• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL PENELITIAN 4.1.Gambaran Umum Lokasi Penelitian

4.3 Analisis Bivariat

Analisis bivariat menggunakan uji chi square untuk melihat hubungan pola makan dan asupan serat dengan status gizi. Agar data yang terkumpul dapat di analisa secara bivariat dengan uji chi square perlu dilakukan pengkategorian ulang untuk beberapa variabel. Jumlah asupan energi dan protein dapat dikategorikan tinggi (lebih atau sama dengan 85% AKG) dan rendah (kurang dari 85% AKG). Jenis makanan dikategorikan baik (lebih atau sama dengan 4 jenis) dan tidak baik (kurang dari 4 jenis).

4.3.1 Hubungan Pola Makan dengan Status Gizi 4.3.1.1 Hubungan Asupan Energi dengan Status Gizi

Berdasarkan tabel di bawah ini diketahui bahwa 73,3 % asupan energi yang tinggi memiliki status gizi gemuk dan 47,8 % asupan energi rendah memiliki status gizi normal.

Tabel 4.8 Hubungan Antara Asupan Energi dengan Status Gizi pada Siswa/i SMP N 34 Medan Tahun 2014 Status Gizi Asupan Energi Sangat Kurus

Kurus Normal Gemuk Obesitas Total P

Value n % n % n % n % n % n % Tinggi 0 0,0 0 0,0 1 6,7 11 73,3 3 20,0 15 100,0 0,0001 Rendah 9 14,3 16 25,4 30 47,8 7 11,1 1 1,6 63 100,0 Total 9 11,5 16 20,5 31 39,7 18 23,1 4 5,1 78 100,0

Berdasarkan hasil uji statistik didapatkan p sebesar 0,000 yang memiliki arti p < α Ho ditolak, sehingga dapat disimpulkan bahwa asupan energi berhubungan dengan status gizi.

4.3.1.2 Hubungan Antara Asupan Protein dengan Status Gizi

Berdasarkan tabel di bawah ini diketahui bahwa 45,5 % asupan protein yang tinggi memiliki status gizi normal dan gemuk sedangkan 37,5 % asupan protein yang rendah memiliki status gizi normal.

Tabel 4.9 Hubungan Asupan Protein dengan Status Gizi pda Siswa/i SMP N 34 Medan Tahun 2014

Status Gizi Asupan

Protein Sangat Kurus

Kurus Normal Gemuk Obesitas Total P

Value N % n % n % n % n % n % Tinggi 0 0,0 0 0,0 10 45,5 10 45,5 2 9,1 22 100,0 0,0001 Rendah 9 16,1 16 28,6 21 37,5 8 14,3 2 3,6 56 100,0 Total 9 11,5 16 20,5 31 39,7 18 23,1 4 5,1 78 100,0

Berdasarkan hasil uji statistik didapatkan p sebesar 0,0001 yang memiliki arti p < α Ho ditolak, sehingga dapat disimpulkan bahwa asupan protein berhubungan dengan status gizi.

4.3.1.3 Hubungan Antara Jenis Makanan dengan Status Gizi

Berdasarkan tabel di bawah ini diketahui bahwa 33,3 % jenis makanan yang baik memiliki status gizi normal dan gemuk sedangkan 40,9 % jenis makanan yang tidak baik memiliki status gizi yang normal.

Tabel 4.10 Hubungan Jenis Makanan dengan Status Gizi pada Siswa/i SMP N 34 Medan Tahun 2014 Status Gizi Jenis Makanan Sangat Kurus

Kurus Normal Gemuk Obesitas Total P

Value n % n % n % n % n % n % Baik 0 0,0 2 16,7 4 33,3 4 33,3 2 16,7 12 100,0 0,184 Tidak Baik 9 13,6 14 21,2 27 40,9 14 21,2 2 3,0 66 100,0 Total 9 11,5 16 20,5 31 39,7 18 23,1 4 5,1 78 100,0

Berdasarkan hasil uji statistik didapatkan p sebesar 0,184 yang memiliki arti p < α, sehingga dapat disimpulkan bahwa jenis makanan tidak berhubungan dengan status gizi.

4.3.3 Hubungan Antara Asupan Serat dengan Status Gizi

Berdasarkan tabel di bawah ini diketahui bahwa 71,4 % asupan serat yang tinggi memiliki status gizi yang gemuk sedangkan 40,8 % asupan serat yang rendah memiliki status gizi yang normal.

Tabel 4.11 Hubungan Asupan Serat dengan Status Gizi pada Siswa/i SMP N 34 Medan Tahun 2014

Status Gizi Asupan

Serat Sangat Kurus

Kurus Normal Gemuk Obesitas Total P

Value N % n % n % n % n % n % Tinggi 0 0,0 0 0,0 2 28,6 5 71,4 0 0,0 10 100,0 0,028 Rendah 9 12,7 16 22,5 29 40,8 13 16,4 4 5,6 68 100,0 Total 9 11,5 16 20,5 31 39,7 18 23,1 4 5,1 78 100,0

Berdasarkan hasil uji statistik didapatkan p sebesar 0,028 yang memiliki arti p < α Ho ditolak, sehingga dapat disimpulkan bahwa jumlah asupan serat berhubungan dengan status gizi.

BAB V PEMBAHASAN 5.1 Karakteristik Siswa/i

5.1.1 Status Gizi

Dari hasil penelitian didapatkan status gizi pada siswa/i SMP N 34 Medan lebih banyak memiliki status gizi normal, namun pada status gizi kurang dan status gizi lebih termasuk tinggi jika dibandingkan dengan Riskesdas 2013. Prevalensi status gizi lebih dan status gizi kurang menurut Riskesdas 2013 di Sumatera Utara hanya 13,8 % dan 9,9 %. Hal ini terjadi karena lokasi sekolah jauh dari kota sehingga siswa/i jarang mendapat informasi mengenai asupan zat gizi yang cukup dan sesuai kebutuhan pada masa remaja.

Status gizi kurus dan gemuk lebih banyak pada perempuan dari pada laki-laki. Menurut Salam (1989) yang menyatakan bahwa status gizi lebih sering dijumpai pada wanita terutama saat remaja, kemungkinan disebabkan oleh faktor endokrin dan perubahan hormonal.

Menurut Krumel (1996) tubuh perempuan lebih banyak menyimpan lemak dari pada laki-laki. Pada saat kematangan fisik biasanya lemak tubuh pada wanita dua kali lebih banyak dari pada laki-laki. Akumulasi lemak sering kali dihubungkan dengan mulainya menarche yang terjadi ketika anak perempuan memiliki lemak tubuh minimal 17 % dari berat badannya, sehingga anak perempuan yang gemuk akan mendapat menarche lebih awal dari pada yang kurus.

Berbeda dengan penelitian Daryono (2003) yang menyatakan bahwa anak perempuan lebih peduli dengan keaadan tubuhnya dibandingkan laki-laki. Anak perempuan lebih menyukai tubuh langsing pada memasuki usia pubertas sedangkan anak laki-laki tidak begitu peduli dengan berat badannya sehingga kurang mengontrol konsumsi makanannya.

5.2 Analisis Bivariat

5.2.1 Hubungan Antara Asupan Energi dengan Status Gizi pada Siswa/i SMP N 34 Medan Tahun 2014

Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa 73,3 % asupan energi yang tinggi memiliki status gizi gemuk dan 47,8 % asupan energi rendah memiliki status gizi normal. Hasil uji statistik p < 0,05 artinya asupan energi berhubungan dengan status gizi dengan rata-rata konsumsi energi 1196,45 kkal. Hal ini dikarenakan banyak siswa/i yang mengkonsumsi energi dalam jumlah yang sedikit.

Siswa/i mengkonsumsi energi pada hari sekolah berbeda dengan hari minggu. Umumnya pada hari biasa lebih banyak mengkonsumsi makanan jajajan yang mengandung karbohidrat dan energi. Sedangkan hari minggu siswa/i lebih banyak mengkonsumsi makanan yang mengandung protein dan zat gizi lain. Dikarenakan hari minggu adalah hari ibur sehingga makanan jajanan jarang dikonsumsi.

Besarnya kebutuhan energi berbeda menurut umur dan jenis kelamin. Menurut Brown (2005) kebutuhan energi pada masa remaja disesuaikan dengan aktivitas dan ukuran tubuh. Pada usia remaja kekurangan konsumsi energi dapat menurunkan prestasi belajar. Kelebihan energi dapat mengakibatkan kelebihan berat badan atau kegemukan.

Hasil peneltian Medawati (2005) yang dilakukan pada remaja SMP menyatakan bahwa asupan energi yang tinggi dapat mempengaruhi status gizi terutama status gizi lebih. Sejalan dengan penelitian Manurung (2008) yang dilakukan pada remaja SMA menyatakan terdapat hubungan yang signifikan antara asupan energi dengan status gizi lebih.

Menurut penelitian Johanes (2013) pola makan berhubungan dengan kejadian overweight tidak hanya dari segi jumlah makanan yang dimakan, melainkan juga komposisi makanan dan kualitas diet. Menurut Dam (2007) karbohidrat adalah salah satu zat mikro yang menyediakan energi sehingga dapat berkontribusi terhadap kelebihan asupan energi dan kelebihan berat badan.

5.2.2 Hubungan Antara Asupan Protein dengan Status Gizi pada Siswa/i SMP N 34 Medan Tahun 2014

Pada masa remaja awal protein sangat dibutuhkan dalam proses pertumbuhan dan perkembangan. Namum apabila dikonsumsi lebih dari kebutuhan seharusnya, protein akan dimetabolisme menjadi lemak dan akan disimpan sebagai cadangan energi bagi tubuh.

Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan 45,5 % asupan protein yang tinggi memiliki status gizi normal dan gemuk sedangkan 37,5 % asupan protein yang rendah memiliki status gizi normal. Hasil uji statistik p < 0,05 artinya asupan energi berhubungan dengan status gizi dengan rata-rat 45,21 gr. Asupan protein yang tinggi dapat mempengaruhi status gizi.

Asupan protein siswa/i setiap harinya berbeda terutama pada hari minggu dan hari sekolah. Pada hari minggu siswa/i lebih banyak mengkonsumsi makanan yang

mengandung protein dikarenakan hari minggu adalah hari libur. Namun tetap saja siswa/i mengkonsumsinya dalam jumlah yang sedikit sehingga belum mencukupi kebutuhan zat gizi per hari.

Bahan makanan hewani kaya dalam protein bermutu tinggi, tetapi hanya merupakan 18,4 % konsumsi protein rata-rata penduduk Indonesia. Bahan makanan nabati kaya protein adalah kacang-kacangan. Sayur-sayuran dan buah-buahan rendah dalam protein (Almatsier, 2001). Sementara banyak siswa/i yang mengkonsumsi protein dalam jumlah yang sedikit dan kurangnya variasi makanan yang mengandung protein seperti kacang-kacangan sehingga asupan protein belum sesuai dengan kebutuhan pada masa remaja.

Hal ini sejalan dengan penelitian Wilson, dkk (2008) menyatakan adanya hubungan signifikan antara asupan protein dengan status gizi. Hal ini kemungkinan terjadi karena asupan protein yang tinggi mengandung lemak yang tinggi juga sehingga berpengaruh dengan kenaikan berat badan. Sementara itu asupan protein pada siswa status gizi lebih cenderung lebih tinggi.

Berbeda dengan penelitian Rahayuningtias (2012) yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan signifikan antara asupan protein dengan status gizi lebih. Asupan protein lebih banyak digunakan dalam pertumbuhan dan perkembangan.

5.2.3 Hubungan Antara Frekuensi Makanan dan Jenis Makanan dengan Status Gizi pada Siswa/i SMP N 34 Medan Tahun 2014

Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa 33,3 % jenis makanan yang baik memiliki status gizi normal dan gemuk sedangkan 40,9 % jenis makanan yang

tidak baik memiliki status gizi yang normal. Hasil uji statistik p > 0,05 artinya jenis makanan tidak berhubungan dengan status gizi.

Jenis makanan yang dikonsumsi pada siswa/i setiap harinya berbeda dan belum sesuai dengan kebutuhan. Jenis makanan yang dikonsumsi pada hari sekolah lebih banyak 2 jenis saja yaitu makanan pokok dan lauk pauk saja. Namun pada hari minggu siswa/i mengkonsumsi 3 atau 4 jenis yaitu makanan pokok, lauk pauk dan sayuran atau buah-buahan.

Jenis makanan yang baik harus dapat memenuhi selera dan mengandung zat gizi yang dibutuhkan bagi tubuh kita dengan jumlah yang seimbang sesuai dengan pedoman gizi seimbang. Jenis makanan yang tidak baik terdiri dari makanan pokok dan lauk pauk tanpa sayur-sayuran dan buah-buahan akan meningkatkan kejadian status gizi lebih (Manurung, 2008).

Dari hasil penelitian diketahui pada umumnya jenis makanan pokok pada siswa/i adalah nasi dengan frekuensi > 1x sehari. Hasil ini dapat diketahui dari hasil recall selama dua hari dimana setiap kali mengkonsumsi makanan utama responden selalu menyediakan nasi sebagai makanan pokok.

Menurut Kardjati (1985) seperti yang dikutip Matondang (2007), berdasarkan data Biro Pusat Statistik dan hasil sosio ekonomi sosial menyatakan bahwa beras merupakan bahan makanan utama pada di Sumatera, Kalimantan dan di Jawa Bagian Barat. Alasan responden memilih nasi sebagai makanan pokok karena responden masih menganggap fungsi makanan pokok adalah hanya untuk memberi rasa kenyang. Namun ada juga sebagian responden mengkonsumsi roti sebagai makanan pokok tetapi hanya untuk sarapan saja.

Menurut penelitian Manurung (2008) jenis makanan dan frekuensi makanan berpengaruh terhadap kejadian obesitas. Hal ini disebabkan makanan yang dikonsumsi mengandung tinggi kalori dan tinggi lemak tetapi rendah serat yang dilihat dari frekuensi makan makanan jajanan lebih sering dibandingkan makanan yang mengandung serat seperti sayuran dan buah-buahan.

5.3 Hubungan Antara Asupan Serat dengan Status Gizi pada Siswa/i SMP N 34

Dokumen terkait