• Tidak ada hasil yang ditemukan

4.3.1 Unsur Kekerasan Verbal (Kata-kata Kasar)

Jonathan sebagai informan 1 dalam memberikan penerimaan terhadap kata-kata kasar yang terkandung melalui adegan yang ditampilkan dalam lawakan Stand Up Comedy Metro TV memiliki kecenderungan menempati posisi dominan. Jonathan tidak memiliki penerimaan yang oposisional terhadap kekerasan verbal yang terjadi. Jonathan memberikan penjelasan bahwa sebuah Stand Up Comedy memang terkenal sebagai jenis komedi yang tidak memiliki batasan, maka tidak heran bila Jonathan menunjukkan penerimaan adegan kekerasan fisik dengan dominan. Hal tersebut semakin ditunjang ketika Jonathan mengakui bahwa dirinya dibesarkan di lingkungan keluarga yang humoris yang membuat dirinya lebih bisa menerima berbagai macam humor, sekalipun itu merupakan kata-kata kasar. Jonathan juga memberi penerimaan yang dominan

pada adegan antara lain ketika Raditya mengatakan “bego” dan “goblok banget sih” ketika di putusakan oleh pacarnya.

Jonathan menambahkan bahwa mungkin pada umur yang masih muda dia menyadari bahwa teman-teman disekitarnya sering menggunakan kata-kata kasar dalam kehidupan sehari-hari oleh karena itu dia sudah terbiasa mendengarnya, Jonathan juga mengakui bahwa dirinya juga kadang menggunakan kata-kata kasar tersebut. “mungkin karna saya masih muda ya,, lagian di dalam pergaulan saya banyak kok temen-temen saya yang sering ngomong kata-kata kayak gitu,, ya saya juga sih kadang-kadang,,”

Kemudian Prisly sebagai Informan 2 dalam memberikan penerimaan terhadap kata-kata kasar yang terkandung melalui adegan yang ditampilkan dalam lawakan Stand Up Comedy Metro TV menunjukkan penerimaan negosiasi. Prisly terlihat lebih senang melihat lawakan Raditya Dika yang ekspresif meskipun dengan kata-kata kasar yang diucapkan oleh Raditya Dika daripada lawakan Cak Lontong yang sekedar memainkan mimik muka serius, senyum, dan marah, ditambah Cak Lontong juga menyebut kata “monyet” langsung kearah penonton dan memang Cak Lontong bermaksud mengatakan bahwa penonton itu monyet.

Prisly mengakui bahwa dirinya jarang mengucapkan kata-kata kotor disebabkan dirinya dulu semasa SMA dimasukkan oleh kedua orang tuanya ke dalam sekolah asrama Advent di Menado, hal tersebutlah yang tambahnya membuatnya jadi jarang mendengar kalimat-kalimat kasar selama SMA.

Selain itu Prisly juga berpendapat bahwa media bisa berpengaruh buruk pada khalayaknya, Prisly mengatakan sebagai berikut “pas main game itu di dalam game ada chat engine, itu fungsinya supaya bisa komunikasi sama semua pemain nah pas saat tertentu contohnya pas lagi war tempat chat tadi itu berubah jadi tempat maki-maki semua pemain,, jadi kadang kalo anak-anak pemula datang main game itu masih culun-culun cupu-cupu tidak pernah maki-maki lama-lama pasti jadi sering maki-maki juga”

Kekerasan simulasi kuat melekat pada permainan video, tetapi juga dalam permainan online. Kekerasan permainan video juga terletak dalam sifat manipulatifnya karena pemain tidak diberi kesempatan untuk berpikir dan merefleksikan. Permainannya terfokus pada kial (gerak sebagai isyarat) dan

dramaturgi (intensitas narasi dan derajat penampilan permainan). Pemain diarahkan oleh logika perilaku stimulus-reaksi, tanpa disertai fase refleksi karena refleksi akan memecah ritme permainan. Bagi anak-anak, permainan semacam ini melahirkan banyak maslah psikologis. Kegelisahan, kekecewaan atau kemarahan bisa lahir dari praktek permainan video ini (Haryatmoko, 2007).

Sebagai informan 3 Ayub memberikan penerimaan terhadap kata-kata kasar yang terkandung melalui adegan yang ditampilkan dalam lawakan Stand Up Comedy Metro TV memiliki kecenderungan menempati posisi dominan. Ayub tidak memiliki penerimaan yang oposisional terhadap kekerasan verbal yang terjadi. Ayub juga menambahkan bahwa jika dilihat dari asal aslinya isi lawakan Stand Up Comedy di luar negeri jauh lebih sensitif, “lagian kalo liat stand up di luar negri itu bahannya jauh lebih sensitif, soalnya gak ada aturan dan batasan”.

Ayub juga menambahkan bahwa pada dasarnya semua isi dari lawakan Stand Up Comedy itu tidak ada batasnya selama bisa membuat orang tertawa, “soalnya kan stand comedy itu sebenarnya mau ngomong apa aja gak papa asalkan lucu,,”.

Toni sebagai informan 4 dalam memberikan penerimaan terhadap kata-kata kasar yang terkandung melalui adegan yang ditampilkan dalam lawakan Stand Up Comedy Metro TV memiliki kecenderungan menempati posisi oposisional. Toni mengatakan bahwa sama sekali dirinya belum pernah menonton Stand Up Comedy dan hal itu mungkin yang menyebabkan dirinya merasa asing dengan bentuk komedi yang hanya menampilkan satu orang di atas panggung namun terlepas dari hal itu menurutnya kata-kata dalam lawakan tersebut tidak wajar dan kasar, “mungkin saya baru pertama kali nonton stand up comedy ya,, tapi menurutku itu gak wajar,, sebenarnya itu menghina,,”.

4.3.2 Unsur Kekerasan Verbal (Kata-kata Jorok)

Jonathan sebagai informan 1 dalam memberikan penerimaan terhadap kata-kata jorok yang terkandung melalui adegan yang ditampilkan dalam lawakan Stand Up Comedy Metro TV memiliki kecenderungan menempati posisi dominan. Jonathan tidak memiliki penerimaan yang oposisional terhadap kata-kata jorok yang terjadi. Namun Jonathan menjelaskan bahwa hal-hal yang berbau vulgar biasanya lebih gampang dicerna kebanyakan orang menjadi sebuah

lawakan, “tapi memang kebanyakna orang-orang lebih tertarik dengan guyonan yang agak berbau seronok kok, sape lagu juga bisa dibuat jadi guyonan,,, waktu jaman gua smp dulu kan banyak tu lagu-lagu iklan yang liriknya dirubah jadi agak vulgar, lagunya populer lagi di sekolah,, trus disini juga saya sempat ada lagu daerah yang liriknya dirubah jadi vulgar,, tapi memang menurutku hal-hal vulgar itu lebih gampang jadi bahan guyonan kok,,”.

Namun penerimaan yang berbeda di perlihatkan oleh informan 2 yaitu Prisly, penerimaan Prisly terhadap kata-kata jorok yang terkandung melalui adegan yang ditampilkan dalam lawakan Stand Up Comedy Metro TV memiliki kecenderungan menempati posisi negosiasi, reaksi negosiasi terlihat ketika Prisly menonton adegan Soleh Solihun yang mengatakan bahwa kata “gituan”

disepakati akan diganti dengan kata “makan”, kemudian soleh melanjutkan dan memberi contoh berikut “aduh gituan itu enaknya tiga kali sehari,, jadi gak lemes”. Pada saat menonton adegan tersebut Prisly menujukkan reaksi mengkerutkan dahi kemudian tersenyum sambil menggelangkan kepala. Dengan reaksi tersenyum Prisly menunjukkan bahwa dirinya menerima apa yang disampaikan oleh Soleh Solihun sebagai lawakan, akan tetapi dengan menggelengkan kepala Prisly menyadari bahwa lawakan tersebut berbau vulgar.

Prisly juga menambahkan bahwa saat ini hal-hal menjurus sudah wajar dan sering dijadikan tertawaan, “sekarang apa yang bisa bikin tertawa kalo bukan hal-hal yang menjurus?? Artinya semua penonton tadi punya pikiran yang sama makanya mereka semua tertawa,,”

Sebagai informan 3 Ayub memberikan penerimaan terhadap kata-kata jorok yang terkandung melalui adegan yang ditampilkan dalam lawakan Stand Up Comedy Metro TV memiliki kecenderungan menempati posisi dominan. Ayub tidak memiliki penerimaan yang oposisional terhadap kata-kata jorok yang terjadi.

Ayub menambahkan bahwa televisi mempengaruhi kita dengan kata-kata jorok yang ada oleh karena itu kita bisa terbiasa, “coba liat di televisi banyak kok film-film Indonesia yang pake istilah “gituan” sama “anu”,, mungkin masyarakat kena pengaruh dari tv itu sendiri makanya dua kata itu bisa di artikan sama yang porno-porno gitu,,”. Adanya pengalaman menonton televisi membuat kata-kata jorok merupakan bagian dari pengetahuan dan hiburan. Burhan Bungin (2006),

menjelaskan masyarakat lebih cepat dalam penyampaian pengetahuan apabila terdapat pornomedia didalamnya. Proses kecepatan ini terjadi melalui tiga proses, yaitu proses eksternalisasi akibat dari penyesuaian diri yang sangat cepat dari masyarakat yang terbuka untuk menerima informasi baru melalui media massa.

Yang kedua, proses objektivasi dimana pola-pola interaksi yang terbuka akan memudahkan intersubyektif yang dilembagakan, seakan-akan informasi porno mengalami institusionalisasi sehingga informasi porno telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat. Yang ketiga, proses intenalisasi dimana masyarakat yang telah terobjektivasi akan mengindetifikasikan diri sebagai bagian fungsional dari nformasi, dengan demikian masyarakat akan menjadi terbiasa dengan pornomedia (Bungin, 2006, p. 340).

Sebagai informan 4 Toni memberikan penerimaan terhadap kata-kata jorok yang terkandung melalui adegan yang ditampilkan dalam lawakan Stand Up Comedy Metro TV memiliki kecenderungan menempati posisi dominan. Toni tidak memiliki penerimaan yang oposisional terhadap kata-kata jorok yang terjadi.

Dalam setiap lawakan yang disampaikan oleh Soleh Solihun Toni selalu tertawa meskipun hanya setangah terbahak, reaksi ini menunjukkan bahwa Toni menikmati apa yang disampaikan oleh Soleh Solihun menjadi sebuah lawakan yang lucu bagi dirinya. Toni menambahkan bahwa kata “gituan” dan “anu” yang disampaikan oleh Soleh Solihun sudah pasti menjurus ke arah seksual dan itu semua sudah menjadi mindset banya orang, “di lawakannya si soleh tadi ya pasti menjurus ke sex-sex gitu,, itu kan sudah jadi hal umum makanya penontonnya semua ketawa,, cew cow semuanya tertawa,, jadi itu sudah jadi mindsetnya kita,,”.

4.3.3 Unsur Kekerasan Verbal (Kata-kata Menghina)

Jonathan sebagai informan 1 dalam memberikan penerimaan terhadap kata-kata menghina yang terkandung melalui adegan yang ditampilkan dalam lawakan Stand Up Comedy Metro TV memiliki kecenderungan menempati posisi dominan. Jonathan tidak memiliki penerimaan yang oposisional terhadap kata-kata menghina yang terjadi. Penerimaan dominan Jonathan dipengaruhi dari tujuan tertentu dia menonton sebuah tayangan televisi, yang pertama tentu ingin mencari hiburan dari acara yang ditampilkan oleh media. Tujuan mencari hiburan

didapatnya melalui acara-acara seperti komedi. Melalui tujuan mencari hiburan itulah Jonathan melihat Stand Up Comedy sesuai dengan konteks acaranya sehingga mendapat hiburan dari acara yang ditontonnya. Sedangkan tujuan lain Jonathan adalah untuk mencari informasi tertentu. Tujuan mencari informasi didapatkan mereka melalui berita, infotainment, dan lainnya. Hal itu sesuai dengan penuturan De Vito (1997) mengenai fungsi dari komunikasi massa.

Menurut De Vito, ada beberapa fungsi yang diemban komunikasi massa antara lain untuk menghibur, menginformasikan, meyakinkann sesuatu, menganugerahkan status sesuatu hal yang penting, membius penontonnya, dan memberikan rasa kebersatuan di masyarakat.

Kemudian Prisly sebagai Informan 2 dalam memberikan penerimaan terhadap kata-kata kasar yang terkandung melalui adegan yang ditampilkan dalam lawakan Stand Up Comedy Metro TV memiliki kecenderungan oposisional. Prisly menambahkan bahwa raut muka atau mimik muka berpengaruh dalam menyampaikan lawakan kepada penontonnya. Penerimaan yang oppositional yang muncul dari informan tidak lepas dikarenakan adanya keterkaitan dengan teks itu sendiri. Teks sendiri ada lah semua bentuk bahasa, bukan hanya kata-kata yang tercetak di lembar kertas, tetapi juga semua jenis ekspresi komunikasi, ucapan, musik, gambar, efek suara, citra, dan sebagainya. (Eriyanto, 2001, p. 289). Dalam hal ini semua teks yang dilihat adalah semua yang ada pada pelawak khusunya Cak Lontong dalam gayanya yang memainan raut wajah ketika menyampaikan lawakan.

Ayub sebagai informan 3 dalam memberikan penerimaan terhadap kata-kata menghina yang terkandung melalui adegan yang ditampilkan dalam lawakan Stand Up Comedy Metro TV memiliki kecenderungan menempati posisi negosiasi. Pada awalnya Ayub selalu melihat Stand Up Comedy sebagai bentuk komedi yang tidak memiliki batas, namun ketika kata-kata keras itu sudah menjadi kata-kata menghina penerimaan dominan Ayub pasti bergeser menjadi negosiasi, hal tersebut terlihat dari kalimat Ayub berikut “,, tapi stand comedy itu sebenarnya mau ngomong apa aja gak papa asalkan lucu,, banyak yang bilang kalo stand up comedy itu guyonannya orang pinter,, gitu,, lagian kalo liat stand up di luar negri itu bahannya jauh lebih sensitif, soalnya gak ada aturan dan batasan.

Tapi ya kembali kita ini di Indonesia, orang Indonesia kan masih terlalu sensitif, gak semua bisa jadi guyonan”. Penerimaan negosiasi oleh Ayub juga diperkuat karena latar belakang karakter Ayub yang sensitive dan mudah tersinggung.

Toni sebagai informan 4 dalam memberikan penerimaan terhadap kata-kata menghina yang terkandung melalui adegan yang ditampilkan dalam lawakan Stand Up Comedy Metro TV memiliki kecenderungan menempati posisi oposisional. Toni mengatakan bahwa sama sekali dirinya belum pernah menonton Stand Up Comedy dan hal itu mungkin yang menyebabkan dirinya merasa asing dengan bentuk komedi yang hanya menampilkan satu orang di atas panggung namun terlepas dari hal itu menurutnya kata-kata dalam lawakan tersebut tidak wajar dan kasar, “mungkin saya baru pertama kali nonton stand up comedy ya,, tapi menurutku itu gak wajar,, sebenarnya itu menghina,,”. Namun Toni menambahkan bahwa kekerasan verbal dapat mempengaruhi penontonnya,

“soalnya orang Indonesia ini peniru,, apalagi anak kecilnya,, dulu aja kan sempat heboh waktu anak kecil niru-niru tayangan gulat smackdown itu,, apalagi kalau cuman kalimat-kalimat gitu pasti bakalan ada yang niru”. Teori pembelajaran sosial mengakui bahwa manusia mampu menyadari atau berpikir dan bahwa mereka dapat mengambil manfaat dari pengamatan dan pengalaman. Teori ini mengakui bahwa banyak pembelajaran manusia terjadi dengan menyaksikan orang lain yang menampilkan perilaku yang beragam. Seseorang dapat mengamati orang lain yang terlibat dalam perilaku tertentu di televisi dan dapat mempraktikkan perilaku itu dalam kehidupannya (Severin, 2009, p. 330-331).

Dokumen terkait