• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Latar Belakang Larangan Pemilikan Hak Milik Atas Tanah Oleh WNI Keturunan Tionghoa Di Daerah Istimewa Yogyakarta

Dalam dokumen T1 312007091 BAB III (Halaman 35-70)

Menarik untuk dicermati, bahwa masih diberlakukannya larangan kepemilikan hak milik atas tanah oleh WNI keturunan Tionghoa di DIY yang hal tersebut bertentangan dengan UUPA sebagai hukum agraria nasional Indonesia, menyatakan bahwa setiap hak atas tanah yang terdapat dalam UUPA termasuk HM atas tanah adalah hak bagi warga negara yang tidak boleh dibatasi oleh pemerintah maupun individu, karena setiap hak atas tanah tersebut bertujuan untuk mensehjahterakan warga negara indonesia. Oleh karenanya hal ini harus dilindungi oleh Negara, yang pelaksaanaanya dijalankan oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah.

Hal ini sesuai dengan bunyi ketentuan dalam Pasal 2 ayat (1) jo. (2) UUPA yang mengatur tentang hak menguasai dari Negara, yang menyatakan : atas dasar ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 bahwa bumi, air, dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat. Hak menguasai dari Negara ini memberikan wewenang kepada Negara untuk:

a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa;

b. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa;

94

c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa. Sedangkan dalam ketentuan Pasal 2 ayat (3), menyatakan: “wewenang yang bersumber pada ha k mengua sai dari Negara tersebut digunakan untuk mencapai sebesa r-besar kemakmuran rakyat dalam arti kebangsaan, kesejahteraan, dan kemerdekaan dalam masya rakat dan Negara hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur.”

Hak menguasai dari Negara tersebut pelaksanaanya dapat juga dikuasakan kepada Daerah-daerah Swantantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, hal tersebut terdapat dalam Pasal 2 ayat (4) UUPA.

Atas dasar hak menguasai dari Negara tersebut, ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang-orang lain serta badan-badan hukum.

Macam hak-hak atas tanah sebagaimana yang dimaksudkan tertuang dalam Pasal 16 UUPA, yang dapat dimiliki tersebut ialah: hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak sewa, hak hak membuka tanah, hak memungut hasil hutan, dan hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut serta hak-hak yang sifatnya sementara sebagaimana yang disebutkan dalam pasal 53 (hak gadai, hak usaha bagi hasil, hak menumpang dan hak sewa tanah pertanian).

Terkait dengan pemberlakuan UUPA di Indonesia seharusnya tidak ada perbedaan antar daerah atau propinsi lainnya, tetapi di DIY mempunyai keistimewaan yang sampai sekarang masih berjalan meskipun bertentangan dengan UUPA sebagai hukum agraria nasional. Keistimewaan yang dimiliki DIY tersebut terkait dengan pengaturan pertanahan yaitu dengan masih berlaku dan belum dicabut hingga sekarang ini aturan pertanahan tersebut yang tertuang Surat Edaran Gubernur DIY No. K.898/A/1975 hal : Penyeragaman Policy pemberian hak atas tanah kepada seorang WNI Non Pribumi.

95

Isi dari Surat Edaran Gubernur DIY tersebut adalah : “apabila ada warga negara Indonesia non pribumi membeli tanah hak milik rakyat, hendaknya diproseskan sebagaimana biasa, ialah dengan melalui pelepasan hak, sehingga tanahnya kembali menjadi tanah Negara yang dikuasai langsung oleh Pemerintah Daerah DIY dan kemudian yang berkepentingan / melepaskan supaya mengajukan permohonan kepada Kepala Daerah DIY untuk mendapatkan sesuatu hak”.

Unsur pelepasan HM yang terdapat dalam Surat Edaran Gubernur DIY tersebut berbeda dengan unsur pelepasan hak pada umumnya yang digunakan dalam hal pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum, seperti yang diatur dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.

Pengertian dari Pelepasan Hak menurut Pasal 1 ayat (9) UU No. 2 Tahun 2012 ini, adalah: kegiatan pemutusan hubungan hukum dari Pihak yang Berhak kepada negara melalui Lembaga Pertanahan.

Bahwa Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum yang diatur dalam UU ini dilaksanakan atau diselenggarakan oleh Pemerintah dan tanahnya selanjutnya dimiliki oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah. Tujuan dari Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum ini untuk menyediakan tanah bagi pelaksanaan pembangunan guna meningkatkan kesehjahteraan dan kemakmuran bangsa, negara dan masyarakat dengan menjamin kepentingan hukum Pihak yang Berhak. Pihak yang Berhak wajib melepaskan tanahnya pada saat pelaksanaan Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum setelah pemberian Ganti Kerugian atau berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Terkait dengan penyelenggaraan Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pembangunan dan kepentingan masyarakat.

Bahwa terkait Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum dilaksanakan dengan pemberian Ganti Kerugian yang layak dan adil. Dalam hal ini yang berhak melakukan penilaian Ganti Kerugian adalah Lembaga Pertanahan dengan menetapkan penilai yang bertujuan untuk melaksanakan penilaian Objek Pengadaan

96

Tanah. Penilaian Ganti kerugian oleh penilai tersebut dilakukan bidang per bidang tanah, meliputi: (a) tanah; (b) ruang atas tanah dan bawah tanah; (c) bangunan; (d) tanaman; (e) benda yang berkaitan dengan tanah; dan/atau (f) kerugian lain yang dapat dinilai. Nilai Ganti Kerugian yang dinilai oleh penilai tersebut merupakan nilai pada saat pengumuman penetapan lokasi pembangunan untuk Kepentingan Umum, yang disampaikan kepada Lembaga Pertanahan yang kemudian digunakan untuk menjadi dasar musyawarah penetapan Ganti kerugian.

Pemberian Ganti Kerugian dapat diberikan dalam bentuk: (a) uang; (b) tanah pengganti; (c) pemukiman kembali; (d) kepemilikan saham; atau (e) bentuk lain yang disetujui oleh kedua belah pihak.

Dari hasil kesepakatan dalam musyawarah untuk menetapkan bentuk dan/atau besarnya Ganti Kerugian menjadi dasar pemberian Ganti Kerugian kepada Pihak yang Berhak. Dalam hal tidak terjadi kesepakatan mengenai bentuk dan/atau besarnya Ganti Kerugian, Pihak yang Berhak dapat mengajukan keberatan kepada pengadilan negeri setempat. Bila mana keberatan kepada pengadilan negeri belum tercapai kesepakatan mengenai bentuk dan/atau besarnya Ganti kerugian maka Pihak yang Berhak dapat mengajukan kasasi kepada Mahkamah Agung. Bahwa putusan pengadilan negeri / Mahkamah Agung yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap menjadi dasar pembayaran Ganti Kerugian kepada pihak yang mengajukan keberatan. Terkait dengan pemberian Ganti Kerugian atas Objek Pengadaan Tanah diberikan langsung kepada Pihak yang Berhak. Dalam hal Pihak yang Berhak menolak bentuk dan/atau besarnya Ganti Kerugian berdasarkan hasil musyawarah atau putusan pengadilan negeri / Mahkamah Agung, maka Ganti Kerugian dititipkan di pengadilan negeri setempat.

Pada saat pemberian Ganti Kerugian Pihak yang Berhak menerima Ganti Kerugian wajib: (a) melakukan pelepasan hak; dan (b) menyerahkan bukti penguasaan atau kepemilikan Objek Pengadaan Tanah kepada Instansi yang memerlukan tanah melalui Lembaga Pertanahan.

97

Penyerahan hasil pengadaan tanah oleh Lembaga Pertanahan kepada Instansi yang memerlukan tanah barulah dapat dilakukan setelah: (a) pemberian Ganti Kerugian kepada Pihak yang Berhak dan pelepasan hak telah dilaksanakan; dan/atau (b) pemberian Ganti Kerugian telah dititipkan di pengadilan negeri.

Sedangkan pelepasan HM yang diatur dalam Surat Edaran Gubernur DIY tersebut tidak ada unsur pembangunan untuk kepentingan umum, tetapi yang ada adalah pelepasan hak milik atas tanah yang dimiliki WNI keturunan Tionghoa supaya menjadi tanah negara yang dikuasai langsung oleh pemerintah daerah DIY, dan setelah WNI keturunan tersebut melakukan pelepasan HM atas tanahnya barulah dapat melakukan permohonan hak atas tanah yang baru kepada Kepala Daerah DIY selain HM atas tanah, misalnya seperti HGB atau HP. Meskipun pelepasan HM menjadi hak atas tanah yang lain tersebut dalam Surat Edaran Gubernur dikatakan dilakukan dengan suka rela, tetapi sesungguhnya (faktanya) pelepasan hak tersebut dapat dikatakan memaksa karena tidak ada persetujuan atau keinginan dari pemengang hak untuk melepaskan HM atas tanahnya tersebut. Dapat dilihat bahwa hal ini hanya dilakukan sepihak oleh pemerintah daerah DIY dan tidak ada musyawarah dari kedua belah pihak. Selain itu pemegang hak juga tidak mendapatkan perlindungan atau bantuan hukum atas pelepasan HM tersebut.

Dampak dari masih diberlakukan Surat Edaran Gubernur DIY tersebut yaitu bahwa WNI keturunan Tionghoa yang ingin membeli, memiliki atau memerlukan tanah di DIY dengan status HM tidak diberikan, sedangkan hanya diberikan status tanah dengan HGB saja. Meskipun sebenarnya menurut hukum WNI keturunan Tionghoa tersebut telah sah sebagai warga negara indonesia (WNI).

Sebenarnya Surat Edaran Gubernur DIY No.K.898/A/1975, hal : Penyeragaman Policy pemberian hak atas tanah kepada seorang WNI Non Pribumi, tidak tepat diberlakukan lagi di DIY. Karena pada tanggal 1 April 1984 telah dikeluarkan Keputusan Presiden No. 33 Tahun 1984 tentang pemberlakuan Sepenuhnya Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Dalam pertimbangannya, bahwa berdasarkan Undang-Undang No. 3

98

Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta, beberapa urusan diserahkan kepada propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai kewenangan otonom, sehingga Undang-undang No. 5 Tahun 1960 sejak diundangkan sampai saat ini belum berlaku secara penuh di Daerah tersebut. Tetapi sesuai dengan pernyataan Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta untuk memberlakukan Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 (UUPA) secara penuh, maka agar pelaksanaan Undang-Undang No.5 Tahun 1960 dapat lebih berdaya guna dan berhasil guna, dipandang perlu untuk menetapkan pemberlakuan sepenuhnya Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 di Daerah Istimewa Yogyakarta.

Dengan keputusan Presiden No. 33 Tahun 1984 tersebut bahwa Undang-Undang No. 5 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria dan peraturan pelaksanaannya, dinyatakan berlaku sepenuhnya untuk seluruh wilayah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Seluruh wilayahnya berarti 4 kabupaten yaitu Sleman, Bantul, Gunung Kidul, Kulon Progo dan 1 Kota yaitu Yogyakarta.

Setelah dikeluarkannya Kepres No. 33 Tahun 1984 tentang Pemberlakuan Sepenuhnya Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Pemerintah Daerah DIY mengeluarkan Peraturan Daerah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (Perda DIY) No. 3 Tahun 1984 tentang Pelaksanaan Berlaku Sepenuhnya Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

Bahwa dalam pertimbangan Perda DIY No. 3 Tahun 1984 tersebut Gubernur DIY telah menyatakan bahwa sesuai dengan tekat Gubernur Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta untuk memberlakukan sepenuhnya Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta beserta aturan pelaksanaanya sebagaimana terwujud dalam Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 3/K/DPRD/1984 tentang Pernyataan Pemerintah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta untuk memberlakukan secara penuh Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) di Daerah Istimewa

99

Yogyakarta, dan Keputusan Daerah Perwakilan Rakyat Daerah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta No. 4/K/DPRD/1984 tentang Usul kepada Presiden Republik Indonesia untuk mengeluarkan Keputusan Presiden yang memberlakukan secara penuh Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) di Daerah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

Dengan berlaku sepenuhnya Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 beserta aturan-aturan pelaksanaannya di seluruh wilayah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta ini, pengurusan agraria yang semula berdasarkan wewenang otonomi beralih menjadi wewenang dekonsentrasi. Maksudnya, bahwa Pemerintah Daerah DIY diberikan kewenangan untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakatnya menurut prakarsa sendiri, yang terkait dengan pengaturan pertanahan di DIY. Tetapi atas usul yang diajukan oleh Kepala Daerah DIY (Gubernur DIY) kepada Presiden untuk mengeluarkan Keputusan Presiden untuk memberlakukan sepenuhnya UUPA di propinsi DIY yang bertujuan agar terjadi keseragaman, kesatuan, dan kepastian hukum. Maka kewenangan otonomi yang dimiliki Pemerintah Daerah DIY yang mengatur soal pertanahan selain UUPA tidak diberlakukan lagi di DIY, melainkan hanya UUPA sebagai hukum agraria nasional yang diberlakukan di DIY seperti propinsi lainnya di Indonesia.

Tanah-tanah di DIY yang tidak termasuk diatur dengan UUPA yaitu tanah-tanah Hak Milik Keraton Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Paku Alaman (Sultan Ground dan Paku Alaman Ground) yang selama ini belum dilepaskan, masih Hak Milik atau merupakan domain bebas dari Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Paku Alaman. Tanah tersebut adalah tanah milik Raja yang memiliki nilai historis yang panjang, dan menggunakan aturan-aturan Rijksblad untuk mengatur urusan pertanahannya. Sedangkan tanah-tanah yang sudah diatur dengan UUPA adalah hanyalah tanah-tanah yang kewenangannya telah diserahkan kepada pemerintah ataupun tanah-tanah bekas hak barat yang telah dikonversi, yang telah menjadi tanah Negara.

100

Kenyataannya memang sampai berlaku UUPA di DIY sekarang ini, Surat Edaran Gubernur DIY No.K.898/A/1975 belum dicabut secara tegas. Tetapi dengan diberlakukannya Peraturan Daerah DIY No. 3 Tahun 1984 tentang Pelaksanaan Berlaku Sepenuhnya Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 Di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, maka segala ketentuan peraturan perundang-undangan Daerah Istimewa Yogyakarta yang mengatur tentang agraria dinyatakan tidak berlaku lagi.

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan penulis, bahwa alasan Sultan mengeluarkan Surat Edaran Gubernur DIY terkait dengan larangan pemilikan hak milik atas tanah bagi WNI keturunan Tionghoa tersebut alasannya sangat politis, karena pada jaman dulu Sultan (Raja) memikirkan kesehjahteraan bagi WNI asli (pribumi). Karena takut tanah di DIY dikuasai semua oleh WNI keturunan Tionghoa yang alasannya karena WNI keturunan Tionghoa lebih kaya dalam materi dibandingkan WNI asli (pribumi) dan WNI keturunan Tionghoa juga pandai melihat tanah yang berprospek untuk berkembang. Menurut penulis alasan Sultan yang masih memberlakukan larangan pemilikan HM bagi WNI keturunan Tionghoa dengan dasar pertimbangan kondisi ekonomi tidak tepat diberlakukan, karena seharusnya dasar yang digunakan untuk memberikan pertimbangan hak atas tanah kepada seorang warga negara harus berdasarkan pada subyek hukumnya yang terdapat dalam UUPA. Yaitu berdasarkan atas asas persamaan hak, yang tertuang pada Pasal 9 ayat (2) UUPA, bahwa pasal ini menempatkan subyek hukum baik laki-laki maupun perempuan tidak dibedakan dalam kesempatan untuk memperoleh kenikmatan atas BARA (termasuk pula pemilikan tanah dengan HM di Indonesia). Bahkan pasal ini juga tidak membedakan golongan atau suku, sehingga UUPA tidak menerapkan diskriminasi karena jenis kelamin maupun golongan (suku) karena bertentangan dengan rasa keadilan bangsa indonesia ataupun HAM. Selain itu juga bahwa setiap warga Negara Indonesia, baik WNI keturunan Tionghoa dan WNI asli (pribumi) sama-sama memiliki hak dan kewajiban tanpa adanya perbedaan.

101

Jika memang yang digunakan sebagai dasar pertimbangan untuk memberikan hak atas tanah bagi warga negara adalah dengan pertimbangan ekonomi, maka hal ini dapat dikatakan diskriminasi.

Dengan telah berlaku sepenuhnya UUPA di DIY ini, maka aturan larangan kepemilikan HM atas tanah bagi WNI keturunan Tionghoa tersebut tidak tepat lagi jika masih diberlakukan di DIY. Karena dalam ketentuan Pasal 9 ayat (1) UUPA, menyatakan: “Hanya warga negara Indonesia yang dapat mempunyai hubungan yang sepenuhnya dengan bumi, air, dan ruang angkasa”. Dan ketentuan Pasal 21 ayat (1) UUPA menyatakan: “Hanya warga negara indonesia dapat mempunyai hak milik”. Oleh karena hak milik ini merupakan hak yang terpenuh dan terkuat atas tanah maka ditentukan bahwa hak ini disediakan bagi warga negara indonesia saja. Hanya orang-orang asing (WNA) saja yang tidak diperbolehkan untuk mempunyai hak milik ini.

Pengertian dari warga negara Indonesia yang dianut dalam UUPA ini adalah pengertian warga negara Indonesia dalam arti kata WNI tunggal, tidak membedakan antara warga negara Indonesia asli (Pribumi) dengan WNI keturunan Tionghoa. Karena hanya mereka yang berstatus WNI, tetapi disamping itu masih mempunyai kewarganegaraan lain (berkewarganegaraan ganda) dalam hal ini oleh UUPA dipersamakan dengan orang asing (WNA), dan berlaku ketentuan Pasal 31 ayat (3) UUPA yang menyatakan: “orang asing yang sudah berlakunya undang-undang ini memperoleh ha k milik ka rena pewarisan tanpa wasiat atau percampuran harta perka winan, demikian pula wa rga nega ra indonesia yang mempunyai hak milik dan setelah berlakunya Undang-Undang ini kehilangan kewa rganega raannya wajib melepaskan hak itu di dalam jangka waktu sa tu tahun sejak diperolehnya hak tersebut atau hilangnya kewarganega raan itu. Jika sesudah jangka waktu tersebut lampau hak milik itu tidak dilepaskan, maka hak tersebut hapus karena hukum dan tanahnya jatuh kepada Negara, dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung”.

102

Sedangkan pada kenyataannya, mereka yang WNI keturunan Tionghoa tidak dapat memiliki HM atas tanah di DIY meskipun mereka telah sah menurut hukum dianggap sebagai warga negara indonesia, akan tetapi bagi mereka tetap saja hanya diberikan HGB. Dapat diartikan bahwa WNI keturunan Tionghoa jika membeli atau memiliki rumah di DIY hanyalah membeli atau memiliki bangunannya saja, tidak beserta dengan tanahnya, karena tanahnya adalah milik Pemerintah Daerah DIY. Setiap WNI keturunan Tionghoa tersebut jika membeli tanah atau rumah milik WNI asli (Pribumi) awalnya harus melepaskan HM atas tanahnya tersebut dan barulah dapat melakukan permohonan hak atas tanah yang baru tetapi selain HM, yang biasanya hanya diberikan HGB saja. WNI keturunan Tionghoa sebagai Pemegang HGB tersebut juga harus melakukan perpanjangan haknya yang jangka waktunya paling lama 30 tahun, dan tidak dapat memohonkan peningkatan hak atas tanah dar i HGB menjadi HM. HGB ini berbeda dengan HM karena HM tidak perlu melakukan permohonan perpanjangan hak.

Dalam prakteknya WNI keturunan Tionghoa dimungkinkan memiliki atau dapat mengajukan tanah dengan HM tetapi harus mempunyai “surat kekancingan” dari Keraton yang dikeluarkan oleh Sultan. WNI keturunan Tionghoa yang mendapatkan surat kekancingan tersebut biasanya memiliki hubungan kekerabatan dengan Keraton atau biasanya ada keturunan dari keluarga Keraton, maka barulah dapat diberikan tanah dengan HM dengan surat kekancingan tersebut. Jika tidak mempunyai surat kekancingan maka tidak dapat mempunyai tanah dengan HM. Tetapi apabila tanah tersebut akan digunakan untuk kepentingan pembangunan atau kepentingan Pemerintah / Keraton maka tanah tersebut harus dilepaskan.

Berdasarkan prinsip Equality Before The La w, masih berlakunya larangan pemilikan HM bagi WNI keturunan Tionghoa tersebut tidak menjamin kepastian hukum bagi warga negara, khususnya WNI keturunan Tionghoa. Karena sudah seharusnya setiap orang yang dianggap sebagai warga negara indonesia berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum, tanpa adanya pembedaan dari pihak manapun termasuk

103

perbedaan dari pemerintah pusat ataupun pemerintah daerah. Karena sesungguhnya setiap orang yang dianggap sebagai warga negara berhak mendapatkan kesempatan yang sama atas tanah di Indonesia, yang juga keberadaan tanah adalah karunia Tuhan Yang Maha Esa yang digunakan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan atau kemakmuran rakyat. Negara hanyalah diberikan hak menguasai bukanlah sebagai pemilik atas tanah di Indonesia. Hak menguasai tersebut hanya untuk mengatur terkait pengaturan tanah di Indonesia agar tercapai sebesar-besar kemakmuran rakyat dalam arti kebangsaan, kesejahteraan, dan kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur.

Tujuan diberlakuakannya UUPA di DIY tersebut adalah agar terjadi keseragaman, kesatuan dan kepastian hukum terkait dengan pengaturan agraria di DIY. Oleh karena itu, bahwa demi adanya keseragaman, kesatuan dan kepastian hukum perlu ditinjau kembali dan tidak diberlakukannya Rijksblad-Rijksblad, Peraturan Daerah - Peraturan Daerah dan ketentuan peraturan perundang-undangan daerah lainnya tentang Agraria di DIY, sehingga hanya peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat yaitu Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) beserta, aturan pelaksanaannya yang berlaku, dengan menetapkan Peraturan Daerah DIY tentang Pelaksanaan berlaku sepenuhnya Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

Setiap propinsi di Indonesia melalui pemerintah daerah memang diberikan kewenangan untuk membuat peraturan daerahnya sendiri guna untuk menunjang dan memajukan pemerintahan daerahnya, akan tetapi peraturan daerah yang dibentuk tersebut tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang tingkatnya lebih tinggi, seperti UUD 1945 ataupun Undang-Undang.

Tetapi karena UUPA merupakan peraturan dasar Hukum Tanah Nasional, sudah dengan sendirinya tidak boleh ada peraturan Hukum Tanah, baik yang tertulis maupun tidak tertulis, yang bertentangan dengan ketentuan UUPA. Termasuk pula aturan larangan pemilikan HM atas tanah di DIY bagi WNI keturunan Tionghoa yang tertuang dalam Surat Edaran Gubernur tersebut, bahwa telah bertentangan dengan

104

“asas persamaan hak”, yang tertuang dalam Pasal 9 ayat (2) UUPA yang menyatakan bahwa tiap-tiap wa rga negara Indonesia mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh sesuatu hak atas tanah. Kesempatan setiap warga negara yang sama tersebut ditujukan baik bagi laki-laki atau perempuan dan/atau bagi WNI asli (pribumi) dan WNI keturunan, yang sama-sama telah menjadi warga negara untuk dapat memiliki HM atas tanah di Indonesia.

Ketentuan hukum adat di sementara daerah yang hanya memberi kemungkinan kepada anggota-anggota masyarakat hukumnya sendiri untuk mempunyai tanah dengan hak milik adalah bertentangan dengan ketentuan UUPA tersebut, yang dimuat dalam Pasal 9 ayat (2). Pasal itu memuat pula ketentuan bahwa dalam hal ini pemilikan tanah tidak diadakan perbedaan antara laki-laki dan wanita. Hukum adat di sementara daerah yang tidak memungkinkan orang-orang wanita ataupun orang-orang laki mempunyai tanah dengan hak milik bertentangan pula

Dalam dokumen T1 312007091 BAB III (Halaman 35-70)

Dokumen terkait