil. Ayat ini melarang hal tersebut, dengan satu kalimat susunan yang sangat tegas. Penyebutan dua, tiga atau empat pada hakekatnya adalah dalam rangka tuntutan berlaku adil kepada mereka. Redaksi ayat ini mirip dengan ucapan seorang yang melarang orang lain memakan makanan tertentu, dan

untuk menguatkan larangan itu dikatakanya, “ Jika anda khawatir akan

sakit bila makan makanan ini, maka habiskan saja makanan selainnya

yang ada dihadapan anda selama anda tidak khawatir sakit”. Tentu

saja perintah menghabiskan makanan yang lain menekankan larangan memakan makanan tertentu itu.

Perlu juga digaris bawahi bahwa ayat ini, tidak membuat satu peraturan tentang poligami, karena poligami telah dikenal dan telah dilaksanakan oleh syariat agama dan adat istiadat sebelum ini. Ayat ini juga tidak mewajibkan poligami atau menganjurkanya, dia hanya berbicara tentang bolehnya poligami, dan itupun merupakan pintu darurat kecil, yang hanya dilalui saat amat diperlukan dan dengan syarat yang tidak ringan (Shihab, 1999:200).

(62)

Artinya:“dan kamu sekali-kali tidak akan dapat Berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. dan jika kamu Mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.

Kedua ayat tersebut diatas menunjukan bahwa asas perkawinan dalam Islam adalah monogami. Kebolehan poligami, apabila syarat-syarat yang dapat menjamin keadilan suami kepada isteri-isteri terpenuhi. Dan syarat keadilan ini, menurut isyarat ayat 129 di atas, terutama dalam hal membagi cinta yang sulit dilakukan. Namun demikian, hukum Islam tidak menutup rapat-rapat pintu kemungkinan untuk berpoligami, sepanjang persyaratan keadilan di antara isteri dapat dipenuhi dengan baik(Rofiq,1998:170).

(63)

ada dalam KUHPerdata hanya saja ketentuan dalam KUHPerdata merupakan ketentuan yang mutlak. Tidak seperti yang terdapat dalam Undang-undang perkawinan, yang mana poligami diperbolehkan dengan alasan dan syarat tertentu, pasal 3 undang-undang perkawinan menentukan:

1) Pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami.

2) Pengadilan dapat memberi ijin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.

Selanjutnya pasal 4 Undang-undang perkawinan menentukan:

1) Dalam hal seorang suami akan beristeri lebih dari seorang, sebagaimana tersebut dalam pasal 3 ayat (2) Undang-undang ini, maka ia wajib mengajukan permohonan kepada Pengadilan di daerah tempat tinggalnya.

2) Pengadilan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini hanya memberikan ijin kepada seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang apabila:

a. Isteri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai isteri;

(64)

Pasal 5 Undang-undang perkawinan memuat aturan bahwa:

1) Untuk dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (1) Undang-undang ini harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

a. Adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri;

b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka;

c. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka.

Persejutuan dalam ayat (1) huruf a pasal ini tidak diperlukan bagi seorang suami apabila isteri/isteri-isterinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila tidak ada kabar dari isterinya selama sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun, atau karena sebab-sebab lainya yang perlu mendapat penilaian dari Hakim Pengadilan.

Membaca ketentuan tersebut, maka dapat diambil kesimpulan bahwa jika dalam keadaan tertentu seperti isteri mandul, cacat atau sakit yang tidak dapat disembuhkan dan tidak mampu melaksanakan kewajibanya sebagai isteri, maka suami dapat meminta ijin kepada isteri untuk menikah lagi (Poligami).

E. Kode Etik Hakim

(65)

NOMOR : 047/KMA/SKB/IV/2009 dan NOMOR : 02/SKB/P.KY/IV/2009 TENTANG KODE ETIK DAN PEDOMAN PERILAKU HAKIM

Prinsip-prinsip dasar Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim diimplementasikan dalam 10 (sepuluh) aturan perilaku sebagai berikut :

1. Berperilaku Adil

Adil bermakna menempatkan sesuatu pada tempatnya dan memberikan yang menjadi haknya, yang didasarkan pada suatu prinsip bahwa semua orang sama kedudukannya di depan hukum. Dengan demikian, tuntutan yang paling mendasar dari keadilan adalah memberikan perlakuan dan memberi kesempatan yang sama (equality and fairness) terhadap setiap orang. Oleh karenanya, seseorang yang melaksanakan tugas atau profesi di bidang peradilan yang memikul tanggung jawab menegakkan hukum yang adil dan benar harus selalu berlaku adil dengan tidak membeda-bedakan orang.

Penerapan : a. Umum

1) Hakim wajib melaksanakan tugas-tugas hukumnya dengan menghormati asas praduga tak bersalah, tanpa mengharapkan imbalan.

(66)

3) Hakim wajib menghindari hal-hal yang dapat mengakibatkan pencabutan haknya untuk mengadili perkara yang bersangkutan.

4) Hakim dilarang memberikan kesan bahwa salah satu pihak yang tengah berperkara atau kuasanya termasuk penuntut dan saksi berada dalam posisi yang istimewa untuk mempengaruhi hakim yang bersangkutan.

5) Hakim dalam menjalankan tugas yudisialnya dilarang menunjukkan rasa suka atau tidak suka, keberpihakan, prasangka, atau pelecehan terhadap suatu ras, jenis kelamin, agama, asal kebangsaan, perbedaan kemampuan fisik atau mental, usia atau status sosial ekonomi maupun atas dasar kedekatan hubungan dengan pencari keadilan atau pihak-pihak yang terlibat dalam proses peradilan baik melalui perkataan maupun tindakan.

6) Hakim dalam suatu proses persidangan wajib meminta kepada semua pihak yang terlibat proses persidangan untuk menerapkan standar perilaku sebagaimana dimaksud dalam butir (5).

(67)

menerapkan standar perilaku yang sama bagi advocat, penuntut, pegawai pengadilan atau pihak lain yang tunduk pada arahan dan pengawasan hakim yang bersangkutan. 8) Hakim harus memberikan keadilan kepada semua pihak dan

tidak beritikad semata-mata untuk menghukum.

9) Hakim dilarang menyuruh/mengizinkan pegawai pengadilan atau pihak-pihak lain untuk mempengaruhi, mengarahkan, atau mengontrol jalannya sidang, sehingga menimbulkan perbedaan perlakuan terhadap para pihak yang terkait dengan perkara.

b. Mendengar Kedua Belah Pihak.

1. Hakim harus memberikan kesempatan yang sama kepada setiap orang khususnya pencari keadilan atau kuasanya yang mempunyai kepentingan dalam suatu proses hukum di Pengadilan.

(68)

2. Berperilaku Jujur

Kejujuran bermakna dapat dan berani menyatakan bahwa yang benar adalah benar dan yang salah adalah salah. Kejujuran mendorong terbentuknya pribadi yang kuat dan membangkitkan kesadaran akan hakekat yang hak dan yang batil. Dengan demikian, akan terwujud sikap pribadi yang tidak berpihak terhadap setiap orang baik dalam persidangan maupun diluar persidangan.

Penerapan : a. Umum

1) Hakim harus berperilaku jujur (fair) dan menghindari perbuatan yang tercela atau yang dapat menimbulkan kesan tercela.

2) Hakim harus memastikan bahwa sikap, tingkah laku dan tindakannya, baik di dalam maupun di luar pengadilan, selalu menjaga dan meningkatkan kepercayaan masyarakat, penegak hukum lain serta para pihak berperkara, sehingga tercermin sikap ketidakberpihakan Hakim dan lembaga peradilan (impartiality).

b. Pemberian Hadiah dan Sejenisnya

(69)

hadiah, hibah, warisan, pemberian, penghargaan dan pinjaman atau fasilitas dari:

a) Advokat; b) Penuntut;

c) Orang yang sedang diadili;

d) Pihak lain yang kemungkinkan kuat akan diadili;

e) Pihak yang memiliki kepentingan baik langsung maupun tidak langsung terhadap suatu perkara yang sedang diadili atau kemungkinan kuat akan diadili oleh Hakim yang bersangkutan yang secara wajar (reasonable) patut dianggap bertujuan atau mengandung maksud untuk mempengaruhi Hakim dalam menjalankan tugas peradilannya.

Referensi

Dokumen terkait

Syukur Alhamdulillah penulis haturkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan Rahmat dan Hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan proposal penelitian dengan judul

Tässä kohtaa viitataan ensimmäisen kerran Lumikin lapsuudessa tapahtuneeseen tapaturmaan, jossa hänen siskonsa kuoli. Lumikki ei kuitenkaan tiedä siskosta mitään, ei edes

Jika keyakinan individu keliru terhadap risiko yang akan dihadapinya, maka akan terbentuk unrealistic optimism ( optimisme yang tidak realistik) terhadap sesuatu

Penelitian terdahulu dilakukan oleh Intiyas (2007) dengan judul ³SHQJDUXK locus of conrol, komitmen profesi dan pengalaman auditor terhadap perilaku auditor dalam

Selain itu juga didukung dengan hasil uji Wilxocon antara data post test 1 dan post test 2 yang menunjukkan p value = 0.000, dimana p < 0.05 yang berarti ada

Hasil penelitian ini membuktikan bahwa ternyata pepermin lebih banyak menurunkan kejadian mual muntah pada subjek penelitian dibanding dengan ondansetron yang dinilai dari

Hasil penelitian mengemukakan bahwa latihan ladder drill two feet each square dan zig-zag run berbeda signifikan, latihan ladder drill two feet each square lebih

menunjukkan aktivitas insektisida bagus, hampir semua turunan yang diuji memiliki efektifitas inhibitor asetilklorinesterase lebih rendah daripada karbofuran, tetapi masih