• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemilikan Hak Atas Tanah Oleh WNI Keturunan Tionghoa di Daerah Istimewa Yogyakarta Dengan Adanya Larangan Pemilikan Hak Milik

Dalam dokumen T1 312007091 BAB III (Halaman 28-35)

Selain mencari fakta terkait dengan pengaturan pertanahan di DIY, yang terdapat adanya larangan pemilikan hak milik atas tanah bagi WNI keturunan Tionghoa. Bahwa untuk mengetahui fakta yang terjadi dilapangan penulis juga melakukan penelitian terhadap beberapa WNI keturunan Tionghoa yang berdomisili di DIY dan khususnya yang mengetahui atau mengalami hubungan terkait dengan masalah larangan pemilikan HM atas tanah tersebut.

Beberapa WNI keturunan Tionghoa yang berhasil diwawancara yang mengetahui atau mengalami terkait dengan masalah larangan kepemilikan HM atas tanah tersebut, diantaranya:

1. Bpk Budi Santoso7

Beliau adalah WNI keturunan Tionghoa yang sejak tahun dari tahun 2005 tinggal dan berdomisili di DIY, yang sebelumnya tinggal dan berdomomisi di Surabaya. Beliau tinggal dan memiliki rumah di jalan Kaliurang Yogyakarta, kabupaten Sleman dengan status tanahnya HM.

Bahwa awalnya rumah tersebut dikontrak oleh ayahnya yang bernama Sapto Margono yang juga sebagai warga negara suku Tionghoa yang tanahnya berstatus HGB. Tetapi tidak lama setelah pindah ke DIY, rumah tersebut dibeli dengan menggunakan atas nama ayahnya.

Status tanah dari rumah tersebut yang awalnya HGB dirubah menjadi berstatus HM. Diperolehnya status HM tersebut dikarenakan Sapto Margono wajah

7

87

dan perawakannya mirip dengan WNI asli (pribumi), yang sebenarnya adalah WNI keturunan Tionghoa.

Setelah Sapto Margono meninggal rumah tersebut diwariskan keanaknya yang bernama Budi Santoso. Tetapi pada saat mau dibalik nama atas nama Budi Santoso, Notaris / PPAT mengatakan jika ketahuan oleh BPN bahwa tanah tersebut dimiliki oleh WNI keturunan Tionghoa maka status HM atas tanahnya akan diturunkan statusnya menjadi HGB. Apalagi Budi Santoso wajah dan perawakannya sangat jelas sebagai WNI keturunan Tionghoa, tidak seperti perawakan ayahnya yang mirip dengan WNI asli (pribumi). Notaris / PPAT menawarkan akan membantu dan dengan diberikan uang tambahan untuk menguruskan agar tanahnya tetap berstatus HM. Budi Santoso menyerahkan semuanya kepada Notaris / PPAT pada saat pengurusan hak atas tanah tersebut ke BPN.

Beruntung saja namanya telah menggunakan nama Indonesia, karena jika masih menggunakan dengan nama Tionghoa sudah pasti akan dicurigai dan tidak dapat memiliki tanah dengan status HM, yang status tanahnya akan diturunkan menjadi HGB.

2. Bpk Bambang Riyanto8

Beliau adalah WNI keturunan Tionghoa yang telah 20 tahun tinggal dan berdomisili di DIY, tepatnya di jalan Magelang, Sleman.

Memang benar bahwa di DIY ada larangan pemilikan HM oleh WNI keturunan Tionghoa. Larangan tersebut amanat Sultan sebagai Gubernur DIY (kepala daerah), yang berlaku sejak Sultan Hamengku Buwono IX.

Memiliki beberapa rumah di DIY dengan status tanah yang berbeda-beda, ada yang statusnya HM dan adapula yang statusnya HGB.

Baru mengetahui terkait dengan adanya larangan HM tersebut sejak membeli tanah untuk rumah di DIY. karena pada saat membeli tanah untuk dibangun rumah

8

88

pemborongnya tidak mengatakan bahwa tanah yang dibeli tersebut statusnya akan turun menjadi HGB, padahal tanah tersebut status awalnya adalah HM. Penurunan dari HM menjadi HGB tersebut dikarenakan dimiliki oleh WNI keturunan Tionghoa, sedangkan jika WNI asli (Pribumi) yang membeli tanah perumahan tersebut status tanahnya tersebut tetap dengan HM.

Selain itu beliau juga memiliki tanah di DIY dengan status HM, karena dibantu pengurusannya oleh Notaris / PPAT dan dengan membayar (memberikan) uang tambahan agar tanahnya mendapatkan status HM bukan dengan status HGB.

Kendalanya jika warga negara suku Tionghoa membeli tanah dengan status HM ialah sertifikat tanahnya tersebut tidak dapat digadaikan ke bank, hal tersebut oleh bank akan dipertanyakan dikarenakan WNI keturunan Tionghoa mengapa bisa memiliki atau mendapatkan tanah dengan status HM di DIY. Karena pada dasarnya bank di DIY memahami benar adanya larangan bagi WNI keturunan Tionghoa memiliki tanah dengan status HM. Dan jika diketahui oleh Pemerintah Daerah atau BPN bahwa ada WNI keturunan Tionghoa yang dapat memiliki tanah dengan status HM, status tanahnya tersebut akan diturunkan statusnya menjadi HGB.

Beliau tidak takut status HM atas tanahnya jika oleh Pemerintah atau BPN diturunkan menjadi status HGB. Karena baik tanah yang statusnya HM ataupun HGB yang dimilikinya itu, untuk nilai beli atau nilai jual dari harga tanahnya tetap sama. Yang membedakan adalah tanah dengan status HM yang dimiliki oleh WNI keturunan Tionghoa tidak dapat digadaikan dibank. Selain itu juga tanah yang berstatus HM tidak perlu melakukan permohonan perpanjangan hak atas tanah, berbeda dengan tanah yang berstatus HGB maka pemegang hak atas tanah tersebut setelah jangka waktu tertentu harus melakukan permohonan perpanjangan hak atas tanahnya. Dan dalam melakukan permohonan perpanjangan akan dikenakan biaya permohonan perpanjangan hak atas tanah tersebut.

Beliau tidak pernah melakukan permohonan hak atas tanahnya dari HGB menjadi HM, karena harga jualnya tetap sama dengan harga jual tanah dengan yang berstatus HM.

89

Tanah yang statusnya HGB yang dimiliki WNI keturunan Tionghoa jika dibeli oleh WNI asli (pribumi) status tanahnya dapat ditingkatkan menjadi HM kembali, sedangkan Jika tanah tersebut dibeli oleh WNI keturunan Tionghoa status tanahnya tersebut tetap berstatus HGB.

WNI keturunan Tionghoa yang memiliki tanah dengan status HM di DIY dilakukan dengan sembunyi-sembunyi, karena hal tersebut merupakan pelanggaran hukum. Dan jika ada WNI keturunan Tionghoa yang tidak tahu adanya aturan larangan ini dan ingin membeli tanah di DIY pasti kaget, karena tanah yang dibeli dari yang awalnya berstatus HM akan turun statusnya menjadi HGB. Apalagi jika WNI keturunan Tionghoa masih menggunakan nama Tionghoa sudah pasti status tanah yang akan diberikan hanyalah HGB, tidak mungkin diberikan dengan status HM.

Hal ini dapat dikatakan diskriminasi bagi WNI keturunan Tionghoa, meskipun pada dasarnya DIY dianggap memiliki keistimewaan dibandingkan dengan daerah yang lainnya.

3. Bpk Oey Meng Hoi9

Beliau adalah warga negara suku Tionghoa yang dahulu tinggal dan berdomisili di Salatiga, sekarang tinggal dan berdomisili di DIY.

Beliau WNI keturunan Tionghoa yang telah miliki Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan memiliki Surat Keterangan Berkewarganegaraan Republik Indonesia (SKBRI), meskipun masih menggunakan nama Tionghoa dan tidak menggunakan nama Indonesia seperti orang warga negara Indonesia pada umumnya. Tetapi menurut hukum, beliau telah dianggap sebagai warga negara Indonesia.

Pada waktu awal pindah ke DIY berniat untuk membeli sebuah rumah. Tetapi pada saat menanyakan kepada beberapa agen property terkait dengan status kepemilikan tanahnya, agen property tersebut mengatakan bahwa khusus bagi WNI

9

90

keturunan Tionghoa tidak dapat diberikan tanah dengan status HM dan hanya dapat diberikan status HGB saja. Berbeda dengan WNI asli (pribumi) yang jika membeli rumah statusnya langsung mendapatkan status dengan HM.

Alasan dari beberapa agen property tersebut adalah karena adanya aturan / kebijakan dari Sultan yang berlaku sejak tahun 1975, yang yang sampai sekarang belum dicabut. Oleh karena itu menurut agen property tersebut bagi setiap WNI keturunan Tionghoa yang ingin membeli tanah atau rumah di DIY hanya dapat diberikan status HGB tidak dapat dengan status HM.

Agen property tersebut mengatakan jika WNI keturunan Tionghoa ingin membeli tanah / rumah dengan status HM dapat dengan menggunakan nama (pinjam nama) dari WNI asli (pribumi).

4. Ibu Imelda10

Beliau adalah WNI keturunan Tionghoa yang berasal dari Semarang, sejak tahun 2005 bersama dengan suaminya yang juga sama-sama sebagai WNI keturunan Tionghoa memilih untuk menetap dan berdomisili di DIY.

Kemudian memutuskan untuk membeli rumah tempat tinggal yang terletak di Kabupaten Bantul. Beliau membeli rumah milik WNI asli (pribumi), dengan status HM. Tetapi pada saat melakukan pengurusan jual beli rumah tersebut di Notaris / PPAT, status tanahnya yang awalnya berstatus HM turun statusnya menjadi HGB.

Menurut keterangan dari Notaris / PPAT bahwa bagi WNI keturunan Tionghoa yang ingin membeli / memiliki tanah dengan status HM tidak diperbolehkan, melainkan status tanah yang dapat diperoleh hanyalah HGB saja. Larangan pemilikan HM bagi WNI keturunan Tionghoa tersebut diatur dalam Surat Edaran Gubernur DIY No.K.898/A/1975, hal : Penyeragaman Policy pemberian hak atas tanah kepada seorang WNI Non Pribumi.

10

91

Beliau tidak mengurus atau mengajukan permohonan peningkatan hak atas tanah dari status HGB menjadi status HM, bahwa hasilnya akan sama saja yang diperoleh, status tanahnya yang diperoleh tetap hanyalah HGB saja jika mengajukan permohonan peningkatan hak atas tanah menjadi HM.

5. Bpk Antony Lee11

Dalam harian kompas 8 September 2009; surat pembaca harian kompas : status hak milik tanah bagi WNI pribumi dan keturunan – Antony Lee, Perum Jangkang C 60, Nogotirto, Sleman, Yogyakarta. Bahwa pada Juli 2009, saat mengurus jual beli tanah seluas 126 m² pada seorang Notaris di Sleman, Yogyakarta, keIndonesiaan saya kembali dipertanyakan. Notaris mengatakan, karena ada embel-embel “Lee” status yang semula Hak Milik harus diturunkan menjadi Hak Guna Bangunan. Alasannya, ada Instruksi dan Surat Edaran Gubernur DIY 1975 yang hingga kini belum dicabut. Intinya, warga negara keturunan belum diperkenankan memiliki hak milik, bila dipaksakan mengajukan hak milik, Badan Pertanahan Nasional akan menolak menerbitkan Sertifikat. Saya berdalil, pada tahun 1984 Daerah Istimewa Yogyakarta sudah menerapkan penuh UU Pokok Agraria tahun 1960. Ditambah lagi, sejak tahun 2006 disahkan UU Kewarganegaraan yang tidak lagi mengenal istilah Pribumi dan non Pribumi. Akhirnya saya menuruti Notaris itu, dengan mengeluarkan uang tambahan, yang disebutnya perlu adanya pajak dan biaya tambahan pengurusan. Saya tidak bermaksud mengutak-atik kearifan lokal ini. Namun, saya tergelitik pertanyaan, apakah Undang-Undang dikalahkan dengan Instruksi? Lepas dari itu, rasa sakit yang lebih mendera, hati saya kembali bertanya, sudah sepenuhnya Indonesia-kah saya?

Dari kelima nara sumber diatas tersebut mengatakan bahwa memang WNI keturunan Tionghoa dilarang memiliki tanah di DIY dengan status HM dan hanya

11

http://www.scribd.com/doc/33264088/Aturan-UU-Diskriminatif, Kompas 8 September 2009, Surat Pembaca : Status Hak Milik Tanah Bagi WNI Pribumi dan Keturunan; Antony Lee.

92

diberikan status tanah dengan HGB saja, yang larangan pemilikan HM tersebut merupakan kebijakan dari Sultan (Raja).

Menurut bpk Budi Santoso dan bpk Bambang Riyanto mengakui bahwa dapat memiliki tanah dengan status HM di DIY karena dibantu pengurusannya oleh Notaris / PPAT dengan memberikan uang tambahan.

Kesamaan lainnya antara bpk Budi Santoso dengan bpk Bambang Riyanto adalah mereka sama-sama dapat memiliki HM atas tanah di DIY karena telah menggunakan nama indonesia dalam identitasnya (tidak menggunakan nama Tionghoa), karena jika masih menggunakan nama Tionghoa meskipun dibantu pengurusannya oleh Notaris / PPAT untuk mendapatkan tanah dengan status HM di DIY tetap tidak bisa.

Bahwa menurut bpk Bambang Riyanto, ibu Imelda dan bpk Antony Lee mengakui membeli tanah HM WNI asli (pribumi) tetapi pada saat pengurusan jual beli di Notaris / PPAT untuk balik nama, status tanah yang awalnya berstatus HM berubah (diturunkan) menjadi status HGB. Hal ini dikarenakan menurut Notaris / PPAT bagi WNI keturunan Tionghoa dilarang memiliki tanah dengan status HM di DIY.

Bahwa kesamaan lainnya antara bpk Bambang Riyanto dengan ibu Imelda adalah meskipun mereka membeli tanah dari WNI asli (pribumi) yang awalnya berstatus HM dan diturunkan menjadi HGB, mereka sama-sama tidak mau mengajukan permohonan peningkatan hak atas tanahnya dari HGB menjadi HM dengan alasan bahwa tetap saja status tanahnya tidak akan berubah menjadi HM karena mereka adalah WNI keturunan Tionghoa.

Selain terdapat persamaan antara pendapat nara sumber, juga terdapat perbedaan pendapat yang dikemukakan oleh nara sumber, yaitu antara bpk Budi Santoso dengan bpk Oey Meng Hoi. Bahwa bpk Budi Santoso mengakui ayahnya yang bernama bpk Sapto Margono yang juga WNI keturunan Tionghoa awalnya dapat membeli tanah di DIY dengan status HM karena nama, wajah, dan perawakannya mirip dengan WNI asli (pribumi). Sedangkan bpk Oey Meng hoi yang

93

sama-sama WNI keturunan Tionghoa mengakui bahwa tidak dapat membeli tanah dengan status HM di DIY dikarenakan masih menggunakan nama Tionghoa, selain itu wajah dan perawakannya sangat jelas sebagai WNI keturunan Tionghoa.

B. ANALISIS.

1. Analisis Latar Belakang Larangan Pemilikan Hak Milik Atas Tanah

Dalam dokumen T1 312007091 BAB III (Halaman 28-35)

Dokumen terkait