• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisi Sifat Kimia Asap Kebakaran Vegetasi Di Atas Lahan Gambut Skala Laboratorium

Tabel 1 Konsentrasi parameter sifat kimia (ppm)

Tabel 2 Konsentrasi parameter sifat kimia (mg/m³)

Tren nilai sifat kimia untuk parameter CO, NO2, H2S, CO2 dan CH4 dari penelitian ini adalah nilai dari parameter yang didapat mengalami penurunan pada pengukuran keempat. Kenaikan nilai dari sifat kimia terjadi pada pengukuran kedua dan ketiga. Hal ini disebabkan karena pada awal pengukuran vegetasi yang dibakar menghasilkan asap yang sedikit karena bara api masih dalam proses menyala, sehingga sifat kimia terukur pada detik-detik awal masih berada pada nilai yang rendah sehingga menghasilkan rata-rata yang lebih rendah daripada pengukuran kedua dan ketiga. Titik api pada pengukuran pertama dan keempat tidak sebanyak pada pengukuran kedua dan ketiga. Hal ini menjadi penyebab sedikitnya asap yang dihasilkan. Kabut asap yang menyelimuti kawasan Propinsi Sumatera Utara dan Propinsi Riau telah mengakibatkan visibility menjadi rendah. Perkembangan Hot Spot menunjukan jumlah yang mengalami penurunan, dan bila dikaitkan dengan kondisi visibility yang dicatat di Bandara Polonia Medan diperoleh kesesuaian data (Bahri 2020). Hal ini menunjukan bahwa banyaknya kabut asap yang dihasilkan dari kebakaran hutan dipengaruhi oleh titik nyala api yang membakar hutan.

Banyaknya bahan bakar yang digunakan dalam proses pembakaran menentukan lamanya suatu bahan bakar habis terbakar selain faktor angin yang Parameter Pengukuran 1 Pengukuran 2 Pengukuran 3 Pengukuran 4 Rata-Rata CO 413 587 536 415 488 SO2 0 0 0 0 0 O2 222,740 192,073 209,000 192,080 203,973 NO2 6 8 6 4 6 NO 2 6 1 3 3 H2S 13 21 17 13 16 CO2 0 12,780 12,997 0 6,444 CH4 1,059 2,017 2,149 1,100 1,581 Parameter Pengukuran 1 Pengukuran 2 Pengukuran 3 Pengukuran 4 Rata-Rata CO 473 673 603 475 556 SO2 1 0 0 0 0 O2 291,521 251,384 273,538 251,393 266,959 NO2 11 14 13 7 11 NO 2 7 1 4 4 H2S 19 29 24 17 22 CO2 0 22,999 22,999 0 11,500 CH4 693 1,320 1,415 708 4,034

18

juga menentukan kecepatan pembakaran (Taksirawati 2000). Pada pengukuran keempat terjadi penurunan karena asap yang dihasilkan cenderung berkurang. Berkurangnya asap yang dihasilkan karena penggunaan kipas angin sebagai alat bantu untuk nyala bara api tidak digunakan. Penghentian penggunaan kipas angin disebabkan oleh bara api yang sudah stabil membakar vegetasi. Kestabilan bara api disebabkan karena adanya bekas vegetasi yang sudah terbakar pada bagian bawah tungku yang digunakan.

Karbon monoksida (CO) terbentuk akibat pembakaran yang tidak sempurna dari bahan bakar yang lembab (basah) pada kebakaran hutan, selain itu bahan bakar utama kebakaran hutan yang berasal dari kayu, serasah, dan bagian tumbuhan lainnya yang terdiri dari unsur kimiawi karbon menghasilkan produksi karbon monoksida (Anugrah 2008). Hal ini menjadi penyebab kenaikan nilai CO pada pengukuran kedua dan ketiga untuk sifat kimia namun untuk nilai TSP mengalami penurunan pada pengukuran kedua dan ketiga.

Pelepasan CO ke atmosfer sebagai akibat aktivitas manusia, seperti transportasi, pembakaran minyak, gas, kayu, proses industri, pembuangan limbah padat termasuk kebakaran hutan. Reaksi antara karbon dioksida dan komponen yang mengandung karbon pada suhu tinggi menghasilkan karbon monoksida dengan reaksi sebagai berikut: 2CO CO2 + C . Pada kondisi jumlah oksigen cukup untuk melakukan pembakaran lengkap terhadap karbon dapat juga terbentuk CO. Keadaan ini disebabkan karena pada suhu tinggi CO2 akan terdisosiasi menjadi CO dan O. Karbon dioksida dan CO terdapat pada keadaan ekuilibrium pada suhu tinggi dengan reaksi sebagai berikut: CO + OCO2. Rata-rata konsentrasi CO pada penelitian ini adalah 556,000µg/Nm3, mengacu pada PP 41 tahun 1999, baku mutu CO untuk udara ambien adalah 10,000 µg/Nm3. Konsentrasi dari pembakaran ini jauh melebihi baku mutu. Hal ini tentu terjadi karena pengukuran dilakukan tepat pada sumber emisi. Kandungan CO dan CO2

mendominasi sifat kimia dari asap kebakaran lahan gambut yang diteliti.

Rata-rata konsentrasi CO, CO2 dan CH4 pada penelitian ini adalah 488 ppm, 6,444 ppm dan 1,581 ppm, dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan oleh Gunawan et al. (2012), ketiga nilai ini lebih besar. Hasil penelitian oleh Gunawan et al. (2012) untuk konsentrasi CO, CO2 dan CH4 adalah 14.74 ppm, 97.07 dan 9 ppm. Hal ini disebabkan oleh alat yang digunakan dalam penelitian Gunawan et al. (2012) berupa sistem sensor yang membaca konsentrasi gas dari partikel yang dihasilkan. Tempat pembakaran dibuat berupa ruang simulator pembakaran berdiameter 120 cm x 50 cm x 40 cm dengan berat sampah lahan gabut yang dibakar adalah 1.5 kg. Pada penelitian ini alat yang digunakan adalah alat pengukur emisi yaitu potable flue gas analyser untuk mengukur emisi dari suatu kegiatan dan tidak dapat membaca kandungan gas pada udara ambien. Tempat penelitian juga menjadi penyebab terjadi perbedaan konsentrasi. Pada penelitian ini tempat yang digunakan berupa tunel dimana asap yang dihasikan tidak berkumpul pada satu titik tetapi masih dipengaruhi oleh udara sekitar. Namun dari kedua penelitian ini dapat ditarik kesimpulan yang sama yaitu pembakaran vegetasi lahan gambut menyumbang dampak polusi bagi wilayah yang terkena dampak.

Peningkatan konsentrasi CO dan CH4 di udara memiliki korelasi yang tinggi secara linear dengan peningkatan konsentrasi CO2 di udara (Hamada et al. 2013).

19

Penelitian yang dilakuan oleh Nurhayati et al. (2010) menghasilkan konsentrasi CO, CO2 dan CH4 adalah 2,176 ppm, 10,678 ppm dan 306 ppm, dibandingkan dengan penelitian ini hasil dari Nurayati memiliki konsentrasi CO dan CO2 yang lebih besar namun untuk konsentrasi CH4 lebih kecil. Perbedaan ini disebabkan karena metodologi dari penelitian yang berbeda. Pada penelitian Nurhayati et al. (2010) menggunakan plot pembakaran berukuran 20 m x 20 m dengan bahan yang dibakar berupa semak dan pohon serta gambut yang digunakan adalah jenis hemik yaitu sama dengan jenis gambut pada penelitian ini, sedangkan pada penelitian analisis asap kebakaran vegetasi lahan gambut dengan plot penanaman vegetasi yang dibakar seluas 1 m x 1 m. Perbedaan yang terjadi, selain disebabkan oleh luas dan jenis bahan yang dibakar serta lokasi pembakaran, faktor alat yang digunakan dalam pengukuran juga menjadi penyebabnya. Penelitian Nurhayati et al. (2010) melakukan pengukuran skala laboratorium dengan mengambil contoh asap menggunakan rotor penghisap yang dihubungkan dengan pipa baja kecil dan plastik sebagai tempat contoh asap lalu dibawa ke laboratorium untuk dianalisis. Penelitian ini menggunakan alat pengukur emisi yaitu portable flue gas anlayser, dimana pengukuran dilakukan saat kebakaran terjadi. Pada kedua penelitian ini kandungan CH4 lebih kecil dibandingkan CO dan CO2. Hal ini disebabkan karena gas methana banyak dihasilkan salah satunya oleh aktivitas metabolisme bakteri metanogenik dalam kondisi anaerob (Nurhayati et al. 2010). Metanogenik hanya dapat menggunakan unsur-unsur tertentu dalam pertumbuhannya untuk menghasilkan methana. Senyawa tersebut adalah karbon dioksida, asetat, format, methanol dan metil amina (Cicerona & Oremland 1998; Levine 1999 dalam Nurhayati et al. 2010).

Pembentukan NO dan NO2 merupakan reaksi antara nitrogen dan oksigen di udara sehingga membentuk NO, yang bereaksi lebih lanjut dengan lebih banyak oksigen membentuk NO2. Sektor transportasi menyumbang pencemar NOx sebesar 69% di perkotaan diikuti industri dan rumah tangga (Soedomo, 1992). Gas NO2

sangat berbahaya bagi kesehatan manusia karena dapat menyebabkan gangguan pernapasan (penurunan kapasitas difusi paru-paru), juga dapat merusak tanaman. Selain itu juga mengurangi jarak pandang dan resistansi di udara (Peavy, 1986). Rata-rata konsentrasi NO dan NO2 pada penelitian ini berturut-turut adalah 3,500 µg/Nm3 dan 11,000 µg/Nm3. Konsentrasi ini juga melebihi baku mutu udara ambien yaitu 400 µg/Nm3 (PP 41 tahun 1999). Secara umum gas NO merupakan gas yang paling banyak ditemukan dalam reaksi pembakaran untuk pengukuran konsentrasi N2O dan SO2 (Hamada et al. 2013). Hasil pengukuran sifat kimia asap kebakaran vegetasi di atas lahan gambut yang dilakukan selama 5 menit pembakaran dengan nilai konsentrasi yang telah disebutkan di atas, kedua gas ini termasuk sifat kimia penting dari asap kebakaran vegetasi lahan gambut.

Gas SO2 merupakan gas polutan yang banyak dihasilkan dari pembakaran bahan bakar fosil yang mengandung unsur belerang seperti minyak, gas, dan batubara. Dalam bentuk gas, SO2 dapat menyebabkan iritasi pada paru-paru yang menyebabkan timbulnya kesulitan bernafas, terutama pada kelompok orang yang sensitive seperti orang berpenyakit asma, anak-anak dan lansia (EPA, 2007). Konsentrasi SO2 pada pengukuran asap kebakaran vegetasi di atas lahan gambut ini memiliki nilai rata-rata 0 mg/Nm3. Pada proses pembakaran dalam penelitian ini tidak terdapat sumber belerang yang dapat menghasilkan gas SO2. Hal ini menyebabkan rata-rata nilai SO2 terukur sangat kecil yaitu 0 mg/Nm3. SO2 tidak

20

termasuk karakteristik sifat kimia dalam asap kebakaran lahan gambut. Namun nilai SO2 dapat menjadi tinggi jika dalam pembakaran lahan gambut vegetasi yang dibakar mengandung sulfur.

Gas H2S terbentuk akibat adanya penguraian zat-zat organik oleh bakteri. Bila terbakar menghasilkan asam belerang (SO2) yang kurang berbahaya dari H2S. Konsentrasi gas H2S yang terukur dari penelitian ini berasal dari sumber H2S yang ada disekitar lokasi penelitian. Berdasarkan pengukuran yang dilakukan pada tiga tempat yaitu bagian kiri tunel dimana terdapat tong sampah, bagian got di depan tunel dan di dalam tunel, terukur konsentrasi H2S berturut-turut sebesar 1.6 ppm, 1.8 ppm dan 1.7 ppm. Hal ini dapat menjadi penyebab timbulnya gas H2S dalam proses pembakaran. Pada konsentrasi rendah H2S memiliki bau khusus seperti telur busuk. Pada konsentrasi tinggi, akan lebih berbahaya karena tidak berbau. Dengan sifat racunnya ambang batas H2S ditetapkan oleh occupational exposure standar (OES) sebesar10 ppm. Nilai rata-rata konsentrasi H2S terukur pada penelitian ini adalah 16 ppm.

Tabel 3 Perbandingan nilai sifat kimia dengan baku mutu udara ambien (PP 41 tahun 1999) Parameter Konsentrasi (μg/m3) Baku Mutu PP 41 tahun 1999 (ug/Nm3) Keterangan

CO 556,000 30.000 Melebihi baku mutu

SO2 0 900 Tidak melebihi baku

mutu

NO2 11,000 400 Melebihi baku mutu

Parameter sifat kimia yang terukur jika dibandingkan dengan PP 41 tahun 1999 tentang pengendalian pencemaran udara yaitu parameter CO dan NO2

melebihi baku mutu udara ambien. Hal ini menunjukan bahwa kandungan zat kimia dari asap kebakaran vegetasi di atas lahan gambut berbahaya bagi udara ambien. Selain itu kandungan zat kimia yang tinggi juga dapat menyebabkan timbulnya penyakit pernafasan.

21

Dokumen terkait