• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Besaran Willingness To Pay Responden Terhadap Kenaikan Harga BBM

KENAIKAN HARGA BBM JENIS PREMIUM

DAFTAR LAMPIRAN

II. METODE PENELITIAN

3.5 Analisis Besaran Willingness To Pay Responden Terhadap Kenaikan Harga BBM

Analisis WTP menggunakan pendekatan Contingent Valuation Method

(CVM) merupakan pendekatan yang pada dasarnya menanyakan secara langsung kepada masyarakat berapa besarnya maksimum Willingness to Pay (WTP) untuk manfaat tambahan dan atau berapa besarnya maksimum Willingness to Accept

(WTA) sebagai kompensasi dari kerusakan barang lingkungan (Hanley dan Spash, 1993).

Tahap-tahap yang dilakukan pada penelitian ini adalah (Hanley dan Spash, 1993):

1. Mendapatkan Penawaran Besarnya Nilai WTP

Untuk mendapatkan nilai penawaran yang digunakan pada penelitian ini adalah metode Payment Card (metode nilai kisaran) yaitu responden diberikan nilai kisaran yang mungkin mengindikasikan tipe pengeluaran responden untuk nilai moneter (rupiah ingin dibayar) untuk kesanggupan membayar kenaikan harga BBM bersubsidi jenis premium. Metode ini dipilih karena peneliti ingin lebih menyempitkan pilihan nilai rupiah yang dibayar oleh responden dari kenaikan harga BBM bersubsidi.

2. Memperkirakan Besaran Rata-rata WTP

Setelah wawancara dilakukan dengan media kuesioner maka untuk mengetahui berapa besaran kesediaan membayar responden, WTP dapat diduga dengan nilai tengah dari kelas atau interval WTP responden ke-i. Berdasarkan jawaban responden dapat diketahui WTP yang benar berada antar jawaban yang dipilih. Dugaan rataan WTP dibagi dengan rumus :

WTP = Wi, Pfi

Keterangan :

WTP = Dugaan WTP (rupiah)

Wi = Batas bawah WTP pada kelas ke- i

Pfi = Frekuensi relatif kelas ke-i

n = Jumlah kelas

i = Sampel

3.6 Analisis Crosstabs

Fungsi dari analisis crosstabs adalah untuk menggambarkan jumlah data dan hubungan antarvariabel. Pada uji statistik ditentukan melalui Uji Chi-Square

dengan mengamati ada tidaknya hubungan antarvariabel yang dimasukan (baris dan kolom).

Penentuan Uji Chi-Square menggunakan hipotesis yaitu:

H0 : Faktor yang diuji tidak berhubungan nyata dengan respon responden H1 : Faktor yang diuji berhubungan nyata dengan respon responden

Pengambilan keputusan dengan menggunakan nilai Asymp. Sig. (2-sided) yang terdapat pada Chi-Square Test. Apabila nilai Asymp. Sig. (2-sided) lebih dari 0,05 maka H0 diterima. Apabila nilai Asymp. Sig. (2-sided) kurang dari 0,05 maka H0 ditolak yang artinya ada hubungan antara baris dan kolam (Wahana, 2007).

3.7 Analisis Model Logit

Penentuan tingkat penerimaan responden terhadap pembayaran jasa lingkungan sebagai upaya konservasi dikumpulkan melalui data binner. Data

Dengan kondisi seperti ini, jenis penggunaan regresi yang sesuai untuk pemodelan adalah regresi logit. Hal yang membedakan model regresi logit dengan regresi biasa adalah peubah terikat dalam model bersifat dikotomi (Hosmer dan Lameshow, 1989). Bentuk fungsi ini model logit adalah :

      − = pi 1 pi log Logit(pi) e Logit(pi) = β0 + β1JRKi+ β2USIAi+ β3JTGi+ β4 JBBMi+ β5LBi+ εi di mana:

Logit(pi) = Peluang responden setuju atau tidak dengan kenaikan harga BBM (bernilai 1 untuk “setuju” dan bernilai 0 untuk “tidak setuju”)

β0 = Intersep

β1, β23,..,β5 = Koefisien dari regresi

JRΚ = Jarak tempuh (km)

USIA = Usia responden (tahun)

JTG = Jumlah tanggungan (orang)

JBBM = Jumlah BBM yang digunakan per hari (liter)

LB = Lama Waktu Berkendaraan per hari (jam)

ε = Galat

Pengujian terhadap parameter model dilakukan untuk memeriksa kebaikan model. Uji statistik yang dilakukan adalah dengan menggunakan statistik rasio odd, uji G atau likelihood ratio, dan statistik uji Wald.

1. Rasio Odd

Rasio odd merupakan rasio peluang terjadi pilihan-1 terhadap peluang terjadi pilihan-0 (Juanda, 2009). Koefisien bertanda positif menunjukan nilai rasio odd yang lebih besar dari satu, hal tersebut mengindikasikan bahwa peluang kejadian sukses lebih besar dari peluang kejadian tidak sukses. Sedangkan koefisien yang bertanda negatif mengindikasikan bahwa peluang kejadian tidak sukses lebih besar dari peluang kejadian sukses (Juanda, 2009).

2. Uji G

The log-likelihood biasa dikenal sebagai – 2 LL (- two times the loglikelihood) di mana nilai tersebut dapat memperkirakan distribusi chi-squere (

χ 2) dan memungkinkan penentuan level signifikansi. Statistik uji G adalah uji rasio kemungkinan maksimum (likelihood ratio test) yang digunakan untuk menguji peranan variabel penjelas secara serentak. Rumus umum untuk uji G atau Likelihood Ratio adalah (Hosmer dan Lemeshow, 1989):

G = - 2 ln

Pengujian terhadap hipotesis pada uji G adalah sebagai berikut: H0 : ß1= ... = ßn = 0

H1 : minimal ada satu nilai ß1tidak sama dengan nol, dimana i = 1,2,3,...,n

Statistik G akan mengikuti sebaran χ 2 dengan derajat bebas α. Kriteria

keputusan yang diambil adalah jika G lebih besar dari χ 2

p(a) maka hipotesis nol ditolak. Uji G juga dapat digunakan untuk memeriksa apakah nilai yang diduga dengan variabel di dalam model lebih baik jika dibandingkan dengan model tereduksi (Hosmer dan Lemeshow, 1989).

3. Uji Wald

Uji wald digunakan untuk uji nyata parsial bagi masing-masing koefisien variabel. Dalam pengujian hipotesa, jika koefisien dari variabel penjelas sama dengan nol, hal ini berarti variabel penjelas tidak berpengaruh pada variable respon. Uji wald mengikuti sebaran normal baku dengan kaidah keputusan menolak H0 jika W lebih besar dari Zα/2 atau p-valuekurang dari α. (Hosmer dan

Lemeshow, 1989).

3.8 Regresi Linear Berganda

Suatu model dikatakan baik apabila bersifat BLUE (Best Linear Unbiased Estimator), yaitu memenuhi asumsi klasik atau terhindar dari masalah-masalah multikolinearitas, autokorelasi, dan heteroskedastisitas. Untuk itu dilakukan uji untuk terhadap model apakah terjadi penyimpangan-penyimpangan asumsi klasik. Setiap estimator OLS harus memenuhi kriteria BLUE, yaitu best (yang

terbaik), linear (merupakan fungsi linear dari sampel), unbiased (rata-rata nilai harapan (E(bi) harus sama dengan nilai yang sebenarnya (bi)), efficient estimator

3.8.1 Uji Normalitas

Uji normalitas bertujuan untuk mengetahui apakah dalam model regresi, variabel bebas dan variabel terikatnya mempunyai distribusi normal atau tidak. Suatu model regresi dikatakan baik, apabila memiliki distribusi normal ataupun mendekati normal. Normalitas dapat dideteksi dengan melihat gambar histogram, tetapi seringkali polanya tidak mengikuti bentuk kurva normal, sehingga sulit untuk disimpulkan. Pada penggunakan software SPSS, dapat dilihat berdasarkan nilai Asymp. Sig. (2-tailed) pada N-par test, jika nilai Asymp. Sig. (2-tailed) lebih besar dari alpha, maka data terdistribusi normal.

3.8.2 Uji Multikolinearitas

Multikolinearitas adalah hubungan linear yang kuat antara variabel-variabel eksogen dalam persamaan regresi berganda. Jika nilai R2 yang diperoleh tinggi (antara 0,8 dan 1) tetapi tidak terdapat atau sedikit sekali koefisien dugaan yang signifikan pada taraf uji tertentu dan tanda keofisien regresi dugaan tidak sesuai teori maka model yang digunakan berhubungan dengan masalah multikolinearitas (Gujarati, 1997).

Hal utama yang menyebabkan terjadinya multikolinearitas pada model regresi yaitu kesalah teoritis dalam pembentukan model fungsi regresi yang dipergunakan atau terlampau kecilnya jumlah pengamatan yang akan dianalisis dengan model regresi.

Tindakan perbaikan terhadap multikolinearitas dapat dilakukan dengan berbagai alternatif sebagai berikut:

1. Menggunakan extraneous atau informasi sebelumnya. 2. Mengkombinasikan data cross section dan data time series. 3. Membuang variabel yang berkorelasi.

4. Mentransformasikan data.

3.8.3 Uji Autokorelasi

Salah satu asumsi dari model regresi linear adalah bahwa tidak ada autokorelasi atau korelasi serial antara error term (εt). Dengan pengertian lain, error termmenyebar bebas atau Cov(εi, εj) = E(εi, εj) = 0, untuk semua i ≠ j. Jika

antar error termtidak bebas atau E (εi, εj) ≠ 0, untuk semua i ≠ j, maka terdapat

masalah autokorelasi (Juanda, 2009). Autokorelasi sering terjadi pada data time series, dimana error term pada suatu periode waktu secara sistematik tergantung kepada error term pada periode-periode waktu yang lain.

Konsekuensi dari adanya autokorelasi yaitu varian yang diperoleh dari estimasi dengan ECM bersifat under estimate, yaitu nilai varian parameter yang diperoleh lebih kecil daripada nilai varian yang sebenarnya.

Cara mendeteksi ada tidaknya autokorelasi bisa dilakukan dengan melihat nilai Durbin Watson (DWstatistik), kemudian membandingkannya dengan DWtabel. Sebuah model dapat dikatakan terbebas dari autokorelasi jika nilai DWstatistik

terletak di area nonautokorelasi. Penentuan area tersebut dibantu dengan nilai tabel dl dan du. Pengujian menggunakan hipotesis sebagai berikut (Juanda, 2009): H0 : Tidak terdapat autokorelasi

H1 : Terdapat autokorelasi

Tabel 7. Kerangka Identifikasi Autokorelasi

Nilai DW Hasil

< DW < 4 Tolak , korelasi serial negatif < DW < Hasil tidak dapat ditentukan 2 < DW < Terima , tidak ada korelasi serial

< DW < 2 Terima , tidak ada korelasi serial < DW < Hasil tidak dapat ditentukan 0 < DW < Tolak , korelasi serial positif

Solusi dari masalah autokorelasi adalah:

1. Penghilangan variabel yang sebenarnya berpengaruh terhadap variabel endogen.

2. Kesalahan spesifikasi model. Hal tersebut diatasi dengan mentransformasi model, misalnya dari model linear menjadi model non linear atau sebaliknya.

3.8.4 Uji Heteroskedastisitas

Salah satu asumsi yang penting dari model regresi linear klasik adalah varian residual yang konstan (homoskedastisitas). Rumusan homoskedatisitas adalah sebagai berikut:

Var(εi) = E(εi2) = σ2

di mana:

εi = unsur disturbance,

σ = nilai varians.

Apabila asumsi tersebut tidak terpenuhi maka varian residual tidak lagi bersifat konstan disebut dengan heteroskedastisitas. Konsekuensi dari adanya heteroskedastisitas yaitu:

a. Estimasi dengan menggunakan ECM tidak akan lagi memiliki varian yang minimum atau estimator tidak efisien.

b. Prediksi (nilai Y untuk X tertentu) dengan estimator dari data yang sebenarnya akan mempunyai varian yang tinggi sehingga prediksi menjadi tidak efisien.

Uji yang dapat dilakukan untuk mendeteksi apakah data yang diamati terjadi heteroskedastisitas atau tidak yaitu dengan uji White Heteroskedasticity. Apabila nilai probability Obs*R-Square lebih kecil dari taraf nyata berarti terdapat gejala heteroskedastisitas pada model, dan sebaliknya.

3.9 Pengujian Statistik Analisis Regresi 3.9.1 Koefisiensi Determinasi (R2)

Koefisien determinasi digunakan untuk mengukur kedekatan hubungan antara variabel bebas yang digunakan dengan variabel terikat. Koefisien determinasi adalah angka yang menunjukkan besarnya proporsi atau persentase variasi variabel terikat yang dijelaskan oleh variabel bebas secara bersama-sama. Besarnya R2 berada diantara 0 dan 1 (0<R2<1). Hal ini menunjukkan bahwa semakin mendekati satu, nilai R2 berarti dapat dikatakan bahwa model tersebut baik. Karena semakin besar hubungannya antara variabel bebas dengan variabel terikat. Dengan kata lain, semakin mendekati satu maka variasi variabel terikat hampir seluruhnya dipengaruhi dan dijelaskan oleh variabel bebas.

3.9.2 Uji F-statistic

Uji F-statistic digunakan untuk mengetahui apakah variabel-variabel independen yang digunakan dalam penelitian secara bersama-sama signifikan memengaruhi variabel dependen. Nilai F-statistic yang besar lebih baik dibandingkan dengan F-statistic yang rendah. Nilai Prob(F-statistic) merupakan tingkat signifikansi marginal dari F-statistic. Dengan menggunakan hipotesis pengujian sebagai berikut:

H0 : β1 = β2 =…= βk =0

H1 : minimal ada salah satu βi yang tidak sama dengan nol

Tolak H0 jika F-statistic lebih besar dari F α(k-1,NT-N-K) atau Prob(F-statistic) lebih kecil dari α. Jika H0 ditolak, maka artinya dengan tingkat keyakinan 1-α kita dapat menyimpulkan bahwa variabel independen yang digunakan di dalam model secara bersama-sama signifikan memengaruhi variabel dependen.

3.9.3 Uji t-statistic

Uji t-statistic digunakan untuk mengetahui apakah variabel-variabel independen secara parsial berpengaruh signifikan terhadap variabel dependen. Tolak H0 jika t-statistic lebih besar dari t α/2(NT-K-1) atau (t-statistic) lebih kecil dari

α. Jika H0 ditolak, maka artinya dengan tingkat keyakinan 1-α kita dapat

menyimpulkan bahwa variabel independen ke-i secara parsial memengaruhi variabel dependen.

3.10 Variabel Penelitian

Variabel terikat yang digunakan dalam penelitian ini adalah respon (setuju atau tidak setuju) pengemudi angkutan kota (angkot) terhadap kenaikan harga BBM bersubsidi jenis premium, sementara variabel-variabel bebas yang digunakan adalah jarak (JRK), usia (USIA), jumlah tanggungan (JTG), jumlah premium per hari (JBBM) serta lamanya berkendara (LB).

3.11 Definisi Operasional Penelitian

Berikut ini adalah definisi operasional variabel pada penelitian ini:

a. Variabel terikat yang digunkan memiliki jawaban bernilai nol dan satu dimana:

• 0 = jika responden tidak setuju terhadap kenaikan harga BBM

• 1 = jika responden setuju terhadap kenaikan harga BBM b. Jarak Tempuh (JRK)

Mencerminkan jarak yang ditempuh responden selama berkendaraan. Variabel ini diduga dapat memengaruhi responden untuk merespon setuju atau tidak setuju terhadap kenaikan harga BBM, karena semakin jauh jarak yang ditempuh oleh responden peluang tidak setuju akan semakin dengan alasan karena akan memperbesar pengeluaran yang dibutuhkan untuk membeli BBM jenis premium.

c. Usia (USIA)

Variabel ini diduga dapat memengaruhi responden untuk merespon setuju atau tidak setuju terhadap kenaikan harga BBM semakin bertambah usia maka akan semakin tidak setuju terhadap kenaikan harga BBM. Hal ini dikarenakan terbatasnya lapangan pekerjaan yang dikhususkan untuk usia lanjut.

d. Jumlah Tanggungan (JTG)

Variabel ini mencerminkan jumlah anggota keluarga yang ditanggung oleh responden. Variabel ini diduga berpengaruh karena jumlah tanggungan terkait dengan besarnya pengeluaran responden setiap hari, semakin besar jumlah tanggungan responden maka peluang tidak setuju terhadap kenaikan harga BBM akan semakin besar karena akan berdampak pada kenaikan harga kebutuhan sehari-hari yang harus dikeluarkan oleh responden.

e. Jumlah Pemakaian BBM (JBBM)

Variabel ini mencerminkan jumlah BBM jenis premium yang dikonsumsi oleh responden setiap hari. Variabel ini diduga akan memengaruhi responden terhadap respon setuju atau tidak kenaikan harga BBM. Jika semakin besar jumlah pemakaian BBM maka peluang untuk tidak setuju terhadap kenaikan harga BBM

akan semakin tidak setuju karena akan memperbesar alokasi biaya yang harus dikeluarkan oleh responden untuk memenuhi kebutuhan konsumsi BBM.

f. Lama Waktu Berkendaraan (LB)

Variabel ini melihat lamanya waktu berkendaraan responden dalam satu hari dengan menggunakan satuan jam. Respon pengemudi yang di analisis pada variabel ini, yaitu semakin lama berkendaraan per hari maka peluang untuk setuju terhadap kenaikan harga BBM akan semakin tinggi bila dibandingkan dengan respon tidak setuju. Hal tersebut dikarenakan responden akan menerima pendapatan lebih tinggi dengan semakin lamanya waktu berkendaraan.

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Gambaran Umum Karakteristik Responden Jasa Transportasi Angkutan Umum Kota (Angkot) yang Berbahan Bakar Premium di Kota Bogor

Jasa transportasi angkutan umum kota ini digunakan sebagai sarana transportasi yang paling dominan keberadaannya di setiap wilayah perkotaan sehingga yang menjadi responden adalah angkot Kota Bogor baik yang memiliki pangkalan atau yang tidak memiliki pangkalan angkot.

Trayek angkutan kota di Kota Bogor memiliki jumlah 23 trayek dengan jumlah unit sebanyak 3412 unit pada Tahun 2012 (Dishub, 2012). Penentuan tarif angkutan yang diberlakukan oleh pemerintah daerah atau Dinas Perhubungan (Dishub, 2012). Selain itu pemerintah daerah Kota Bogor membuat beberapa peraturan mengenai rute jarak yang ditempuh tiap-tiap trayek dan beberapa trayek diberlakukan ‘Shift’ atau pembagian jam kerja, pembagian Shift ini diberlakukan hanya beberapa trayek.

Shift ini dimaksudkan agar tidak terjadinya kelebihan jumlah angkutan kota (angkot) dan menghindari kemacetan yang terjadi dibeberapa wilayah Kota akibat terlalu banyaknya kendaraan. Adapun trayek-trayek yang menjadi responden disajikan pada Tabel 8.

Tabel. 8 Banyaknya Jumlah Angkutan Umum Kota (angkot) yang Menjadi Responden

No. Trayek Jumlah Responden (orang)

1. 01 5 2. 02 8 3. 03 18 4. 05 1 5. 07 7 6. 08 1 7. 09 8 8. 14 1 9. 15 2 10. 16 2 11. 19 7

4.1.1 Karakteristik Responden Berdasarkan Respon terhadap Kenaikan Harga BBM

Respon pengemudi transportasi jasa angkutan umum terhadap kenaikan harga BBM, diperoleh sebanyak 60 responden yang dimintai pendapatnya mengenai kenaikan harga BBM, sebanyak 46 responden menyatakan tidak setuju dengan adanya kenaikan harga BBM dan 14 responden menyatakan setuju dengan kenaikan harga BBM.

Responden yang tidak setuju memiliki alasan yang sama yaitu apabila terjadi kenaikan harga BBM akan manaikan harga bahan kebutuhan pokok serta akan menaikan harga setoran kepada pemilik mobil angkot karena seluruh responden yang memberikan keterangan bukanlah pemilik mobil, sehingga dengan kenaikan BBM menyebabkan naiknya setoran yang harus mereka bayar.

Responden yang setuju dengan kenaikan harga BBM memilikibeberapa alasan diantaranya pendapatan yang didapatkan responden bukan hanya dihasilkan dari pendapatan trayek tetapi responden memiliki pendapatan lain, sehingga menurut responden naiknya harga BBM tidak akan berpengaruh besar terhadap pendapatan yang dihasilkan.

Kenaikan harga BBM akan diikuti dengan kenaikan tarif angkutan kota (angkot) karena penentuan tarif dilakukan oleh pemerintah daerah sehingga hal tersebut menjadi salah satu pertimbangan bagi responden untuk merespon setuju terhadap kenaikan harga BBM.

Sumber : Data primer, Kota Bogor (2012)

Gambar 3. Respon Setuju atau Tidak Pengemudi Jasa Transportasi Angkutan Umum Kota terhadap Kenaikan Harga BBM

Pengemudi angkutan umum kota (angkot) yang setuju lebih sedikit dibandingkan dengan pengemudi yang tidak setuju terlihat dari besarnya persentase responden yang tidak setuju sebanyak 77 persen, dan besarnya responden yang menyatakan setuju dengan adanya kenaikan harga BBM sebesar 23 persen.

4.1.2 Karakteristik Responden Berdasarkan Besaran Willingnes to Pay

(WTP) Harga BBM

Pilihan kesediaan membayar responden telah ditentukan berada pada nilai-nilai yaitu kisaran Rp 4.500 , Rp 5.000 , Rp 5.500, Rp 6.000. Kisaran tersebut dibuat karena adanya rencana pemerintah menaikan BBM sampai dengan Rp 6.000. Nilai harga BBM yang berlaku saat ini yaitu Rp 4.500 menjadi salah satu pilihan WTP dikarenakan beberapa responden tidak menginginkan adanya kenaikan harga BBM.

Sumber : Data Primer, Kota Bogor (2012)

Gambar 4. Distribusi Responden Berdasarkan WTP per Liter

Gambar 4 menunjukan bahwa responden terbanyak berada pada WTP Rp 5.000 sebanyak 26 responden. Besaran jumlah responden yang paling sedikit berada pada nilai WTP Rp 6.000, hal ini disebabkan karena responden yang memiliki pekerjaan lain di luar trayek hanya sedikit dibandingkan dengan responden yang tidak memiliki pekerjaan lain di luar trayek sehingga pendapatan yang diterima dari trayek yang dijalankan lebih kecil responden kecil yang kemudian mengakibatkan kecilnya nilai kemampuan membayar atas kenaikan harga BBM.

Tabel 9. Hubungan Antara Respon dengan Willingness To Pay Harga BBM Respon WTP Total Rp 4000-5000 Rp >5000-6000 Tidak Setuju 37 9 46 Setuju 8 6 14 Total 45 15 60

Pada Tabel 9 dapat dilihat hubungan yang terjadi antara respon dengan

willingness to pay yang mampu dibayar responden berada pada kisaran harga Rp 4000-5000 dengan jumlah responden sebanyak 45 responden. Hal tersebut dapat disimpulkan semakin rendah willingness to pay yang mampu mereka bayar akan semakin memiliki respon tidak setuju terhadap kenaikan harga BBM.

4.1.3 Karakteristik Responden Berdasarkan Jarak Tempuh Selama Berkendaraan

Jarak tempuh responden dimulai dari jarak tempuh 5 km sampai dengan 15 km dalam berkendaraan. Jarak tempuh tersebut merupakan ketetapan dari peraturan yang dibuat oleh pemerintah Kota Bogor. Distribusi jarak tempuh berkendaraan dapat dilihat pada Gambar 5.

Sumber: Data Primer, Kota Bogor (2012)

Gambar 5. Distribusi Responden Berdasarkan Jarak Tempuh

Berdasarkan Gambar 5 terlihat banyaknya responden barada pada jarak tempuh lebih besar dari 10 sampai dengan 15 km sebanyak 44 responden dan jarak tempuh 5 km sampai dengan 10 km sebesar 16 responden atau 27 persen.

Tabel 10. Hubungan Antara Respon dengan Jarak yang Ditempuh

Respon Jarak yang ditempuh (km) Total 5-10 >10-15

Tidak Setuju 11 35 46

Setuju 5 9 14

Total 16 44 60

Tabel 10 menunjukan bahwa data responden yang diambil untuk wawancara sebesar 16 responden mempunyai karakteristik jarak tempuh berkendara sebesar 5-10 km bahwa hubungan antara respon dengan jarak yang ditempuh, mayoritas dari responden yang tidak setuju berada pada jarak tempuh >10-15 km. Hal ini mengindikasikan bahwa semakin jauh jarak yang ditempuh maka akan semakin memberikan respon tidak setuju terhadap kenaikan harga BBM.

4.1.4 Karakteristik Responden Berdasarkan Jumlah Tanggungan

Sebagian besar responden memiliki tanggungan tiga orang terdiri dari dua anak dan satu istri, banyaknya jumlah tanggungan mengindikasikan banyaknya pengeluaran yang harus dialokasikan oleh responden, sehingga semakin banyak jumlah tanggungan akan menyebabkan respon tidak setuju terhadap kenaikkan harga BBM. Alokasi yang tinggi untuk membeli BBM dengan pendapatan yang tidak bertambah akan mengurangi kesejahteraan responden. Distribusi jumlah tanggungan ini terlihat pada Gambar 6.

Sumber: Data Primer, Kota Bogor (2012)

Gambar 6 menunjukan responden yang memiliki jumlah tanggungan terbanyak terdapat pada responden dengan jumlah tanggungan sebesar tiga orang atau 42 persen dari keseluruhan dan pada jumlah tanggungan dua orang sebanyak 19 orang, dengan jumlah tanggungan satu orang, sebanyak enam responden, dan jumlah tanggungan empat orang sebanyak enam responden.

Tabel 11. Hubungan Antara Respon dengan Jumlah Tanggungan

Respon

Jumlah Tanggungan (orang)

Total

1-3 4-6

Tidak Setuju 38 8 46

Setuju 12 2 14

Total 50 10 60

Tabel 11 menggambarkan hubungan antara respon dengan jumlah tanggungan, terlihat bahwa mayoritas dari responden yang tidak setuju memiliki jumlah tanggungan sebanyak 1-3 orang.

4.1.5 Karakteristik Responden Berdasarkan Pemakaian Bahan Bakar Minyak Jenis Premium

Pemakaian BBM jenis premium terbesar terdapat pada 11 sampai dengan 15 liter per hari. Pemakaian BBM oleh pengemudi tergantung berapa lama waktu berkendaraan dan seberapa jauh jarak tempuh berkendaraan, sehingga pada Gambar 7 terlihat distribusi pada jumlah pemakain harga BBM cukup bervariatif.

Sumber: Data Primer, Kota Bogor (2012)

Gambar 7. Distribusi Responden Berdasarkan Pemakaian Bahan Bakar Minyak Jenis Premium per Hari

Semakin banyak pemakaian BBM per hari akan memberikan dampak semakin tidak setuju terhadap kenaikan harga BBM, karena memengaruhi banyaknya biaya yang harus dikeluarkan untuk memenuhi konsumsi jumlah BM yang kemudian akan berpengaruh pada berkurangnya pendapatan yang diterima. Tabel 12. Hubungan Antara Respon dengan Jumlah BBM yang Digunakan per

Hari

Respon

Jumlah BBM Yang Digunakan Perhari (Liter)

Total >5-10 >11-15 >15-20 >20-25

Tidak Setuju 5 39 1 1 46

Setuju 3 10 1 0 14

Total 8 49 2 1 60

Tabel 12 menjelaskan hubungan antara respon dengan jumlah BBM yang digunakan perhari. Terlihat bahwa respon angkot yang tidak setuju dengan adanya kenaikan harga BBM berada pada jumlah >11-15 liter per hari. Hal ini mengindikasikan semakin banyak jumlah BBM yang digunakan per hari akan semakin tidak setuju terhadap kenaikan harga BBM.

4.1.6 Karakteristik Responden Berdasarkan Lama Waktu Berkendaraan

Rata-rata lamanya responden dalam berkendara berada pada kisaran lima sampai dengan sepuluh jam per hari dengan jumlah responden sebanyak 42 responden. Kisaran tersebut muncul dikarenakan adanya peraturan daerah yang ditetapkan oleh pemerintah daerah yang membatasi waktu berkendaraan pada beberapa trayek atau biasa disebut peraturan shift. Dibatasinya lama waktu berkendaraan menyebabkan sulitnya responden menambah jumlah pendapatan yang diterima yang kemudian memengaruhi banyaknya respon tidak setuju terhadap kenaikan harga BBM. Distribusi lama waktu berkendaraan terlihat pada Gambar 8.

Sumber: Data Primer, Kota Bogor (2012)