• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Bivariat

Dalam dokumen FAKTOR RESIKO YANG BERHUBUNGAN DENGAN PE (Halaman 49-61)

HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian

B. Hasil Penelitian dan Pembahasan 1. Karakteristik Responden

3. Analisis Bivariat

a. Hubungan Faktor Aktifitas Fisik dengan Penyakit Reumatik pada Lansia

Hubungan faktor aktifitas fisik dengan penyakit reumatik pada lansia dalam penelitian ini dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 7. Distribusi Responden Berdasarkan Hubungan Faktor Aktifitas Fisik dengan Penyakit Reumatik pada Lansia di Panti Sosial Tresna Werdha Minaula Kendari Tahun 2015

Aktifitas Fisik Penyakit Reumatik Total OR 95% Cl Kasus Kontrol n % n % n % Lower Upper Beresiko 15 39.5 7 18.4 22 57.9 6 .4 2 9 1.517 27.244

Tdk

Beresiko 4 10.5 12 31.6 16 42.1 Total 19 50.0 19 50.0 38 100 Sumber : Data Primer diolah bulan Juli 2015

Pola sebaran data pada tabel diatas menunjukkan responden dengan aktifitas kurang lebih banyak menderita penyakit reumatik yakni sebanyak 15 (39.5%) orang daripada yang tidak menderita reumatik sebanyak 7 (18.4%) orang. Sedangkan pada responden dengan aktifitas baik lebih sedikit yang menderita penyakit reumatik sebanyak 4 (10.5%) dan lebih banyak didapatkan responden yang aktifitas fisiknya baik dan tidak menderita penyakit reumatik sebanyak 12 (31.6%) orang.

Hasil uji Odds Ratio (OR) dengan nilai Confidence Interval (CI) 95% didapatkan besarnya nilai Odds Ratio (OR) = 6.429 dengan nilai kepercayaan Lower Limit (batas bawah) = 1.517 dan Upper Limit (batas atas) = 27.244. Hal ini menunjukkan bahwa faktor aktifitas fisik berhubungan dengan penyakit reumatik yang dialami lansia dengan risiko rendah 1.517 dan risiko tertinggi 27.244, dimana responden yang aktifitas fisiknya kurang beresiko 6.429 kali lebih besar peluangnya untuk menderita penyakit reumatik dibanding responden yang aktifitas fisiknya baik. Batas bawah dan batas atas tidak mencakup nilai satu atau diatas satu maka dinyatakan hubungan bermakna antara faktor aktifitas fisik dengan penyakit reumatik pada lansia di Panti Sosial Tresna Werdha Minaula Kendari Tahun 2015.

b. Hubungan Faktor Riwayat Trauma dengan Penyakit Reumatik pada Lansia

Hubungan faktor riwayat trauma dengan penyakit reumatik pada lansia dalam penelitian ini dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 8. Distribusi Responden Berdasarkan Hubungan Faktor Riwayat Trauma dengan Penyakit Reumatik pada Lansia di Panti Sosial Tresna Werdha Minaula Kendari Tahun 2015

Riwayat Trauma Penyakit Reumatik Total OR 95% Cl Kasus Kontrol n % n % n % Lower Upper Beresiko 13 34.2 5 13.2 18 47.4 6 .0 6 7 1.486 24.764 Tdk Beresiko 6 15.8 14 36.8 20 52.6 Total 19 50.0 19 50.0 38 100 Sumber : Data Primer diolah bulan Juli 2015

Pola sebaran data pada tabel diatas menunjukkan responden dengan riwayat trauma yang beresikolebih banyak menderita penyakit reumatik yakni sebanyak 13 (34.2%) orang daripada yang tidak menderita

reumatik sebanyak 5 (13.2%) orang. Sedangkan pada responden dengan riwayat trauma yang tidak beresiko sedikit yang menderita penyakit reumatik sebanyak 6 (15.8%) orang dan lebih banyak didapatkan pada responden yang riwayat trauma yang tidak beresiko dan tidak menderita penyakit reumatik sebanyak 14 (36.8%) orang.

Hasil uji Odds Ratio (OR) dengan nilai Confidence Interval (CI) 95% didapatkan besarnya nilai Odds Ratio (OR) = 6.067 dengan nilai kepercayaan Lower Limit (batas bawah) = 1.486 dan Upper Limit (batas atas) = 24.764. Hal ini menunjukkan bahwa faktor riwayat trauma berhubungan dengan penyakit reumatik yang dialami lansia dengan risiko rendah 1486 dan risiko tertinggi 24.764, dimana responden yang memiliki riwayat trauma beresiko, akan beresiko 6.067 kali lebih besar peluangnya untuk menderita penyakit reumatik dibanding responden yang aktifitas fisiknya baik. Batas bawah dan batas atas tidak mencakup nilai satu atau diatas satu maka dinyatakan hubungan bermakna antara faktor riwayat trauma dengan penyakit reumatik pada lansia di Panti Sosial Tresna Werdha Minaula Kendari Tahun 2015.

4. Pembahasan

a. Hubungan Faktor Aktifitas Fisik dengan Penyakit Reumatik pada Lansia

Aktivitas didefinisikan sebagai suatu aksi energetik atau keadaan bergerak dan semua manusia memerlukan kemampuan untuk bergerak. Aktivitas merupakan tanda kesehatan dimana adanya kemampuan

seseorang melakukan aktivitas seperti berdiri, berjalan, dan berkerja. Kemampuan aktivitas seseorang tidak terlepas dari keadekuatan sistem persarafan dan muskuloskeletal ( Fitriyani, 2006 ).

Dari hasil analisis univariat diketahui bahwa responden dengan kriteria aktifitas fisik baik sebanyak 22 orang (57.9%) dan responden dengan kriteria aktifitas fisik kurang yaitu sebanyak 16 orang (42.1%).

Sedangkan pada hasil analisis bivariat diketahui bahwa dari hasil uji Odds Ratio (OR) dengan nilai Confidence Interval (CI) 95% didapatkan besarnya nilai Odds Ratio (OR) = 6.429 dengan nilai kepercayaan Lower Limit (batas bawah) = 1.517 dan Upper Limit (batas atas) = 27.244. Hal ini menunjukkan bahwa faktor aktifitas fisik berhubungan dengan penyakit reumatik yang dialami lansia dengan risiko rendah 1.517 dan risiko tertinggi 27.244, dimana responden yang aktifitas fisiknya kurang beresiko 6.429 kali lebih besar peluangnya untuk menderita penyakit reumatik dibanding responden yang aktifitas fisiknya baik. Batas bawah dan batas atas tidak mencakup nilai satu atau diatas satu maka dinyatakan hubungan bermakna antara faktor aktifitas fisik dengan penyakit reumatik pada lansia di Panti Sosial Tresna Werdha Minaula Kendari Tahun 2015.

Peneliti berasumsi bahwa adanya hubungan antara faktor aktifitas fisik dengan penyakit reumatik pada lansia disebabkan karena lansia cukup melakukan aktifitas fisik dalam kehidupan sehari-hari, sehingga otot-otot tubuh semakin terlatih untuk menerima beban yang diterima. Selain itu, tulang juga menjadi kuat dan dapat mencegah terjadinya osteoporosis. Dari

hasil penelitian diketahui bahwa responden mengatakan tidak pernah mengalami reumatik bila banyak gerak di panti, oleh karena itu responden sering mengikuti kegiatan-kegiatan yang ada di panti. Selain itu, responden juga tiap pagi selalu jalan-jalan pagi dan membuat tubuh menjadi sgar dan bugar.

Demikian pula menurut Priharjo (1993) yang dikutip oleh Soni P. (2010) yang menyatakan aktivitas fisik merupakan pergerakan anggota tubuh yang menyebabkan pengeluaran tenaga. Bagi para lansia aktivitas fisik sangat penting karena dengan mampu beraktivitas, para lansia dapat mempertahankan kualitas hidup mereka agar tetap sehat.

Peneliti berpendapat pula bahwa penderita reumatik harus mampu menyeimbangkan kehidupannya antara isirahat dan beraktivitas. Istirahat berlebihan atau jarang beraktivitas tidak diperbolehkan, karena dapat mengakibatkan kekakuan pada otot dan sendi dan juga seseorang yang tidak melakukan aktivitas aliran cairan sendi akan berkurang dan berakibat aliran makanan yang masuk ke sendi berkurang. Hal tersebut akan mengakibatkan proses degeneratif menjadi berlebihan. Lakukan aktivitas sesuai kemampuan tubuh, seperti : olahraga secara teratur setelah bangun pagi, seperti berjalan kaki, senam pernapasan dan sejenisnya, dan dilakukan secara rutin. Selain itu, berolahraga jalan kaki baik untuk kebugaran tubuh dan relatif aman bagi para lansia karena menghindari risiko cedera lutut.

Demikian pula menurut Soni P (2010) bahwa para lansia yang sebelumnya tidak pernah berolahraga, disarankan agar latihan dilakukan secara bertahap, baik intensitas, lama, dan frekuensi. Tujuannya, memberi kesempatan tubuh beradaptasi pada beban latihannya. Latihan olahraga untuk para lansia juga harus dilakukan dengan takaran cukup

Selain itu, faktor umur juga berpengaruh terhadap kejadian reumatik pada lansia ini. Karena diketahui bahwa responden dalam penelitian ini merupakan lansia yang berumur > 60 tahun. Dimana saat memasuki masa lansia seseorang akan mengalami penurunan fungsi tubuh. Termasuk peningkatan kelemahan di sekitar sendi, penurunan kelenturan sendi, kalsifikasi tulang rawan dan menurunkan fungsi kondrosit, yang semuanya mendukung terjadinya reumatik. Dengan bertambahnya usia, cairan dalam sendi yang berfungsi melumasi setiap gerakan mulai menipis dan mengental. Hal ini menyebabkan tubuh menjadi kaku dan mulai sakit digerakan (Bangun A.P, 2008).

Disamping itu, ada makanan tertentu yang harus dihindari oleh lansia yang mengidap reumatik. Meskipun aktifitas fisik lansia cukup bila makanan yang tidak dibatasi akan sama saja lansia menderita reumatik. Terutama makanan yang mengandung purin tinggi, seperti susu. Susu memiliki kandungan kalsium yang cukup namun juga memiliki kadar purin yang tinggi yang dapat memicu kejadian reumatik ini. Selain itu, ada beberapa jenis makanan yang harus dihindari seperti : jeroan, bayam,

mentega, makanan laut, kacang-kacangan, daging, tape, jengkol, santan, alpukat, sarden, dan alkohol (Misnadiarly, 2007).

Diketahui bahwa lansia merupakan fase dimana organ-organ tubuh mengalami penurunan fungsi tubuh, seperti fungsi pendengaran, fungsi penglihatan, system persyarafan, system kardiovaskular, fungsi metabolisme, system pencernaan dan lain-lain.

Faktor makanan jelas berhubungan dengan kejadian reumatik pada lansia. Dimana makanan yang mengandung kadar purin yang tinggi akan memicu kenaikan asam urat dalam darah. Purin merupakan salah satu zat alami yang terkandung dalam tubuh. Purin merupakan salah satu penyusun rantai DNA dan RNA bersama-sama dengan pirimidin. Enzim HGPRT bertugas mengubah purin menjadi nukleotida ourin agar dapat digunakan kembali sebagai penyusun DNA dan RNA.

Bahan dasar asam urat adalah purin. Apabila jumlah purin dalam tubuh terlalu banyak, kelebihannya akan diubah menjadi asam urat. Dengan demikian, mengkonsumsi makanan yang banyak mengandung purin dapat meningkatkan asam urat dalam darah.

Peningkatan produksi atau hambatan ekskresi akan meningkatkan kadar asam urat dalam tubuh. Asam urat ini merupakan suatu zat yang kelarutannya sangat rendah sehingga cenderung membentuk kristal. Penimbunan asam urat paling banyak terdapat di sendi dalam bentuk kristal mononatrium urat. Mekanismenya hingga saat ini masih belum diketahui. Penimbunan Kristal pada persendian ini dapat menjadikan

peradangan pada persendian. Karena pada masa lansia terjadi penurunan kelenturan sendi, kalsifikasi tulang rawan dan menurunkan fungsi kondrosit, Cairan dalam sendi yang berfungsi melumasi setiap gerakan mulai menipis dan mengental. Ditambah lagi terdapat penimbunan Kristal pada sendi sehingga dapat menyebabkan peradangan pada sendi. Peradangan pada sendi ini akan terasa nyeri sendi, terutama pada saat bergerak pada sendi pinggul,lutut, dan jari-jari, nampak kemerahan, inflamasi, nyeri dan dapat terjadi deformitas (perubahan bentuk).

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Ahdaniar, dkk (2013) dengan judul penelitian Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Penyakit Rematik Pada Lansia Di Wilayah Puskesmas Kassi-Kassi Kota Makassar, dimana hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan aktivitas fisik dengan kejadian penyakit rematik pada lansia didaptkan nilai p= 0,021 (p<0,005).

b. Hubungan Faktor Riwayat Trauma dengan Penyakit Reumatik pada Lansia

Trauma berasal dari kata yunani “tramatos” yang berarti luka dari sumber luar. Trauma diartikan sebagai luka emosi dan fisik yang disebabkan oleh keadaan yang mengancam diri. Trauma akut yang terjadi pada persendian termasuk robekan pada ligamentum krusiatum dan meniskus merupakan faktor risiko timbulnya reumatik. Studi Framingham menemukan bahwa orang dengan riwayat trauma pada daerah persendian

memiliki risiko 5 – 6 kali lipat lebih tinggi untuk menderita reumatik ( Eka P., 2007 ).

Dari hasil analisis univariat diketahui bahwa responden kriteria riwayat trauma tidak beresiko yakni sebanyak 20 responden (52.6%) dan responden kriteria riwayat trauma beresiko yaitu sebanyak 18 orang responden (47.4%).

Sedangkan untuk hasil analisis bivariate menunjukkan hasil bahwa responden dengan riwayat trauma yang beresikolebih banyak menderita penyakit reumatik yakni sebanyak 13 (34.2%) responden daripada yang tidak menderita reumatik sebanyak 5 (13.2%) responden. Sedangkan pada responden dengan riwayat trauma yang tidak beresiko sedikit yang menderita penyakit reumatik sebanyak 6 (15.8%) dan lebih banyak didapatkan pada responden yang riwayat trauma yang tidak beresiko dan tidak menderita penyakit reumatik sebanyak 14 (36.8%) responden.

Hasil uji Odds Ratio (OR) dengan nilai Confidence Interval (CI) 95% didapatkan besarnya nilai Odds Ratio (OR) = 6.067 dengan nilai kepercayaan Lower Limit (batas bawah) = 1.486 dan Upper Limit (batas atas) = 24.764. Hal ini menunjukkan bahwa faktor riwayat trauma berhubungan dengan penyakit reumatik yang dialami lansia dengan risiko rendah 1486 dan risiko tertinggi 24.764, dimana responden yang memiliki riwayat trauma beresiko, akan beresiko 6.067 kali lebih besar peluangnya untuk menderita penyakit reumatik dibanding responden yang riwayat trauma tidak beresiko. Batas bawah dan batas atas tidak mencakup nilai

satu atau diatas satu maka dinyatakan hubungan bermakna antara faktor riwayat trauma dengan penyakit reumatik pada lansia di Panti Sosial Tresna Werdha Minaula Kendari Tahun 2015.

Peneliti berasumsi bahwa adanya hubungan faktor riwayat trauma dengan penyakit reumatik pada lansia disebabkan karena cedera yang pernah dialami berpengaruh pada elastisitas persendiannya dan berpengaruh pada penyakit reumatik yang dialaminya saat ini. Dari hasil penelitian diketahui bahwa, terdahulunya responden pernah kerja berat, Selain itu, ada responden juga pernah jatuh hingga terkilir pada persendian. Riwayat trauma yang pernah dialami lansia dapat menyebabkan reumatik pada masa lansia. Dimana elastisitas persendian yang mengalami trauma mengalami penurunan dan seiring seseorang mengalami pertambahan usia maka dengan cepat akan dirasakan gejala-gejala dari penyakit reumatik ini akibat riwayat trauma.

Pendapat peneliti sesuai dengan pendapat Eka P. (2007), cidera otot maupun sendi yang dialami sewaktu berolahraga atau lantaran aktivitas fisik yang terlalu berat, bisa pula mengundang rematik. Adanya Riwayat trauma pada sendi merupakan faktor yang dapat menimbulkan penyakit reumatik hal ini diakibatkan oleh menurunya kelenturan dan elastisitas sendi yakni kartilago dan juga sinovial pada sendi mengalami penurunan fungsi. Penurunan elastisitas sendi dan deteriorasi kartilago inilah yang menyebabkan intensitas nyeri yang sering atau menetap pada sendi.

Ditambah lagi responden memasuki masa lansia dimana seluruh fungsi tubuh mengalami penurunan. Dan termasuk juga penurunan kelenturan sendi, kalsifikasi tulang rawan dan menurunkan fungsi kondrosit, yang semuanya mendukung terjadinya reumatik. Dengan bertambahnya usia, cairan dalam sendi yang berfungsi melumasi setiap gerakan mulai menipis dan mengental. Hal ini menyebabkan tubuh menjadi kaku dan mulai sakit digerakan (Bangun A.P, 2008).

Faktor jenis kelamin bisa menjadi faktor resiko reumatik. Pada wanita umumnya lebih banyak yang mengalami reumatik.Pada osteoporosis atau penyakit keropos tulang merupakan jenis reumatik yang banyak dirasakan wanita setelah menopouse. Kurangnya hormon estrogen setelah menopouse memperburuk masa tulang yang sudah berkurang karena usia. Hormon estrogen (hormon utama pada wanita), membantu mengatur pengangkutan kalsium ke dalam tulang pada wanita. Begitu juga faktor kegemukan memberikan beban berlebih pada tulang. Berat badan yang berlebihan nyata berkaitan dengan meningkatnya resiko untuk timbulnya reumatik baik pada wanita maupun pada pria. Hal ini akan mempengaruhi kesehatan sendi (Bangun A.P, 2008).

Faktor makanan juga dapat menambah resiko responden mengalami reumatik. Ini disebabkan proses metabolisme tubuh yang menurun seiring dengan pertambahan usia, sehingga makanan-makanan yang mengandung purin yang dikonsumsi lansia tidak sempurna dimetabolisme oleh tubuh sehingga memicu peningkatan asam urat dan membuat peradanan pada persendian.

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Maharani (2007) dengan judul penelitian Faktor-Faktor Risiko Osteoartritis Lutut (Studi Kasus di Rumah Sakit Dokter Kariadi Semarang) dengan hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan riwayat trauma lutut dengan kejadian rumatik (nilai p = 0,033; OR adjusted = 2,90; 95% CI = 1,09 – 7,75).

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

Dalam dokumen FAKTOR RESIKO YANG BERHUBUNGAN DENGAN PE (Halaman 49-61)

Dokumen terkait