• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Sifat Fisik Dan Kimia Asap Kebakaran Vegetasi Di Atas Lahan Gambut Skala Laboratorium

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Sifat Fisik Dan Kimia Asap Kebakaran Vegetasi Di Atas Lahan Gambut Skala Laboratorium"

Copied!
41
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS SIFAT FISIK DAN KIMIA ASAP KEBAKARAN

VEGETASI DI ATAS LAHAN GAMBUT SKALA

LABORATORIUM

WULAN MUHARANI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Analisis Sifat Fisik dan Kimia Asap Kebakaran Vegetasi Di Atas Lahan Gambut Skala Laboratorium adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)

RINGKASAN

WULAN MUHARANI. Analisis Sifat Fisik dan Kimia Asap Kebakaran Vegetasi Di Atas Lahan Gambut Skala Laboratorium. Dibimbing oleh ARIEF SABDO YUWONO dan YUDI CHADIRIN.

Asap kebakaran lahan gambut merupakan penyumbang sumber emisi udara.. Asap kebakaran lahan gambut menghasilkan partikel dan gas yang menyebabkan dampak yang luar biasa untuk kesehatan manusia, jarak pandang, ekonomi dan iklim global . Tujuan penelitian ini adalah menganalisis sifat fisik dan kimia dari asap kebakaran vegetasi di atas lahan gambut skala laboratorium dengan parameter sifat fisik yaitu debu jatuh, TSP dan distribusi (PM10 dan PM2.5)

dan parameter sifat kimia yaitu CO, NO, NO2, CO2, SO2, H2S dan CH4.

Penelitian ini dilakukan pada bulan Oktober 2015 sampai April 2016. Penelitian dilakukan terhadap contoh uji tanah gambut yang berasal dari Provinsi Lampung. Pengukuran parameter sifat fisik dan kimia diawali dengan menanam vegetasi di atas tanah gambut dengan luas 1 m x 1 m di Kecamatan Dramaga. Pengukuran parameter sifat fisik dan kimia dilakukan dengan pembakaran skala laboratorium yang dilakukan di dalam tunel di Kecamatan Dramaga. Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah portable flue gas analyser lancom 4, dustfall canister Model : AS-2011-1, filter whatmann 41 Ø 47mm, HVAS, filter staplex tipe TFAG41, oven memmert, desikator, neraca analitik OHAUS, tungku, kipas angin, cawan petri, dan mikroskop digital MD 3000 binokuler. Bahan yang digunakan adalah tanah gambut, karung, aquades, vegetasi Imperata cylindrica Raeusch dan lahan seluas 1m x 1m persegi. Persyaratan umum dalam melakukan pengukuran debu jatuh dan TSP mengikuti ketentuan dalam SNI 13-4703-1998 tentang Penentuan Kadar Debu di Udara dengan Penangkap Debu Jatuh dan SNI 19-7119.3-2005 tentang cara uji partikel tersuspensi total menggunakan peralatan high volume air sampler (HVAS) dengan metode gravimetri. Analisis ini juga dilakukan terhadap distribusi partikel debu yang diambil dengan kaca preparat selama pengukuran dan dilihat dengan mikroskop digital. Analisis sifat kimia dilakukan menggunakan portable flue gas analyser. Pengukuran dilakukan selama 5 menit untuk setiap pengukuran dan data dicatat setiap 10 detik.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan didapat hasil sifat fisik asap kebakaran vegetasi lahan gambut dari penelitian ini adalah debu jatuh dengan nilai rata-rata yaitu 846 ton/km2/bulan, TSP 4,205 μg/Nm3 dan distribusi debu jatuh di dominasi oleh partikel dengan ukuran >10µm. Sifat kimia asap kebakaran vegetasi lahan gambut dalam penelitian ini adalah CO, CO2, NO, NO2, SO2 , H2S

dan CH4. Secara berturut-turut konsentrasi gas-gas tersebut adalah

556,000µg/Nm3 , 11,499,500 µg/Nm3, 3,500 µg/Nm3 dan 11,000 µg/Nm3, 0 mg/Nm3, 16 ppm dan 1,581 ppm. Konsentrasi CO, SO2, dan NO2 memiliki

konsentrasi melebihi baku mutu jika dibandingkan dengan baku mutu udara ambien.

.

(5)

SUMMARY

WULAN MUHARANI. Analysis of physical and chemical properties of vegetation peat fire laboratory scale. Supervised by ARIEF SABDO YUWONO dan YUDI CHADIRIN

The smoke from peat fires is a contributor to air emission sources. Emission of smoke from peat fires cause tremendous impact on human health, visibility, economic and global climate. The purpose of this study was to obtain obtain the physical and chemical properties of peatland vegetation fire smoke by analyzing the parameters of the physical properties of the dust that fell, TSP and distribution (PM10 and PM2.5) and analyze the chemical properties of parameters, namely CO,

NO, NO2, CO2, SO2 , H2S and CH4.

This research was conducted in October 2015 and April 2016. The study was conducted on the test sample peat soil originating from Lampung Province. Measurement parameters of physical and chemical properties begins with planting weeds in peat soil land with an area of 1 m x 1 m in Bogor. Measurement parameters of physical and chemical properties is done with laboratory scale combustion conducted in tunnels in the District Dramaga, Bogor. The tools used in this study is a portable flue gas analyzer LANCOM 4, dustfall canister Model: AS-2011-1, filter whatmann 41 Ø 47mm, high volume air samplers, filter type STAPLEX TFAG41, Memmert oven, desiccator, OHAUS analytical balance, furnaces, fans , a petri dish, and digital MD 3000 binocular microscope. Materials used are peat, sacks for storing peat, distilled water, weed Imperata cylindrica Raeusch and an area of 1m x 1m square. The general requirements in measuring dust fall and TSP subject to the SNI 13-4703-1998 about the determination of levels of dust in the air with dust catcher Fall and SNI 19-7119.3-2005 about tersuspendi total particle test using high volume air sampler equipment (high volume air samplers) by gravimetric method. This analysis was also conducted on the distribution of dust falling taken with a glass slide for measurement and viewed with a digital microscope. The analysis was performed using the chemical nature of portable flue gas analyzer. Measurements were performed for 5 minutes for each measurement and the data is recorded every 10 seconds.

Based on the research results obtained physical properties of fire smoke vegetation peat of this study was dust falling to an average value that is 846 tons/ km2/month, TSP 4,205 mg/Nm3 and distribution of dust fell dominated by particles with sizes > 10μm , The chemical nature of peatland vegetation fire smoke in this study are CO, CO2, NO, NO2, SO2, H2S and CH4. Successive gas

concentrations are 556,000μg/Nm3, 11.4995 million mg/Nm3, 3,500 μg/Nm3 and 11,000 mg/Nm3, 0 mg/Nm3, 16 ppm and 1,581 ppm. The concentration of CO, SO2, dan NO2 has a concentration exceeded the standard quality when compared

with ambient air quality standards..

(6)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(7)

ANALISIS SIFAT FISIK DAN KIMIA ASAP KEBAKARAN

VEGETASI DI ATAS LAHAN GAMBUT SKALA

LABORATORIUM

WULAN MUHARANI

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Teknik Sipil dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)
(9)

Judul Tesis : Analisi Sifat Fisik dan Kimia Asap Kebakaran Vegetasi Di Atas

Laban Gambut Skala Laboratorium

Nama

NIM

: Wulan Muharani : F451140031

Disetujui oleh

Komisi Pembimbing

Dr Ir Arief Sabdo MSc

Ketua

Ketua Proram Studi

Teknik Sipil dan Lingkungan

Dr Ir M Y anuar J Purwanto, MS

Tanggal Ujian:

21 September 2016

Diketahui oleh

Dr Yudi STP

Anggota

Dekan Sekolah Pascasjana

Tanggal Lulus:

(10)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Oktober 2015 ini ialah kebakaran vegetasi di atas lahan gambut, dengan judul Analisis Sifat Fisik dan Kimia Asap Kebakaran Vegetasi Di Atas Lahan Gambut Skala Laboratorium.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Arief Sabdo Yuwono M.Sc dan Bapak Dr. Yudi Chadirin STP ., M.Agr selaku pembimbing yang telah memberikan saran dan masukan terhadap penelitian dan penyusunan karya ilmiah ini. Terima kasih juga diucapkan kepada orang-orang yang telah membantu penelitian ini yaitu suami Erfandi Rahman dan kedua orang tua Bapak Ir. Amdani dan Ibu Dewi yang telah mendukung baik secara materil maupun tenaga sehingga penelitian ini dapat diselesaikan. Kepada Adam Rifai Rahman sebagai sumber semangat untuk melewati setiap proses kehidupan.

Karya ilmiah ini jauh dari sempurna, tetapi diharapkan karya ilmiah ini tetap bermanfaat bagi akademisi khususnya dan bagi pembaca umumnya.

Bogor, September 2016

(11)

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI VIII

DAFTAR GAMBAR X

DAFTAR TABEL X

DAFTAR LAMPIRAN X

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 1

Tujuan Penelitian 2

Manfaat Penelitian 2

Ruang Lingkup Penelitian 2

2 TINJAUAN PUSTAKA 3

Lahan Gambut 3

Kebakaran Lahan Gambut 3

Kandungan Asap Kebakaran Lahan Gambut 5

3 METODE 8

Kerangka Penelitian 8

Analisi Sifat Fisik Kimia Tanah Gambut 9

Teknik Pengukuran Analisis Sifat Fisik 9

Teknik Pengukuran Analisis Sifat Kimia 11

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 12

Analisis Sifat Fisik dan Kimia Tanah Gambut 12 Analisis Sifat Fisik Asap Kebakaran Vegetasi Di Atas Lahan

Gambut Skala Laboratorium 12

Analisi Sifat Kimia Asap Kebakaran Vegetasi Di Atas Lahan

Gambut Skala Laboratorium 17

V KESIMPULAN DAN SARAN 21

Kesimpulan 21

Saran 21

DAFTAR PUSTAKA 22

(12)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Skema umum gambaran penelitian analisis sifat fisik dan 8 Gambar 2 Skema Pembakaran Lahan Gambut Skala Laboraotorium 9

Gambar 3 Skema pengukuran debu jatuh 10

Gambar 4 Skema pengukuran TSP 11

Gambar 5 Grafik konsentrasi debu jatuh 13

Gambar 6 Konsentrasi TSP 14

Gambar 7 Partikel Debu dilihat dari mikroskop digital 15

Gambar 8 Grafik variasi ukuran partikel debu 16

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Konsentrasi parameter sifat kimia (ppm) 17 Tabel 2 Konsentrasi parameter sifat kimia (mg/m³) 17 Tabel 3 Perbandingan nilai sifat kimia dengan baku mutu udara ambien 20

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Hasil analisis tanah gambut 27

Lampiran 2 Gambar teknik skema pembakaran vegetasi lahan gambut

(13)

1

1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kebakaran lahan gambut merupakan sumber emisi rumah kaca di atmosfer (Andrea & Merlet 2001). Dari berbagai negara di Asia, Indonesia merupakan negara yang paling sering mengalami kebakaran lahan gambut dan deforestasi (Usup et al. 2004). Kebakaran vegetasi dan lahan gambut di Indonesia merupakan faktor penting bagi polusi udara lintas batas di kawasan Asia Tenggara (Heil et al. 2005). Kebakaran hutan akibat pembukaan lahan di Sumatra diperkirakan akan terus berlanjut seiring dengan berlangsungnya pembukaan perkebunan baru (Anderson & Bowen 2000). Hal ini terjadi pada kebakaran hutan dan lahan gambut tahun 2013 di Riau dimana kabut asap dari kebakaran hutan dan lahan gambut sampai mengganggu aktivitas masyarakat di Negara Malaysia dan Singapura. Kebakaran hutan dan lahan gambut juga terjadi pada tahun 2014 bulan Agustus-Oktober di Kalimantan dan Sumatra. Aktivitas penerbangan di sejumlah bandar udara di Sumatra mengalami gangguan akibat kabut asap kebakaran hutan dan lahan, sehingga merugikan sejumlah maskapai penerbangan.

Kebakaran lahan gambut meskipun dengan intensitas rendah dapat menghasilkan emisi partikulat yang besar, CO dan senyawa gas lainnya (Page et al. 2002). Hasil penelitian yang dilakukan Hayakasa et al. (2014) mencatat bahwa karakteristik pencemaran dari kabut asap kebakaran lahan gambut di Barat Palangkaraya tahun 2014 melalui fotokimia adalah PM10 (lebih dari 1000 x 10-6

gm-3). Kemudian penelitian yang dilakukan oleh Fuji et al. (2015) menyatakan bahwa adanya kandungan aerosol PM2.5 pada kandungan asap dari kebakaran

lahan gambut di Asia Tenggara. Oleh karena itu dalam penelitian ini dilakukan analisis mengenai sifat fisik dan kimia dari asap kebakaran vegetasi dari lahan gambut, berdasarkan dari penelitian tentang kebakaran lahan gambut yang sudah dilakukan.

Penelitian ini dilakukan dengan menganalisis sifat fisik dan kimia asap kebakaran dari vegetasi lahan gambut. Sifat fisik yang dianalisis adalah debu jatuh, TSP dan distribusi partikel debu (PM10 dan PM2.5). Sifat kimia yang

dianalisis adalah CO, NO, NO2, CO2, SO2, H2S dan CH4. Hasil penelitian ini

dapat memberi informasi mengenai pencemaran udara yang ditimbulkan akibat kebakaran vegetasi di atas lahan gambut serta memberi pengetahuan mengenai penyebab terjadinya penurunan jarak pandang akibat kebakaran lahan melalui analisis sifat fisik dan kimia dari asap yang ditimbulkan.

1.2 Perumusan Masalah

Kandungan asap kebakaran vegetasi lahan gambut menyebabkan menurunnya kualitas udara, berpengaruh negatif terhadap kesehatan dan penurunan jarak pandang yang berpengaruh pada sistem transportasi udara. Oleh karena itu dalam penelitian ini permasalahan yang akan dibahas adalah:

(14)

2

2. Sifat kimia asap kebakaran lahan gambut yang terdiri dari CO, NO, NO2,

CO2, SO2, H2S dan CH4 serta konsentrasi dari setiap parameter

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Menganalisis sifat fisik asap kebakaran lahan gambut dengan parameter debu jatuh, TSP dan distribusi partikel debu.

2. Menganalisis sifat fisik kimia asap kebakaran lahan gambut dengan parameter CO,CO2, NO, NO2, SO2 ,H2S dan CH4.

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat hasil penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Sebagai acuan untuk pengendalian pencemaran udara akibat dari kebakaran lahan gambut.

2. Sebagai dasar untuk menetapkan peraturan terhadap suatu kegiatan yang menimbulkan kabut asap.

3. Bahan pendukung untuk penelitian selanjutnya.

1.5 Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini adalah:

1. Penelitian ini mengambil contoh uji tanah gambut di Desa Kuala Sekampung, Kecamatan Seragi, Kabupaten Lampung Selatan, Provinsi Lampung.

(15)

3

2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Lahan Gambut

Gambut didefenisikan sebagai tanah yang mengandung setidaknya 30% (dengan massa kering) bahan organik (Joosten & Clarke 2002). Gambut ditandai dengan kehadiran dan akumulasi bahan tanaman membusuk atau materi organik (Ryder 2000). Berdasarkan ketebalannya, gambut dibagi menjadi empat tipe, yaitu : (1) gambut dangkal dengan ketebalan 0,5-1 m, (2) gambut sedang dengan ketebalan 1-2 m, (3) gambut dalam dengan ketebalan 2-3 m dan (4) gambut sangat dalam dengan ketebalan > 3 m. Berdasarkan kematangannya, gambut dibedakan menjadi tiga, yaitu : (1) fibrik, apabila bahan vegetatif aslinya masih dapat diidentifikasikan atau sedikit mengalami dekomposisi, (2) hemik, apabila tingkat dekomposisinya sedang dan (3) saprik, apabila tingkat dekomposisinya telah lanjut.

Lahan gambut tropis di Asia Tenggara merupakan reservoir karbon yang besar. Menurut estimasi terbaru, mencakup 24.8 juta hektar dan menyimpan 68,5 Pg of Carbon gambut yaitu sama dengan 11-14% dari karbon gambut secara global (Page et al. 2011; Couwenberg et al. 2010). Lahan gambut yang merupakan bagian penting dari biosfer bumi, yaitu sekitar 3% dari total luas lahan global (Weiss et al. 2002). Lahan gambut tropis memiliki total luas 8% dari wilayah lahan gambut global. Karena relatif besar, kedalaman lahan gambut tropis mungkin menyimpan 70 (gigaton ) Gt atau sampai dengan 20% dari jumlah kabon lahan gambut secara global (Melling et al. 2005). Hutan rawa gambut topis sangat penting tidak hanya untuk kekayaan beragam sumber biologi tetapi juga sebagai kolam karbon yang besar (Tawaraya et al. 2003).

2.2 Kebakaran Lahan Gambut

Menurut National Fire Protection Association (NFPA 2002) secara umum kebakaran didefinisikan sebagai suatu peristiwa oksidasi yang melibatkan tiga unsur yang harus ada, yaitu: bahan bakar yang mudah terbakar, oksigen yang ada dalam udara, dan sumber energi atau panas yang berakibat menimbulkan kerugian harta benda, cidera bahkan kematian. Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2001 tentang Pengendalian Kerusakan dan atau Pencemaran Lingkungan Hidup yang Berkaitan dengan Kebakaran Hutan dan atau Lahan, yang dimaksud dengan lahan adalah suatu hamparan ekosistem daratan yang peruntukannya untuk usaha dan atau kegiatan ladang dan atau kebun bagi masyarakat sedangkan hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan.

(16)

4

bisa disebabkan oleh kelalaian (Stolle & Lambin 2003). Faktor kebakaran dari lingkungan yang berinteraksi satu sama lain termasuk bahan bakar, topografi, cuaca dan api. Intensitas dan kecepatan penjalaran api tergantung pada jumlah dan susunan bahan bakar, kelembaban bahan bakar, kecepatan angin dan kemiringan (Flannigan & Wotton 2001; Rachmawati 2008).

Faktor biofisik dari kebakaran hutan adalah ketinggian. Ketinggian memiliki efek negatif terhadap kebakaran hutan. Semakin tinggi suatu daerah maka intensitas terjadinya kebakaran akan berkurang. Ketinggian mempengaruhi iklim dan suhu. Ketinggian juga berkorelasi dengan kepadatan penduduk, daerah yang tinggi cenderung kurang penduduknya dan karena itu aktivitas manusia pun kurang. Hujan juga memiliki pengaruh yang sama seperti ketinggian, intensitas hujan yang tinggi membuat hutan menjadi lembab (Hadi 2008). Peristiwa kebakaran pada umumnya sangat sulit dibuktikan karena selalu dimulai dengan adanya api kecil yang berawal dari kelalaian pengguna api rutin saat pembakaran lahan, peristiwa yang bersifat insidentil seperti pembakaran akibat tujuan kriminal, punting rokok, dan peristiwa alam. Sumber-sumber api utama lahan di masyarakat yang tertinggi adalah bersumber dari kegiatan petani ladang dan penangkap ikan (Akbar et al. 2011)

Perubahan iklim dapat menyebabkan intensitas kebakaran menjadi lebih sering terjadi terutama dalam kondisi kering di daserah tropis sehingga beban bahan bakar yang melimpah memperparah kebakaran (Westerling et al. 2006 ; IPCC 2007) memprediksi perubahan iklim akan menyebabkan kekeringan yang lebin parah dan akan terjadi dibanyak daerah, termasuk dengan potensi kebakaran hutan (Running 2006; Liu & Stanturf 2010).

Kebakaran hutan memainkan peran penting bagi kehidupan di sebuah area (Schmerbeck 2015). Kebakaran hutan merupakan sumber polusi udara yang penting di Asia. (Thanh et al. 2014) dan penyebab utama dari emisi aerosol yang terdiri dari karbon organik pekat, termasuk abu mineral (Pfister et al. 2008). Van der Werf et al. (2010) memperkirakan 23% dari emisi karbon berasal dari deforestasi hutan tropis, degradasi dan kebakaran di lahan gambut tropis.

Kebakaran vegetasi merupakan sumber besar dari polusi udara di beberapa negara tropis. Secara khusus, pembakaran biomassa di Asia Tenggara yang luas merupakan sumber penting gas rumah kaca dan aerosol (Chand et al. 2006; Hyer et al. 2013; Adrea & Metlet 2001). Deforestasi, degradasi, dan kebakaran gambut tropis menyumbang hampir setengah dari emisi kebakaran global (Van Der Werf et al. 2010). Membakar vegetasi untuk pengolahan lahan dapat mengubah suhu dari permukaan tanah, yang dapat menyebakan perubahan biogeokimia yang signifikan dan hidrologi tanah (Brown et al. 2015).

Meningkatnya tren degradasi dan deforestasi hutan rawa gambut tropis dapat berkontribusi besar terhadap perubahan iklim (Chand et al. 2005) Kebakaran vegetasi dan gambut yang terjadi di Indonesia merupakan faktor penting lalu lintas polusi udara di kawasan Asia Tenggara. Partikel yang dihasilkan oleh kebakaran merupakan polutan dominan yang melampaui batas ambang kualitas udara ambien pada skala regional (Heil and Goldmmer 2001). Saat ini sekitar 25% dari semua degradasi hutan dan deforestasi di Asia Tenggara terjadi pada lahan gambut (Hooijer et al. 2006).

(17)

5 atmosfer berskala besar, menghasilkan senyawa CO2, CO, dan CH4 (van der Werf

et al, 2004). Degradasi terus menerus pada hutan rawa gambut ropis di Asia Tenggara memiliki efek yang parah pada keanekaragaman hayati dan kualitas habitat bagi spesies di dalam hutan (Couwenberg et al. 2010; Watts et al. 2013).

2.3 Kandungan Asap Kebakaran Lahan Gambut

Asap kebakaran hutan dan lahan secara umum berisi gas CO, CO2, H2O,

jelaga, debu (partikel) ditambah dengan unsur-unsur yang telah ada di udara seperti NO2, O2, CO2, H2O, dan lain lain (Bahri 2002). Berdasarkan data

pengamatan tahun 1997, ketinggian puncak lapisan asap di pulau Sumatera saat terjadi kebakaran berkisar antara 7000 kaki hingga 9000 kaki dan di Kalimantan berkisar antara 5000 kaki hingga 6000 kaki. Pada saat observasi lapangan tanggal 15 s.d 17 Maret 2002, diketahui bahwa puncak lapisan asap di wilayah Sumatera Bagian Utara bervariasi antara 8000 kaki hingga 9000 kaki. Asap tersebut tidak segera naik ke angkasa karena gas asap tersebut lebih berat dari udara normal, sehingga lama-kelamaan asap tersebut terakumulasi dan menjadi pekat (BPPT 1997).

Masuknya zat pencemar ke dalam udara dapat berlangsung secara alamiah misalnya asap kebakaran hutan, akibat letusan gunung, debu meteroit, spora tanaman, pancaran garam dari air laut dan lain sebagainyaa. Juga sebagian disebabkan oleh kegiatan manusia, misalnya akibat transportasi, industri, pembuangan sampah, baik akibat proses dekomposisi maupun pembakaran serta kegiatan rumah tangga (Soedomo 2001). Asap yang pekat menyebabkan visibility (kekuatan jarak pandang) menjadi rendah, dan menghalangi radiasi matahari ke permukaan tanah, sehingga tidak terjadi proses konveksi. Temperatur di lokasi asap umumnya rendah yaitu sekitar 24 derajat Celcius (Sitorus 2002). Asap dari kebakaran hutan merupakan masalah bagi kesehatan manusia dan keselamatan bagi pengendara (Monroe et al. 2009).

Konsentrasi CO dan CH4 berbanding lurus dengan konsentrasi CO2.

Sedangkan hubungan antara N2O dan CO2 menunjukan infleksi. (Hamada et al.

2013). Beberapa hasil penelitian menyatakan bahwa emisi gas dari kebakaran tahun 1997-1998 di Asia Tenggara memiliki dampak yang besar pada konsentrasi atmosfer berskala besar, menghasilkan senyawa CO2, CO, CH4 dan PM10 (van

der Werf et al. 2004; Hamada et al. 2013; Hei et al. 2005). PM10 telah dikaitkan

dengan peningkatan morbiditas dan kematian diantara individu dengan kardiovaskular penyakit dan dapat memperburuk jantung kronis dan paru-paru penyakit (Hong et al. 1999; Joseph et al. 2003).

Jenis-jenis pencemaran udara jika dilihat dari ciri fisik dapat digolongkan menjadi pencemaran dalam bentuk partikulat, yaitu partikel-partikel padat yang terdispersi dalam fasa gas maupun cair seperti debu, aerosol dan timah hitam dan pencemar dalam bentuk gas seperti CO, NOx, SOx, H2S, serta Hidrokarbon

(Cooper & Alley 2002). Jenis-jenis pencemaran udara jika dilihat dari ciri fisik dapat digolongkan menjadi pencemaran dalam bentuk partikulat, yaitu partikel-partikel padat yang terdispersi dalam fasa gas maupun cair seperti debu, aerosol dan timah hitam dan pencemar dalam bentuk gas seperti CO, NOx, SOx, H2S, serta

(18)

6

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1999 terdapat empat parameter partikulat, yaitu: partikel materi <10 μm (PM10), partikel materi ukuran

< 2.5 μm (PM2.5), Total Suspended Particulate (TSP), dan debu jatuh (Dustfall).

Debu jatuh merupakan salah satu parameter kualitas udara yang dapat jatuh ke tanah akibat pengaruh gravitasi maupun curah hujan. Debu berukuran besar tersuspensi di atmosfer akibat beberapa faktor meteorologi seperti kekuatan angin atau pencucian alat-alat mekanik oleh hujan atau aglomerasi. Debu jatuh merujuk pada aerosol dengan diameter sama atau lebih besar dari PM10 dan memiliki

kemampuan untuk menetap setelah penghentian sementara di udara (Gorham 2002). Berdasarkan PP No. 41 tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara, baku mutu debu jatuh untuk daerah permukiman adalah 10 ton/km2/bulan dan untuk daerah industri adalah 20 ton/km2/bulan.

Adapun klasifikasi partikulat berdasarkan US EPA (The United States Envronmental Protection Agency) yaitu :

a. Total Partikulat Tersuspensi atau Total Suspended Particulate (TSP) : adalah patikulat yang memiliki diameter antara 0.1 μm hingga 30 μm

b. PM10: adalah partikulat berdiameter sama dengan atau kurang dari 10 μm yang dapat terkumpul menggunakan peralatan sampling dengan efisiensi 50%. PM10

diklasifikasikan polutan karena dapat terhirup (respirable).

c. PM2.5: adalah partikulat dengan diameter sama dengan atau kurang dari 2.5 μm yang terkumpul dengan peralatan sampling dengan efisiensi 50%. Partikulat PM2.5

bertahan di atmosfer selama beberapa jam hingga beberapa hari pada cuaca normal. PM2.5 dapat menyebabkan gangguan kesehatan terhadap sistem

pernapasan manusia.

Beberapa istilah bahan partikulat udara adalah sebagai berikut (Colbeck 1998; Saeni 1989):

1. Asap (smoke) yaitu aerosol yang dihasilkan dari proses pembakaran tidak sempurna, misalnya pembakaran bahan bakar minyak (oil smoke) dan tembakau (tobacco smoke). Aerosol ini dapat bertindak sebagai zat pencemar, karena mengandung gas CO yang dapat mengikat hemoglobin di dalam darah. Partikel-partikel asap dapat berupa bahan padat atau cair dan biasanya berdiameter kurang dari 1μm.

2. Uap air (mist) dan kabut (fog) merupakan aerosol cair yang dihasilkan dari proses atomisasi (pemecahan cairan) atau kondensasi. Kabut merupakan partikel yang berukuran antara 5 dan 40 μm, sedangkan partikel yang berukuran lebih dari 40 μm disebut uap air. Sebagai contoh adalah uap air yang mengandung sulfur dioksida SO2 (mist). Kadar aerosol yang tinggi dapat menyebabkan radang

paru-paru dan kepucatan pada daun-daun tanaman.

(19)

7 4. Uap (fume) adalah aerosol padat yang terbentuk dari proses kondensasi uap, sublimasi atau hasil pembakaran suatu gas. Pada umumnya ukuran partikel uap ini kurang dari 1μm dan banyak mengandung unsur logam alkali.

5. Kabut asap (smog/smoke fog) adalah aerosol yang merupakan produk-produk hasil reaksi fotokimia dengan uap air, yang berupa kabut tipis berwarna cokelat kemerahan. Aerosol ini merupakan campuran dari oksida-oksida nitrogen dan ozon dalam kadar yang cukup tinggi dan berukuran lebih kecil dari 1 μm atau 2 μm.

(20)

8

3

METODE

3.1 Kerangka Penelitian

Analisis yang dilakukan mencakup parameter sifat fisik yaitu debu jatuh, TSP dan distribusi partikel debu (PM10 dan PM2.5) dan sifat kimia yaitu CO, NO,

NO2, CO2, SO2, H2S dan CH4. Pengambilan sampel tanah gambut dilakukan di

Desa Kuala Sekampung, Kecamatan Seragi, Kabupaten Lampung Selatan, Provinsi Lampung pada bulan Oktober 2015. Lokasi ini terletak antara 5036’09” Lintang Selatan dan 105047’32” Bujur Timur. Pengukuran parameter dilakukan di Rumah Kebun, Gardu Dalam RT 02/01 No. 48 Margajaya, Bogor dan laboratorim Lingkungan IPB Bogor pada bulan April 2016. Penanaman vegetasi pada tanah gambut dilakukan dari bulan November 2015 hingga bulan Maret 2016. Vegetasi yang digunakan adalah Imperata cylindrica Raeusch. Vegetasi diambil dari Bogor lalu ditanam pada tanah gambut dengan luas tanaman 1 x 1 meter. Vegetasi yang tumbuh di atas tanah gambut dicabut lalu dikeringkan untuk selanjutnya dibakar. Skema penelitian secara umum ditunjukan pada Gambar 1.

Gambar 1 Skema umum gambaran penelitian analisis sifat fisik dan kimia asap kebakaran vegetasi di atas lahan gambut skala laboratorium

(21)

9

Pengukuran sifat fisik dan kimia dari masing-masing parameter pada penelitian ini dilakukan pada skala laboratorium di Kecamatan Dramaga di dalam sebuah tunel dengan ukuran panjang dan lebar yaitu 771 cm dan 74 cm serta tinggi 243 cm. Skema pembakaran dapat dilihat pada Gambar 2 (gambar teknik pada Lampiran 2). Pengukuran sifat fisik dilakukan selama satu jam untuk setiap pengulangan. Pengulangan dilakukan sebanyak empat kali. Pengukuran parameter sifat kimia dilakukan selama 5 menit untuk setiap pengulangan dan hasil pengukuran dicatat setiap 10 detik.

Gambar 2 Skema pembakaran lahan gambut skala baboratorium 3.2 Analisi Sifat Fisik Kimia Tanah Gambut

Contoh tanah dianalisis di Laboratorium Tanah, Biotrop, Bogor. Analisis kimia dan fisik tanah meliputi kadar abu (metode pembakaran 500oC), C-organik dengan metode oksidasi basah, N-total dengan metode Kjeldahl, pH H2O dengan

nisbah tanah : air = 1 : 1, kapasitas tukar kation dengan NH4OH pH 7,0 dan rasio

C/N. Analisisi sifat fisik dan kimia ini untuk mengetahui karakteristik tanah gambut yang digunakan dalam penelitian ini.

3.3 Teknik Pengukuran Analisis Sifat Fisik

Pengukuran konsentrasi debu jatuh dilakukan dengan menggunakan alat Dustfall Canister dan dilakukan selama proses simulasi kebakaran dilakukan. Skema pengukuran dapat dilihat pada Gambar 3. Persyaratan umum dalam melakukan pengukuran debu jatuh mengikuti ketentuan dalam SNI 13-4703-1998 tentang penetuan kadar debu di udara dengan penangkap debu jatuh. Konsentrasi debu jatuh dihitung menggunakan persamaan 1.

(22)

10

A : luas permukaan corong penangkap debu jatuh (m2)

Gambar 3 Skema pengukuran debu jatuh

Pengukuran konsentrasi TSP dilakukan dengan mengacu pada SNI 19-7119.3-2005 tentang cara uji partikel tersuspensi total menggunakan peralatan high volume air sampler (HVAS) dengan metode gravimetri. Skema pengukuran TSP dapat dilihat pada Gambar 4. Konsentrasi TSP dihitung dengan menggunakan persamaan 2 dan 3.

V = ... ( 2 ) Keterangan

V : volume udara yang diambil (m3)

Qs1 : laju alir awal terkonsentrasi pada pengukuran pertama (m3/menit) Qs2 : laju alir akhir terkonsentrasi pada pengukuran kedua (m3/menit) T : durasi pengambilan contoh uji (menit)

C = ... ( 3 ) Keterangan

(23)

11

Analisis distribusi partikel debu dilakukan dengan cara meletakan kaca preparat sejajar dengan posisi dustfall canister dan dibiarkan selama proses pembakaran berlangsung. Debu dibiarkan menempel secara pasif untuk mengambil pendekatan bahwa debu yang tertangkap merupakan debu jatuh. Kemudian kaca preparat beserta debu jatuh yang menempel tersebut dianalisis menggunakan mikroskop digital yang dilengkapi dengan kamera digital. Pemandangan dalam mikroskop diproyeksikan ke layar laptop, selanjutnya gambar proyeksi disimpan secara digital sebagai file gambar. Pengukuran dilakukan pada gambar yang sudah disimpan dengan menggunakan perangkat lunak Ms. power point untuk mendapatkan ukuran partikel debu yang tampak pada perangkat lunak Ms. power point , selanjutnya dihitung dengan membandingkan ukuran pada perangkat lunak Ms. power point dengan ukuran dalam satuan µm.

3.4 Teknik Pengukuran Analisis Sifat Kimia

(24)

12

4

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1Analisis Sifat Fisik dan Kimia Tanah Gambut

Hasil pengukuran sifat fisik dan kimia tanah gambut menunjukan bahwa tanah gambut yang diambil di provinsi Lampung ini memiliki pH asam yaitu 4.8. Kemasaman tanah gambut tropika umumnya tinggi (pH 3-5), disebabkan oleh buruknya kondisi hidrolisis asam-asam organik, yang didominasi oleh asam fulvat dan humat (Widjaja-Adhi, 1988; Rachim, 1995 dalam Dariah et al). Kandungan senyawa humat. Tanah gambut dengan KTK yang tinggi biasanya terbentuk dari pelapukan kayu (Dariah et al). Tanah-tanah dengan kandungan bahan organik atau kadar liat tinggi mempunyai KTK lebih tinggi daripada tanah-tanah dengan kandungan bahan organik rendah atau tanah-tanah berpasir (Hardjowogeno 2002). Hasil analisi sifat kimia tanah gambut KTK pada sampel tanah gambut penelitian ini menunjukan hasil yang rendah. Hal ini berhubungan dengan nilai organik dari smapel tanah gambut yang juga meminiliki nilai yang rendah. Pengukuran kadar abu pada tanah gambut menunjukan nilai yaitu 89.45%. Gambut yang tebal memiliki kadar abu yang rendah. Kadar abu yang tinggi disebabkan karena pemanfaatan tanah gambut pada lokasi pengambilan contoh tanah gambut banyak digunakan sebagai budidaya. Hasil analisis tanah gambut dapat dilihat pada Lampiran 1.

4.2 Analisis Sifat Fisik Asap Kebakaran Vegetasi Di Atas Lahan Gambut Skala Laboratorium

Pengambilan sampel debu jatuh diambil melalui tiga titik yang dipisahkan masing-masing dari sumber emisi yaitu 35 cm, 70 cm dan 100 cm. Pengukuran dilakukan sebanyak empat kali. Pengulangan pengukuran dilakukan untuk menegaskan hasil debu jatuh yang didapat dari hasil penelitian.

(25)

13

selama pengukuran pada pengulangan 4, api yang membakar vegetasi berjalan stabil sehingga tidak diperlukan bantuan kipas angin.

Pada PP 41 tahun 1999 untuk parameter debu jatuh yaitu 10 ton/km2/bulan untuk pemukiman dan 20 ton/km2/bulan untuk wilayah industri, sedangkan rata-rata konsentrasi debu jatuh dari penelitain ini adalah 846 ton/km2/bulan, maka hasil ini berada di atas baku mutu. Hal ini disebabkan pengukuran yang dilakukan tepat pada sumber emisi dan arah debu tepat pada alat pengukuran, sehingga konsentrasi debu jatuh yang didapat memiliki nilai yang tinggi. Debu jatuh menjadi karakteristik penting untuk sifat fisik asap kebakaran lahan gambut karena dampaknya yang penting.

Gambar 5 Grafik konsentrasi debu jatuh

Pengambilan sampling TSP dilakukan menggunakan HVAS pada tunel dengan pengulangan sebanyak empat kali dan dengan kondisi yang sama selama 1 jam. Jarak HVAS dengan sumber emisi yaitu 1 meter. Hal ini membuat hasil dari TSP sangat tinggi jika dibandingkan dengan PP 41 tahun 1999 yaitu 230 μg/Nm3 untuk waktu pengukuran 24 jam sedangkan pada pengukuran ini di dapat hasil TSP rata-rata yaitu 4205 μg/Nm3 untuk satu jam pengukuran, jika dikonversi untuk waktu pengukuran 24 jam maka hasil TSP yang didapat adalah 100,920 μg/Nm3

. Hasil pengukuran TSP disajikan pada Gambar 6. 0

(26)

14

Gambar 6 Konsentrasi TSP

Hasil TSP pada penelitian ini menunjukan nilai TSP tertinggi terdapat pada pengukuran 1 dan terendah pada pengukuran 2. Tinggi rendahnya nilai TSP disebabkan oleh banyaknya partikel yang dihasilkan oleh kebakaran vegetasi. Bahan bakar yang tidak terbakar dengan sempurna mengarah pada tingkat emisi yang rendah (Syaufina 2008 dalam Nurayati et al 2010). Pada penelitian ini berat vegetasi yang dibakar pada pengukuran pertama adalah 0.8 kg sedangkan pengukuran kedua hingga keempat berat vegetasi yang dibakar adalah 0.5 kg. Standar deviasi dari pengukuran konsentrasi TSP adalah 43. Nilai standar deviasi ini menunjukan bahwa keragaman nilai dari TSP yang dihasilkan sangat rendah. Namun dari perbedaan berat vegetasi yang dihasilkan, vegetasi paling banyak dibakar pada pengukuran pertama dan menghasilkan nilai TSP yang lebih besar maka dapat ditarik hasil analisis bahwa semakin banyak vegetasi yang dibakar maka semakin tinggi nilai TSP yang dihasilkan.

Hasil pengukuran jika digolongkan dalam ISPU nilai TSP ini masuk ke dalam golongan berbahaya. TSP adalah partikulat yang tidak terhirup oleh paru paru. Ukurannya lebih besar dibanding PM10 dan PM2.5 yaitu 0.1 μm hingga 30

μm. TSP yang melayang diudara dapat berpengaruh terhadap jarak pandang dan turunnya intensitas cahaya.

Sampling debu jatuh di ambil menggunakan kaca preparat lalu dilihat dengan mikroskop digital model MD 3000 binokuler yang dilengkapi dengan kamera digital dan dihitung jumlah dan ukurannya. Perhitungan ukuran debu menggunakan perbandingan ukuran debu yang tampak pada layar komputer menggunakan software Ms. powerpoint dengan ukuran debu yang dari mikroskop digital. Ukuran partikel 0.1-5 µm berdasarkan teori-teori baru ditetapkan sebagai emisi, tetapi ukuran di bawah dan di atas 0.1-5 µm belum dapat dipahami dengan baik (Mahowald N et al. 2014). Hasil perhitungan distribusi partikel debu dalam penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 8. Penelitian yang dilakukan oleh Chand et al. tahun 2005 menyimpulkan kebakaran gambut di Indonesia yang dianalisis dengan mikroskop elektron menunjukan sekitar 30% dari partikel debu lebih besar dari 0.1 μm, berbentuk seperti cangkang atau berlubang. Bentuk dari debu hasil

(27)

15

pembakaran pada penelitian ini (Gambar 7) sebagian besar berbentuk seperti remahan daun yang dibakar dan sebagian masih memiliki rongga.

Gambar 7 Partikel debu dilihat dari mikroskop digital

(28)

16

> 10 μm karena pengaruh angin. Penelitian yang dilakukan oleh Hayakasa et al. (2014) mencatat bahwa karakteristik pencemaran dari kabut asap kebakaran lahan gambut di Barat Palangkaraya tahun 2014 melalui fotokimia adalah PM10 (lebih

dari 1000 x 10-6 gm-3). Pada penelitian ini didapat partikel debu PM10 sebanyak 198 partikel dari 12 kaca preparat yang digunakan dengan ukuran kaca preparat yaitu 1” x 3”. Hasil penelitian ini juga menguatkan penelitian yang dilakukan oleh Fuji et al. (2015) yang menyatakan bahwa adanya kandungan aerosol PM2.5 pada

kandungan asap dari kebakaran lahan gambut di Asia Tenggara. Pada penelitian ini didapat partikel debu yang terukur sebagai PM2.5 yaitu sebanyak 195 partikel

debu.

Gambar 8 Grafik variasi ukuran partikel debu

Kebakaran lahan gambut berpengaruh terhadap gangguan jarak pandang, mempengaruhi ekonomi Indonesia, Singapura dan Malaysia. Darat, udara dan lalu lintas laut menjadi terbatas, pendapatan pariwisata, kegiatan indsutri dan

memancing menjadi menurun (Economy and Environment Program for South

EastAasia/World Wide Found for Natrure 1998; Hassan et al. 1998). Sebuah kecelakaan pesawat pada bulan September di sebelah Utara Sumatra menyebabkan 234 jiwa meninggal dan tabrakan kapal di Selat Malaka, Malaysia menewaskan pulahan jiwa, sebagian disebabkan oleh gangguan jarak pandang

(Simons 1998 ; Heil A and Gildammer JG 2001).

Pada penelitian yang dilakukan oleh Heil dan Goldammer (2001) menghasilkan jarak pandang dipengaruhi oleh TSP dan PM10. Semakin tinggi

nilai dari TSP dan PM10 maka jarak pandang semakin rendah. Penurunan jarak

pandang banyak digunakan sebagai indikator kualitas udar ambien selama terjadinya kabut asap di Indonesia. Namun jarak pandang tidak hanya bergantung pada konsentrasi partikel, tetapi juga pada persepsi subjektif dari pengamatan, kelembaban relatif dan kondisi cahaya (Heil A, 2007).

Dampak kesehatan yang ditimbulkan dari debu (PM10 dan PM2.5) dapat

(29)

17

4.3 Analisi Sifat Kimia Asap Kebakaran Vegetasi Di Atas Lahan Gambut Skala Laboratorium

Tabel 1 Konsentrasi parameter sifat kimia (ppm)

Tabel 2 Konsentrasi parameter sifat kimia (mg/m³)

Tren nilai sifat kimia untuk parameter CO, NO2, H2S, CO2 dan CH4 dari

penelitian ini adalah nilai dari parameter yang didapat mengalami penurunan pada pengukuran keempat. Kenaikan nilai dari sifat kimia terjadi pada pengukuran kedua dan ketiga. Hal ini disebabkan karena pada awal pengukuran vegetasi yang dibakar menghasilkan asap yang sedikit karena bara api masih dalam proses menyala, sehingga sifat kimia terukur pada detik-detik awal masih berada pada nilai yang rendah sehingga menghasilkan rata-rata yang lebih rendah daripada pengukuran kedua dan ketiga. Titik api pada pengukuran pertama dan keempat tidak sebanyak pada pengukuran kedua dan ketiga. Hal ini menjadi penyebab sedikitnya asap yang dihasilkan. Kabut asap yang menyelimuti kawasan Propinsi Sumatera Utara dan Propinsi Riau telah mengakibatkan visibility menjadi rendah. Perkembangan Hot Spot menunjukan jumlah yang mengalami penurunan, dan bila dikaitkan dengan kondisi visibility yang dicatat di Bandara Polonia Medan diperoleh kesesuaian data (Bahri 2020). Hal ini menunjukan bahwa banyaknya kabut asap yang dihasilkan dari kebakaran hutan dipengaruhi oleh titik nyala api yang membakar hutan.

(30)

18

juga menentukan kecepatan pembakaran (Taksirawati 2000). Pada pengukuran keempat terjadi penurunan karena asap yang dihasilkan cenderung berkurang. Berkurangnya asap yang dihasilkan karena penggunaan kipas angin sebagai alat bantu untuk nyala bara api tidak digunakan. Penghentian penggunaan kipas angin disebabkan oleh bara api yang sudah stabil membakar vegetasi. Kestabilan bara api disebabkan karena adanya bekas vegetasi yang sudah terbakar pada bagian bawah tungku yang digunakan.

Karbon monoksida (CO) terbentuk akibat pembakaran yang tidak sempurna dari bahan bakar yang lembab (basah) pada kebakaran hutan, selain itu bahan bakar utama kebakaran hutan yang berasal dari kayu, serasah, dan bagian tumbuhan lainnya yang terdiri dari unsur kimiawi karbon menghasilkan produksi karbon monoksida (Anugrah 2008). Hal ini menjadi penyebab kenaikan nilai CO pada pengukuran kedua dan ketiga untuk sifat kimia namun untuk nilai TSP mengalami penurunan pada pengukuran kedua dan ketiga.

Pelepasan CO ke atmosfer sebagai akibat aktivitas manusia, seperti transportasi, pembakaran minyak, gas, kayu, proses industri, pembuangan limbah padat termasuk kebakaran hutan. Reaksi antara karbon dioksida dan komponen yang mengandung karbon pada suhu tinggi menghasilkan karbon monoksida dengan reaksi sebagai berikut: 2CO CO2 + C . Pada kondisi jumlah oksigen

cukup untuk melakukan pembakaran lengkap terhadap karbon dapat juga terbentuk CO. Keadaan ini disebabkan karena pada suhu tinggi CO2 akan

terdisosiasi menjadi CO dan O. Karbon dioksida dan CO terdapat pada keadaan ekuilibrium pada suhu tinggi dengan reaksi sebagai berikut: CO + OCO2.

Rata-rata konsentrasi CO pada penelitian ini adalah 556,000µg/Nm3, mengacu pada PP 41 tahun 1999, baku mutu CO untuk udara ambien adalah 10,000 µg/Nm3. Konsentrasi dari pembakaran ini jauh melebihi baku mutu. Hal ini tentu terjadi karena pengukuran dilakukan tepat pada sumber emisi. Kandungan CO dan CO2

mendominasi sifat kimia dari asap kebakaran lahan gambut yang diteliti.

Rata-rata konsentrasi CO, CO2 dan CH4 pada penelitian ini adalah 488 ppm,

6,444 ppm dan 1,581 ppm, dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan oleh Gunawan et al. (2012), ketiga nilai ini lebih besar. Hasil penelitian oleh Gunawan et al. (2012) untuk konsentrasi CO, CO2 dan CH4 adalah 14.74 ppm, 97.07 dan 9

ppm. Hal ini disebabkan oleh alat yang digunakan dalam penelitian Gunawan et al. (2012) berupa sistem sensor yang membaca konsentrasi gas dari partikel yang dihasilkan. Tempat pembakaran dibuat berupa ruang simulator pembakaran berdiameter 120 cm x 50 cm x 40 cm dengan berat sampah lahan gabut yang dibakar adalah 1.5 kg. Pada penelitian ini alat yang digunakan adalah alat pengukur emisi yaitu potable flue gas analyser untuk mengukur emisi dari suatu kegiatan dan tidak dapat membaca kandungan gas pada udara ambien. Tempat penelitian juga menjadi penyebab terjadi perbedaan konsentrasi. Pada penelitian ini tempat yang digunakan berupa tunel dimana asap yang dihasikan tidak berkumpul pada satu titik tetapi masih dipengaruhi oleh udara sekitar. Namun dari kedua penelitian ini dapat ditarik kesimpulan yang sama yaitu pembakaran vegetasi lahan gambut menyumbang dampak polusi bagi wilayah yang terkena dampak.

Peningkatan konsentrasi CO dan CH4 di udara memiliki korelasi yang tinggi

(31)

19

Penelitian yang dilakuan oleh Nurhayati et al. (2010) menghasilkan konsentrasi CO, CO2 dan CH4 adalah 2,176 ppm, 10,678 ppm dan 306 ppm, dibandingkan

dengan penelitian ini hasil dari Nurayati memiliki konsentrasi CO dan CO2 yang

lebih besar namun untuk konsentrasi CH4 lebih kecil. Perbedaan ini disebabkan

karena metodologi dari penelitian yang berbeda. Pada penelitian Nurhayati et al. (2010) menggunakan plot pembakaran berukuran 20 m x 20 m dengan bahan yang dibakar berupa semak dan pohon serta gambut yang digunakan adalah jenis hemik yaitu sama dengan jenis gambut pada penelitian ini, sedangkan pada penelitian analisis asap kebakaran vegetasi lahan gambut dengan plot penanaman vegetasi yang dibakar seluas 1 m x 1 m. Perbedaan yang terjadi, selain disebabkan oleh luas dan jenis bahan yang dibakar serta lokasi pembakaran, faktor alat yang digunakan dalam pengukuran juga menjadi penyebabnya. Penelitian Nurhayati et al. (2010) melakukan pengukuran skala laboratorium dengan mengambil contoh asap menggunakan rotor penghisap yang dihubungkan dengan pipa baja kecil dan plastik sebagai tempat contoh asap lalu dibawa ke laboratorium untuk dianalisis. Penelitian ini menggunakan alat pengukur emisi yaitu portable flue gas anlayser, dimana pengukuran dilakukan saat kebakaran terjadi. Pada kedua penelitian ini kandungan CH4 lebih kecil dibandingkan CO dan CO2. Hal ini disebabkan karena

gas methana banyak dihasilkan salah satunya oleh aktivitas metabolisme bakteri metanogenik dalam kondisi anaerob (Nurhayati et al. 2010). Metanogenik hanya dapat menggunakan unsur-unsur tertentu dalam pertumbuhannya untuk menghasilkan methana. Senyawa tersebut adalah karbon dioksida, asetat, format, methanol dan metil amina (Cicerona & Oremland 1998; Levine 1999 dalam Nurhayati et al. 2010).

Pembentukan NO dan NO2 merupakan reaksi antara nitrogen dan oksigen di udara sehingga membentuk NO, yang bereaksi lebih lanjut dengan lebih banyak oksigen membentuk NO2. Sektor transportasi menyumbang pencemar NOx sebesar

69% di perkotaan diikuti industri dan rumah tangga (Soedomo, 1992). Gas NO2

sangat berbahaya bagi kesehatan manusia karena dapat menyebabkan gangguan pernapasan (penurunan kapasitas difusi paru-paru), juga dapat merusak tanaman. Selain itu juga mengurangi jarak pandang dan resistansi di udara (Peavy, 1986). Rata-rata konsentrasi NO dan NO2 pada penelitian ini berturut-turut adalah 3,500

µg/Nm3 dan 11,000 µg/Nm3. Konsentrasi ini juga melebihi baku mutu udara ambien yaitu 400 µg/Nm3 (PP 41 tahun 1999). Secara umum gas NO merupakan gas yang paling banyak ditemukan dalam reaksi pembakaran untuk pengukuran konsentrasi N2O dan SO2 (Hamada et al. 2013). Hasil pengukuran sifat kimia asap

kebakaran vegetasi di atas lahan gambut yang dilakukan selama 5 menit pembakaran dengan nilai konsentrasi yang telah disebutkan di atas, kedua gas ini termasuk sifat kimia penting dari asap kebakaran vegetasi lahan gambut.

Gas SO2 merupakan gas polutan yang banyak dihasilkan dari pembakaran

bahan bakar fosil yang mengandung unsur belerang seperti minyak, gas, dan batubara. Dalam bentuk gas, SO2 dapat menyebabkan iritasi pada paru-paru yang menyebabkan timbulnya kesulitan bernafas, terutama pada kelompok orang yang sensitive seperti orang berpenyakit asma, anak-anak dan lansia (EPA, 2007). Konsentrasi SO2 pada pengukuran asap kebakaran vegetasi di atas lahan gambut

ini memiliki nilai rata-rata 0 mg/Nm3. Pada proses pembakaran dalam penelitian ini tidak terdapat sumber belerang yang dapat menghasilkan gas SO2. Hal ini

(32)

20

termasuk karakteristik sifat kimia dalam asap kebakaran lahan gambut. Namun nilai SO2 dapat menjadi tinggi jika dalam pembakaran lahan gambut vegetasi

yang dibakar mengandung sulfur.

Gas H2S terbentuk akibat adanya penguraian zat-zat organik oleh bakteri.

Bila terbakar menghasilkan asam belerang (SO2) yang kurang berbahaya dari

H2S. Konsentrasi gas H2S yang terukur dari penelitian ini berasal dari sumber H2S

yang ada disekitar lokasi penelitian. Berdasarkan pengukuran yang dilakukan pada tiga tempat yaitu bagian kiri tunel dimana terdapat tong sampah, bagian got di depan tunel dan di dalam tunel, terukur konsentrasi H2S berturut-turut sebesar

1.6 ppm, 1.8 ppm dan 1.7 ppm. Hal ini dapat menjadi penyebab timbulnya gas H2S dalam proses pembakaran. Pada konsentrasi rendah H2S memiliki bau khusus

seperti telur busuk. Pada konsentrasi tinggi, akan lebih berbahaya karena tidak berbau. Dengan sifat racunnya ambang batas H2S ditetapkan oleh occupational

exposure standar (OES) sebesar10 ppm. Nilai rata-rata konsentrasi H2S terukur

pada penelitian ini adalah 16 ppm.

Tabel 3 Perbandingan nilai sifat kimia dengan baku mutu udara ambien (PP 41 tahun 1999)

Parameter Konsentrasi (μg/m3)

Baku Mutu PP 41 tahun 1999 (ug/Nm3)

Keterangan

CO 556,000 30.000 Melebihi baku mutu

SO2 0 900 Tidak melebihi baku

mutu

NO2 11,000 400 Melebihi baku mutu

Parameter sifat kimia yang terukur jika dibandingkan dengan PP 41 tahun 1999 tentang pengendalian pencemaran udara yaitu parameter CO dan NO2

(33)

21

V KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Sifat fisik dari asap kebakaran vegetasi Imperata cylindrica Raeusch di atas lahan gambut skala laboratorium untuk debu jatuh dipengaruhi oleh pergerakan dan kecepatan angin. Rata-rata nilai konsentrasi debu jatuh yang didapat adalah 846 ton/km2/bulan, nilai ini melebihi baku mutu untuk udara ambien. Sifat fisik TSP berhubungan dengan banyak vegetasi yang dibakar. Semakin banyak vegetasi yang dibakar maka nilai TSP semakin tinggi. Nilai konsentrasi TSP yang didapat melebihi baku mutu untuk udara ambien yaitu 4,205 μg/Nm3. Distribusi partikel debu dari penelitian ini didominasi oleh partikel dengan ukuran >10µm. Partikel debu dari kebakaran vegetasi di atas lahan gambut dipengaruhi oleh jenis vegetasi yang terbakar, pergerakan dan kecepatan angin. Sifat fisik TSP dan debu jatuh menjadi salah satu penyebab penurunan jarak pandang saat terjadi kebakaran hutan atau kebakaran lahan.

Sifat kimia dari asap kebakaran vegetasi Imperata cylindrica Raeusch di atas lahan gambut adalah CO, CO2, NO, NO2, SO2 , H2S dan CH4. Secara

berturut-turut konsentrasi gas-gas tersebut adalah 556,000µg/Nm3 , 11,499,500 µg/Nm3, 3,500µg/Nm3 dan 11,000 µg/Nm3, 0 mg/Nm3, 16 ppm dan 1,581 ppm. Dibandingkan dengan baku mutu udara ambien nilai dari sifat kimia yang dihasilkan dari penelitian ini melebihi baku mutu sehingga dapat menjadi penyebab pencemaran udara. Secara umum laju konsentrasi CO dan CH4

berkolerasi dengan kenaikan laju konsentrasi CO2. Tingginya nilai konsentrasi

sifat kimia dipengaruhi oleh bahan bakar yang digunakan, titik api, pergerakan dan kecepatan angin.

5.2 Saran

Saran yang dapat diberikan dari penelitian ini adalah kebakaran di tanah gambut berkontribusi 86% dengan total emisi PM10, sementara kebakaran vegetasi

permukaan hanya menyumbang 14% meskipun wilayah vegetasi permukaan yang dibakar empat kali lebih besar dari luas lahan gambut terbakar (Heil et al. 2005). Oleh karena itu diperlukan penelitian lanjutan untuk asap kebakaran lahan gambut.

(34)

22

DAFTAR PUSTAKA

Andrea MP dan Metlet P. 2001. Emission of trace gases aerosols from biomass burning. Global Biogeochemical. 14 (4) :955-966.

Anderson IP. dan Bowen MR. 2000. Fire Zone and the Threat to the Wetlands of Sumatra, Indonesia. Forest Fire Preventation and Cobtrol Project; European Union; Departemen Kehutanan Palembang.

Anugrah DF.2008 Analisis trakyektori asap kebakaran hutan menggunakan the air pollution model (Studi kasus kebakaran hutan Kalimantan 2006) [Skripsi]. Bogor (ID):Institut Pertanian Bogor

Akbar A, Sumardi, Hadi R, Purwanto dan Sabarudin. 2011. Study of fire sources and community respond for peat swamp forest fire control in Mawas area Central Kalimantan. J Penelitian Hutan. 8(5) : 287-300.

Bahri S. 2002. Kajian Penyebaran Kabut Asap Kebakaran Hutan dan Lahan di Wilayah Sumatra Bagian Utara dan Kemungkinan Mengatasinya dengan TMC.Penelitian UPT Hujan Buatan BPP Teknologi. Jakarta.

Chand D, Schmid O, Gwaze P, Panmar RS, Helas G, Zeromskiene K, Wiedensholer A, Massling A, Andrea MO. 2005. Laboratory measurements of smoke optical properties from the burning of Indonesian peat and other types of biomass. J Geophyical Research Letters. 32 (L12819): 1-4..

Colbeck I. 1998. Physical and Chemical Properties of Aerosols. London (GB): Blackie Academic & Professional.

Cooper CD, Alley FC. 2002. Air pollution control ; A Design Approach, 3rd ed. Waveland Press Inc, USA.

Couwenberg J, Dommain R, Joosten H. 2010. Greenhouse gas fluxes from tropical peatlands in South-East Asia. Glob. Change Biol. 16:1715–1732. Dariah A, Maftuah E dan Maswar. Karakteristik lahan gambut. Panduan Economy and Envrironmental Programme for South East Asi (EPSEA) and World

Wide Fund For Nature-Indonesia (WWF) (1998) Economics Value of the 1997 Haze Damages to Indonesia, International Development Research Centre (IDRC) Singapore.

Fujii Y, Kawamoto H, Tohno S, Oda M, Iriana W, Lestari P. 2015. Characteristics of carbonaceous aerosols emitted from peatland fire in Riau, Sumatra, Indonesia (2): Identification of organic compounds. J Atmospheric Environment. 110 : 1-7

Flannigan MD Wotton BM. 2001. Climate, Weather, and Area Burned. In: Forest Fires. Behavior and Ecological Effects. Johnson, E.A., and Miyanishi, K. (eds.). Academic Press. San Diego, California, USA.

Gunawan A, Rivai, Setijadi E. 2012. Pengukuran kadar kepekaran asap pada lahan gambut. Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS)

Gorham R. 2002. Air Pollution From Ground Transportation; An assessment of Causes, Strategies and Tactics, and Proposed Actions For The International Community, United Nations.

(35)

23

Hamada Y, Darung U, Limin SH dan Hatanao R. 2013. Characteristics of fire-generated gas emission observed during a large peatland fire in 2009 at Kalimantan, Indonesia. J Atmospheric Environment. 74:177-181.

Hayasaka H, Noguchi I, Putra EI, Yulianti N, Vadrevu K. 2014. Peat-fire-related air pollution in Central Kalimantan, Indonesia. J Environmental Pollution. 195: 257–266

Hardjowigeno, H. Sarwono., 2002. Ilmu Tanah. Akademika Pressindo, Jakarta Heil A, Langmann B, Aldrian E. 2005. Indonesian peat and vegetation fire

emissions : Study on factors influencing large-scale smoke haze pollution using a regional atmospheric chemistry model. J Mitig Adapt Strat Glob Change. Page 1-21.

Heil A, Goldammer JG.2001. Smoke-haze pollution: a review of the 1997 episode in Southeast. 2001. 2: 24-37.

Hyer EJ, Reid JS, Prins EM., Hoffman JP, Schmidt CC, Miettinen, JI, Giglio L. 2013. Patterns of fire activity over Indonesia and Malaysia from polar and geostationary satellite observations. Atmos. Res. 122: 504-519.

Hooijer A, Silvius M, Wösten H, Page S. 2006. PEAT-CO2, Assessment of CO2 emissions from drained peatlands in SE Asia. Delft Hydraulics report Q3943

IPCC [Intergovernmental Panel on Climate Change]. 2007. Climate change 2007: the physical science basis. Contribution of Working Group I to the fourth assessment report of the Intergovernmental Panel on Climate Change. Solomon, S., D. Qin, M. Manning, Z. Chen, M. Marquis, K.B. Averyt, M. Tignor, and H.L. Miller, editors. Cambridge University Press, England, United Kingdom.

Joosten H, Clarke D. 2002. Wise use of mires and peatlands: Background and principles including a framework for decision-making. International Mire Conservation Group and International Peat Society, Saarijärvi, Finland. 304 pp

Joseph A, Ad S, Srivastava A.2003 PM(10) and its impacts on health . a case study in Mumbai. International. J Environmental Health Research 13: 207-214.

Laporan Kegiatan Operasi Udara Penipisan Asap Di Sumatera dan Kalimantan September – Oktober 1997”, UPT-HB, BPPT, 1997.

Liu Y, and J. Stanturf. 2010. Trends in global wildfire potential in a changing climate. Forest Ecology and Management 4: 685-697.

Melling L, Hatano R, Goh KJ. 2005. Soil CO2 flux from three ecosystems in tropical peatland of Sarawak, Malaysia. Tellus, 57 B, 1-11.

Monroe MC ,Watts AC and Kobziar LN. 2009.Where there’s fire, there’s smoke: Air Quality and Prescribed Burning in Florida. Gainesville: University of Florida, Florida Cooperative Extension Service, Fact Sheet FOR62. 5 p. Mahowald, Natalie M., S. Albani, J. F. Kok, S. Engelstaeder, R. Scanza, D. S.

Ward, M. G. Flanner. 2014. "The size distribution of desert dust aerosols and its impact on the Earth system." Aeolian Research 15: 53-71

(36)

24

Nurhayati AD, Arvanti E, saharjo BH. 2010. Kandungan emisi gas ru,ah kaca pada kebkaran hutan rawa gambut di Pelawan Riau. J Ilmu Pertanian Indonesia.15(2): 78-82

Page SE, Rieley JO, Banks CJ. 2011. Global and regional importance of the tropical peatland carbon pool. J Global Change Biol. 17:798-818.

Page SE, Siegert F, Rieley JO, Böhm HVD, Jaya A, Limin S. 2002. The amount of carbon released from peat and forest fires in Indonesia during 1997. J Nature. 420:61-65

Pitts, Barbara J. Finlayson, Pitts, James N Jr.. 1986. Athmospheric Chemistry, Fundamental & Experimental Techniques. A. Willey – Interscience Publication : New York USA.

Pfister G, Wiedinmyer C, Emmons, L., 2008. Impacts of the fall 2007 California wildfires on surface ozone: Integrating local observations with global model simulations. Geophys. Res. Lett. Vol. 35, L19814

Rachmawati N. 2008. Karakteristik bahan bakar dan prilaku api pada kebakaran hutan dan lahan rawa gambut. J Hutan Tropis Borneo. 22 : 55-64.

Running S. 2006. Is global warming causing more, larger wildfires? Science 313: 927-928.

Ryder DC. 2000 Origin and fate of organic matter in the South- west Australian wetlands. School of Natural Sciences, ECU, Joondalup Western Australia. Saeni MS. 1989. Zat-zat Pencemar Udara, Bahan Pengajaran Kimia Lingkungan.

Bogor (ID): Pusat Antar Universitas Ilmu Hayat IPB, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Schmerbeck J, Kohli A, Seeland K. 2015. Ecosystem services and forest fires in India- Context and policyimplications from a case study in Andhra Pradesh. J Forest Policy and Economics.50 :337–346.

Sitorus BP, “Pemanfaatan TMC-BPPT Untuk Antisipasi Bencana Iklim dan Cuaca Di Indonesia”, Paper disampaikan dalam Panel dan Seminar PIT HAGI ke-27 tanggal 21-23 Oktober 2002 di Malang Jawa Timur, 2002. Soedomo M. 2001. Pencemaran udara, kumpulan karya ilmiah. Ganesha Exact,

Bandung Cooper C.D and Alley F.C. 2002. Air pollution control ; A Design Approach, 3rd ed. Waveland Press Inc, USA.

Stolle F, Lambin EF. 2003. Interprovincial and interannual differences in the causes of land-use fires in Sumatra, Indonesia. Environmental Conservation 30 (4): 375-387

Soedomo M Irsyad M, Soejachman MH, Effendi Jakarta, Melianty Y. 1992. Status Pencemaran Udara di 5 Kota Besar . LPM ITB-Bapedal : Bandung. Taksirawati Ira. 2000. Pengarauh kadar air bahan bakar hutan terhadap timbulnya

asap pada proses pembakaran (Skala Laboratorium) [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Tawaraya K, Takaya Y, Turjaman M, Tuah SJ, Limin SH, Tamai Y, Cha JY, Wagatsuma T, Osaki M. 2003 Arbuscular mycorrhizal colonization of tree species grown in peat swamp forests of Central Kalimantan, Indonesia. J Forest Ecology and Management, 182: 381–386.

(37)

25

Usup A, Hashimoto Y, Takahashi H, Hayasaka H. 2004. Combustion and thermal characteristics of peat fire in tropical peatland in Central Kalimantan, Indonesia. J Tropic. Vol 14(1): 1-19.

Van Der Werf GR, Randerson JT, Giglio L, Collatz GJ, Kasibhatla PS, Morton DC DeFries RS, Jin Y, Leewen TT. 2010. Global fire emissions and the contribution of deforestation, savanna, forest, agricultural, and peat fires (1997–2009). J Atmos. Chem. Phys. 10: 11707-11735.

Wang, J., Jia, L., Anthony, E.J., 2003. Mechanism for N2O formation from NO at ambient temperature. AIChE J. 49(1):277-282.

Weiss D, Shotyk W, Rieley J, Page S, Gloor M, Reese S, Martinezcortizas A. 2002. The geochemistry of major and selected trace elements in a forested peat bog, Kalimantan, SE Asia, and its implications for past atmospheric dust deposition. J Geochimica et Cosmochimica Acta, 66, 2307-2323. Westerling AL, Hidalgo HG, Cayan DR, Swetnam TW. 2006. Warming and

earlier spring increase western US forest wildfire activity, Science, 313, 940–943.

(38)

26

(39)
(40)

Lampiran 2 Gambar teknik skema pembakaran vegetasi lahan gambut skala laboratorium

JUDUL GAMBAR

ANALISIS SIFAT FISIK DAN KIMIA ASAP KEBAKARAN VEGETASI DI ATAS LAHAN GAMBUT SKALA LABORATORIUM

PERANCANG TUNEL Dr.Ir. Arief Sabdo Yuwono, MSc

PEMBUAT GAMBAR Wulan Muharani

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2016

(41)

29

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jambi pada tanggal 23 Juli 1990 dari ayah Amdani dan ibu Dewi. Penulis adalah anak pertama dari dua bersaudara. Penulis lulus dari SMA Negeri 2 Jambi pada tahun 2008 dan pada tahun yang sama penulis berhasil melewati seleksi masuk Institut Pertanian Bogor dan diterima di Program Diploma Institut Pertanian Bogor Program Keahlian Teknik dan Manajemen Lingkungan.Pada tahun 2011 penulis melanjutkan kuliah di Sekolah Tinggi Teknik Lingkungan Yogyakarta (sekarang Institut Teknlogi Yogyakarta) dan menyelesaikan studi pada tahun 2013.

Penulis pernah aktif sebagai sekretaris umum di Himpunan Mahasiswa Lingkungan pada tahun 2009-2010. Pada bulan Januari-Februari 2011 penulis melakukan praktik kerja lapang di perusahaan Garuda indonesia bagian Coorporate Social Responsibility.

Gambar

Gambar 1 Skema umum gambaran penelitian analisis sifat fisik dan
Gambar 2 Skema pembakaran lahan gambut skala baboratorium
Gambar 3 Skema pengukuran debu jatuh
Gambar 4 Skema pengukuran TSP
+6

Referensi

Dokumen terkait

Kumalasari 2016 dalam judul Pengaruh Nilai Tukar Kurs Usd/Idr, Tingkat Suku Bunga SBI, Inflasi Dan Jumlah Uang Yang Beredar M2 Terhadap Indeks Harga Saham Gabungan IHSG Di Bursa

Tiga dari empat jenis kejahatan kemanusiaan universal yang menjadi yurisdiksi ICC secara berurutan dirumuskan dalam pasal 6,7 dan 8 Statuta Roma 1998. Sedang perumusan yurisdiksi

Analisa Kualitas Penerimaan Sampel Pada Sepatu Model Super Star Dengan Metode ANSI/ASQC Z1.4 di PT.2. Universitas Mercu Buana v

• Mempu menghasilkan gambar pencitraan ultrasonik dengan berbagai mode • Mampu menjelaskan kelebihan dan kekurangan teknik Doppler pada pencitraan ultrasonik • Able

Hal ini berarti menerima Ho, Ho adalah suatu hipotesis yang menyatakan tidak adanya keterkaitan atau korelasi antara dua variabel atau lebih (Sinta Dameria

Untuk meningkatkan kinerja bisnis tinggi dan sulit diikuti oleh kompetitor, kemudian lepas dari persaingan yang bersemangat secara berlebih di samudra merah dengan

Setelah tarian ini dikemas dengan ditambahkannya tarian yang bersifat suci, maka kembalilah masyarakat meminta untuk tarian ini di pentaskan pada Upacara Ngusabha