• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Pola Makan dan Asupan Serat dengan Status Gizi pada Siswa/i SMP N 34 Medan tahun 2014

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Hubungan Pola Makan dan Asupan Serat dengan Status Gizi pada Siswa/i SMP N 34 Medan tahun 2014"

Copied!
127
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRAK

Pola makan remaja sekarang ini adalah makanan tinggi kalori dan sedikit mengandung serat. Pola makan tersebut dapat mempengaruhi status gizi remaja terutama status gizi lebih. Perubahan selera makan ini cenderung menjauhi konsep makanan seimbang sehingga berdampak negatif terhadap kesehatan dan gizi.

Jenis penelitian ini adalah survei yang bersifat deskriptif dengan desain cross sectional yang bertujuan untuk mengetahui hubungan pola makan dan asupan serat dengan status gizi pada siswa/i di SMP N 34 Medan. Jumlah populasi 456 siswa/i dan yang dijadikan sampel 78 orang. Teknik pengambilan sampel menggunakan Proporsional Stratified Random Sampling.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pola makan responden menurut frekuensi makanan sebagian besar siswa/i mengkonsumsi nasi sebagai makanan pokok (92,3%), ikan segar sebagai lauk pauk (71,8%), kangkung sebagai sayuran (37,2%). Konsumsi energi dan protein tergolong defisit yaitu (69,2% dan 63,8%) ada hubungan antara konsumsi energi dan protein dengan status gizi (p=0,001 dan p=0,000). Rata-rata asupan serat rendah (91%) ada hubungan asupan serat dengan status gizi (p=0,028). Jenis makanan responden sudah beraneka ragam dan termasuk dalam kategori sedang (64,1%) tidak ada hubungan antara jenis makanan dengan status gizi (p=0,184).

Dari hasil penelitian disarankan kepada siswa/i agar lebih mengatur pola konsumsi sesuai dengan kecukupan energi dan protein yang dianjurkan dan mengkonsumsi makanan yang beraneka ragam terutama buah-buahan dan sayuran guna terpenuhinya kecukupan serat dan asupan zat gizi. Kepada pihak sekolah untuk memberikan penyuluhan gizi mengenai pentingnya asupan gizi yang cukup dan seimbang yang harus dikonsumsi sesuai kebutuhan pada masa remaja.

(2)

ABSTRACT

The eating habit of teenagers nowadays are full of food which are high in calories but low in fiber. This eating habit gives impact to their nutrition status. Changes in appetite is possible to move far from the concept of balanced diet that hasve negative impacts to health and nutrition

This research was a descriptive survey using a cross-sectional design aimed to determine the relationship among diet and fiber content with nutritional status of students in SMP N 34. The population numbers are 456 students and the samples are 78 people. The sampling technique was conducted by using Poportional Stratified Random Sampling.

The results of this research, based on the food frequency, showed that most students consume rice as a basic food (92.3%), fresh fish as a side dish (71.8%), leafy vegetable as a vegetable (37.2%). Energy and protein consumption could be classified deficit (69.2% and 63.8%) there is a relationship between the consumption of energy and protein nutritional status (p = 0.001 and p = 000). The average fiber intake of low fiber intake (91%). There was a relationship between the fiber content and nutrition status (p = 0.028). The average of the fiber content was low (91%), so there was a relationship between the fiber content and nutrition status (p=0.028). Type of respondents' food have been varied and classified as medium category (64.1%) , there was no relationship between the type of food and nutrition status (p = 0.184).

From the results, it is suggested to students to maintain their eating habit balance with their energy and protein sufficiency and to consume various foods, especially fruits and vegetables in order to fulfill the sufficiency of the fiber and nutrient content. To the school environment, it is suggested to provide nutrition counseling/seminar about the importance of the sufficiency of balanced nutrition which must be consumed adequately for the students' needs.

(3)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Fitri Hayani

Tempat/Tanggal Lahir : P.Siantar/24 Maret 1993

Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Islam

Anak ke : 3 dari 3 bersaudaraa

Nama Saudara Kandung : Hapriyanita Ramadhani, S.Psi dan Hardiansyah, SE Status Perkawinan : Belum Menikah

Alamat Rumah : Jl. Balam No. 61 Medan

RIWAYAT PENDIDIKAN :

Tahun 1998-2004: SD Negeri 065011

Tahun 2004-2007: SMP Sultan Iskandar Muda Tahun 2007-2010: SMA Al Azhar Medan

(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas berkat dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “ Hubungan Pola Makan dan

Asupan Serat dengan Status Gizi pada Siswa/i SMP N 34 Medan tahun 2014”, yang merupakan salah satu prasyarat untuk dapat meraih gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM) di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

Skripsi ini penulis persembahkan kepada Ayahanda Ir. H. Halamsyah dan Ibunda Hj. Iriando Rianita Hutasuhut yang telah membesarkan dan mendidik penulis dengan kasih sayang serta dukungan dan doa yang tiada pernah henti diberikan kepada penulis dalam menyelesaikan pendidikan.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Dosen Pembimbing Bapak Prof. Dr. Ir. Albiner Siagian, M.Si dan dr. Mhd Arifin Siregar, MS yang telah meluangkan waktu dan pemikirannya dalam memberikan bimbingan, kritikan dan saran kepada penulis untuk penyempurnaan skripsi ini.

Penulisan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan dan dukungan berbagai pihak, untuk itu pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada :

1. Bapak Dr. Drs. Surya Utama, MS selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara dan Dosen Pembimbing Akademik yang telah membimbing penulis selama menjalani perkuliahan di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

(5)

3. Seluruh dosen beserta staf Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

4. Kepala sekolah SMP N 34 Medan, yang telah memberikan izin melakukan penelitian dan memberikan informasi terkait dalam penyelesaian skripsi ini. 5. Guru-guru SMP N 34 Medan yang telah meluangkan waktunya untuk

membantu penulis dalam penelitian.

6. Keluargaku Hapriyanita Ramadhani, S.Psi, Yoga Dwi Syahputra, ST dan Hardiansyah, SE, terima kasih untuk kasih sayang, dukungan dan doa yang telah diberikan selama ini.

7. Sahabat SMA, Asista Bangun, S.Sos, Fadhillah Aini, Monica Dara Syahputri Barus, Maslimona Harimita Ritonga, Ihda Adila, terima kasih untuk semangat, dukungan dan do’a yang diberikan.

8. Sahabat-sahabat tersayang “Toples Bening”, Tia Ayudhia Galyani, SKM, Anggreini Syahputri, SKM dan Nur Hasanah Lubis, SKM.

9. Sahabat seperjuangan di FKM USU, Yeyen Rahmayanti, Fitri Maihana Harahap, Lila Harahap, Hardianti Meliala, Fadhlan Mulia Harahap, Juspen Simarmata, Tasya Arida Wijaya, Anggi Rara, terima kasih untuk semangat, dukungan, dan doa yang diberikan.

10.Kakak Senior, Audiary Mayang Sari,SKM terima kasih telah membantu dalam melakukan penelitian ini.

(6)

12.Untuk semua pihak yang banyak membantu yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu, terima kasih banyak untuk semangat, dukungan, dan doa yang diberikan.

Penulis menyadari dalam penulisan skripsi ini masih terdapat kekurangan sehingga diperlukan kritik dan saran yang membangun. Semoga Allah senantiasa melimpahkan karunia-Nya dan semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.

(7)
(8)

e. Serat Makanan dan Kontrol Gula Darah ... 18

2.3.3 Dampak Kekurangan dan Kelebihan Serat Makanan ... 19

2.3.4 Asupan Serat yang Dianjurkan ... 20

2.4 Status Gizi Remaja ... 20

2.5 Penilaian Status Gizi dengan Indeks Antropometri ... 21

2.6 Metode Penilaian Konsumsi Makanan ... 22

2.6.1 Metode recall 24 Jam ... 23

4.1 Gambaran Lokasi Penelitian ... 35

4.2 Karakteristik Responden ... 35

4.2.1 Umur dan Jenis Kelamin ... 35

4.2.2 Status Gizi ... 36

4.2.3 Pola Makan ... 36

4.2.3.1 Frekuensi dan Jenis Makanan ... 36

4.2.3.2 Jumlah Asupan Makanan ... 39

4.2.4 Asupan Serat ... 40

4.3 Analisis Bivariat ... 41

4.3.1 Hubungan Pola Makan dengan Status Gizi ... 41

4.3.1.1 Hubungan Asupan Energi dengan Status Gizi ... 42

(9)

4.3.1.3 Hubungan Jenis Makanan dengan Status Gizi ... 43

4.3.2 Hubungan Asupan Serat dengan Status Gizi ... 43

BAB V PEMBAHASAN ... 44

5.1 Karakteristik Responden ... 44

5.1.1 Status Gizi ... 45

5.2 Analisis Bivariat ... 45

5.2.1 Hubungan Antara Asupan Energi dengan Status Gizi pada Siswa/i di SMP N 34 Medan Tahun 2014 ... 45

5.2.2 Hubungan Antara Asupan Protein dengan Status Gizi pada Siswa/i di SMP N 34 Medan Tahun 2014 ... 46

5.2.3 Hubungan Antara Frekuensi Makan dan Jenis Makanan dengan Status Gizi pada Siswa/i di SMP N 34 Medan Tahun 2014 ... 47

5.3 Hubungan Antara Asupan Serat dengan Status Gizi pada Siswa/i di SMP N 34 Medan Tahun 2014 ... 49

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan ... 51

6.2 Saran ... 52

(10)

DAFTAR TABEL

Tabel Judul Tabel Halaman

Tabel 2.1 Klasifikasi IMT Menurut RI 2010 untuk usia 5-18 Tahun ... 22 Tabel 3.1 Jumlah Sampel Tiap Kelas ... 29 Tabel 4.1 Karakteristik Responden Berdasarkan Umur dan Jenis Kelamin

Pada Siswa/i SMP N 34 Medan tahun 2014 ... 35

Tabel 4.2 Distribusi Status Gizi Pada Siswa/i SMP N 34 Medan Tahun 2014 .... 36 Tabel 4.3 Distribusi Responden Berdasarkan Frekuensi dan Jenis Bahan

Makanan Pokok, Lauk Pauk dan Sayur-Sayuran pada Siswa/i

SMP N 34 Medan Tahun 2014 ... 37

Tabel 4.4 Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Buah-Buahan dan Makanan Jajanan Pada Siswa/i SMP N 34 Medan Tahun 2014 ... 38

Tabel 4.5 Distribusi Responden berdasarkan Jenis Makanan Pada Siswa/i

SMP N 34 Medan Tahun 2014 ... 39

Tabel 4.6 Distribusi Responden Berdasarkan Asupan Energi dan Protein

Pada Siswa/i SMP N 34 Medan Tahun 2014 ... 39

Tabel 4.7 Distribusi Responden Berdasarkan Asupan Serat Pada Siswa/i

SMP N 34 Medan Tahun 2014 ... 40

Tabel 4.8 Hubungan Antara Asupan Energi dengan Status Gizi pada Siswa/i

SMP N 34 Medan Tahun 2014 ... 41

Tabel 4.9 Hubungan Asupan Protein dengan Status Gizi pda Siswa/i SMP N 34 Medan Tahun 2014... 42

Tabel 4.10 Hubungan Jenis Makanan dengan Status Gizi pada Siswa/i SMP N 34 Medan Tahun 2014... 43

(11)

DAFTAR GAMBAR

(12)

BAB I PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang

Remaja adalah kelompok manusia yang berada diantara usia 10-19 tahun. Pada masa ini individu mengalami perkembangan psikologi dan pola identifikasi dari anak-anak ke dewasa. Pada masa remaja terjadi perubahan fisik dan psikis yang sangat signifikan. Perubahan fisik ditandai dengan pertumbuhan berat badan yang pesat dan matangnya organ reproduksi (Proverawati, 2010)

Pola makan remaja sekarang ini adalah makanan tinggi kalori dan sedikit mengandung serat (Gharib dan Rasheed, 2010). Pola makan tersebut dapat mempengaruhi status gizi remaja terutama status gizi lebih. Asupan serat yang terbukti memperpanjang masa transit makanan dalam organ pencernaan sehingga memperlama rasa kenyang sehingga mencegah terjadinya status gizi lebih (Hardinsyah, 2004). Serat juga tidak dicerna oleh enzim pencernaan sehingga tidak menghasilkan energi dan hal tersebut yang menjadikan serat pencegah terjadinya status gizi lebih (Almatsier, 2004).

(13)

Kehadiran fast food dalam industri makanan di Indonesia bisa mempengaruhi pola makan kaum remaja di kota. Makanan siap saji (fast food) merupakan pemicu meningkatnya kejadian obesitas karena akibat kelebihan kalori. Makanan siap saji umumnya mengandung tinggi kalori, lemak, dan garam tetapi rendah serat, vitamin, dan mineral (Sekarindah, 2002). Peningkatan pendapatan masyarakat pada kelompok sosial ekonomi tertentu, terutama di perkotaan, menyebabkan adanya perubahan pola makan dan pola aktivitas yang mendukung terjadinya peningkatan jumlah penderita kegemukan dan obesitas (Almatsier, 2001).

Pada remaja ketidaksukaan pada sayuran dan buah-buahan menjadi faktor utama rendahnya asupan serat (Brown, 2005). Rata-rata konsumsi serat penduduk Indonesia secara umum yaitu mencapai 10,5 gram/orang/hari, baru mencapai sekitar separuh dari kecukupan serat yang dianjurkan. Kecukupan serat untuk orang dewasa berkisar antara 20-35 gram/hari atau 10-13 gram serat untuk setiap 1000 kkal. Nutrition fact memberikan label sebanyak 25 gram serat/hari, dan 30 gram serat.hari untuk konsumsi energi 2500 kkcal/hari. Keadaan ini tidak jauh berbeda dengan rata-rata konsumsi serat penduduk Amerika serikat yang baru mencapai 10-15 gram/orang/hari atau sekitar separuh dari kecukupan serat yang dianjurkan (Jahari, et al, 2001).

(14)

memang berbeda (Lubis, 2009). Angka kecukupan serat pada remaja usia 13-15 tahun yaitu 35 gr untuk laki-laki dan 30 gr untuk perempuan, sedangkan pada remaja usia 16-18 tahun yaitu 37 gr untuk laki-laki dan 30 gr untuk perempuan (Hardinsyah dkk, 2012).

Berbagai penelitian mengungkapkan bahwa terdapat hubungan antara asupan energi dengan kejadian obesitas. Para peneliti dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia membuktikan adanya hubungan yang bermakna antara asupan kalori, karbohidrat, protein, lemak dan dengan prevalensi obesitas (Yussac et al, 2007). Asupan energi yang tinggi ada kaitannya dengan kebiasaan makan fast food. Fast food umumnya mengandung kalori, lemak, gula dan sodium (Na) yang tinggi tetapi rendah serat kasar, vitamin A, asam askorbat, kalsium dan folat (Khomsan, 2004).

Status gizi adalah keadaan tubuh akibat konsumsi pangan dan penggunaan zat-zat gizi (Almatsier, 2001). Status gizi pada remaja akan berdampak pada masa dewasa dan usia lanjut. Ketidakseimbangan antara asupan dan keluaran energi mengakibatkan pertambahan berat badan. Status gizi lebih yang muncul pada usia remaja cenderung berlanjut hingga dewasa dan lansia (Arisman, 2002).

(15)

obesitasnya sebesar 42% untuk laki-laki dan 32 5 untuk perempuan (Health Survey England, 2012).

Penelitian yang serupa juga dilakukan di beberapa negara di Asia. Prevalensi overweight dan obesitas di Thailand pada tahun 2008 sebesar 26,2% dan 5,7% pada tahun 2008, di Singapura prevalensi overweight dan obesitas pada tahun 2008 sebesar 26,2% dan 5,7%, di Malaysia prevalensi overweight dan obesitas pada tahun 2006 sebesar 47,9% dan 16,3%,

(16)

status gizi pada umur 13-15 tahun yaitu sangat kurus 2,6%, kurus 6,4%, normal 77,3%, overweight 10,9 dan obesitas 2,7%. (Depkes, 2013).

SMP N 34 Medan yang berada di di Jl. Mhd. Zein Hamid Gang Perbatasan Baru merupakan salah satu sekolah unggulan sehingga tingkat sosial ekonomi para siswa cenderung menengah keatas. Hal ini membuat peluang terjadinya status gizi lebih terkait ketersediaan dan keterjangkauan makanan terhadap berbagai makanan terutama makanan jajanan yang banyak dijual disekitar sekolah. Berbagai makanan jajanan yang dijual di sekolah tersebut mengandung sedikit serat. Menurut survei yang dilakukan ada beberapa anak yang mengalami sakit perut saat mengkonsumsi makanan jajanan tersebut. Berdasarkan survei yang dilakukan peneliti di SMP N 34 Medan , dari 50 orang siswa/i terdapat 24 orang yang mengalami overweight dan obesitas. Berdasarkan uraian di atas kegemukan semakin meningkat pada remaja, hal tersebut yang melatarbelakangin penelitian ini.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas diketahui bahwa pola makan remaja sekarang adalah tinggi kalori dan rendah serat, maka yang menjadi permasalahan adalah apakah ada hubungan pola makan dan asupan serat dengan status gizi pada siswa/i di SMP N 34 Medan.

1.3Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum

(17)

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Mengetahui frekuensi makan siswa/i di SMP N 34 Medan

2. Mengetahui kuantitas makanan dan jenis makanan yang dikonsumsi siswa/i SMP N 34 Medan

3. Mengetahui jumlah asupan serat siswa/i di SMP N 34 Medan 1.4Manfaat Penelitian

1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan bagi siswa/i tentang pola makan yang baik dan kecukupan serat

(18)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1Remaja

Masa remaja adalah masa peralihan dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa menurut WHO adalah usia 12-24 tahun dan belum menikah. Pada masa remaja, pertumbuhan dan perkembangan terjadi dengan cepat, baik secara anatomis tubuhnya maupun psikis. Kebiasaan yang salah sejak masa remaja akan sulit dirubah saat dewasa sepeerti pola makan yang tidak sehat, tidur yang tidak baik dan kurang olahraga (Roizen, 2012).

Masa remaja merupakan masa transisi antara pengaruh orang tua dan teman sebaya akan menentukan pola makan pada masa dewasa nantinya (Young et al, 2004). Remaja mempunyai kebiasaan makan diantara waktu makan berupa jajanan baik di sekolah maupun di luar sekolah. Makanan mereka umumnya kaya energi yang berasal dari karbohidrat dan lemak (Soetardjo, 2011).

2.2Pola Makan

Pola makan atau kebiasaan makan adalah cara-cara individu atau kelompok individu dalam memilih, mengkonsumsi dan menggunakan makanan yang tersedia yang didasarkan oleh faktor-faktor sosial dan budaya dimana seseorang hidup (Macclany dan Macbeth, 2004). Pola makan adalah berbagai informasi yang memberi gambaran mengenai jumlah, dan jenis bahan makanan yang dimakan serta susunan makanan dan frekuensi makan (Hong, 1985).

(19)

jenis makanan yang dikonsumsi bermanfaat untuk mendapatkan kesempurnaan nutrisi – nutrisi penting bagi tubuh (Sutanto, 2013).

2.2.1 Pola Makan Remaja

Pola makan atau kebiasaan makan yang diperoleh semasa remaja akan berdampak pada kesehatan dalam fase kehidupan selanjutnya, setelah dewasa dan berusia lanjut. Ketidakseimbangan antara asupan dan keluaran energi mengakibatkan pertambahan berat badan. Overweight dan obesitas yang muncul pada usia remaja cenderung berlanjut hingga ke dewasa, dan lansia. Sementara obesitas itu sendiri merupakan salah satu faktor resiko penyakit degeneratif seperti penyakit kardiovaskular, diabetes mellitus, penyakit kantong empedu, beberapa jenis kanker, dan berbagai gangguan kulit. Pola makan yang tidak baik akan berpengaruh terhadap status gizi remaja terutama status gizi lebih.

Mengonsumsi makanan dari restoran makanan cepat saji, terutama yang menyediakan menu Western Style, semakin sering ditemukan di masyarakat kota-kota besar khususnya para remaja. Selain jumlah restoran-restoran tersebut semakin banyak di berbagai penjuru kota, menu makanan cepat saji umumnya cepat dalam penyajian (Khomsan, 2003)

Penelitian Medawati dan Podojoyo (2005) membuktikan kejadian obesitas pada remaja tidak saja dipengaruhi oleh energi, lemak dan karbohidrat saja, tetapi juga dipengaruhi oleh frekuensi makan di rumah. Frekuensi makan di rumah yang berlebihan juga menyebabkan terjadinya status gizi lebih.

(20)

komposisi makanan dan kualitas diet. Kebiasaan makan remaja sekarang ini telah berubah, yaitu dengan rendahnya konsumsi buah-buahan, sayuran berwarna hijau, dan meningkatnya konsumsi snacks dan minuman ringan, serta melewatkan sarapan.

Penelitian Hudha (2006) tentang hubungan antara pola makan dan aktivitas fisik terhadap status gizi lebih, menunjukkan bahwa gizi lebih disebabkan karena pola makan yang tergolong kategori baik dan aktivitas fisik yang tergolong aktivitas fisik ringan sehingga energi yang dikeluarkan tidak sesuai dengan asupan pangan. Jika hal ini terjadi dalam kurun waktu yang lama dapat mengakibatkan terjadinya penumpukan lemak di bawah kulit yang akhirnya terjadi gizi lebih.

2.2.2 Pola Makan yang Kurang Tepat

Pola makan yang kurang tepat juga menjadi faktor yang dapat menimbulkan status gizi lebih. Menurut Purwati (2001) ada beberapa faktor yaitu:

a. Makan berlebihan

Mempunyai nafsu makan merupakan kebiasaan yang buruk, baik dilakukan dirumah, restoran, pertemuan-pertemuan, maupun pesta. Apabila sudah kenyang, jangan sekali-kali menambah porsi makanan meskipun yang tersedia sangat lezat dan merupakan makanan favorit. Makan berlebihan meningkatkan terjadinya status gizi lebih.

Dalam penelitian Hadi (2004), menyatakan bahwa asupan energi bagi obesitas lebih tinggi dibandingkan dengan yang non obesitas. Yang menarik ialah bahwa yang obesitas 2-3 kali lebih sering mengkonsumsi fast food. Seseorang yang asupan energinya tinggi (≥ 2200 kkal/hari) dan mempunyai waktu menonton TV ≥ 3 jam/hari

(21)

yang asupan energi < 2200 kkal/hari dan waktu menonton TV < 3 jam/hari. Studi ini menunjukkan adanya interaksi antara gaya hidup sedentarian (perilaku hidup kurang gerak) dan diet tinggi kalori.

b. Menghindari Makan Pagi

Makan pagi akan memberikan energi pada saat beraktivitas di siang hari. Sayangnya, karena berbagai alasan seperti tergesa-gesa, ingin kurus dan lain sebagainya, kegiatan makan pagi banyak ditinggalkan orang. Keadaan ini tentu akan merugikan tubuh karena setelah kurang lebih 12 jam, yakni jarak antara makan malam dan makan pagi, perut dibiarkan dalam keadaan kosong. Banyak orang yang mengompensasikan makan pagi dengan makan siang yang berlebih atau mengkonsumsi makanan kecil yang tinggi kalori dan tinggi lemak dalam jumlah yang relatif banyak. Dengan kondisi ini, jika dihitung jumlah kalori yang masuk ke dalam tubuh lebih banyak jika dibandingkan kalau melakukan makan pagi.

Penelitian yang dilakukan oleh University of Minnesota selama lima tahun terhadap 2000 remaja didapatkan fakta bahwa remaja yang melewatkan sarapan pagi mengalami kenaikan berat badan 2,3 kilogram dibandingkan remaja yang menikmati sarapan. Menurut ketua penelitian Mark Pereira, remaja yang melewatkan sarapan , saat siang akan makan berlebihan dan cenderung tidak aktif setelahnya. Kekenyangan akan membuat remaja malas beraktivitas (Cesilia, 2008).

c. Salah Memilih dan Mengolah Makanan

(22)

prestise atau gengsi semata seperti junk food. Makanan cepat saji yang banyak mengandung kalori, lemak dan gula berlebih banyak ditawarkan sekarang ini.

Penelitian Martha (2009) yang dilakukan di Yayasan Pendidikan Swasta SMA Raksana Medan dari 120 orang siswi sebanyak 48 orang (40,33%) mengalami obesitas, overweight sebanyak 11 orang (9,24%), normal sebanyak 46 orang (39,49%), kurus sebanyak 14 orang (10,92%). Hal ini disebabkan oleh pola makan yang berlebih yang dapat dilihat dari jumlah siswa/i yang mengonsumsi Kentucky Fried Chicken (KFC) sebanyak 2-3 kali seminggu yaitu sebesar 43,69% (52 orang).

d. Kebiasaan Mengemil Makanan Ringan

Mengemil merupakan kegiatan makan diluar waktu makan. Biasanya makanan yang dikonsumsi berupa makanan kecil (makanan ringan) yang rasanya gurih, manis, dan digoreng. Bila tidak dikontrol akan menyebabkan kegemukan. Makanan ringan atau makanan jajanan lebih banyak mengandung karbohidrat dan sedikit mengandung protein sehingga lebih mengenyangkan.

Penelitian Mariza (2012) membuktikan bahwa tidak terdapat hubungan antara kebiasaan sarapan dengan status gizi lebih secara statistik, tetapi kebiasaan sarapan berhubungan dengan kebiasaan jajan di sekolah dengan risiko sebesar 1,5 kali. Terdapat hubungan yang bermakna antara kebiasaan jajan dengan status gizi lebih secara statistik dan biasa jajan memiliki risiko sebesar 7 kali terhadap terjadinya status gizi lebih.

2.2.3 Faktor yang Mempengaruhi Pola Makan Remaja

(23)

a. Pengaruh teman sebaya

Pada praremaja masalah pemilihan makana tidak lagi didasarkan pada kandungan gizinya tetapi lebih banyak sekedar sosialisi dengan teman sebayanya, untuk kesenangan dan agar tidak kehilangan status. Pada masa ini pengaruh teman sebaya lebih menonjol dari pada peran keluarga. Teman sebaya memberi pengaruh yang buruk seperti upaya penurunan berat badan dan perilaku makan yang salah.

Penelitian Levine (2001) menemukan bahwa perilaku kontrol berat badan berhubungan dengan teman sebaya. Tekanan yang diberikan teman sebaya ditemukan dapat meningkatkan risiko terjadinya perilaku makan yang menyimpang yang merupakan dampak dari kontrol berat badan.

Penelitian Hayati (2009) juga membuktikan bahwa teman sebaya dapat meningkatkan pengetahuan, sikap, keterampilan dalam memilih makanan jajan sehat pada anak usia sekolah kelas empat dan lima SD dengan p < 0,0000.

b. Pengaruh media massa

Media massa sangat berperan penting dalam perilaku makan remaja. Media, baik media cetak maupun elektronik dikatakan juga sebagai salah satu faktor yang dapat menyebabkan timbulnya pola makan yang buruk (Anderson, 2006). Semakin sering menonton televisi semakin tinggi sikap positif terhadap junk food (makanan siap saji).

(24)

yang sering dilihat adalah snack dengan persentase 56,5 % dan 41,3% responden lebih tertarik dengan slogan atau pesan dalam iklan.

c. Tingkat sosial ekonomi

Dari sudut pandang sosial ekonomi, remaja menjadi pasar yang potensial untuk produk makanan tertentu. Umumnya remaja mempunyai uang saku. Hal ini dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh pemasang iklan melalui berbagai media cetak maupun elektronik. Peningkatan pendapatan pada kelompok sosial ekonomi tertentu, terutama di perkotaan, menyebabkan adanya perubahan pola makan yang meningkat dan pola aktivitas yang menurun yang mendukung terjadinya peningkatan jumlah penderita kegemukan dan obesitas.

Penelitian Meiningtias (2003) menunjukkan bahwa ada hubungan antara pola makan karbohidrat dengan kegemukan, pola makan lemak dengan kegemukan, dan ada hubungan aktivitas fisik dengan kegemukan. Hal ini disebabkan karena ketidakseimbangan antara konsumsi dan pengeluaran energi, serta aktivitas fisik yang kurang sehingga terjadi penumpukan lemak dan akhirnya mengakibatkan kegemukan.

d. Pengaruh keluarga

Pengaruh keluarga yang menyenangkan berpengaruh pada pola kebiasaan makan. Hal ini mungkin dilandasi oleh ada atau tidak adanya kebiasaan makan bersama. Oleh karena itu kebiasaan makan bersama akhirnya luntur karena tiadanya waktu saling berkumpul, apalagi makan bersama. Orang tua masi memegang peranan penting dalam perilaku makan anak.

(25)

mengkonsumsi buah, sayuran, susu dan produk bergizi lainnya membuat anak mengkonsumsi makanan bergizi tersebut.

Penelitian Saifah (2011) juga menunjukkan hubungan peran keluarga dengan perilaku gizi anak mempunyai hubungan lemah (r=0,16) berpola positif, hal ini menunjukkan semakin besar atau semakin baik peran keluarga makan semakin besar atau semakin baik perilaku gizi anak.

e. Kemajuan industri makanan

Kehadiran fast food dalam industri makanan di Indonesia memengaruhi pola makan kaum remaja di kota. Khususnya bagi remaja tingkat menengah keatas, restaurant fast food merupakan tempat yang tepat untuk bersantai. Makanan yang ditawarkan pun relatif dengan harga yang terjangkau kantong mereka, servisnya cepat, dan jenis makanannya memenuhi selera.

Penelitian yang dilakukan oleh Risnaningsih dan Woro (2008) membuktikan bahwa ada hubungan yang nyata antara kebiasaan makan fast food dengan kejadian obesitas. Jumlah kalori fast food yang dikonsumsi berpengaruh terhadap kejadian obesitas (Risnaningsih dan Woro 2008). Tingginya jumlah kalori yang terdapat di dalam fast food dapat menyebabkan terjadinya gizi lebih.

2.3 Serat Makanan

(26)

berguna untuk diet (dietary fiber). Serat makanan sebagai salah satu jenis polisakarida yang lebih lazim disebut karbohidrat kompleks (Sulistijani, 2001).

Serat makanan yang dismpaikan oleh the American Association of Cereal Chemist (AACC, 2001) adalah merupakan bagian yang dapat dimakan dari tanaman atau karbohidrat anaalog yang resisten terhadap pencernaan dan absorpsi pada usus halus dengan fermentasi lengkap atau partial pada usus besar. Serat makanan tersebut meliputi pati, polisakharida, oligosakharida, lignin dan bagian tanaman laainnya. (Winarti, 2010).

Serat makanan tidak dapat diserap oleh dinding usus halus dan tidak dapat masuk ke dalam sirkulasi darah. Namun, akan dilewatkan menuju usus besar (kolon) dengan gerakan peristaltik usus. Serat makanan yang tersisa di dalam kolon tidak membahayakan organ usus, justru kehadirannya berpengaruh positif terhadap proses-proses di dalam saluran pencernaan dan metabolisme zat-zat gizi, asalkan jumlahnya tidak berlebihan (Sulistijani, 2001).

2.3.1 Jenis-Jenis Serat Makanan

Serat terbagi dua macam yaitu serat larut dan serat tak larut dalam air. Serat larut tidak dapat dicerna oleh enzim pencernaan manusia tetapi larut dalam air panas, sedangkan serat tak larut tidak dapat dicerna dan juga tidak larust dalam air panas.pektin dan getah tanaman (gum) adalah zat-zat yang termasuk dalam serat makanan larut, sedangkan lignin, selulolas, dan hemiselulosa tergolong ke dalam kelompok serat tak larut (Lubis, 2009).

(27)

dari makanan nabati yang melewati saluran cerna dengan utuh sehingga akan melunakkan dan memberi bentuk pada feses dan mampu menyerap air. Selulosa akan membantu gerakan peristaltik usu sehingga akan membantu pembuangan akhir dari pencernaan dan terhindar dari konstipasi (Almatsier, 2004).

Serat makanan jika sampai dilambung akan memiliki waktu tinggal yang lebih lama dibandingkan makanan yang berbentuk halus. Waktu tinggal ini akan membuat pengosongan lebih lama dan akibatnya seseorang akan lebih lama merasa kenyang (Hartono dkk, 2011). Jadi serat sangat berperan dalam melancarkan pencernaan dan membuat seseorang merasa kenyang lebih lama akibat waktu transit yang lebih lama di lambung.

2.3.2 Fungsi Serat Makanan Bagi Kesehatan a. Serat Makanan dan Kontrol Berat Badan

Serat larut air (soluble fiber) mis : pectin, -glucans dan gum serta beberapa hemiselulosa mempunyai kemampuan menahan air dan dapat membentuk cairan kental dalam saluran pencernaan. Dengan kemampuan ini serat larut dapat menunda pengosongan makanan dari lambung, menghambat percampuran isi saluran cerna dengan enzim-enzim pencernaan, sehingga terjadi pengurangan penyerapan zat-zat makanan di bagian proksimal. Mekanisme inilah yang menyebabkan terjadinya penurunan penyerapan (absorbsi) asam amino dan asam lemak oleh serat larut air. Cairan kental ini mengurangi keberadaan asam amino dalam tubuh melalui penghambatan peptida usus (Winarti, 2010).

(28)

waktu yang relatif singkat sehingga absorbsi zat makanan akan berkurang. Selain itu makanan yang mengandung serat relatif tinggi akan memberi rasa kenyang sehingga menurunkan konsumsi makanan. Makanan dengan kandungan serat kasar yang tinggi biasanya mengandung kalori rendah, kadar gula dan lemak rendah yang dapat membantu mengurangi terjadinya obesitas (Winarti, 2010).

Menurut penelitian Susmiati (2007), makanan dengan kandungan serat kasar yang tinggi juga dilaporkan dapat mengurangi berat badan. Serat makanan akan tinggal dalam saluran pencernaan dalam waktu relatif singkat sehingga absorpsi zat makanan berkurang. Selain itu, makanan yang mengandung serat yang relatif tinggi akan memberikan rasa kenyang karena komposisi karbohidrat komplek bersifat menghentikan nafsu makan sehingga mengakibatkan turunnya konsumsi makanan.

Penelitian Intan (2008) juga menunjukkan bahwa proporsi obesitas lebih banyak ditemukan pada remaja dengan frekuensi konsumsi seratnya sering (32,7%) dibandingkan dengan remaja yang sering mengkonsumsi serat (19%). Kemungkinan hal ini terjadi karena frekuensi konsumsi serat yang dikonsumsi memiliki kandungan serat yang rendah, sehingga tidak berpengaruh terhadap pencegahan obesitas.

b. Serat Makanan dan Kanker Kolon

(29)

konsentrasinya jauh lebih rendah. Dengan demikian akan terjadi kontak antara zat karsinogenik dengan konsentrasi yang rendah dengan usus besar, dan kontak ini pun terjadi dalam waktu yang lebih singkat, sehingga tidak memungkinkan terbentuknya sel-sel kanker (Winarti, 2010).

Diverticulitis merupakan penyakit pada saluran usus besar berupa luka atau benjolan. Benjolan dan luka ini dapat mempermudah terbentuknya sel-sel kanker, jika kontak dengan senyawa karsinogenik. Timbulnya diverticulitis disebabkan oleh pembentukan feses yang kecil-kecil dan keras. Untuk mengeluarkan feses yang kecil dan keras ini perlu tekanan tinggi pada dinding usus. Akibatnya, lama kelamaan akan timbul luka. Terbentuknya feses yang kecil dan keras dapat terjadi pada orang yang jarang makan makanan berserat seperti buah-buahan dan sayuran (Winarti, 2010).

Menurut para ahli gizi di Swedia melaporkan, kebiasaan makan biji-bijian atau padi-padian, dapat menekan risiko terkena kanker perut. Hasil riset terbaru seperti dipublikasikan Majalah Gastroenterology, pengkonsumsi serat dalam jumlah paling tinggi dapat menurunkan sekitar 60% dari risiko mengidap penyakit kanker perut daripada kelompok yang mengkonsumsi sedikit serat (Winarti, 2010).

c. Serat Makanan dan Kardiovaskular (Penyakit Jantung)

(30)

d. Serat Makanan dan Kolesterol

Kolesterol termasuk lemak, merupakan zat penting yang sangat dibutuhkan tubuh. Untuk memenuhi kebutuhan tubuh, hati dapat membentuk kolesterol dalam jumlah seimbang dan mencukupi. Kelebihan kolesterol umumnya terjadi karena banyak asupan kolesterol dan lemak dari luar lewat makanan yang kita makan. Asupan serat dapat membantu menyeimbangkan jumlah kolesterol berlebihan dalam tubuh (Lubis, 2009).

Diet serat larut, menurunkan kadar kolesterol darah dan membantu mengurangi risiko penyakit jantung. Karena mampu menjerat lemak dalam usus, berarti serat larut mencegah penyerapan lemak oleh tubuh. Dengan demikian serat membantu mengurangi penyerapan lemak oleh tubuh. (Winarti, 2010).

e. Serat Makanan dan Kontrol Gula darah

(31)

2.3.3 Dampak Kekurangan dan Kelebihan Serat Makanan

Dampak kekurangan serat seperti tekstur dan struktur tinja menjadi keras, padat, dan berbutiran kecil-kecil, susah buang air besar atau konstipasi, mudah terinfeksi, meningkatkan gerak peristaltik usus secara berlebihan dan mendatangkan beragam jenis penyakit mematikan seperti kanker kolon, penyakit gula darah, infeksi difertikula, jantung koroner, stroke, tekanan darah tinggi dan penyempitan pembuluh darah (Lubis, 2009)

Dampak yang terjadi akibat kelebihan serat makanan seperti dehidrasi, terjadi peningkatan jumlah gas yang dihasilkan oleh mikroorganisme berbahaya dalam usus besar, menurunkan kemampuan sel usus dalam menyerap vitamin larut lemak (ADEK) dan vitamin larut air, sehingga jumlah vitamin tersebut di dalam tubuh berkurang, menghambat ketersediaan asam empedu dan beberapa enzim yang dibutuhkan dalam proses pencernaan, sehingga dapat menggangu ketersediaan lemak dan protein, menurunkan ketersediaan mineral karena serat dapat menghambat proses penyerapan (Lubis, 2009)

Asupan serat makanan dari sumber makanan alami tidak pernah menimbulkan kelebihan ketersediaan serat dalam tubuh. Satu-satunya penyebab ketersediaan serat yang berlebihan adalah karena konsumsi serat makanan dari suplemen (Lubis, 2009). 2.3.4 Asupan Serat yang Dianjurkan

(32)

umur 14-18 tahun yaitu 38 gr untuk laki-laki dan 26 gr untuk perempuan (Yuliarti, 2008).

Jumlah asupan serat makanan yang dianjurkan untuk dikonsumsi masyarakat indonesia sekitar 25-30 gram setiap hari. Kebutuhan serat makanan berbeda pada jenjang usia yang berbeda. Asupan serat makanan pada bayi, anak-anak, usia remaja, usia dewasa dan lanjut usia tidak sama karena penyebab yang melatar belakangi memang berbeda (Lubis, 2009). Angka kecukupan serat pada remaja usia 13-15 tahun yaitu 35 gr untuk laki-laki dan 30 gr untuk perempuan, sedangkan pada remaja usia 16-18 tahun yaitu 37 gr untuk laki-laki dan 30 gr untuk perempuan (Hardinsyah dan Tambunan, 2004).

2.4 Status Gizi Remaja

Status gizi adalah keadaan tubuh akibat konsumsi pangan dan penggunaan zat-zat gizi (Almatsier, 2001). Status gizi adalah hasil perhitungan dari berat badan (kg) dibagi dengan tinggi badan (m) dikuadratkan yang disesuaikan dengan rumus indeks antropometri (Gibson, 2005).

Ada tiga alasan remaja dikatakan rentan. Pertama, percepatan pertumbuhan dan perkembangan tubuh memerlukan energi dan zat gizi lebih banyak. Kedua, perubahan gaya hidup dan kebiasaan pangan menuntut penyesuaian masukan energi dan zat gizi. Ketiga, kehamilan, keikutsertaan dalam olahraga, kecanduan alkohol dan obat, meningkatkan kebutuhan energi dan zat gizi, di samping itu tidak sedikit remaja yang makan secara berlebihan dan akhirnya mengalami obesitas (Arisman, 2002).

(33)

pada kelompok umur ini didasarkan pada pengukuran antropometri berat badan (BB) dan tinggi badan (TB) yang disajikan dalam bentuk tinggi badan menurut umur (TB/U) dan indeks masa tubuh menurut umur (IMT/U). Indeks masa tubuh dihitung berdasarkan rumus berikut :

Pada anak remaja usia 5-18 tahun nilai IMT nya harus dibandingkan dengan referensi WHO/NHCS 2007 (WHO 2007). Pada saat ini yang paling sering dilakukan untuk menyatakan indeks tersebut adalah Z- score atau persentil.

- Z-score : deviasi nilai seseorang dari dari nilai median populasireferensi dibagi dengan simpangan baku populasi referensi.

- Persentil : tingkatan posisi seseorang pada distribusi referensi (WHO/NHCS), yang dijelaskan dengan nilai seseorang sama atau lebih besar daripada persentase kelompok populasi.

Secara teoritis Z-score dapat dihitung dengan rumus :

Klasifikasi IMT untuk usia 5-18 tahun disajikan pada Tabel 2.1. Tabel 2.1 Klasifikasi IMT Menurut RI 2010 untuk usia 5-18 Tahun

Kategori Nilai Z-score

Sangat Kurus Z-score < -3

Kurus -3 ≤ Z-score < -2

Normal -2 ≤ Z-score < +1

Gemuk +1 ≤ Z-score < +2

(34)

2.5 Pola Makan dan Status Gizi Remaja

Pola makan remaja di pengaruhi oleh beberapa faktor yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal yaitu faktor yang berasal dari dalam diri remaja tersebut berupa emosi/kejiwaan yang memiliki sifat kebiasaan. Sedangkan faktor eksternal yaitu faktor yang berasal dari luar diri remaja seperti ketersediaan makanan yang ada disekitarnya dan kondisi sosial eknomi yang mempengaruhi tingkat daya beli manusia terhadap makanan.

Status gizi pada anak remaja disebabkan oleh ketidakseimbangan antara asupan energi dan energi yang digunakan sehingga mengakibatkan pertambahan berat badan. Selain itu faktor yang mempengaruhi status gizi remaja yaitu faktor lingkungan, aktivitas fisik, pola makan, umur, jenis kelamin dan tingkat sosial ekonomi yang akan berdampak pada status gizi remaja. Status gizi lebih yang muncul pada usia remaja cenderung berlanjut hingga dewasa dan lansia. Sedangkan status gizi lebih itu sendiri merupakan salah satu faktor risiko penyakit degeneratif seperti penyakit jantung, diabetes melitus dan beberapa jenis kanker (Arisman, 2002).

(35)

2.6 Metode Penilaian Konsumsi Makanan

Metode untuk mengukur konsumsi makanan untuk perorangan dibagi dua yaitu kuantitatif dan kualitatif. Metode kualitatif biasanya mengetahui frekuensi makan, frekuensi konsumsi menurut jenis bahan makanan dan menggali informasi tentang kebiasaan makan, sedangkan metode kuantitatif biasanya untuk mengetahui jumlah makan yang dikonsumsi sehingga dapat dihitung konsumsi zat gizi dengan menggunakan Daftar Komposisi Bahan Makanan (DKBM). Metode kualitatif terdiri dari metode frekuensi makanan (food frequency), dietary history, metode telepon dan metode pendaftaran makanan (food list), sedangkan metode kuantitatif terdiri dari metode recall 24 jam, perkiraan makanan (estimated food records), penimbangan makanan (food weighing), metode food account, metode inventaris (inventory method), dan pencatatan (household food record) (Supariasa, 2002). Metode penilaian konsumsi makanan yang digunakan peneliti adalah metode recall 24 jam dan metode frekuensi makanan (food frequency). Metode tersebut bertujuan untuk mengukur jumlah makanan yang dikonsumsi perorangan selama satu hari (24 jam) (Gibson, 2005). Penilaian konsumsi makanan merupakan salah satu metode yang digunakan dalam penelitian status gizi perorangan atau kelompok.

2.6.1 Metode recall 24 jam

(36)

menggunakan ukuran rumah tangga seperti sendok, gelas, piring atau sendok teh. Pengukuran ini biasanyan digunakan berulang kali untuk melihat gambaran konsumsi makanan individu. Jika hanya dilakukan 1x24 jam makan data yang diperoleh kurang representatif untuk menggambarkan kebiasaan makan individu. Oleh karena itu, recall 24 jam sebiknya dilakukan 2x24 jam untuk mendapatkan gambaran asupan zat gizi lebih optimal (Supariasa, 2002)

2.6.2 Metode Frekuensi Makanan (food frequency)

Metode frekuensi makanan adalah untuk memperoleh data tentang frekuensi konsumsi sejumlah bahan makanan atau makanan jadi selama periode tertentu seperi hari, minggu atau bulan (Supariasa, 2002)

(37)

Pola makan remaja yang terdiri dari frekuensi makan, jumlah makanan, jenis bahan makanan serta asupan serat yang dikonsumsi akan berpengaruh terhadap kecukupan gizi yang berdampak pada status gizi remaja.

2.8 Hipotesis

1. Ho : Tidak ada hubungan antara pola makan dengan status gizi pada siswa/i SMP N 34 Medan tahun 2014

Ha : Ada hubungan antara pola makan dengan status gizi pada siswa/i SMP N 34 Medan tahun 2014

2. Ho : Tidak ada hubungan antara asupan serat dengan status gizi pada siswa/i SMP N 34 Medan tahun 2014

(38)

BAB III

METODE PENELITIAN 3.1Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah survei yang bersifat deskriptif dengan menggunakan desain penelitian cross sectional. Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan hubungan pola makan dan asupan serat dengan status gizi di SMP N 34 Medan.

3.2Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan di SMP N 34 Medan berada di di Jl. Mhd. Zein Hamid Gang Perbatasan Baru, dengan alasan sekolah ini merupakan salah satu sekolah unggulan sehingga tingkat sosial ekonomi para siswa/i cenderung menengah keatas. Hal ini membuat peluang terjadinya status gizi lebih terkait ketersediaan dan keterjangkaan makanan terhadap berbagai makanan terutama makanan jajanan. 3.3Waktu Penelitian

Penelitian di SMP N 34 Medan ini dilakukan pada bulan Februari sampai Oktober 2014.

3.4Populasi dan Sampel 3.4.1 Populasi

(39)

Sampel dalam penelitian ini adalah sebagian dari jumlah siswa kelas VII dan VIII di SMP N 34 Medan pada tahun 2014-2015. Teknik pengambilan sampel menggunakan Proporsional Stratified Random Sampling. Jumlah sampel yang akan diteliti dihitung menggunakan rumus Lemeshow (1997), sebagai berikut :

78

Keterangan : n = Besar sampel N= Besar populasi

d = Galat pendugaan (0,1)

Z = Tingkat kepercayaan (95% = 1,96) P = Proporsi populasi (0,5)

Setelah dilakukan perhitungan menggunakan rumus di atas, maka jumlah sampel penelitian sebanyak 78 orang responden. Kemudian untuk menentukan jumlah sampel setiap kelas dilakukan secara proporsional dengan cara :

Keterangan : ni = Jumlah sampel pada kelas i Ni = Jumlah populasi pada kelas i N = Jumlah total sampel

(40)

Kelas Jumlah Siswa Jumlah Sampel

VII A 37 6

VII B 36 6

VII C 37 6

VII D 36 6

VII E 36 6

VII F 37 6

VIII A 36 6

VIII B 36 6

VIII C 36 6

VIII D 36 6

VIII E 36 6

VIII F 28 6

VIII G 29 6

Total 456 78

Selanjutnya dilakukan pengambilan sampel di tiap kelas dengan simple random sampling.

3.5 Jenis dan Cara Pengumpulan Data 3.5.1 Jenis Data

1. Data Primer

(41)

2. Data Sekunder

Data sekunder meliputi gambaran umum di SMP N 34 Medan mengenai status gizi sebagian siswa-siswi di SMP N 34 Medan sebagai studi pendahuluan untuk menentukan masalah di sekolah tersebut.

3.5.2 Cara Pengumpulan Data

- Jumlah makanan dan jenis bahan makanan diperoleh dari hasil wawancara dengan menggunakan daftar susunan makanan berdasarkan waktu dan jenis bahan makanan yang di makan 24 jam yang lalu (food recall) selama 2 hari yaitu hari sekolah dan hari minggu.

- Frekuensi makan diperoleh dari hasil wawancara dengan memakai daftar frekuensi bahan makanan yang dimakan (food frequency).

- Status gizi remaja dapat dilihat menggunakan WHO AnthroPlus 2007

- Data asupan serat diperoleh menggunakan food recall 24 jam selama 2 hari yaitu hari sekolah dan hari minggu kemudian dirata-ratakan dan disesuaikan dengan kecukupan serat yang dianjurkan.

3.6 Instrumen Penelitian 1. Formulir Food Recall 2. Formulir Food Frequency

(42)

3.7 Defenisi Operasional

1. Status gizi adalah hasil keseimbangan antara zat-zat gizi yang masuk dalam tubuh dan penggunaanya.

2. Pola makan adalah berbagai informasi yang memberi gambaran mengenai jumlah, dan jenis bahan makanan yang dimakan dan frekuensi makan.

3. Jenis makanan adalah macam makanan yang dikonsumsi dalam satu hari mencakup makanan pokok, lauk-pauk, sayuran, buah dan susu

.

4. Jumlah makanan adalah banyaknya asupan makanan (energi dan protein) yang dikonsumsi siswa/i dalam sehari.

5. Frekuensi makan adalah seberapa sering siswa mengkonsumsi jenis makanan tertentu dalam satu hari atau satu minggu: > 1 x sehari, 1 x sehari, 4-6 x seminggu, 1-3 x seminggu atau tidak pernah sama sekali.

6. Kecukupan energi adalah jumlah asupan energi yang dikonsumsi siswa/i dalam sehari kemudian dibandingkan dengan kecukupan energi berdasarkan AKG.

7. Kecukupan protein adalah jumlah nilai persentase asupan protein yang dikonsumsi siswa/i dalam sehari kemudian dibandingkan dengan kecukupan energi berdasarkan AKG.

8. Kecukupan asupan serat adalah jumlah serat (buah dan sayur) yang dikonsumsi oleh siswa/i dalam sehari atau satu minggu kemudian dibandingkan dengan kecukupan serat yang dianjurkan.

(43)

1. Data status gizi dapat dikategorikan menjadi : (Kemenkes RI, 2010) - Jika Z-score < -3 : Sangat Kurus

- Jika -3 ≤ Z-score < -2 : Kurus - Jika -2 ≤ Z-score < +1 : Normal - Jika +1 ≤ Z-score < +2 : Gemuk - Jika Z-score ≥ +2 : Obesitas

2. Pola makan (frekuensi, jenis dan jumlah) dikategorikan menggunakan skala ordinal :

a. Frekuensi makan

Frekuensi makanan diperoleh melalui wawancara kepada siswa/i menggunakan food frequency selanjutnya dikategorikan menjadi :

1. > 1 kali sehari 2. 1 kali sehari 3. 4-6 kali seminggu 4. 1-3 kali seminggu 5. Tidak pernah b. Jenis makanan

Jenis makanan diperoleh melalui wawancara kepada siswa/i menggunakan food recall 2x24 jam. Selanjutnya jenis makanan dikategorikan menjadi:

1. Baik : ≥ 4 jenis (makanan pokok, lauk pauk, sayuran, buah -buahan dan susu)

(44)

3. Tidak baik : < 3 jenis (makanan pokok dan lauk pauk / sayuran / buah-buahan / susu)

c. Jumlah makanan

Jumlah makanan diukur menggunakan Metode Food Recall 24 jam selama dua hari yaitu hari biasa dan hari minggu. Jumlah makanan dinyatakan dalam satuan Ukuran Rumah Tangga (URT) seperti : piring, sendok, mangkok selanjutnya dikonversikan ke dalam satuan gram menggunakan bantuan food model kemudian kandungan energi dan proteinnya dihitung berdasarkan Daftar Bahan Makanan Penukar atau daftar Kandungan Zat Gizi Makanan Jajanan. Hasil pengukuran tersebut dibandingkan dengan Daftar Kecukupan Gizi rata-rata yang dianjurkan berdasarkan golongan umur, selanjutnya tingkat kecukupan gizi dihitung menggunakan rumus (Supariasa, 2001) :

Keterangan : TK : Tingkat Kecukupan K : Konsumsi

KC : Kecukupan yang dianjurkan

Hasil analisis bahan makanan akan dihitung rata-rata konsumsi energi dan proteinnya, kemudian dibandingkan dengan angka kecukupan energi dan protein. Tingkat energi dan protein dapat digolongkan atas (Supariasa, 2001) :

- Baik : Bila ≥ 100% AKG

(45)

- Kurang : Bila 70-80% AKG - Defisit : Bila < 70% AKG 3. Asupan serat

Data asupan serat diperoleh menggunakan Metode Food Recall 24 Jam, kemudian dikonversikan menggunakan Nutri Survey 2007. Selanjutnya dikategorikan menjadi (Hardinsyah dan Tambunan, 2004):

- Rendah : Bila tingkat kecukupan < 10 gr/1000kkal - Normal : Bila tingkat kecukupan ≥ 10 gr /1000kkal 3.9 Analisis Data

Analisis dalam penelitian ini mencakup :

1. Analisis univariat, yaitu analisis yang menggambarkan secara tunggal variabel-variabel independen dan dependen dalam bentuk distribusi frekuensi 2. Analisis bivariat, yaitu untuk melihat hubungan variabel independen dengan

(46)

BAB IV

HASIL PENELITIAN

4.1.Gambaran Umum Lokasi Penelitian

SMP Negeri 34 beralamat di Jl. Mhd. Zein Hamid Gang Perbatasan Baru, Kelurahan Kampung Baru, Kecamatan Medan Maimun, Sumatera Utara. Jumlah siswa sebanyak 715 orang, terdiri atas 305 orang laki-laki dan 410 orang perempuan. Siswa kelas VII berjumlah 219 orang, siswa kelas VIII berjumlah 237 orang.

SMP Negeri 34 memiliki sarana dan prasarana antara lain yaitu lapangan futsal, laboratorium komputer dan beberapa kantin. SMP ini memiliki 4 kantin. Dari anatara 4 kantin tersebut, hanya 1 kantin yang menjual makanan seperti nasi goreng dan mie goreng. Kantin lainnya hanya menjual makanan jajanan seperti bakso bakar, gorengan, dan minuman soft drink seperti fanta. Umumnya siswa/i mengkonsumsi makanan yang ada dikantin pada jam istirahat dan jam pulang sekolah setiap harinya. Kantin-kantin tersebut menjual makanan yang mengandung rendah serat.

4.2. Karakteristik Siswa/i SMP N 34 Medan 4.2.1 Umur dan Jenis Kelamin

Distribusi karakteristik responden berdasarkan umur dan jenis kelamin dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

Tabel 4.1 Karakteristik Siswa/i SMP N 34 Medan tahun 2014 Jenis Kelamin

Total Laki-laki Perempuan

Umur 10-12 Tahun 17 26 43

13-15 Tahun 21 14 35

(47)

4.2.2 Status Gizi

Status gizi siswa didapatkan dari pengukuran tinggi badan dan berat badan kemudian dilihat berdasarkan IMT/U. Distribusi frekuensi status gizi dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

Tabel 4.2 Distribusi Status Gizi Pada Siswa/i SMP N 34 Medan Tahun 2014

Status Gizi Jumlah Persentase

Sangat Kurus 9 11,5

Kurus 16 20,5

Normal 31 39,7

Gemuk 18 23,1

Obesitas 4 5,1

Total 78 100,0

Berdasarkan Tabel 4.2 diatas dapat diketahui bahwa status gizi lebih dan status gizi kurang di SMP N 34 tergolong tinggi karena menurut Riskesdas 2013 prevalensi status gizi lebih dan status gizi kurang di Sumatera Utara hanya 13,8 % dan 9,9 %.

4.2.3 Pola Makan

4.2.3.1 Frekuensi Makan dan Jenis Makanan

(48)

Siswa/i yang tidak mengkonsumsi ikan segar hanya sedikit, dikarenakan alergi terhadap ikan. Siswa/i yang tidak mengkonsumsi ayam juga sedikit, umumnya siswa/i mengkonsumsi ayam dalam bentuk mie seperti mie ayam.

Umumnya tahu dan tempe yang dikonsumsi dalam bentuk tahu goreng, tempe goreng hanya sedikit yang tidak pernah mengkonsumsi tahu dan tempe.

Sebagian besar siswa/i sangat jarang mengkonsumsi sayuran dikarenakan banyak yang tidak suka sayuran.

Tabel 4.3 Distribusi Siswa/i SMP N 34 Medan Berdasarkan Frekuensi dan Jenis Bahan Makanan Pokok, Lauk Pauk dan Sayur-Sayuran

(49)

Distribusi frekuensi jenis buah-buahan dan jajanan dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 4.4 Distribusi Siswa/i SMP N 34 Medan Berdasarkan Jenis Buah-Buahan dan Makanan Jajanan sudah beraneka ragam. Konsumsi buah lebih dari sekali sehari sangatlah jarang dilakukan siswa/i, umumnya mereka lebih menyukai buah dalam bentuk rujak.

(50)

mengkonsumsi bakso, dikarenakan di kantin tersedia bakso dalam bentuk bakso bakar dan bakso sambel.

Distribusi siswa/i berdasarkan jenis makanan dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

Tabel 4.5 Distribusi Siswa/i SMP N 34 Medan berdasarkan Jenis Makanan

Jenis Makanan Jumlah Persentase

Baik 12 15,4

Sedang 50 64,1

Tidak Baik 16 20,5

Total 78 100,0

Berdasarkan Tabel 4.5 diatas dapat dilihat bahwa rata-rata konsumsi tiap jenis makanan hanya 2 jenis dalam sehari yaitu makanan pokok dan lauk pauk.

4.2.3.2 Jumlah Asupan Makanan

Distribusi siswa/i berdasarkan asupan energi dan protein dapat dilihat pada tabel di bawah ini :

Tabel 4.6 Distribusi Siswa/i SMP N 34 Medan Berdasarkan Asupan Energi dan Asupan Protein

No Pola Makan Jumlah Persentase

(51)

Berdasarkan Tabel 4.6 diatas dapat dilihat bahwa pada umumnya energi dan protein yang dikonsumsi dalam jumlah yang sedikit sehingga kurang memenuhi Angka Kecukupan Gizi (AKG) yang telah ditentukan. Hal tersebut yang mendominasi rendahnya asupan energi dan protein yaitu < 70% AKG

Rata-rata asupan energi yang dikonsumsi adalah 1196,45 kkal dengan jumlah energi minimum yang dikonsumsi sebanyak 549,8 kkal dan maximum sebanyak 2808,7 kkal. Rata-rata asupan protein yang dikonsumsi adalah 45,21 gr dengan jumlah protein minimum yang dikonsumsi sebanyak 20,5 gr dan maximum sebanyak 81,5 gr.

4.2.4 Asupan Serat

Distribusi siswa/i berdasarkan asupan serat dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

Tabel 4.7 Distribusi Siswa/i SMP N 34 Medan Berdasarkan Asupan Serat

Asupan Serat Jumlah Persentase

Rendah 71 91,0

Normal 7 9,0

Total 78 100.0

(52)

4.3 Analisis Bivariat

Analisis bivariat menggunakan uji chi square untuk melihat hubungan pola makan dan asupan serat dengan status gizi. Agar data yang terkumpul dapat di analisa secara bivariat dengan uji chi square perlu dilakukan pengkategorian ulang untuk beberapa variabel. Jumlah asupan energi dan protein dapat dikategorikan tinggi (lebih atau sama dengan 85% AKG) dan rendah (kurang dari 85% AKG). Jenis makanan dikategorikan baik (lebih atau sama dengan 4 jenis) dan tidak baik (kurang dari 4 jenis).

4.3.1 Hubungan Pola Makan dengan Status Gizi 4.3.1.1 Hubungan Asupan Energi dengan Status Gizi

Berdasarkan tabel di bawah ini diketahui bahwa 73,3 % asupan energi yang tinggi memiliki status gizi gemuk dan 47,8 % asupan energi rendah memiliki status gizi normal.

Tabel 4.8 Hubungan Antara Asupan Energi dengan Status Gizi pada Siswa/i SMP N 34 Medan Tahun 2014

Berdasarkan hasil uji statistik didapatkan p sebesar 0,000 yang memiliki arti p < α Ho ditolak, sehingga dapat disimpulkan bahwa asupan energi berhubungan

(53)

4.3.1.2 Hubungan Antara Asupan Protein dengan Status Gizi

Berdasarkan tabel di bawah ini diketahui bahwa 45,5 % asupan protein yang tinggi memiliki status gizi normal dan gemuk sedangkan 37,5 % asupan protein yang rendah memiliki status gizi normal.

Tabel 4.9 Hubungan Asupan Protein dengan Status Gizi pda Siswa/i SMP N 34 Medan Tahun 2014

Status Gizi Asupan

Protein Sangat Kurus

Kurus Normal Gemuk Obesitas Total P

Value

N % n % n % n % n % n %

Tinggi 0 0,0 0 0,0 10 45,5 10 45,5 2 9,1 22 100,0

0,0001 Rendah 9 16,1 16 28,6 21 37,5 8 14,3 2 3,6 56 100,0

Total 9 11,5 16 20,5 31 39,7 18 23,1 4 5,1 78 100,0

Berdasarkan hasil uji statistik didapatkan p sebesar 0,0001 yang memiliki arti p < α Ho ditolak, sehingga dapat disimpulkan bahwa asupan protein berhubungan

dengan status gizi.

4.3.1.3 Hubungan Antara Jenis Makanan dengan Status Gizi

(54)

Tabel 4.10 Hubungan Jenis Makanan dengan Status Gizi pada Siswa/i SMP

Berdasarkan hasil uji statistik didapatkan p sebesar 0,184 yang memiliki arti p < α, sehingga dapat disimpulkan bahwa jenis makanan tidak berhubungan dengan

status gizi.

4.3.3 Hubungan Antara Asupan Serat dengan Status Gizi

Berdasarkan tabel di bawah ini diketahui bahwa 71,4 % asupan serat yang tinggi memiliki status gizi yang gemuk sedangkan 40,8 % asupan serat yang rendah memiliki status gizi yang normal.

Tabel 4.11 Hubungan Asupan Serat dengan Status Gizi pada Siswa/i SMP N 34 Medan Tahun 2014

Berdasarkan hasil uji statistik didapatkan p sebesar 0,028 yang memiliki arti p < α Ho ditolak, sehingga dapat disimpulkan bahwa jumlah asupan serat berhubungan

(55)

BAB V PEMBAHASAN

5.1 Karakteristik Siswa/i 5.1.1 Status Gizi

Dari hasil penelitian didapatkan status gizi pada siswa/i SMP N 34 Medan lebih banyak memiliki status gizi normal, namun pada status gizi kurang dan status gizi lebih termasuk tinggi jika dibandingkan dengan Riskesdas 2013. Prevalensi status gizi lebih dan status gizi kurang menurut Riskesdas 2013 di Sumatera Utara hanya 13,8 % dan 9,9 %. Hal ini terjadi karena lokasi sekolah jauh dari kota sehingga siswa/i jarang mendapat informasi mengenai asupan zat gizi yang cukup dan sesuai kebutuhan pada masa remaja.

Status gizi kurus dan gemuk lebih banyak pada perempuan dari pada laki-laki. Menurut Salam (1989) yang menyatakan bahwa status gizi lebih sering dijumpai pada wanita terutama saat remaja, kemungkinan disebabkan oleh faktor endokrin dan perubahan hormonal.

(56)

Berbeda dengan penelitian Daryono (2003) yang menyatakan bahwa anak perempuan lebih peduli dengan keaadan tubuhnya dibandingkan laki-laki. Anak perempuan lebih menyukai tubuh langsing pada memasuki usia pubertas sedangkan anak laki-laki tidak begitu peduli dengan berat badannya sehingga kurang mengontrol konsumsi makanannya.

5.2 Analisis Bivariat

5.2.1 Hubungan Antara Asupan Energi dengan Status Gizi pada Siswa/i SMP N 34 Medan Tahun 2014

Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa 73,3 % asupan energi yang tinggi memiliki status gizi gemuk dan 47,8 % asupan energi rendah memiliki status gizi normal. Hasil uji statistik p < 0,05 artinya asupan energi berhubungan dengan status gizi dengan rata-rata konsumsi energi 1196,45 kkal. Hal ini dikarenakan banyak siswa/i yang mengkonsumsi energi dalam jumlah yang sedikit.

Siswa/i mengkonsumsi energi pada hari sekolah berbeda dengan hari minggu. Umumnya pada hari biasa lebih banyak mengkonsumsi makanan jajajan yang mengandung karbohidrat dan energi. Sedangkan hari minggu siswa/i lebih banyak mengkonsumsi makanan yang mengandung protein dan zat gizi lain. Dikarenakan hari minggu adalah hari ibur sehingga makanan jajanan jarang dikonsumsi.

(57)

Hasil peneltian Medawati (2005) yang dilakukan pada remaja SMP menyatakan bahwa asupan energi yang tinggi dapat mempengaruhi status gizi terutama status gizi lebih. Sejalan dengan penelitian Manurung (2008) yang dilakukan pada remaja SMA menyatakan terdapat hubungan yang signifikan antara asupan energi dengan status gizi lebih.

Menurut penelitian Johanes (2013) pola makan berhubungan dengan kejadian overweight tidak hanya dari segi jumlah makanan yang dimakan, melainkan juga komposisi makanan dan kualitas diet. Menurut Dam (2007) karbohidrat adalah salah satu zat mikro yang menyediakan energi sehingga dapat berkontribusi terhadap kelebihan asupan energi dan kelebihan berat badan.

5.2.2 Hubungan Antara Asupan Protein dengan Status Gizi pada Siswa/i SMP N 34 Medan Tahun 2014

Pada masa remaja awal protein sangat dibutuhkan dalam proses pertumbuhan dan perkembangan. Namum apabila dikonsumsi lebih dari kebutuhan seharusnya, protein akan dimetabolisme menjadi lemak dan akan disimpan sebagai cadangan energi bagi tubuh.

Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan 45,5 % asupan protein yang tinggi memiliki status gizi normal dan gemuk sedangkan 37,5 % asupan protein yang rendah memiliki status gizi normal. Hasil uji statistik p < 0,05 artinya asupan energi berhubungan dengan status gizi dengan rata-rat 45,21 gr. Asupan protein yang tinggi dapat mempengaruhi status gizi.

(58)

mengandung protein dikarenakan hari minggu adalah hari libur. Namun tetap saja siswa/i mengkonsumsinya dalam jumlah yang sedikit sehingga belum mencukupi kebutuhan zat gizi per hari.

Bahan makanan hewani kaya dalam protein bermutu tinggi, tetapi hanya merupakan 18,4 % konsumsi protein rata-rata penduduk Indonesia. Bahan makanan nabati kaya protein adalah kacang-kacangan. Sayur-sayuran dan buah-buahan rendah dalam protein (Almatsier, 2001). Sementara banyak siswa/i yang mengkonsumsi protein dalam jumlah yang sedikit dan kurangnya variasi makanan yang mengandung protein seperti kacang-kacangan sehingga asupan protein belum sesuai dengan kebutuhan pada masa remaja.

Hal ini sejalan dengan penelitian Wilson, dkk (2008) menyatakan adanya hubungan signifikan antara asupan protein dengan status gizi. Hal ini kemungkinan terjadi karena asupan protein yang tinggi mengandung lemak yang tinggi juga sehingga berpengaruh dengan kenaikan berat badan. Sementara itu asupan protein pada siswa status gizi lebih cenderung lebih tinggi.

Berbeda dengan penelitian Rahayuningtias (2012) yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan signifikan antara asupan protein dengan status gizi lebih. Asupan protein lebih banyak digunakan dalam pertumbuhan dan perkembangan.

5.2.3 Hubungan Antara Frekuensi Makanan dan Jenis Makanan dengan Status Gizi pada Siswa/i SMP N 34 Medan Tahun 2014

(59)

tidak baik memiliki status gizi yang normal. Hasil uji statistik p > 0,05 artinya jenis makanan tidak berhubungan dengan status gizi.

Jenis makanan yang dikonsumsi pada siswa/i setiap harinya berbeda dan belum sesuai dengan kebutuhan. Jenis makanan yang dikonsumsi pada hari sekolah lebih banyak 2 jenis saja yaitu makanan pokok dan lauk pauk saja. Namun pada hari minggu siswa/i mengkonsumsi 3 atau 4 jenis yaitu makanan pokok, lauk pauk dan sayuran atau buah-buahan.

Jenis makanan yang baik harus dapat memenuhi selera dan mengandung zat gizi yang dibutuhkan bagi tubuh kita dengan jumlah yang seimbang sesuai dengan pedoman gizi seimbang. Jenis makanan yang tidak baik terdiri dari makanan pokok dan lauk pauk tanpa sayur-sayuran dan buah-buahan akan meningkatkan kejadian status gizi lebih (Manurung, 2008).

Dari hasil penelitian diketahui pada umumnya jenis makanan pokok pada siswa/i adalah nasi dengan frekuensi > 1x sehari. Hasil ini dapat diketahui dari hasil recall selama dua hari dimana setiap kali mengkonsumsi makanan utama responden selalu menyediakan nasi sebagai makanan pokok.

(60)

Menurut penelitian Manurung (2008) jenis makanan dan frekuensi makanan berpengaruh terhadap kejadian obesitas. Hal ini disebabkan makanan yang dikonsumsi mengandung tinggi kalori dan tinggi lemak tetapi rendah serat yang dilihat dari frekuensi makan makanan jajanan lebih sering dibandingkan makanan yang mengandung serat seperti sayuran dan buah-buahan.

5.3 Hubungan Antara Asupan Serat dengan Status Gizi pada Siswa/i SMP N 34 Medan Tahun 2014

Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa 1,4 % asupan serat yang tinggi memiliki status gizi yang gemuk sedangkan 40,8 % asupan serat yang rendah memiliki status gizi yang normal. Hasil uji statistik menyatakan p < 0,05 artiinya ada hubungan signifikan antara asupan serat dengan status gizi dengan rata-rata konsumsi serat 4,1 gr. Hal ini menunjukkan bahwa serat dapat mempengaruhi status gizi remaja. Banyak siswa/i yang tidak menyukai sayuran dan buah-buahan. Konsumsi serat juga dalam jumlah yang sedikit sehingga serat tidak sesuai dengan kebutuhan. Sedangkan serat membantu mencegah terjadinya status gizi lebih yang dalam penelitian ini relatif tinggi.

(61)

Asupan serat dangat berperan dalam kejadian gizi lebih. Melalui waktu singgah yang lebih lama di lambung serat mampu membuat rasa kenyang lebih lama. Asupan serat yang tinggi biasanya mengandung kalori rendah, kadar gula dan lemak rendah yang dapat membantu mengurangi terjadinya obesitas (Winarti, 2010). Ada sejumlah studi yang mengatakan bahwa makanan tinggi serat yang dikonsumsi pada saat sarapan atau makan siang secara signifikan akan mengurangi asupan makanan selanjutnya dibandingkan makanan yang rendah serat (Wati, 2011)

Hal ini sejalan dengan penelitian Gharib dan Rasheed (2011) yang menyatakan bahwa ada hubungan antara asupan serat dengan status gizi lebih di beberapa negara seperti Kanada dan Bahrain. Penelitian Intan (2008) juga menunjukkan bahwa proporsi obesitas lebih banyak ditemukan pada remaja dengan frekuensi konsumsi seratnya rendah (32,7%) dibandingkan dengan remaja yang sering mengkonsumsi serat (19%).

(62)

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil dan pembahasan dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Status gizi siswa/i SMP N 34 Medan sebagian besar normal, status gizi kurang lebih banyak dari pada status gizi lebih.

2. Pada umumnya asupan energi dan protein pada siswa/i SMP N 34 Medan tergolong kategori defisit.

3. Pola konsumsi makan siswa/i SMP N 34 Medan menurut jenis makanan belum beraneka ragam, dapat diketahui dari kurangnya variasi menu setiap kali makan. Sedangkan frekuensi makan utama sebanyak 3x dalam sehati yang terdiri dari makanan pokok, lauk pauk, sayuran dan buah-buahan yang dikonsumsi tidak lengkap tiap kali makan.

4. Sebagian besar asupan serat pada siswa/i SMP N 34 Medan tergolong kategori rendah.

5. Ada hubungan yang signifikan antara asupan energi, asupan protein dan asupan serat dengan status gizi.

6. Tidak ada hubungan yang signifikan antara jenis makanan dengan status gizi. 6.2Saran

(63)

1. Kepada pihak sekolah agar memberikan penyuluhan gizi mengenai pentingnya asupan gizi yang cukup dan seimbang yang harus dikonsumsi sesuai kebutuhan pada masa remaja.

2. Kepada pihak sekolah agar melakukan pemantauan atau pengawasan secara berkala terhadap status gizi siswa melalui program Usaha Kesehatan Sekolah (UKS).

3. Kepada orang tua agar menyediakan bekal makanan guna terpenuhinya zat gizi sesuai kebutuhan.

4. Kepada siswa/i agar lebih mengatur pola konsumsi sesuai dengan kecukupan energi dan protein yang dianjurkan.

Gambar

Tabel 2.1 Klasifikasi IMT Menurut RI 2010 untuk usia 5-18 Tahun
Gambar 1. Kerangka Konsep
Tabel 4.1 Karakteristik Siswa/i SMP N 34 Medan tahun 2014
Tabel 4.2 Distribusi Status Gizi Pada Siswa/i SMP N 34 Medan Tahun 2014
+7

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan : Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara asupan lemak, asupan serat dan status gizi terhadap siklus menstruasi remaja kelas X dan XI di

Pola pemberian makanan yang baik bagi balita usia 4-5 tahun yaitu memenuhi tingkat asupan makanan anak balita dan frekuensi pola makan anak balita.. Asupan makanan anak balita yang

Hasil analisis deskriptif ini menunjukkan bahwa sebagian besar responden memiliki status gizi kurang, asupan bahan makanan yang dikonsumsi dalam keseharian dan

5 oleh penelitian Tella (2012) di Mapanget yang mengatakan bahwa hubungan pola makan dengan status gizi sangat kuat dimana asupan gizi seimbang dari makanan

Variabel independen adalah asupan gizi pada remaja putri yaitu total asupan energi, asupan lemak, asupan protein, asupan karbohidrat, dan asupan serat yang

5 oleh penelitian Tella (2012) di Mapanget yang mengatakan bahwa hubungan pola makan dengan status gizi sangat kuat dimana asupan gizi seimbang dari makanan

Pola makan pada remaja di SMP Budi Murni 2 Medan berdasarkan jumlah dan jenis makanan adalah pola makan baik 41,9% dan pola makan tidak baik adalah 58,1%.. The Factors That Influence

Sehingga dapat terlihat yang menjadi perhatian dalam mengatur pola makan adalah frekuensi makan yang tepat, jenis makanan yang beranekaragam, dan jumlah makanan yang dikonsumsi