• Tidak ada hasil yang ditemukan

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.5 ANALISIS BEBAN KERJA FISIK

Analisis beban kerja fisik dilakukan untuk mengetahui korelasi antara konsumsi energi suatu individu dengan output yang dihasilkan. Pada penelitian ini, dilakukan perbandingan antara subjek laki-

laki dan perempuan dari beberapa parameter yang diukur, yaitu IRHR, TEC’, gross yield, dan indeks

kualitas.

Tabel 14. Data semua parameter subjek perempuan dan laki-laki

Subjek IRHR TEC'

(kal/kg.menit) Indeks Gross yield (gram/menit) Y' (gram/menit) Rata-rata %pucuk rusak F1 1.21 27.128 0.71 89 63.19 10.60 F2 1.40 36.384 0.60 156 93.60 13.07 F3 1.50 33.660 0.61 222 135.42 11.27 F4 1.38 33.623 1.38 122 168.36 10.40 Rata-rata 1.371±0.12 32.699±3.932 0.825±0.373 147.25±56.847 115.143±46.211 11.34±1.215 M1 1.71 30.872 0.63 167 105.21 20.13 M2 1.60 49.596 1.24 133 164.92 10.40 M3 1.35 36.140 1.12 122 136.64 12.20 M4 1.69 46.488 1.00 144 144.00 10.67 Rata-rata 1.587±0.165 40.774±8.756 0.998±0.264 141.5±19.227 137.693±24.721 13.35±4.589

Berdasarkan Tabel 14, nilai IRHR rata-rata laki-laki lebih tinggi daripada perempuan. Sebanding

dengan IRHR, nilai rata-rata TEC’ laki-laki pun lebih besar dibandingkan perempuan. Nilai IRHR atau

denyut jantung individu sangat dipengaruhi oleh physical load dan mental load sementara nilai TEC

dapat dipengaruhi oleh physical load saja. Contoh physical load adalah beban dari berat badan individu

itu sendiri sedangkan contoh mental load adalah beban pikiran individu. Beban mental/pikiran itulah

45 Beban mental individu tidak hanya mengenai perasaan atau emosi individu saat itu, tetapi beban mental juga dapat dipengaruhi karena adanya pemikiran lebih (konsentrasi tinggi) saat aktivitas kerja.

Pada penilitian ini, mental load berpengaruh terhadap indeks kualitas subjek. karena setiap subjek

perlu berkonsentrasi tinggi untuk menghasilkan pucuk-pucuk teh yang berkualitas. Hal tersebut dapat terlihat dari korelasi antara IRHR dan indeks kualitas pucuk. Subjek laki-laki yang memiliki nilai rata- rata IRHR tinggi dapat memperoleh indeks kualitas pucuk yang tinggi pula. Hal ini menunjukan suatu hal yang baru karena biasanya perempuan dikatakan lebih teliti dibandingkan laki-laki dan dianggap bisa mendapatkan kualitas pucuk yang baik, namun dari hasil pengukuran, terlihat justru sebaliknya. Selain itu, indeks kualitas juga dapat berkorelasi dengan persentase pucuk rusak. Berdasarkan hasil rata-rata persentase pucuk rusak terlihat bahwa subjek laki-laki memiliki persentase lebih tinggi dibandingkan perempuan. Tetapi, 25% dari subjek laki-laki atau sekitar 1 orang dari subjek laki-laki memiliki data yang jauh berbeda dengan subjek laki-laki lainnya. Nilai pencilan yang dimiliki oleh subjek laki-laki itu sangat mempengaruhi nilai rata-rata dari subjek laki-laki itu sendiri. Standar deviasi dari data subjek laki-laki pun tinggi, dapat mencapai 4.59. Sedangkan perempuan memiliki standar deviasi yang rendah, yaitu sebesar 1.21. Hal tersebut menandakan bahwa dengan adanya nilai pencilan tersebut dapat mempengaruhi keragaman data yang didapat.

Parameter output lain yang dapat berkorelasi dengan tingkat konsumsi energi adalah berat pucuk

teh yang dipetik atau bisa disebut dengan gross yield. Konsumsi energi subjek perempuan yang lebih

rendah dibandingkan laki-laki mampu menghasilkan gross yield yang lebih tinggi. Tetapi, 25% dari

subjek perempuan atau 1 orang dari subjek perempuan termasuk dalam data pencilan. Sama seperti halnya indeks, nilai pencilan pada subjek perempuan juga sangat mempengaruhi standar deviasinya, yaitu dapat mencapai 56.847.

Namun, gross yield yang besar belum tentu menghasilkan kualitas yang bagus juga. Itulah

sebabnya perlu dicari Y’ untuk menggabungkan antara kualitas dan kuantitasnya. Sehingga jika dihubungkan dengan konsumsi energi maka akan terlihat bahwa semakin tinggi konsumsi energinya

maka akan semakin besar juga nilai Y’ (gabungan kuantitas dan kualitas). Meskipun dari data kuantitas

terdapat pencilan tetapi pada nilai y’ tidak ada pencilan. Hal ini menandakan bahwa dengan gross yield

yang sangat tinggi, belum tentu menghasilkan indeks yang sangat tinggi pula, sehingga dapat mengakibatkan nilai Y’ menurun. Berdasarkan data, konsumsi energi sebanding dengan output kerja yang dihasilkan. Subjek laki-laki memiliki konsumsi energi yang lebih tinggi dibandingkan perempuan, hal tersebut diimbangi dengan output yang baik pula.

M1 dapat menghasilkan pucuk teh terbanyak yaitu 167 gram/menit dengan tenaga yang paling

kecil di antara subjek laki-laki. Gross yield yang besar tersebut ternyata tidak diimbangin dengan

kualitas yang besar pula. Hal ini menyebabkan nilai Y’ yang dimiliki M1 tetap terendah yaitu 105.21. Bahkan persentase pucuk rusaknya pun bisa mencapai 20.13%. Ada banyak faktor yang menyebabkan keadaan tersebut terjadi di antaranya sifat subjektif dari M1 yang terlihat cuek dan cara pengambilan pucuk teh yang terlihat kasar, sehingga banyak pucuk teh yang tidak terambil dengan baik.

Tenaga yang dikeluarkan F1 cukup rendah dan hal tersebut dapat berpengaruh pada kinerja F1

yang tergolong rendah pula. Hal ini terlihat dari gross yield yang dihasilkan oleh F1 hanya sekitar 89

gram/menit. Namun, kelebihan dari F1 ini adalah memiliki indeks kualitas yang lumayan baik yaitu sekitar 0.71 atau setara dengan 60% pucuk medium. Rata-rata persentase pucuk yang rusak pun termasuk rendah yaitu hanya sekitar 10.60%. Keadaan-keadaan tersebut dapat memperlihatkan bahwa

F1 masih memiliki kualitas pucuk yang baik. Nilai gross yield yang rendah dapat disebabkan oleh sifat

subjek yang tidak gesit dan kondisi pucuk di lahan yang memang persediaannya sedikit.

Subjek F2 mengeluarkan tenaga paling besar di antara subjek perempuan lainnya, yaitu mencapai 36.384 kal/kg.menit. Namun, indeks kualitas pucuknya paling rendah yaitu 0.60 atau setara dengan 54%

46

tetapi gross yieldmencapai 156 gram/menit sehingga nilai Y’ adalah 93.60. Begitu pula dengan %pucuk

rusaknya paling besar, yaitu 13.07%. Berdasarkan data-data tersebut terlihat bahwa F2 mengeluarkan tenaga yang besar untuk mendapatkan hasil yang cukup besar. Hasilnya memang tidak sebesar F3 karena F2 memiliki umur yang lebih tua dibandingkan dengan F3 sehingga F2 memiliki keterbatasan. Faktor usialah yang juga mempengaruhi kualitas pucuk yang dihasilkan oleh F2. Umur yang sudah lebih dari 50 tahun dapat menyebabkan ketelitian yang semakin menurun.

F3 memiliki gross yield yang sangat tinggi yaitu sebesar 222 gram/menit. Namun, kelemahan dari

F3 ini adalah kualitas yang dihasilkan hanya 55% atau indeksnya 0.61. Indeks tersebut terendah

dibandingkan subjek perempuan yang lain. Gross yield yang tinggi menunjukkan bahwa F3 memiliki

kecepatan yang tinggi saat memetik tetapi energi yang dikeluarkan tidak terlalu tinggi dibandingkan subjek yang lain. Hal ini didukung oleh umur F3 yang masih muda yaitu 34 tahun dan pucuk yang melimpah saat proses pemetikan berlangsung. Kualitas yang rendah diperoleh F3 bisa dipengaruhi oleh pengalaman F3 yang masih rendah yaitu baru 8 tahun bekerja sebagai pemetik teh.

Subjek F4 mengkonsumsi energi yang hampir sama dengan subjek F3, namun F4 hanya mampu

mendapatkan gross yield sebesar 122 gram/menit. Kelebihan dari F4 adalah indeks kualitas yang

dimilikinya tinggi mencapai 1.38 atau setara dengan 76%. Berdasarkan keputusan perusahaan, persentase yang lebih dari 72% akan mendapatkan reward. Berarti dengan kualitas yang diperoleh F4

tersebut sudah bisa dikatakan bahwa kualitasnya sangat bagus. Sehingga meskipun nilai gross yieldnya

tidak terlalu tinggi tapi F4 memperoleh Y’ yang paling tinggi di antara subjek perempuan lainnya. Selain itu, nilai %pucuk rusaknya pun sedikit, yaitu hanya 10.40%. Hal ini menunjukkan bahwa F4 lebih mengutamakan kualitas. Selain itu, umur F4 yang lebih tua dibandingkan F3, menyebabkan F4 kurang cepat untuk mendapatkan pucuk yang banyak. Kualitas yang tinggi yang diperoleh F4 juga bisa disebabkan oleh tingginya konsentrasi F4 saat memetik karena ketika pengukuran berlangsung F4 jarang sekali terlihat saling berbicara dengan pemetik yang lain, dan F4 juga termasuk orang yang rapi, telaten, dan teliti.

Kualitas yang paling bagus juga diperoleh oleh M2. Indeks kualitasnya bisa mencapai 1.24 atau setara dengan 74%. M2 mengeluarkan tenaga 49.596 kal/kg.menit untuk mendapatkan 133 gram

pucuk/menit. Dengan gross yield yang tidak terlalu tinggi dibandingkan subjek laki-laki yang lain, M2

berhasil mendapatkan nilai Y’ yang paling tinggi di antara subjek laki-laki lainnya. Hal ini dibantu oleh nilai indeks M2 yang paling tinggi dan %pucuk rusaknya yang paling rendang. Itu berarti menunjukan M2 juga masih mengutamakan kualitas. Keadaan tersebut sebanding dengan energi yang dikeluarkan oleh M2. Energi M2 yang tinggi juga dipengaruhi oleh kondisi lahan saat memetik.

Selanjutnya, M4 mengeluarkan energi yang tidak jauh berbeda dengan M2. Nilai produk bersihnya pun sedikit lebih rendah dibandingkan M4. Namun, indeks kualitas dari M4 sangat jauh berbeda dengan M2. M4 hanya mampu mendapatkan indeks kualitas 1.00 atau setara dengan 70%. Tapi kualitas tersebut sudah bisa dibilang kualitas bagus, karena perusahaan menargetkan kualitas pucuk di atas 65%. Selain itu, %pucuk rusaknya punmasih bisa dikatakan rendah yaitu 10.67%. Keadaan tersebut sangat bagus, karena untuk seorang pemula seperti M4 yang baru 2 tahun bekerja, sudah dapat menghasilkan kualitas yang baik. Hal ini didukung pula dengan ketersediaan pucuk yang banyak sehingga memungkinkan M4 untuk menghasilkan pucuk yang banyak pula. Energi besar yang dikeluarkan oleh M4 bisa dipengaruhi juga oleh faktor umur dari M2 yang sudah mencapai 60 tahun.

M3 mengeluarkan tenaga 36.140 kal/kg.menit untuk menghasilkan 122 gram pucuk/menit. Kualitasnya pun cukup tinggi yaitu 73% atau setara dengan indeks 1.12 sehingga M3 mendapatkan nilai Y’ sebesar 136.64 dan %pucuk rusaknya pun sekitar 12.20%. Jika dilihat dari umur M3 yang sudah 50 tahun, maka hasil yang diperoleh bisa dikatakan baik, karena kualitas sudah melebihi target kualitas

47 subjek laki-laki lainnya. Hal ini terjadi karena sifat dari M3 yang terlihat tidak terlalu gesit saat memetik teh. Mungkin hal tersebut dilakukan oleh M3 agar lebih bisa berkonsentrasi untuk memetik teh sehingga kualitasnya tetap terjaga.

Berdasarkan data-data yang telah diperoleh, subjek F4 memiliki hasil yang paling efisien karena dengan menghasilkan energi yang tidak terlalu besar namun dapat menghasilkan output yang baik. Jika tingkat konsumsi energi tiap subjek (TEC’) dan nilai Y’ (gram/menit) maka dapat diketahui nilai konsumsi energi kerja per satuan berat (kg) dan per satuan berat hasil (kg).

Tabel 15. Data konsumsi energi per satu kilogram hasil

Subjek TEC' (kal/kg.kg) F1 429.3154 F2 388.7186 F3 248.5628 F4 199.7091 Rata-rata 316.5765 M1 293.4302 M2 300.7261 M3 264.4906 M4 322.8359 Rata-rata 295.3707

Setelah digabungkan dengan nilai Y’, tingkat konsumsi setiap individu berubah. Sebagai contoh, subjek F1 dapat mengkonsumsi energi sangat tinggi untuk menghasilkan 1 kg pucuk, hal ini dikarenakan kecepatan subjek yang masih sangat rendah sehingga perlu ada energi yang lebih besar lagi yang dikonsumsi untuk menambah output yang dihasilkan. Semakin banyak kebutuhan untuk aktivitas otot bagi suatu jenis pekerjaan, maka semakin banyak pula energi yang dikonsumsi.

Ada korelasi antara energi yang dikeluarkan dengan jumlah pucuk teh yang dihasilkan dan kualitas pucuk tehnya. Selain itu, ada faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi energi yang dikeluarkan dengan jumlah pucuk yang dihasilkan baik secara kualitas maupun kuantitas. Pada kasus ini, faktor-faktornya adalah ketersediaan pucuk di kebun, kondisi lahan, lingkungan kerja, karakteristik tubuh subjek, sifat subjektif subjek, umur, pengalaman, dll.

Derajat beratnya beban kerja tidak hanya tergantung pada jumlah kalori yang dikonsumsi, akan tetapi juga bergantung pada jumlah otot yang terlibat pada pembebanan otot statis. Sejumlah energi tertentu akan lebih berat jika hanya ditunjang oleh sejumlah kecil otot relatif terhadap sejumlah besar otot. Ada beberapa hal yang dapat menyebabkan denyut jantung meningkat, di antaranya adalah temperature sekeliling tinggi, pembebanan otot statis tinggi, dan semakin sedikit otot yang terlibat dalam suatu kondisi kerja (Nurmianto 2008).

Dokumen terkait