• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV ANALISIS PENILAIAN KUALITAS TERJEMAHAN KITAB

B. Analisis

Berikut adalah beberapa fasal serta terjemahannya, baik bahasa Indonesia mau pun bahasa Sunda yang akan di analisis.

Terjemahan Bahasa Indonesia :

[Fasal] Rukun Islam ada 5 : (1) Bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan bersaksi bahwa Nabi Muhammad utusan Allah, (2)

Mendirikan (mengerjakan) shalat, (3) Membayar zakat (4) Berpuasa

ramadhan (5) Berhaji ke bait (Allah) bagi yang mampu untuk (biaya)

perjalanan.

Terjemahan Bahasa Sunda :

[Ari ieu hiji fasal] Ari pirang-pirang rukun Islam aya lima, (1) Syahadat, tegesna saenya-enyana kalakuan, henteu aya deui pangeran anu wajib diibadahan anging Allah, sareng

saenya-49

enyana kanjeng Nabi Muhammad eta utusan Allah, (2) ngalakonan shalat anu di pardukeun, (3) mikeun zakat, (4) munggah haji ka baetullah ka jalma anu kawasa ieu jalma kana munggah haji di jalana.

[ini satu fasal] bahwa macam-macam rukun Islam ada lima, (1) Syahadat, bahwa sebenar-benarnya kelakuan, tidak ada lagi pangeran yang wajib di ibadahi (disembah)kecuali Allah, dan sebenar-benarnya kanjeng Nabi Muhammad itu utusan Allah, (2) melaksanakan shalat yang di fardukan, (3) memberikan zakat, (4) berhaji ke baitullah bagi orang yang dimana orang tersebut mampu berhaji dijalannya.

Untuk terjemahan dalam bahasa Indonesia di atas terdapat penerjemahan kata ءاَإْي yaitu diterjemahakan “membayar”, yang kata

asalnya yaitu 2ىْأ َي–ىَأَ

= datang,dalam kamus Munjid ةَاَيإَْ ا َياَأَْ ا َْياإ : ىَأَ ََ ْأَ ا َ : َءا 3

dalam konteks ini kata ءاَإْي lebih tepatnya diterjemahkan membayar/ memberikan. Kemudian dalam penerjemahan kalimat ْيْلاَ حَ

َ ْسا َ َط َعا إ َلْي ه َس ْي

ا dalam penerjemahannya ditambahkan kata “biaya”

sehingga pembaca pun dapat memahami pesan tersebut dengan baik, yaitu bahwa yang mampu dalam menunaikan Ibadah haji adalah orang yang mampu memenuhi biaya perjalanan menuju baitullah. Dalam terjemahan

2

Ahmad Warson, Al-Munawwir (Yogyakarta: Pustaka Progressif, 1984), h. 6.

di atas pesan dalam Tsu pun tersampaikan dengan simpel dan tidak bertele-tele, setiap kata dan kalimat diterjemahkan sesuai dengan padanan yang tepat dalam Tsa.

Sedangkan Dalam terjemahan yang berbahasa Sunda di atas terdapat kata ْصَف diterjemahkan “ari ieu hiji fasal” (ini satu fasal) terjemahan tersebut dinilai kurang tepat, karena ada penambahan kata “ari ieu hiji” sedangkan dalam Tsu tidak ada kata lain yang berdampingan dengan kata ْصَف , kata ْصَف di atas digunakan hanya sebagai penanda untuk memisahkan sesuatu, dalam kamus kata ْصَفْلا = yang memisahkan

antara dua perkara/barang , ْء َْلا َاْلا : َا ك ْ ْصَفْلا = fasal4

5 َف ْص شلا = ْي ئ ق : ْط َه ََأَ َا ه َا / ْف َ ََ َ ا َ

ْه Maka menurut penulis kata ْصَف tersebut lebih tepatnya diterjemahkan “Fasal”, sebagaimana kata ْصَف yang diterjemahkan dalam teks terjemahan bahasa Indonesia, tidak perlu ada kata lain yang mendampingi atau ditambahkan. Kemudian dalam penerjemahan ها ْ سّ د َح َأَ ها الإ َهٰلإاَل ْ َأ َداَ َش , yang diterjemahkan

“Syahadat, tegesna saenya-enyana kalakuan, henteu aya deui pangeran

anu wajib diibadahan anging Allah, sareng saenya-enyana kanjeng Nabi

Muhammad eta utusan Allah” (Syahadat, bahwa sebenar-benarnya

kelakuan, tidak ada lagi Tuhan yang wajib di ibadahi (disembah) kecuali Allah, dan sebenar-benarnya kanjeng Nabi Muhammad itu utusan Allah).

Kemudian dalam penerjemahan bahasa Sunda di atas kata َداَ َش diterjemahkan kembali menjadi “syahadat” dalam kamus ّاَْقْلاا : َداَ َش =

4

Warson, Al-Munawwir, h. 1059.

51

kesaksian atau pengakuan,6 yang kemudian menambahkan kalimat

tegesna, saenya-enyana kalakuan”(bahwa, sebenar-benarnya kelakuan)

yang dimana dalam teks Bsu tidak terdapat kalimat untuk arti tersebut. Dalam penerjemahan tersebut penerjemah ingin menekankan bahwa sebaik-baikanya / sebenar-benarnya kelakuan, yaitu meyakini bahwa tiada Tuhan yang wajib disembah kecuali Allah, dan Nabi Muhammad adalah utusan Allah. dalam hal ini terjemahan tersebut memang tidak menghilangkan pesan yang terkandung dalam Tsu, akan tetapi agar lebih tepat dan lebih mudah dipahami kata َداَ َش dalam Tsu diterjemahkan

menjadi “nyaksian” (bahasa Sunda) “bersaksi” (bahasa Indonesia), dan untuk kalimat “tegesna, saenya- enyana kalakuan” tersebut dihilangkan. maka menurut penulis terjemahan tersebut lebih baik diterjemahkan menjadi “nyaksian henteu aya deui pangeran anu wajib diibadahan anging Allah, sareng saenya-enyana kanjeng Nabi Muhammad eta utusan Allah” (Bersaksi tidak ada lagi Pangeran yang wajib disembah kecuali Allah, dan sebenar-benarnya kanjeng Nabi Muhammad itu utusan Allah).

Dalam perjemahan fasal “Rukun Iman” pada terjemahan kitab “Safiinatun Najaat” di atas, terjemahan bahasa Indonesia terasa lebih mudah dipahami, jelas, dan tegas. Pesan yang dialihkan kedalam Tsa dinilai tidak bertele-tele, penerjemah mengalihkan pesan dengan baik, sehingga ketika pembaca memahami dan menyelami pesan dan ide dalam karya terjemahan tersebut sesuai dengan apa yang disampaikan oleh penulis Tsu. Sedangkan dalam terjemahan bahasa Sunda, terjemahannya

6

memang tidak terdapat pesan yang tidak dialihkan atau kesalahan dalam pengalihan pesan. Akan tetapi, dalam penerjemahannya terdapat hal-hal yang dinilai kurang tegas, dalam artian penerjemah tidak membuang hal-hal yang terasa bertele-tele, seperti pada kasus penerjemahan “ ْصَف” dan dalam penerjemahan “ ها ْسّ د َح ََأ ها ال إ َلَه َلإا ْ َأ َداََش ” bahkan dalam

penerjemahannya, penerjemah menambahkan hal-hal yang tidak perlu.

Terjemahan Bahasa Indonesia:

[Fasal] Tanda-tanda baligh ada 3: (1) usia sudah mencapai 15 tahun baik laki-laki maupun perempuan (2) bermimpi keluar sperma (mimpi basah) baik laki-laki maupun perempuan (3) Haid bagi perempuan karena (berumur) 9 tahun.

Terjemahan Bahasa Sunda:

[Ari ieu eta hiji fasal] Ari pirang- pirang cirina baleg eta aya tilu, 1) sampurna umur lima belas taun dilalaki sareng diawewe, 2) ngimpi jimak dilalaki sareng diawewe karena

53

umur salapan taun, 3) haed diawewe karena umur salapan taun.

[ini satu fasal] bahwa macam-macam tanda baligh itu ada tiga, 1) sempurna umur lima belas tahun dilelaki dan diperemupuan, 2) mimpi jimak dilelaki dan diperempuan karena umur Sembilan tahun, 3)haid diperempuan karena umur sembiln tahun.

Apabila diperhatikan dalam terjemahan bahasa Indonesia di atas, yaitu dalam penerjemahan kata اَ ْحاْا yang diterjemahkan “bermimpi keluar sperma (mimpi basah)” yang di mana dalam kamus kata اَ ْحاْا =

keluarnya air mani karena mimpi bersetubuh,7 maka dapat dikatakan

penerjemahan tersebut menggunakan metode penerjemahan komunikatif, yaitu seorang penerjemah mereproduksi makna kontekstual yang sedemikian rupa. Aspek kebahasaan dan aspek isi langsung dapat dimengerti oleh pembaca, terjemahan tersebut disesuaikan dengan siapa target pembaca dan dengan tujuan apa Tsu itu diterjemahkan.8 Maka dengan menggunakan kata “sperma” pada penerjemahan diatas dapat diketahui bahwa target pembaca adalah orang-orang yang terpelajar, dan apabila kata اَ ْحاْا diterjemahkan menjadi “bermimpi keluar air mani”, maka dapat diketahui target yang dituju oleh penerjemah adalah orang-orang awam. 7 Warson, Al-Munawwir, h.293. 8 Hidayatullah, Tarjim, h. 34.

Dalam terjemahan bahasa Sunda di atas terdapat kata “pirang -pirang” dalam bahasa Indonesia berarti “macam-macam” kata pirang-pirang sering dipakai dalam terjemahan Sunda yaitu untuk menunjukan sebuah arti kata Tsu yang di mana kata dalam Tsu tersebut mengandung

makna “banyak” atau “jamak” , akan tetapi apabila dilihat dengan seksama tanpa menggunakan kata “pirang-pirang “ tersebut pun isi pesan

yang ada dalam Tsu dapat teralihkan dengan baik, bahkan terasa lebih mudah dipahami dan terasa lebih baik apabila kata “pirang-pirang”

tersebut dihilangkan, maka untuk penerjemahan kalimat اََث ْ ْلا اَ اََع dapat diterjemahkan menjadi “ cirri-ciri baleg aya tilu” (tanda-tanda baligh ada tiga), yaitu untuk kata pirang-pirang dibuang serta mengubah kata

cirina” yang terdapat dalam terjemahan berbahasa Sunda di atas menjadi

cirri-ciri, dengan alasan agar terjemahan terasa lebih mudah dipahami dan simpel.

Kemudian untuk kata اَ ْحاْا dalam terjemahan bahasa Sunda

diterjemahkan menjadi “ngimpi jimak” (mimpi jimak) kata “jimak” itu sendiri berasal dari bahasa arab yaitu ءْطَ لْا : عاَ ْال = jimak, senggama,

setubuh,9 yang berarti mimpi bersetubuh bagi laki-laki dan perempuan

ketika telah mencapai umur sembilan tahun, penerjemahan tersebut terasa lebih tertutup, artinya penerjemah tidak mengalihkan pesan lebih detail,

meski pun maksud untuk kata “jimak” itu sendiri telah dipahami oleh banyak kalangan, khususnya orang-orang mengetahui agama lebih dalam, tetapi bagi orang-orang yang awam terhadap agama, kata “jimak” itu

9

55

sendiri perlu dijelaskan lebih detail agar maksud dan tujuan pesan pada Tsu tersampaikan dengan baik.

Kemudian dalam penerjemahan bahasa Sunda tersebut terdapat

kata “karena” yaitu pada penerjemahan َ ْيس عْس ل= karena umur salapan

taun (karena umur sembilan tahun), pemakaian kata “karena” tersebut

dinilai kurang tepat, karena penerjemah menggunakan suatu kata yang di

mana kata tersebut berasal dari bahasa lain, kata “karena” berasal dari bahasa Indonesia yang digunakan untuk keterangan alasan contoh: saya tidak berangkat kerja karena hujan.10 untuk melengkapi penerjemahan

bahasa Sunda tersebut kata “karena” dapat dipadankan, yaitu dengan

menggunakan kata “lantaran”, kata “lantaran” memiliki arti “sebab” (lantaran, sebab).11 Maka untuk penerjemahan َ ْي س عْس ل lebih tepat

diterjemahkan “lantaran umur salapan taun“ (sebab umur sembilan

tahun), agar terjemahan tidak terasa rancu, tanpa harus menggunakan kata

lain yang bukan berasal dari Bsa.

Dalam penerjemahan fasal “Tanda - tanda Baligh” di atas, yaitu pada terjemahan bahasa Indonesia, bahwa terjemahan tersebut dinilai terasa wajar, yang berarti pesan Tsu yang dialihkan ke dalam Tsa berbentuk lazim, sehingga Tsa yang dibaca oleh pembaca terasa bukan hasil terjemahan, maka terjemahan ini termasuk jenis terjemahan yang sangat baik. Sedangkan dalam terjemahan bahasa Sunda, terjemahannya masih terasa seperti hasil terjemahan, karena memang penerjemah dalam

10

Bambang Marhijanto, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia masa Kini (Surabaya: Terbit Terang, 1999), h. 344.

11

penerjemahannya menggunakan metode penerjemahan kata demi kata, penerjemah meletakan kata-kata Tsa langsung di bawah versi Tsu.

Terjemahan Bahasa Indonesia :

[Fasal] Syarat sah beristinja dengan batu ada 8 : 1). Hendaknya dengan 3 batu, 2).(Ketiga batu) bisa membersihkan tempat (najis), 3). Najis belum kering, 4). Najis belum berpindah ke tempat lain, 5). Tidak bercampur dengan najis lain, 6). Tidak melampaui Hasyafah (bila kencing), 7). Tidak terkena air, 8). Harus dengan batu yang suci.

Terjemahan Bahasa Sunda :

[Ari ieu eta hiji fasal] Ari pirang-pirang syarat kacukupan susuci kubatu eta aya dalapan, 1) kudu aya susuci eta kalawan tilu pirang-pirang batu, 2) kudu ngabersihkeun batu kana tempat najis, 3) ulah waka garing najisna, 4) ulah waka pindah

57

eta najis, 5) ulah waka datang kana eta najis, kunajis anu sejen, 6) ulah waka ngaliwat najis kana bobokongna eta jalma, sareng kana hanyafahna eta jalma, 7) ulah waka kakeunaan kana eta najis kucai, 8) kudu aya pirang-pirang batuna eta anu suci.

[ini satu fasal] syarat-syarat kecukupan bersuci dengan batu itu ada delapan, 1) harus ada bersuci itu dengan tiga batu, 2) harus membersihkan batu pada tempat najis, 3) jangan dulu kering najisnya, 3) jangan dulu berpindah itu najis, 5) jangan dulu datang pada itu najis, dengan najis yang lain, 6) jangan dulu lewat najis itu pada panggul orang tersebut, dan pada hasyafahnya orang tersebut, 7) jangan dulu terkena pada itu najis dengan air, 8) harus ada batu-batu yang suci.

Pada terjemahan bahasa Indonesia di atas, frasa هَْيَع ََأْطَي diterjemahkan menjadi “bercampur dengan”, sedangkan frasa هَْيَع ََأْطَي dalam kamus memiliki arti “datang dengan tiba-tiba” َْأ َفْ َءاَ : ْ َْيَع ََأَط = “datang dengan tiba-tiba”,12 dalam penerjemahan frasa di atas menunjukan bahwa penerjemah menggunakan metode penerjemahan bebas, artinya hanya memperhatikan apakah terjemahannya dapat dipahami dengan baik atau tidak oleh si penutur Bsa. Metode ini diangap sebagai metode penerjemahan paling bebas dan dekat dengan Tsa. Namun, penerjemahan di atas tidak mengorbankan hal-hal penting isi pesan dalam

12

Tsu.13 Dan mungkin saja tanpa menggunakan metode ini penerjemah mengalihkan pesan yang terkandung dalam frasa هَْيَعََأْطَياَل menjadi “tidak

datang dengan najis lain”, yang dimana terjemahannya terasa janggal.

Maka penerjemahan diatas dinilai sudah cukup baik dan dapat dipahami.

Dalam terjemahan bahasa Indonesia di atas terdapat kesalahan yang dinilai cukup fatal, yaitu ketika menerjemahkan هََفَشَحَ هََحْفَص َ اَ ي اَل yang diterjemahkan menjadi “tidak melampaui Hasyafah (bila kencing)” apabila diperhatikan terjemahan tersebut tedapat pesan yang hilang atau tidak dialihkan kedalam Tsa. Yaitu, pesan dari frasa َهَحْفَص yang memiliki arti “sisi”, َا ْلا : ةَحْفَصلا= “sisi”,14 makna sisi dalam konteks ini adalah

sisi panggul, panggul : pangkal paha,15 yang artinya, najis dalam

terjemahan di atas tidak melampaui / melewati pangkal paha orang yang berhadats (ketika buang air besar), hal tersebut merupakan kesalahan yang cukup fatal, karena terdapat pesan dalam Tsu tidak teralihkan ke dalam Tsa. Kemudian pada penerjemahan هَفََشَح yang diterjemahkan kembali menjadi “hasyafah”, (tidak melampaui hanyafah “ bila kencing”) dalam kamus kata َفةَشَح berarti “ pucuk zakar ”, )فاَشح ( َفةَشَحْلا = pucuk

zakar",16 penerjemah tidak memberikan keterangan yang lebih jelas untuk

kata “hasyafah” itu sendiri, sehingga isi pesan sulit untuk dipahami maksudnya. Maka, untuk menerjemahkan هَفََشَحَ َهَحْفَص َ َاي اَل lebih baik diterjemahkan “najis tidak melampaui pangkal paha dan hasyafah “pucuk zakar” (ketika kencing)”.

13 Hidayatullah, Tarjim, h. 32. 14 Warson, Al-Munawwir, h.787. 15

Marhijanto, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, h. 258. 16

59

Dalam penerjemahan bahasa Sunda di atas terlihat kaku ketika menerjemahkan kalimat َية َا َث ََحْلا ءا َْ إ طْ ش yaitu, diterjemahkan menjadi “Ari pirang-pirang syarat kacukupan susuci kubatu eta aya dalapan”(syarat-syarat kecukupan bersuci dengan batu itu ada delapan), dalam penerjemahannya, kata ءا َْ إ diterjemahkan “kacukupan”

(kecukupan), dalam kamus memang arti dari kata ءا َْ إ itu sendiri adalah

kecukupan”, ةَياَف ْلا : َأ َْ َ َْلا ء َْ َ َْلا ْء ْلا : kecukupan,17 namun apabila diterjemahkan seperti itu terjemahan terasa janggal. Maka, agar terjemahan tidak terasa janggal kata “kacukupan” (kecukupan) tersebut dihilangkan dan kata pirang-pirang itu sendiri pun dihilangkan, maka sebaiknya diterjemahkan menjadi “ ari syarat susuci ku batu eta aya dalapan (syarat-syarat bersuci dengan batu itu ada delapan).

Kemudian pada penerjemahan ّاَ ْح َأةَثاََ َ ْ َيَأْ yang diterjemahkan

kudu aya susuci eta kalawan tilu pirang-pirang batu” (harus ada bersuci

itu dengan tiga batu), penerjemah menambahkan kata „bersuci” sehingga

terjemahan pun terasa janggal, serta menerjemahkan َْ َْي َأ menjadi “kudu aya” (harus ada), َْ َيَأْ sendiri berarti ada/seharusnya, ََد َ : َ اَك = ada, ىغََْي :َ اَك = seharusnya, seyogyanya”,18 dalam konteks ini sebaiknya terjemahan tersebut menggunakan kata “ kudu” (seharusnya) tanpa harus di sertai kata ”aya” (ada). Maka, agar terjemahan tidak terasa janggal, kata “bersuci” tersebut dihilangkan, dan untuk menerjemahkan َ ْ َيَأْ yaitu

diterjemahkan menjadi “kudu” (seharusnya). Dan terjemahan pun menjadi “kudu kalawan tilubatu” (harus dengan tiga batu).

17

Warson, Al-Munawwir, h.188. 18

Kemudian kurang tepatnya dalam penerjemahan هَْيَع َأْط َي yang

diterjemahkan menjadi “datang kana eta najis” (datang pada itu najis), frasa هَْيَع َأْطَي itu sendiri dalam kamus memiliki arti “datang dengan tiba -tiba” َْأ َف ْ َءاَ : ْ َْيَع ََأَط = “datang dengan tiba-tiba”,19 dalam penerjemahan tersebut penerjemah lebih memilih untuk setia pada makna Tsu, walau pun penyimpangan dari segi tata bahasa tetap dibiarkan, dalam

konteks ini maksud kata “datang” adalah “kacampuran”(tercampur), maka lebih tepatnya kata “datang” tersebut diganti menjadi

“kacampuran” (tercampur), agar penyimpangan tata bahasa dalam Bsa

dapat terhindari. Maka َخ َاهَْيَع َأْطَي َلا terjemahannya menjadi “ulah waka

kacampuran eta najis, kunajis sejen” (jangan dulu tercampur itu najis,

dengan najis lain).

Kemudian pada penerjemahan kata َفةَشَح dalam terjemahan bahasa Sunda, pada kasus ini sama halnya dengan kasus yang terdapat pada terjemahan bahasa Indonesia di atas, dalam kamus kata َفةَشَحberarti “pucuk zakar”, )فاَشح ( َفةَشَح ْلا= pucuk zakar”,20

penerjemah menerjemahkan

kata tersebut kembali menjadi “hasyafah”, هَفََشَحَ yang diterjemahkan

“sareng kana hasyafahna eta jalma” (dan pada hasyafahnya orang

tersebut), terjemahan tersebut dinilai kurang tepat, karena mungkin bagi

sebagian kalangan terjemahan tersebut tidak dapat di cerna dengan baik, hanya orang-orang tertentulah yang dapat memahaminya, khususnya bagi mereka yang memiliki ilmu agama serta penguasaan bahasa Arab dengan baik, untuk menerjemahkan kata َفةَشَح tersebut lebih baiknya

19

Warson, Al-Munawwir, h. 843. 20

61

diterjemahkan menjadi “tungtung zakar” (pucuk zakar). Agar pesan tersebut dapat difahami dengan mudah, maka klausa هَفََشَحَ َهَحْفَصَ َاي اََل

diterjemahkan menjadi “ulah waka ngaliwat najis kana bobokongna eta jalma, sareng kana tungtung zakarna eta jalma” (jangan dulu lewat itu najis pada panggulnya orang tersebut, dan pada pucuk zakarnya orang tersebut).

Dalam penerjemahan fasal “Syarat Sah Beristinja‟” bahasa Indonesia di atas, terdapat kesalahan yang dinilai cukup fatal, karena terdapat pesan yang hilang atau pesan tidak dialihkan kedalam Tsa, hal ini seharusnya dapat dihindari oleh seorang penerjemah, karena hasil terjemahan menentukan makna yang terkandung dalam Tsu tersampaikan atau tidak serta makna tersebut menyimpang atau tidak dari konteksnya. Kemudian penerjemah dalam penerjemahannya terlihat masih ragu, seperti pada kasus menerjemahkan kata َفةَشَح , yang di mana masih terlihat kesulitan dalam mencari padanan yang tepat dalam Tsa. Begitu pun dalam terjemahan bahasa Sunda, yaitu masih terlihat ragu dalam penerjemahannya, penerjemah masih kesulitan dalam mencari padanan yang tepat, sama halnya ketika menerjemahkan kata “ َفةَشَح “, kemudian mencari padanan untuk menerjemahkan “ َأْطَي “. Dalam terjemahan

bahasa Sunda tersebut memang tidak terdapat pesan yang tidak dialihkan, akan tetapi karena terjemahanya masih menggunakan metode kata demi kata, maka hasil terjemahan pun masih terasa sedikit kaku khususnya kekakuan dalam tatanan bahasa dalam Tsa.

Penilaian:

Terjemahan Bahasa Indonesia

Skor awal dua halaman = 200 – 12 (jumlah kesalahan) = 9,4 (Nilai akhir)

2 (jumlah halaman)

No Penilaian Kata / Kalimat Diterjemahkan Poin yang

dikurangi 1 Klausa atau kalimat yang

tidak diterjemahkan

tidak melampaui Hasyafah (bila kencing)

10

2 Terjemahan salah pesan - -

3 Frasa, diksi, kolokasi, konstruksi atau komposisi,

serta tata bahasa tidak dialihkan secara tepat

bercampur dengan 2

4 Kesalahan ejaan dan tanda baca

63

Terjemahan Bahasa Sunda

No Penilaian Kata / Kalimat Diterjemahkan Poin yang

dikurangi 1 Klausa atau kalimat yang

tidak diterjemahkan

- -

2 Terjemahan salah pesan - -

3 Frasa, diksi, kolokasi, konstruksi atau komposisi,

serta tata bahasa tidak dialihkan secara tepat

ari ieu hiji fasal 18

Syahadat, tegesna

saenya-enyana kalakuan, henteu aya deui

pangeran anu wajib diibadahan anging Allah, sareng saenya-enyana kanjeng Nabi Muhammad eta utusan Allah

Ari pirang-pirang cirina baleg eta aya tilu ngimpi jimak

karena umur salapan taun

Ari pirang-pirang syarat kacukupan susuci kubatu eta aya dalapan

Skor awal dua halaman = 200-18 (jumlah kesalahan) = 9,1 (Nilai akhir)

2 (jumlah halaman)

kudu aya susuci eta kalawan tilu pirang-pirang batu

datang kana eta najis ulah waka ngaliwat najis kana bobokongna eta jalma, sareng kana hanyafahna eta jalma 4 Kesalahan ejaan dan tanda

baca

65

BAB V

PENUTUP

Dokumen terkait