• Tidak ada hasil yang ditemukan

FAKTOR RESIKO YANG BERHUBUNGAN DENGAN PE

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "FAKTOR RESIKO YANG BERHUBUNGAN DENGAN PE"

Copied!
62
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Secara individu, pengaruh proses menua dapat menimbulkan berbagai masalah baik secara fisik–biologis, mental maupun sosial ekonomi. Dengan semakin lanjut usia seseorang, mereka akan mengalami kemunduran terutama dibidang kemampuan fisik, yang dapat mengakibatkan penurunan pada peranan – peranan sosialnya. Hal ini mengakibatkan pula timbulnya gangguan di dalam hal mencukupi kebutuhan hidupnya sehingga dapat mengakibatkan ketergantungan yang memerlukan bantuan oarang lain. Kelompok lansia dipandang sebagai kelompok masyarakat yang berisiko mengalami gangguan masalah kesehatan. Membicarakan mengenai status kesehatan para lansia tentang penyakit atau keluhan yang umum diderita adalah penyakit reumatik, hipertensi, penyakit jantung, penyakit paru, diabetes mellitus, paralysis / lumpuh separuh badan, patah tulang dan kanker (Muchtar, 2010).

(2)

seseorang memiliki usia yang lebih panjang dan tetap produktif. Sedangkan jumlah penduduk di 11 negara anggota WHO kawasan Asia Tenggara yang berusia di atas 60 tahun berjumlah 142 juta orang dan diperkirakan akan terus meningkat hingga 3 kali lipat di tahun 2050 (Isamas, 2013).

Sementara di Indonesia proporsi penduduk berusia lanjut terus bertambah. Pada tahun 2010 jumlah lansia mencapai 18,1 juta jiwa atau 9,6% dari jumlah penduduk. Hal ini menjadikan Indonesia termasuk lima besar negara dengan jumlah penduduk lanjut usia terbanyak di dunia. Di tahun 2011 sekitar 24 juta jiwa (hampir 10% jumlah penduduk). Penduduk lansia ini diproyeksikan menjadi 28,8 juta jiwa (11,34 %) dari total penduduk Indonesia pada tahun 2020, atau menurut proyeksi BAPPENAS, jumlah penduduk lansia 60 tahun akan menjadi dua kali lipat (36 juta) pada 2025 (Isamas, 2013).

Menurut data hasil proyeksi sensus penduduk Badan Pusat Statistik (BPS) di Provinsi Sulawesi Tenggara pada tahun 2010 jumlah penduduk di Sulawesi Tenggara sebanyak 2.234.600 jiwa dan diproyeksikan tahun 2015 jumlah penduduk sebanyak 2.499.500 jiwa. Untuk jumlah lansia tahun 2010 sebanyak 129.000 jiwa dan diproyeksikan pada tahun 2015 ini sebanyak 157.500 jiwa (BPS, 2012). Sedangkan jumlah lansia yang terlantar berdasarkan data Kementrian Sosial RI tahun 2012 di Sulawesi Tanggara mencapai 27.407 jiwa yang tersebar di seluruh wilayah Provinsi Sulawesi Tenggara (Kemensos RI, 2012).

(3)

survey pada tahun 2010, reumatik menempati urutan pertama masalah kesehatan utama bagi lansia (Nango, 2011).

Penelitian tentang reumatik sebenarnya telah berkembang pesat selama 20 tahun sejak tahun 1986 sampai saat ini. Tapi nyatanya, masih banyak yang belum dapat kita ketahui tentang penyebab dan proses terjadinya reumatik secara pasti. Adapun beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya penyakit reumatik yang telah diketahui antara lain ; degeneratif/usia tua (di atas 40 tahun), autoimun, faktor genetik/herediter , trauma (benturan) sendi yang berulang, dan kandungan asam urat yang tinggi/gout (pola makan), aktivitas, psikologis dan radikal bebas ( Bangun A. P, 2008).

Berdasarkan pusat data BPS Propinsi DKI Jakarta, rematik merupakan salah satu penyakit terbanyak yang diderita lansia, yaitu pada tahun 2010 sebanyak 4.209.817 lansia 38% menderita rematik (Dinkesdkijakarta, 2009).

Hasil penelitian Eka P (2012) tentang faktor risiko yang mempengaruhi terjadinya reumatik pada lansia di Rumah Sakit Kariadi Semarang tahun 2012, didapatkan riwayat trauma lutut (nilai p = 0,033; OR adjusted = 2,90; 95% CI = 1,09 – 7,75), kebiasaan aktivitas fisik berat (nilai p = 0,006; OR adjusted = 2,25; 95% CI = 1,09 – 6,67) dan kebiasaan bekerja dengan beban > 17,5 kg (nilai p = 0,008, OR adjusted = 2,19 dan 95% CI = 1,05 – 6,65). Faktor-faktor yang tidak terbukti sebagai faktor risiko OA lutut adalah jenis kelamin perempuan, kebiasaan merokok, dan kebiasaan mengkonsumsi vitamin D.

(4)

penderita pada tahun 2014. Angka tersebut telah dihimpun dari sejumlah Puskesmas yang barada di wilayah kerja Dinas Kesehatan Kota Kendari (Profil Dinas Kesehatan Kota Kendari, 2014).

Data yang diperoleh dari Panti Sosial Tresna Werdha Minaula Kendari Provinsi Sulawesi Tenggara, tercatat lansia sebanyak 95 orang yang terdiri dari laki-laki sebanyak 45 orang dan perempuan sebanyak 50 orang. Diketahui pula bahwa banyak lansia yang mengalami masalah kesehatan yakni berjumlah 76 orang. Adapun masalah kesehatan dengan frekuensi tertinggi adalah Reumatik sebanyak 19 orang, Gastritis sebanyak 12 orang, Asam urat dan Dermatitis masing-masing sebanyak 7 orang, Asma sebanyak 5 orang, Cephalgia sebanyak 4 orang, Hipertensi dan Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) masing-masing sebanyak 3 orang, Konstipasi, Neuralgia, Insomnia, Pruritis, Diare, Artritis, Obstipasi, Gangguan Usus, Abses Kaki, Sakit Pinggang, Nyeri Dada dan Anoreksia masing-masing berjumlah 1 orang. Bahkan diantara 95 tersebut tersebut terdapat 22 orang lanjut usia yang membutuhkan bantuan dalam melaksanakan Activity of Daily Living (ADL) seperti mengenakan dan melepas pakaian, mandi, berpindah dari kursi roda ke tempat tidur atau sebaliknya, makan dan minum, BAK dan BAB, personal toilet mereka membutuhkan bantuan dan pengawasan dari petugas panti dan sesama lansia (Profil Panti Sosial Tresna Werdha Minaula Kendari, 2014).

(5)

petani dan buruh bangunan yang merupakan aktifitas fisik yang berat, 2 orang lansia mengatakan pernah mengalami benturan pada lututnya dan 4 orang lainnya memiliki riwayat reumatik dan memiliki pantangan makanan tertentu yang dapat memicu peningkatan asama urat.

Oleh karena itu berdasarkan uraian data diatas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian yang berjudul “Faktor Resiko yang Berhubungan dengan Penyakit Reumatik Pada Lansia di Panti Sosial Tresna Werdha Minaula Kendari Provinsi Sulawesi Tenggara Tahun 2015”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang, maka masalah penelitian dapat dirumuskan sebagai berikut :

1. Apakah ada resiko antara faktor aktifitas fisik dengan penyakit reumatik pada lansia di Panti Sosial Tresna Werdha Minaula Kendari Provinsi Sulawesi Tenggara Tahun 2015?

2. Apakah ada resiko antara faktor riwayat trauma dengan penyakit reumatik pada lansia di Panti Sosial Tresna Werdha Minaula Kendari Provinsi Sulawesi Tenggara Tahun 2015?

C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan umum

(6)

2. Tujuan khusus

a. Untuk mengetahui resiko antara faktor aktifitas fisik dengan penyakit reumatik pada lansia di Panti Sosial Tresna Werdha Minaula Kendari Provinsi Sulawesi Tenggara Tahun 2015

b. Untuk mengetahui resiko antara faktor riwayat trauma fisik dengan penyakit reumatik pada lansia di Panti Sosial Tresna Werdha Minaula Kendari Provinsi Sulawesi Tenggara Tahun 2015

D. Manfaat penelitian 1. Manfaat Praktis

a. Sebagai bahan informasi dan masukan bagi Panti Sosial Tresna Werdha Minaula Kendari dalam rangka meningkatkan meningkatkan pelayanan kepada lansia dan dapat mengurangi masalah kesehatan pada lansia terutama reumatik.

b. Bagi penulis, penelitian ini pada hakikatnya adalah merupakan proses belajar memecahkan masalah secara sistimatis dan logis.

c. Bagi Institusi STIKES Mandala Waluya hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada institusi dan dijadikan sebagai dokumentasi ilmiah untuk merangsang minat peneliti selanjutnya.

d. Bagi masyarakat, hasil penelitian ini diharapkan dapat manambah khasanah ilmu kesehatan masyarakat khususnya.

2. Manfaat Teoritis

a. Sebagai sumbangan ilmiah dan dapat memperkaya khasanah ilmu pengetahuan

(7)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Tentang Panti Sosial Sasana Tresna Werdha 1. Pengertian

Panti Sosial Tresna Werdha (PSTW) adalah unit pelaksana teknis di bidang pembinaan kesejahteraan sosial lanjut usia yang memberikan pelayanan kesejahteraan sosial bagi para lanjut usia berupa pemberian penampungan, jaminan hidup seperti makan dan pakaian, pemeliharaan kesehatan, pengisian waktu luang termasuk rekreasi, bimbingan sosial, mental serta agama, sehingga mereka dapat menikmati hari tuanya dengan diliputi ketentraman lahir dan bathin.

(8)

memperoleh pemeliharaan kesehatan yang baik, tambahan makanan yang bergizi, suasana persahabatan, memperoleh latihan kesemuanya diberikan oleh tenaga-tenaga yang profesional seperti pekerja sosial.

2. Jenis Pelayanan

Jenis – jenis pelayanan yang diberikan meliputi :

a. Pelayanan kebutuhan makanan, dengan pengaturan menu kebutuhan gizi lanjut usia. Pemberian makanan oleh petugas panti kepada lanjut usia menurut jadwal yang telah ditetapkan.

b. Pemeliharaan kesehatan dan kebersihan, melalui pemeriksaan rutin, pengobatan pada saat menderita sakit, oleh petugas kesehatan (dokter atau tenaga para medis).

c. Pemberian bimbingan rohani, berupa bimbingan mental, keagamaan dan bimbingan kemasyarakatan, oleh petugas panti atau petugas instansi proliferasi dari tulang dan jaringan lunak di dalam dan sekitar daerah yang terkena (Bangun A.P., 2008).

Reumatik adalah berbagai kelompok penyakit dan sindrom yang semuanya merupakan penyakit pada jaringan ikat sehingga biasanya ditemukan keluhan nyeri, kaku, atau pembengkakan pada otot serta sendi (Cristine B, 2001 dalam Nango, 2012)

(9)

Semua gangguan pada daerah tulang, sendi, dan otot disebut rematik yang sebagian besar masyarakat juga menyebutnya pegal linu (Irwan, 2012).

Reumatik adalah penyakit kelainan pada sendi yang menimbulkan nyeri dan kaku pada sistem muskuloskeletal (sendi, tulang, jaringan ikat dan otot). Dari sekitar lebih dari seratusan penyakit reumatik sebagian besar tidak berbahaya, namun sangat mengganggu karena rasa nyerinya (Ekaginanjar, 2010).

Reumatik adalah kerusakan tulang rawan sendi yang berkembang lambat dan berhubungan dengan usia lanjut (degeneratif). Penyakit rematik ada ratusan jenisnya. Rematik jenis peradangan yang di sebabkan oleh asam urat termasuk jenis yang paling banyak di temui di Indonesia.

2. Etiologi

Faktor penyebab dari penyakit ini belum diketahui dengan pasti. Namun, faktor genetik seperti produk kompleks histokompatibilitas utama kelas II (HLA-DR) dan beberapa faktor lingkungan diduga berperan dalam timbulnya penyakit ini.

Faktor genetik seperti kompleks histokompatibilitas utama kelas II (HLA-DR), dari beberapa data penelitian menunjukkan bahwa pasien yang mengemban HLA-DR4 memiliki resiko relatif 4:1 untuk menderita penyakit ini. Rematik/pegal linu pada pasien kembar lebih sering dijumpai pada kembar monozygotic dibandingkan kembar dizygotic.

(10)

Dengan demikian timbul dugaan kuat bahwa penyakit ini sangat mungkin disebabkan oleh tercetusnya suatu proses autoimun oleh suatu antigen tunggal atau beberapa antigen tertentu saja. Agen infeksius yang diduga sebagai penyebabnya adalah bakteri, mycoplasma, atau virus.

3. Patofisiologi

Pemahaman mengenai anatomi normal dan fisiologi persendian diartrodial atau sinovial merupakan kunci untuk memahami patofisiologi penyakit reumatik. Fungsi persendian sinovial adalah gerakan. Setiap sendi sinovial memiliki kisaran gerak tertentu kendati masing-masing orang tidak mempunyai kisaran gerak yang sama pada sendi-sendi yang dapat digerakkan. Pada sendi sinovial yang normal, kartilago artikuler membungkus ujung tulang pada sendi dan menghasilkan permukaan yang licin serta ulet untuk gerakan. Membran Sinovial melapisi dinding dalam kapsula fibrosa dan mensekresikan cairan ke dalam ruangan antar-tulang. Cairan Sinovial ini berfungsi sebagai peredam kejut (shock absorbber) dan pelumas yang memungkinkan sendi untuk bergerak secara bebas dalam arah yang tepat.

(11)

yang terjadi merupakan proses sekunder yang timbul akibat pembentukkan pannus (proliferasi jaringan sinovial ). Inflamasi merupakan akibat dari respons imun. Sebaliknya, pada penyakit reumatik degeneratif dapat terjadi proses inflamasi yang sekunder. Sinovitis ini biasanya lebih ringan serta menggambarkan suatu proses reaktif, dan lebih besar kemungkinannya untuk terlihat pada penyakit yang lanjut. Sinovitis dapat berhubungan dengan pelepasan proteoglikan tulang rawan yang bebas dari kartilago artikuler yang mengalami degenerasi kendati faktor-faktor imunologi dapat pula terlihat (Brunner dkk, 2002).

4. Klasifikasi Reumatik

Reumatik dapat dikelompokan dalam beberapa golongan, yaitu: a. Arthritis Rematoid ( AR )

Penyakit ini terjadi karena sistem imun menyerang lapisan atau membran sinovial sendi. Proses ini pada umumnya melibatkan seluruh tubuh, sehingga adapat menyebabkan kelelahan, kehilangan berat badan, dan kurang darah atau anemia. Serta menyerang organ paru, jantung, dan mata. Lebih serius lagi, AR dapat mnyebabkan kecacatan tubuh. Arthritis reumatoid dapat ditegakkan melalui pemeriksaan serum.

b. Gout

(12)

c. Osteoarthritis ( OA )

Penyakit ini disebabkan oleh patahnya bantalan tulang rawan (kartilago) yang menjadi bantal tulang. Penyakit ini sering juga disebut arthritis degeneratif. Biasanya menyerang sendi kaki, lutut, pangkal paha, dan jari tangan. Penderita OA ini umumnya berusia sekitar 45 tahun ke atas. d. Arthritis Psoriatik

Arthritis ini selain menyerang tulang dan jaringan sendi, juga dapat menyerang bagian tubuh lainnya. Bila menyerang kulit disebut arthritis psoriasis, yang bersifat menahun atau kronis, yaitu sekitar 5 %. Arthritis jenis ini lebih sering menyerang jari-jari tangan dan tulang belakang. Kebanyakan gejalanya ringan, tetapi dapat menjadi sangat berat.

e. Arthritis Rheumatoid Juvenile

Penyakit ini menyerang anak-anak. Sifat arthritis ini berbeda dengan orang dewasa, baik diagnosa dan perawatannya. Pada beberapa anak, penyakit ini dapat sembuh total atau tetap ada sepanjang hidup mereka. f. Ankilosing Spondilitis

Penyakit ini biasanya pada pria berumur 16-35 tahun dan kebanyakan menyerang pada tulang belakang secraa kronis. Tulang belakang yang terkena dapat menjadi rapuh atau menyatu secara perlahan dari atas ke bawah, sehingga gerakan penderita seperti robot. Penderita tidak bisa membungkuk maupun menoleh. Dalam keadaan yang sangat ekstrim, bentuk tubuh penderita menjadi melengkung seperti “ tanda tanya”. Khusus pada wanita, umumnya ringan dan sulit didiagnosa. Penyakit ini bertendensi genetik.

5. Manifestasi Klinis

(13)

b. Pada umumnya terjadi pada sendi penopang beban tubuh, seperti panggul, tulang belakang, dan lutut.

c. Terjadi kemerahan, inflamasi, nyeri, dan dapat terjadi deformitas (perubahan bentuk)

d. Yang tidak progresif dapat menyebabkan perubahan cara berjalan

e. Rasa sakit bertambah hebat terutama pada sendi pinggul, lutut, dan jari-jari

f. Saat perpindahan posisi pada persendian bisa terdengar suara (cracking).

g. Gerakan terbatas

h. Kekakuan, kelemahan dan perasaan mudah lelah 6. Diagnosis

Diagnosis yang dapat ditegakkan pada penderita reumatik adalah sebagai berikut :

a. Nyeri berhubungan dengan inflamasi dan peningkatan aktivitas penyakit, keadaan mudah lelah serta keterbatasan mobilitas.

b. Keletihan berhubungan dengan peningkatan aktivitas penyakit, rasa nyeri, tidur/ istirahat yang tidak memadai, nutrisi yang tidak memadai, stress emosional/ depresi.

c. Kerusakan mobilitas fisik yang berhubungan dengan penurunan rentang gerak, kelemahan otot, nyeri pada gerakan, keterbatasan ketahanan fisik. d. Kurang perawatan diri yang berhubungan dengan kontraktur, keletihan

(14)

e. Gangguan citra tubuh yang berhubungan dengan perubahan dan ketergantungan fisik serta psikologis yang disebabkan oleh penyakit atau terapi.

f. Koping tidak efektif yang berhubungan dengan gaya hidup atau perubahan peranan yang aktual atau dirasakan.

7. Penatalaksanaan

a. Konsep pengobatan

Konsep pengobatan ditujukan untuk :

1) Menghilangkan gejala inflamasi aktif baik lokal maupun sistemik 2) Mencegah terjadinya destruksi jaringan

3) Mencegah terjadinya deformitas dan memelihara fungsi persendian agar tetap dalam keadaan baik

4) Mengembalikan keadaan fungsi organ dan persendian yang terlibat agar sedapat mungkin menjadi normal kembali.

b. Terapi non-farmakologi

1) Terapi non-farmakologi yang dapat dilakukan agar terapi pada rematik/pegal linu efektif, yaitu;

2) Menganjurkan pasien untuk mengurangi berat badan jika kegemukan.

(15)

4) Penggunaan alat bantu sendi dan alat bantu berjalan.

5) Fisioterapi dan olah raga yang tepat (peregangan dan penguatan) untuk membantu mempertahankan kesehatan tulang rawan, meningkatkan daya gerak sendi, dan kekuatan otot.

6) Kompres panas/dingin dan latihan untuk memelihara sendi, mengurangi nyeri, dan kekakuan.

7) Pemberian suplemen makanan yang mengandung glukosamin, kondrotin yang berdasarkan uji klinik dapat mengurangi gangguan sendi.

C. Tinjauan Umum Tentang Faktor Resiko yang Berhubungan dengan Penyakit Reumatik

Penyebab reumatik sampai sekarang belum diketahui dengan pasti. Namun, selain faktor penyebab ada beberapa faktor predisposisi yang memberikan kontribusi terjadinya penyakit ini antara lain faktor usia, makanan, aktivitas fisik, hormon, riwayat trauma, psikologis, dan radikal bebas (Bangun, A.P., 2008) . Selengkapnya akan disajikan sebagai berikut :

1. Faktor Usia

Proses penuaan dianggap sebagai penyebab peningkatan kelemahan di sekitar sendi, penurunan kelenturan sendi, kalsifikasi tulang rawan dan menurunkan fungsi kondrosit, yang semuanya mendukung terjadinya reumatik.

(16)

Setiap persendian tulang memiliki lapisan pelindung sendi yang menghalangi terjadinya gesekan antara tulang. Sendi memiliki cairan yang berfungsi sebagai pelumas sehingga tulang dapat digerakkan dengan leluasa. Pada mereka yang sudah berusia lanjut, lapisan pelindung persendian mulai menipis dan cairan tulang mulai mengental, menyebabkan tubuh menjadi kaku dan sakit saat digerakkan.

2. Faktor Aktivitas Fisik

Aktivitas didefinisikan sebagai suatu aksi energetik atau keadaan bergerak dan semua manusia memerlukan kemampuan untuk bergerak. Aktivitas merupakan tanda kesehatan dimana adanya kemampuan seseorang melakukan aktivitas seperti berdiri, berjalan, dan berkerja. Kemampuan aktivitas seseorang tidak terlepas dari keadekuatan sistem persarafan dan muskuloskeletal ( Fitriyani, 2006 ).

Menurut Priharjo (1993 ) Aktivitas fisik merupakan pergerakan anggota tubuh yang menyebabkan pengeluaran tenaga. Bagi para lansia aktivitas fisik sangat penting karena dengan mampu beraktivitas, para lansia dapat mempertahankan kualitas hidup mereka agar tetap sehat (Soni P., 2010).

Ada beberapa aktivits fisik yang dapat dilakukan lansia untuk mempertahankan tubuh, yaitu ;

a. Latihan Pertahanan ( Resistance Training )

Latihan pertahanan meliputi kecepatan gerak sendi luas lingkup gerak sendi ( range of motion ) dan aktivitas fisik bersifat ketahanan , dapat membantu jantung, otot, paru-paru, otot, dan sirkulasi darah tetap sehat dan membantu mereka tetap bertenaga. Contohnya : berjalan dan lari ringan, senam lansia, dll.

(17)

Daya tahan akan meningkatkan kekuatan yang didapatkan dari latihan pertahanan. Aktivitas fisik yang bersifat untuk kekuatan dapat membantu kerja otot tubuh dalam menahan suatu beban yang diterima, tulang tetap kuat, dan mempertahan bentuk tubuh serta membantu meningkatkan pencegahan terhadap penyakit seperti osteoporosis (tulang keropos).

c. Kelenturan

Kelenturan merupakan komponen yang sangat penting ketika lansia melakukan kegiatan karena pada lansia banyak terjadi pembatasan ruang lingkup gerak sendi akibat kekakuan otot dan tendon. Aktivitas fisik yang bersifat untuk kelenturan dapat membantu pergerakan lebih mudah, mempertahankan otot tubuh tetap lentur, dan sendi berfungsi baik. Contohnya : menyiram bunga, senam aerobik lansia.

d. Keseimbangan

Keseimbangan pada lansia harus diperhatikan karena gangguan pada lansia saat melakukan kegiatan dapat menyebabkan lansian terjatuh.

(18)

dan sejenisnya, dan dilakukan secara rutin. Olahraga aerobik saja tidak cukup, perlu diikuti dengan latihan kekuatan, dan akan lebih sempurna lagi bila ditambah dengan latihan perimbangan dan latihan peregangan. Selain itu, berolahraga jalan kaki dan jogging juga sangat baik untuk kebugaran tubuh dan relatif aman bagi para lansia karena menghindari risiko cedera lutut. Para lansia yang sebelumnya tidak pernah berolahraga, disarankan agar latihan dilakukan secara bertahap, baik intensitas, lama, dan frekuensi. Tujuannya, memberi kesempatan tubuh beradaptasi pada beban latihannya. Latihan olahraga untuk para lansia juga harus dilakukan dengan takaran cukup (Soni P., 2010).

Aktivitas yang berlebihan bagi para usia lanjut tidak diperkenankan, seperti berjalan jauh ( 2 km atau lebih ), mengangkat yang berat, olahraga yang berlebihan dan juga pada sikap atau posisi badan yang salah saat melakukan pekerjaan akan memudahkan timbulnya reumatik. Misalnya, posisi badan sering membungkuk dalam melakukan pekerjaan membuat pinggang sakit. Aktivitas sendi berlebihan dapat menekan sendi, terutama aktivitas yang berhubngan dengan kerja sendi.

Gerakan-gerakan penuh tekanan secara berulang (misalnya jongkok atau berlutut dengan mengangkat beban berat) dapat berkontribusi pada deteriorasi kartolago (rawan sendi).

3. Faktor Riwayat Trauma

Trauma berasal dari kata yunani “tramatos” yang berarti luka dari sumber luar. Trauma diartikan sebagai luka emosi dan fisik yang disebabkan oleh keadaan yang mengancam diri.

(19)

reumatik. Studi Framingham menemukan bahwa orang dengan riwayat trauma pada daerah persendian memiliki risiko 5 – 6 kali lipat lebih tinggi untuk menderita reumatik (Eka P., 2007).

Reumatik banyak terdapat pada lansia yang mempunyai riwayat sebagai pekerja keras ataupun atlit keras. Penggunaan sikap atau posisi tubuh yang kurang baik juga mempengaruhi terjadinya reumatik, seperti posisi pekerjaan yang sering membungkuk, para kuli, petani dan yang bekerja ditambang. Pekerjaan sebagai atlit tidak jarang sering terjadi riwayat trauma, terutama bagi mereka mantan atlit tinju, pemain tennis, lari maraton, dll (Eka P., 2007)

Cidera yang terjadi karena aktivitas, seperti olahraga atau kegiatan lain juga berisiko terkena reumatik ; gerakan kejut (misalnya tiba-tiba jatuh atau terhentak), Sikap tubuh atau posisi yang salah, trauma terkilir, benturan saat olahraga

(20)

4. Faktor Hormon

Hormon adalah molekul-molekul yang kegiatannya mengatur reaksi-reaksi metabolik penting. Molekul-molekul tersebut dibentuk di dalam organisme dengan proses metabolik dan tidak berfungsi didalam nutrisi.

Pada osteoporosis atau penyakit keropos tulang merupakan jenis reumatik yang banyak dirasakan wanita setelah menopouse. Kurangnya hormon estrogen setelah menopouse memperburuk masa tulang yang sudah berkurang karena usia. Hormon estrogen (hormon utama pada wanita), membantu mengatur pengangkutan kalsium ke dalam tulang pada wanita. Begitu juga faktor kegemukan memberikan beban berlebih pada tulang. Berat badan yang berlebihan nyata berkaitan dengan meningkatnya resiko untuk timbulnya reumatik baik pada wanita maupun pada pria. Hal ini akan mempengaruhi kesehatan sendi.

5. Faktor Makanan

Tidak semua jenis reumatik dipengaruhi oleh faktor makanan. Reumatik gout atau asam urat merupakan satu-satunya jenis reumatik yang serangannya sangat dipengaruhi oleh pola makanan. Jenis makanan yang dapat meningkatkan kadar asam urat yaitu mengkonsumsi terlalu banyak makanan yang mengandung purin, seperti : jeroan, bayam, mentega, makanan laut, kacang-kacangan, daging, tape, jengkol, santan, alpukat, sarden, dan alkohol (Misnadiarly, 2007).

(21)

Faktor makanan jelas berhubungan dengan kejadian reumatik pada lansia. Dimana makanan yang mengandung kadar purin yang tinggi akan memicu kenaikan asam urat dalam darah. Purin merupakan salah satu zat alami yang terkandung dalam tubuh. Purin merupakan salah satu penyusun rantai DNA dan RNA bersama-sama dengan pirimidin. Enzim HGPRT bertugas mengubah purin menjadi nukleotida ourin agar dapat digunakan kembali sebagai penyusun DNA dan RNA.

Bahan dasar asam urat adalah purin. Apabila jumlah purin dalam tubuh terlalu banyak, kelebihannya akan diubah menjadi asam urat. Dengan demikian, mengkonsumsi makanan yang banyak mengandung purin dapat meningkatkan asam urat dalam darah.

(22)

jari-jari, nampak kemerahan, inflamasi, nyeri dan dapat terjadi deformitas (perubahan bentuk).

Tabel 1 Jenis Makanan dan Kadar Purin No. Kategori Kadar Purin Jenis Makanan

3. Rendah (<50 mg/ 100g) Gula, telur dan susu Sumber : Sustrani, Alam dan Hadibroto (2005)

6. Faktor Psikologis

(23)

mekanisme koping yang kurang juga dapat menyebabkan timbulnya penyakit reumatik.

7. Faktor Radikal Bebas

Dunia kedokteran dan kesehatan banyak membahas tentang radikal bebas (free radicak). Hal ini terjadi karena sebagian besar penyakit diawali oleh adanya reaksi oksidasi yang berlebihan di dalam tubuh. Oksigen merupakan sesuatu yang paradoksial dalam kehidupan. Molekul ini sangat dibutuhkan oleh organisme aerob karena memberikan energi pada proses metabolisme dan respirasi, namun pada kondisi tertentu keberadaannya dapat berimplikasi pada berbagai penyakit dan kondisi degeneratif, seperti aging, reumatik/artrhitis, kanker dan lain-lain.

Radikal bebas adalah sekelompok elemen yang bersifat tidak stabil, reaktif, merusak sel – sel hidup (sitotoksik), menurunkan kinerja zat – zat dalam tubuh seperti enzim dan hormone serta merusak pembuluh darah dan kulit. Kerusakan tersebut menyebabkan kulit menebal, kaku, tidak elastis, keriput, pucat dan kering. Factor yang mempengaruhi terbentuknya radikal bebas antara lain sinar matahari, zat kimia, zat pengawet, pewarna dan pelezat makanan, polusi udara, makanan tinggi kalori dan karbohidrat, pengobatan dengan sinar ultra violet dalam jangka panjang. Radikal bebas yang timbul karena pencemaran dan bahan kimia dalam makanan menjadi racun yang menurunkan daya tahan tubuh. Akibatnya, hal ini memperburuk kerusakan jaringan tubuh dan menimbulkan gejala reumatik.

(24)

Menurut Undang-Undang RI No.3 Tahun 1986 Bab I Pasal I ayat 2 tentang kesejahteraan lanjut usia yang berbunyi lanjut usia adalah seseorang yang mencapai usia 60 tahun ke atas (Nugroho, 2005). Menurut Prof Dr. Koesoemato Setyo Negoro (Darmojo, 2009) lanjut usia (geriatric age) adalah seseorang dengan usia lebih dari 65 tahun.

Lanjut usia (Lansia) adalah proses menjadi lebih tua dengan umur mencapai 65 tahun ke atas. Pada lansia akan mengalami kemunduran fisik, mental, dan sosial. Salah satu contoh kemunduran fisik pada lansia adalah rentannya lansia terhadap penyakit, khususnya penyakit degeneratif. Penyakit degeneratif yang umum di derita lansia adalah hipertensi, reumatik, asam urat, dermatitis, retensi urine, dermatitis dan lain-lain (Nugroho, 2013).

Lanjut usia adalah suatu kejadian yang pasti akan dialami oleh semua orang yang dikaruniai usia panjang, terjadinya tidak bisa dihindari oleh siapapun. Namun manusia dapat menghambat kejadiannya.

2. Batas-Batas Lanjut Usia

Batasan usia menurut WHO meliputi (dikutip dalam Darmojo, 2009) : a. Usia pertengahan (middle age), yaitu kelompok usia 45 sampai 59 tahun b. Lanjut usia (elderly), antara 60 sampai 74 tahun

c. Lanjut usia tua (old), antara 75 sampai 90 tahun d. Usia sangat tua (very old), di atas 90 tahun

(25)

berdaya mencari nafkah sendiri untuk keperluan hidupnya sehari-hari serta menerima nafkah dari orang lain”. Saat ini berlaku UU No. 13 tahun 1998 tentang kesejahteraan lansia yang berbunyi sebagai berikut: lansia adalah seseorang yang mencapai usia 60 tahun ke atas (Darmojo, 2009).

3. Perubahan-Perubahan yang Terjadi Pada Lansia

Secara umum kondisi fisik seseorang yang telah memasuki masa lanjut usia mengalami penurunan. Hal ini dapat dilihat dari beberapa perubahan : (1) perubahan penampilan pada bagian wajah, tangan, dan kulit, (2) perubahan bagian dalam tubuh seperti sistem saraf : otak, isi perut : limpa, hati, (3) perubahan panca indra : penglihatan, pendengaran, penciuman, perasa, dan (4) perubahan motorik antara lain berkurangnya kekuatan, kecepatan dan belajar keterampilan baru.

Menurut Nugroho (2005) perubahan-perubahan yang terjadi pada lansia meliputi:

a. Perubahan-perubahan Fisik 1) Sel.

Perubahan yang terjadi pada tingkat sel meliputi: Sel menjadi lebih sedikit jumlahnya, ukurannya menjadi lebih besar, jumlah cairan tubuh dan cairan intraseluler berkurang, proporsi protein di otak, otot, ginjal, darah, dan hati menurun, jumlah sel otak menurun, mekanisme perbaikan sel terganggu, dan otak menjadi atrofis beratnya berkurang 5-10%.

(26)

Perubahan yang terjadi pada system persarafan berupa: berat otak menurun 10-20%. (Setiap orang berkurang sel saraf otaknya dalam setiap harinya), hubungan persarafan cepat menurun, lambat dalam respon dan waktu untuk bereaksi, khususnya dengan stress, saraf panca indra mengecil, penglihatan berkurang, pendengaran menurun, saraf pencium dan perasa mengecil, lebih sensitif terhadap perubahan suhu dengan rendahnya ketahanan terhadap dingin, serta kurang sensitif terhadap sentuhan.

3) Sistem Pendengaran.

Perubahan yang terjadi pada system pendengaran dapat berupa (Nugroho, 2005):

a) Presbiakusis (gangguan dalam pendengaran). Hilangnya kemampuan pendengaran pada telinga dalam, terutama terhadap bunyi suara atau nada-nada yang tinggi, suara yang tidak jelas, sulit mengerti kata-kata, 50% terjadi pada usia diatas umur 65 tahun. b) Otosklerosis akibat atrofi membran tympani .

c) Terjadinya pengumpulan serumen dapat mengeras karena meningkatnya keratin.

d) Pendengaran bertambah menurun pada lanjut usia yang mengalami ketegangan jiwa/stres.

4) Sistem Penglihatan.

(27)

sferis (bola), kekeruhan pada lensa menyebabkan katarak, meningkatnya ambang, pengamatan sinar, daya adaptasi terhadap kegelapan lebih lambat dan susah melihat dalam cahaya gelap, hilangnya daya akomodasi, menurunnya lapangan pandang, berkurang luas pandangannya, dan menurunnya daya membedakan warna biru atau hijau.

5) Sistem Kardiovaskuler.

Perubahan yang terjadi pada system kardiovaskuler dapat berupa (Nugroho, 2005):

a) Elastisitas dinding aorta menurun.

b) Katup jantung menebal dan menjadi kaku.

c) Kemampuan jantung memompa darah menurun, hal ini menyebabkan menurunnya kontraksi dan volumenya.

d) Kehilangan elastisitas pembuluh darah, kurangnya efektivitas pembuluh darah perifer untuk oksigenisasi. Perubahan posisi dari tidur ke duduk atau dari duduk ke berdiri bisa menyebabkan tekanan darah menurun, mengakibatkan pusing mendadak.

e) Tekanan darah meninggi akibat meningkatnya resistensi pembuluh darah perifer.

6) Sistem Pengaturan Temperatur Tubuh.

(28)

keterbatasan refleks menggigil dan tidak dapat memproduksi panas akibatnya aktivitas otot menurun.

7) Sistem Respirasi

Perubahan pada sitem respirasi teridiri atas: otot-otot pernafasan kehilangan kekuatan dan menjadi kaku, aktivitas silia menurun, paru-paru kehilangan elastisitas, menarik nafas lebih berat, kapasitas pernafasan maksimum menurun, dan kedalaman bernafas menurun, alveoli ukuranya melebar dari biasa dan jumlahnya berkurang, kemampuan untuk batuk berkurang, serta kekuatan otot pernafasan akan menurun seiring dengan pertambahan usia.

8) Sistem Gastrointestinal.

Perubahannya dapat berupa: kehilangan gigi akibat periodontal disease, kesehatan gigi yang buruk dan gizi yang buruk, indera pengecap menurun, hilangnya sensitivitas saraf di lidah terhadap rasa manis, asin, asam, dan pahit, esophagus melebar, rasa lapar menurun, asam lambung menurun, peristaltik lemah dan biasanya timbul konstipasi, dan daya absorbsi melemah.

9) Sistem Reproduksi.

Pada sistem reproduksi, perubahannya dapat berupa: ovari dan uterus menciut, atrofi payudara, pada laki-laki testis masih dapat memproduksi spermatozoa meskipun adanya penurunan secara berangsur-angsur, dan selaput lendir vagina menurun.

(29)

Perubahan yang terjadi pada system perkemihan berupa: nefron menjadi atrofi dan aliran darah ke ginjal menurun sampai 50%, otot-otot vesika urinaria menjadi lemah, frekuensi buang air kecil meningkat dan terkadang menyebabkan retensi urin pada pria.

11)Sistem Endokrin.

Perubahan yang terjadi pada sistem endokrin dapat berupa: produksi semua hormon menurun, aktivitas tiroid menurun, BMR (Basal Metabolic Rate) menurun, daya pertukaran zat, menurun, produksi aldosteron menurun, dan juga sekresi hormon kelamin misalnya, progesteron, estrogen, dan testosterone mengalami penurunan.

12)Sistem Kulit (Sistem Integumen)

Pada system integument, dapat terjadi perubahan sebagai berikut : kulit mengerut atau keriput akibat kehilangan jaringan lemak, permukaan kulit kasar dan bersisik karena kehilangan proses keratinisasi, serta perubahan ukuran dan bentuk-bentuk sel epidermis, kulit kepala dan rambut menipis berwarna kelabu, rambut dalam hidung dan telinga menebal, berkurangnya elastisitas akibat dari menurunya cairan dan vaskularisasi, serta pertumbuhan kuku lebih lambat.

(30)

Pada lansia, dapat terjaid perubahan pada aspek psikologis atau mental yang dipengaruhi oleh:perubahan fisik, khususnya organ perasa, kesehatan umum, tingkat pendidikan, keturunan (hereditas), lingkungan, kenangan (memori) (Stanley, 2007).

c. Perubahan-Perubahan Psikososial

1) Pensiun: nilai seseorang sering diukur oleh produktivitasnya dan identitas dikaitkan dengan peranan dalam pekerjaan. Bila seseorang pensiun, ia akan mengalami kehilangan-kehilangan, antara lain : kehilangan finansial (income berkurang), kehilangan status (dulu mempunyai jabatan posisi yang cukup tinggi, lengkap dengan segala fasilitasnya), kehilangan teman/kenalan atau relasi, dan kehilangan pekerjaan/kegiatan.

2) Merasakan atau sadar akan kematian/sense of awareness of mortality 3) Perubahan dalam cara hidup, yaitu memasuki rumah perawatan

bergerak lebih sempit.

4) Ekonomi akibat pemberhentian dari jabatan/economic deprivation 5) Meningkatnya biaya hidup pada penghasilan yang sulit, bertambahnya

biaya pengobatan.

6) Penyakit kronis dan ketidakmampuan.

7) Gangguan saraf dan penginderaan, timbul kebutaan dan ketulian. 8) Gangguan gizi akibat kehilangan jabatan.

(31)

10)Hilangnya kekuatan dan ketegapan fisik: perubahan terhadap gambaran diri, perubahan konsep diri (Stanley, 2007).

4. Tugas perkembangan pada lansia

Orang tua diharapkan untuk menyesuaikan diri dengan menurunnya kekuatan dan menurunnya kesehatan secara bertahap. Mereka diharapkan untuk mencari kegiatan untuk mengganti tugas-tugas terdahulu yang menghabiskan sebagian besar waktu kala mereka masih muda. Bagi beberapa orang berusia lanjut, kewajiban untuk menghadiri rapat yang menyangkut kegiatan sosial sangat sulit dilakukan karena kesehatan dan pendapatan mereka menurun setelah pensiun, mereka sering mengundurkan diri dari kegiatan sosial. Disamping itu, sebagian besar orang berusia lanjut perlu mempersiapkan dan menyesuaikan diri dengan peristiwa kehilangan pasangan, perlu membangun ikatan dengan anggota dari kelompok usia mereka untuk menghindari kesepian dan menerima kematian dengan tentram (Nugroho, 2005)

5. Aktifitas Sehari-hari Lansia

(32)

fisik dan psikis yang akhirnya akan berpengaruh pada penurunan aktifitas kehidupan sehari-hari. Kemampuan lansia untuk melakukan aktifitas kegiatan sehari-hari memberikan suatu data untuk menandakan kemampuan diri lansia. Untuk merencanakan bantuan yang diberikan pada lansia dalam mencapai kembali tingkat ketidak ketergantungan yang maksimal, dan untuk merencanakan pemberian dukungan. Aktifitas dasar kehidupan sehari-hari dan aktifitas intrumental aktifitas kehidupan sehari-hari diberikan keduanya (Jumriah, 2011).

(33)

yang ketika masa mudanya tidak menerapkan PHBS atau perilaku hidup bersih dan sehat. PHBS yang kita lakukan ketika masih muda akan berpengaruh nantinya ketika kita akan lansia. Mengonsumsi makan makanan yang sehat, bergizi, dan bervitamin dapat memberikan manfaat yang sangat besar bagi tubuh. Seperti dapat menjaga sistem kerja motorik, terhindar dari berbagai penyakit (Prajaningsih, 2012).

6. Masalah Kesehatan Pada Lansia

Adapun beberapa masalah kesehatan yang sering terjadi pada lansia berbeda dari orang dewasa, yang menurut Kane & Ouslander sering disebut dengan istilah 14 I, yaitu Immobility (kurang bergerak), Instability (berdiri dan berjalan tidak stabil atau mudah jatuh), Incontinence (beser buang air kecil dan atau buang air besar), Intellectual impairment (gangguan intelektual/ dementia), Infection (infeksi), Impairment of vision and hearing, taste, smell, communication, convalescence, skin integrity (gangguan pancaindera, komunikasi, penyembuhan, dan kulit), Impaction (sulit buang air besar), Isolation (depresi), Inanition (kurang gizi), Impecunity (tidak punya uang), Iatrogenesis (menderita penyakit akibat obat-obatan), Insomnia (gangguan tidur), Immune deficiency (daya tahan tubuh yang menurun), dan Impotence (impotensi) (Nango, 2011).

BAB III

(34)

A. Dasar Pikir Penelitian

Reumatik merupakan penyakit yang telah lama dikenal dan merupakan masalah kesehatan yang memerlukan penanggulangan yang baik mengingat angka kejadian dan kesakitan cukup tinggi dan akibat jangka panjang yang ditimbulkan mempunyai konsekuensi tertentu. Reumatik dapat berlangsung secara perlahan-lahan tetapi secara potensial sangat membahayakan karena komplikasi dapat bersifat sistemik yaitu mencakup seluruh organ tubuh.

Secara teori belum ditemukan secara pasti penyebab utama dari reumatik, akan tetapi beberapa studi menyebutkan bahwa faktor predisposisi reumatik seperti aktivitas dan riwayat trauma mempunyai korelasi yang nyata dengan insiden reumatik. Oleh karena itu dalam penelitian ini, peneliti ingin mencoba mencari hubungan faktor aktifitas fisik dan riwayat trauma dengan penyakit reumatik pada lansia di Panti Sosial Tresna Werdha Minaula Kendari.

B. Bagan Kerangka Konsep

Faktor-faktor yang mempengaruhi penyakit reumatik :

(35)

Gambar 1. Kerangka Konsep Penelitian

1. Variabel bebas (independen) dalam penelitian ini adalah aktifitas fisik dan riwayat trauma adalah penyakit radang sendi atau yang lebih dikenal dengan reumatik yang dialami lansia pada umur > 60 tahun dalam penelitian ini, dimana kriteria objektifnya adalah sebagai berikut.

(36)

Tidak Menderita : Bila responden dalam penelitian ini tidak mengalami reumatik

2. Aktifitas fisik

Faktor Aktivitas fisik yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kegiatan yang dilakukan oleh lansia di Panti Werdha Minaula setiap hari. Pengukuran indikator berdasarkan jawaban pertanyaan kuesioner yang telah diberi skor atau bobot dimana setiap pertanyaan mempunyai skor 1 dan 0, dimana pada variable ini terdiri dari 10 (sepuluh) pertanyaan.

Skor 1 : Jika responden menjawab ya Skor 0 : Jika responden menjawab tidak

Skor atau bobot tersebut kemudian dihitung dengan menggunakan rumus interval kelas menurut skala Guttman :

R

I = (Sugiono, 2010) K

Dimana :

I = Interval

R = Range atau kisaran (100-0 = 100) K = Jumlah kategori (2)

Skor tertinggi = 1 x 10 = 10 (100%) Skor terendah = 0 x 10 = 0 (0%) 100

I = 2

(37)

Dengan demikian kriteria objektifnya adalah :

Tidak Beresiko : Bila responden memperoleh nilai > 50% dari pertanyaan yang diajukan

Beresiko : Bila responden memperoleh nilai < 50% dari pertanyaan yang diajukan

3. Riwayat Trauma

Faktor Riwayat Trauma yang dimaksud dalam penelitian ini adalah adanya riwayat trauma fisik atau kecelakaan yang menyebabkan gangguan pada sendi lansia di dalam panti.

Kriteria Objektif:

Berisiko : bila pasien pernah mengalami trauma seperti pernah jatuh terhentak, trauma terkilir,luka akut pada sendi dan benturan baik dalam aktivitas sehari-hari maupun saat olahraga.

Tidak berisiko : bila pasien tidak pernah mengalami trauma seperti jatuh terhentak, trauma terkilir, dan benturan baik dalam aktivitas sehari-hari maupun saat olahraga.

E. Hipotesis Penelitian

1. Aktifitas Fisik

Ho : Tidak ada resiko antara faktor aktifitas fisik dengan penyakit reumatik pada lansia di Panti Sosial Tresna Werdha Minaula Kendari Provinsi Sulawesi Tenggara Tahun 2015

(38)

Sulawesi Tenggara Tahun 2015

2. Riwayat Trauma

Ho : Tidak ada resiko antara faktor riwayat trauma dengan penyakit reumatik pada lansia di Panti Sosial Tresna Werdha Minaula Kendari Provinsi Sulawesi Tenggara Tahun 2015

Ha : Ada resiko antara faktor riwayat trauma dengan penyakit reumatik pada lansia di Panti Sosial Tresna Werdha Minaula Kendari Provinsi Sulawesi Tenggara Tahun 2015

BAB IV

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan jenis penelitian analitik dengan menggunakan rancangan Case Control Study dimana faktor resiko ditelusuri dengan efek diidentifikasi pada saat ini kemudian faktor risiko (Notoatmodjo, 2010).

Dibawah ini adalah desain case control sebagai berikut :

Faktor Risiko +

Faktor Risiko

-Lansia yang mengalami reumatik (kasus)

Matching (Umur)

Populasi (sampel)

Lansia yg tdk mengalami reumatik (kontrol)

(39)

Gambar 2 : Rancangan Penelitian Kasus Kontrol

B. Waktu dan Lokasi Penelitian 1. Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada 23 Juni sampai 30 Juni 2015.

2. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Panti Sosial Tresna Werdha Minaula Kendari Provinsi Sulawesi Tenggara.

C. Populasi dan Sampel 1. Populasi

Populasi adalah keseluruhan objek penelitian yang akan diteliti (Notoatmodjo, 2010). Populasi dalam penelitian ini adalah jumlah seluruh lansia yang tercatat dan tinggal di Panti Sosial Tresna Werdha Minaula Kendari Provinsi Sulawesi Tenggara hingga bulan Juni 2015 berjumlah 95 orang.

2. Sampel

a. Jumlah Sampel

Sampel adalah sebagian dari populasi yang dipilih dengan cara tertentu hingga dianggap mewakili populasinya (Notoatmodjo, 2010). Apabila subjek lebih dari 100 maka menggunakan 10 – 20 % tetapi bila subjek kurang dari 100 maka menggunakan total sampling (Arikunto, 2006).

(40)

1) Sampel kasus : Responden yang merupakan lansia yang

mengalami reumatik yang tercatat hingga bulan Juni 2015 berjumlah 19 orang.

2) Sampel kontrol : Responden yang merupakan lansia yang tidak mengalami reumatik yang tercatat hingga bulan Juni 2015 berjumlah 19 orang.

Dengan demikan total sampel dalam penelitian ini adalah sebanyak 38 orang responden.

b. Teknik Penarikan Sampel

Sampel diambil dengan teknik Total Sampling dimana cara pengambilan sampel yang diambil sama besar dengan jumlah populasi (Notoatmodjo, 2010).

D. Jenis dan Cara Pengumpulan Data 1. Jenis Data

a. Data primer

Data primer dalam penelitian ini diperoleh dengan wawancara langsung kepada responden dalam hal ini adalah lansia di Panti Sosial Tresna Werdha Minaula Kendari dengan menggunakan kuisioner.

b. Data Sekunder

Data sekunder diperoleh dari bagian-bagian yang berhubungan dengan obyek penelitian di Panti Sosial Tresna Werdha Minaula Kendari seperti bagian pencatatan (status pasien, buku pelaporan dan Profil Panti Sosial Tresna Werdha Minaula) serta hal yang terkait yang berhubungan dengan data yang di perlukan).

2. Cara Pengumpulan Data a. Izin Penelitian

(41)

b. Pelaksanan Penelitian

Pelaksana penelitian dilakukan oleh peneliti sendiri. c. Informed Concent

Setiap responden diberikan penjelasan tentang maksud dan tujuan dari penelitian, dan diberikan kesempatan bertanya tentang penelitian ini. Responden yang setuju diminta untuk menandatangani surat bersedia menjadi reponden.

d. Prosedur Pelaksanaan

Setelah responden ditetapkan sesuai dengan kriteria sampel, peneliti melakukan pengumpulan data untuk mengetahui hubungan antara pelayanan perawat dengan masalah kesehatan lansia di Panti Sosial Tresna Werdha Minaula Kendari.

E. Pengolahan dan Analisis Data 1. Pengolahan Data

Data primer yang di kumpulkan dalam penelitian di olah adalah sebagai berikut : sudah diisi. Editing meliputi kelengkapan pengisian, kesalahan pengisian dan konsistensi dari setiap jawaban

c. Skoring

Skoring adalah perhitungan secara manual dengan menggunakan kalkulator untuk mengetahui persentase setiap variabel yang diteliti.

d. Tabulating

(42)

ditabulasi agar lebih mempermudah penyajian data dalam bentuk distribusi frekuensi. Pengolahan data dilakukan secara elektronik dengan menggunakan komputer program SPSS versi 22.0 for Windows.

e. Entry

Proses memasukkan data kedalam komputer. 2. Analisis Data

a. Analisis Univariat

Dalam penelitian ini di gunakan untuk mengetahui frekuensi, distribusi dan proporsi variabel bebas dan variabel terikat dengan menggunakan nilai mean dan presentase.

X =

Keterangan :

X = presentase variabel teliti

F =jumlah sampel berdasrkan kriteria penelitian n = jumlah sampel

k = konstanta (100%) (Candra, 2008) b. Analisis Bivariat

Analisis ini digunakan untuk mengetahui besaran hubungan dan pengaruh faktor resiko terhadap faktor efek dengan menggunakan Uji Odds Ratio. Adapun rumus uji Odds Ratio adalah :

Kemudian hasil analisis disajikan pada tabel dengan menggunakan tabel 2 x 2 seperti berikut ini.

Tabel 2. Tabel 2 x 2 Count Data Case Control Study

(43)

Positif a b a + b

Negatif c d c + d

Jumlah a + c b + d a + b + c + d

Keterangan :

a : Jumlah kasus dengan resiko positif b : Jumlah kontrol dengan resiko positif c : Jumlah kasus dengan resiko negatif d : Jumlah kontrol dengan resiko negatif

Adapun ketentuan yang digunakan dalam OR sebagai berikut : 1) Interval kepercayaan sebesar 95%

2) Nilai kemaknaan untuk melihat hubungan faktor resiko dengan kasus ditentukan berdasarkan batas-batas (limit) sebagai berikut :

a) Bila OR > 1 berarti merupakan faktor risiko b) Bila OR < 1 berarti efek protektif (perlindungan) c) Bila OR = 1 berarti bukan merupakan faktor risiko

Nilai OR di anggap bermakna jika nilai Lower limit dan Upper limit tidak mencakup nilai 1.

1) Upper Limit : OR x e+F

2) Lower Limit : OR x e-F

Dimana :

(44)

F. Penyajian Data

Penyajian data dilakukan, setelah data di olah dan di sajikan dalam bentuk tabel distribusi serta tabel analisis pengaruh antara variabel, yang di sertai dengan narasi.

G. Etika Penelitian

Sebelum melakukan penelitian, peneliti mengajukan permohonan izin kepada Kepala Panti Tresna Werdha Minaula Kendari dengan memperhatikan masalah etika sebagai berikut :

1. Lembar Persetujuan menjadi responden (Informed consent)

Lembar persetujuan diberikan kepada responden yang akan diteliti, agar responden memahami maksud dan tujuan penelitian. Apabila responden penelitian setuju maka harus menandatangani lembar persetujuan sebagai responden penelitian.

2. Tanpa Nama (Anonimity)

Untuk menjaga kerahasiaan identitas responden, maka peneliti tidak mencantumkan nama pada lembar pengumpulan data (kuesioner) yang di isi oleh responden tersebut hanya diberi nomor kode tertentu.

3. Kerahasiaan (Confidientialy)

(45)

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian 1. Letak Geografis

Panti Sosial Tresna Werdha (PSTW) Minaula didirikan pada tahun 1979/1980, yang bertujuan untuk mengatasi permasalahan sosial di Sulawesi Tenggara khususnya permasalahn sosial lanjut usia terlantar.

Panti Sosial Tresna Werdha Minaula berlokasi ± 24 km dari Kota Kendari tepatnya di Desa Ranooha Kecamatan Ranomeeto Kabupaten Konawe Selatan dengan luas area ± 3000 m2. Adapun batas wilayah Panti

Sosial Werdha Minaula adalah sebagai berikut : a. Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Laikaaha b. Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Onewila c. Sebelah Barat berbatasan dengan Hutan Ranooha. d. Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Konda 2. Lingkungan/Sarana Fisik

Panti Sosial Tresna Werdha Minaula (PSTW) memiliki sarana fisik sebanyak 26 unit yang terdiri dari :

a. Wisma tempat tinggal klien : 12 Buah b. Ruang perawatan khusus : 1 Buah c. Ruang Keterampilan : 1 Buah d. Ruangan kantor : 1 Buah

e. Aula : 1 Buah

f. Poliklinik : 1 Buah

g. Mushola : 1 Buah

(46)

i. Rumah Petugas : 6 Buah j. Dapur umum/gudang : 1 Buah

Selain sarana bangunan, Panti Sosial Tresna Werdha Minaula (PSTW) Kendari juga dilengkapi dengan sarana transportasi antara lain :

a. Kendaraan roda 4 : 3 unit (Kendaraan Dinas Kepala Panti, Bus & Ambulance)

b. Kendaraan roda 2 : 3 unit

Sarana fisik khusus dalam menanggulangi risiko jatuh bagi para lansia di Panti Werdha ini masih minim. Hal ini dibuktikan bahwa tidak semua Wisma memiliki sarana pendukung keselamatan lansia seperti : tempat berpegang di dalam maupun di luar tiap wisma, kemudian kondisi lantai yang licin, termasuk keadaan kamar mandi yang pencahayaannya masih kurang. Sehingga risiko cedera atau jatuh masih sangat besar akan dialami oleh lansia.

3. Status

Panti Sosial Tresna Werdha diresmikan oleh Menteri Sosial RI Bapak Saparjo pada tanggal 7 Desember 1981. Pada awal beroperasi Panti Werdha Minaula menyantuni lanjut usia terlantar/ jompo sebanyak 20 orang, dan jumlah ini berkembang terus sehingga pada tahun 1982/1983 mencapai 100 orang lansia/ jompo, keadaan ini bertahan hingga tahun 2015 dan bertambah dari tahun ke tahunnya.

4. Jenis Kegiatan Lansia Di Panti Werdha

Jenis kegiatan yang dilakukan oleh lansia selama berada di panti werdha, antara lain ; kegiatan bimbingan kerohanian pada hari Senin, bimbingan keterampilan ( menganyam tikar, membuat tudung/topi, membuat atap), berkebun, pelayanan kesehatan, dan kegiatan senam lansia yang dilaksanakan pada hari Senin, Rabu, dan Jumat.

B. Hasil Penelitian dan Pembahasan 1. Karakteristik Responden

(47)

Jenis kelamin responden dalam penelitian ini disajikan seperti pada tabel berikut ini :

Tabel 3. Distribusi Karakterisitik Responden Berdasarkan Jenis Kelamin di Panti Sosial Tresna Werdha Minaula Kendari Tahun 2015

No Jenis Kelamin Jumlah (n) Persentase (%)

1 Laki-Laki 18 47.4

2 Perempuan 20 52.6

Total 38 100

Sumber : Data Primer diolah bulan Juli 2015

Tabel di atas menunjukkan bahwa dari 38 responden frekuensi tertinggi adalah responden berjenis kelamin perempuan sebanyak 20 responden (52.6%) dan frekuensi terendah adalah responden laki-laki yaitu sebanyak 18 orang responden (47.4%).

2. Analisis Univariat a. Penyakit Reumatik

Penyakit reumatik yang diderita responden dalam penelitian ini disajikan seperti pada tabel berikut ini :

Tabel 6. Distribusi Responden Berdasarkan Variabel Penyakit Reumatik di Panti Sosial Tresna Werdha Minaula Kendari Tahun 2015

No Penyakit Reumatik Jumlah (n) Persentase (%)

1 Menderita (Kasus) 19 50.0

2 Tidak Menderita (Kontrol) 19 50.0

Total 38 100

Sumber : Data Primer diolah bulan Juli 2015

(48)

kasus dalam penelitian ini dan sebanyak sebanyak 19 orang (50.0%) yang tidak menderita penyakit reumatik dan sebagai sampel kontrol dalam penelitian ini.

b. Aktifitas Fisik

Aktifitas fisik responden dalam penelitian ini disajikan seperti pada tabel berikut ini :

Tabel 4. Distribusi Responden Berdasarkan Variabel Aktifitas Fisik di Panti Sosial Tresna Werdha Minaula Kendari Tahun 2015

No Aktifitas Fisik Jumlah (n) Persentase (%)

1 Beresiko 16 42.1

2 Tidak Beresiko 22 57.9

Total 38 100

Sumber : Data Primer diolah bulan Juli 2015

(49)

c. Riwayat Trauma

Riwayat trauma responden dalam penelitian ini disajikan seperti pada tabel berikut ini :

Tabel 5. Distribusi Responden Berdasarkan Variabel Riwayat Trauma di Panti Sosial Tresna Werdha Minaula Kendari Tahun 2015

No Riwayat Trauma Jumlah (n) Persentase (%)

1 Beresiko 18 47.4

2 Tidak Beresiko 20 52.6

Total 38 100

Sumber : Data Primer diolah bulan Juli 2015

Tabel di atas menunjukkan bahwa dari 38 responden, responden kriteria riwayat trauma tidak beresiko yakni sebanyak 20 orang (52.6%) dan responden kriteria riwayat trauma beresiko yaitu sebanyak 18 orang (47.4%).

3. Analisis Bivariat

a. Hubungan Faktor Aktifitas Fisik dengan Penyakit Reumatik pada Lansia

Hubungan faktor aktifitas fisik dengan penyakit reumatik pada lansia dalam penelitian ini dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 7. Distribusi Responden Berdasarkan Hubungan Faktor Aktifitas Fisik dengan Penyakit Reumatik pada Lansia di Panti Sosial Tresna Werdha Minaula Kendari Tahun 2015

Aktifitas

Beresiko 15 39.5 7 18.4 22 57.9

6

.4

2

9

(50)

Tdk

Beresiko 4 10.5 12 31.6 16 42.1 Total 19 50.0 19 50.0 38 100 Sumber : Data Primer diolah bulan Juli 2015

Pola sebaran data pada tabel diatas menunjukkan responden dengan aktifitas kurang lebih banyak menderita penyakit reumatik yakni sebanyak 15 (39.5%) orang daripada yang tidak menderita reumatik sebanyak 7 (18.4%) orang. Sedangkan pada responden dengan aktifitas baik lebih sedikit yang menderita penyakit reumatik sebanyak 4 (10.5%) dan lebih banyak didapatkan responden yang aktifitas fisiknya baik dan tidak menderita penyakit reumatik sebanyak 12 (31.6%) orang.

(51)

b. Hubungan Faktor Riwayat Trauma dengan Penyakit Reumatik pada Lansia

Hubungan faktor riwayat trauma dengan penyakit reumatik pada lansia dalam penelitian ini dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 8. Distribusi Responden Berdasarkan Hubungan Faktor Riwayat Trauma dengan Penyakit Reumatik pada Lansia di Panti Sosial Tresna Werdha Minaula Kendari Tahun 2015

Riwayat

Beresiko 13 34.2 5 13.2 18 47.4

6

Beresiko 6 15.8 14 36.8 20 52.6 Total 19 50.0 19 50.0 38 100 Sumber : Data Primer diolah bulan Juli 2015

(52)

reumatik sebanyak 5 (13.2%) orang. Sedangkan pada responden dengan riwayat trauma yang tidak beresiko sedikit yang menderita penyakit reumatik sebanyak 6 (15.8%) orang dan lebih banyak didapatkan pada responden yang riwayat trauma yang tidak beresiko dan tidak menderita penyakit reumatik sebanyak 14 (36.8%) orang.

Hasil uji Odds Ratio (OR) dengan nilai Confidence Interval (CI) 95% didapatkan besarnya nilai Odds Ratio (OR) = 6.067 dengan nilai kepercayaan Lower Limit (batas bawah) = 1.486 dan Upper Limit (batas atas) = 24.764. Hal ini menunjukkan bahwa faktor riwayat trauma berhubungan dengan penyakit reumatik yang dialami lansia dengan risiko rendah 1486 dan risiko tertinggi 24.764, dimana responden yang memiliki riwayat trauma beresiko, akan beresiko 6.067 kali lebih besar peluangnya untuk menderita penyakit reumatik dibanding responden yang aktifitas fisiknya baik. Batas bawah dan batas atas tidak mencakup nilai satu atau diatas satu maka dinyatakan hubungan bermakna antara faktor riwayat trauma dengan penyakit reumatik pada lansia di Panti Sosial Tresna Werdha Minaula Kendari Tahun 2015.

4. Pembahasan

a. Hubungan Faktor Aktifitas Fisik dengan Penyakit Reumatik pada Lansia

(53)

seseorang melakukan aktivitas seperti berdiri, berjalan, dan berkerja. Kemampuan aktivitas seseorang tidak terlepas dari keadekuatan sistem persarafan dan muskuloskeletal ( Fitriyani, 2006 ).

Dari hasil analisis univariat diketahui bahwa responden dengan kriteria aktifitas fisik baik sebanyak 22 orang (57.9%) dan responden dengan kriteria aktifitas fisik kurang yaitu sebanyak 16 orang (42.1%).

Sedangkan pada hasil analisis bivariat diketahui bahwa dari hasil uji Odds Ratio (OR) dengan nilai Confidence Interval (CI) 95% didapatkan besarnya nilai Odds Ratio (OR) = 6.429 dengan nilai kepercayaan Lower Limit (batas bawah) = 1.517 dan Upper Limit (batas atas) = 27.244. Hal ini menunjukkan bahwa faktor aktifitas fisik berhubungan dengan penyakit reumatik yang dialami lansia dengan risiko rendah 1.517 dan risiko tertinggi 27.244, dimana responden yang aktifitas fisiknya kurang beresiko 6.429 kali lebih besar peluangnya untuk menderita penyakit reumatik dibanding responden yang aktifitas fisiknya baik. Batas bawah dan batas atas tidak mencakup nilai satu atau diatas satu maka dinyatakan hubungan bermakna antara faktor aktifitas fisik dengan penyakit reumatik pada lansia di Panti Sosial Tresna Werdha Minaula Kendari Tahun 2015.

(54)

hasil penelitian diketahui bahwa responden mengatakan tidak pernah mengalami reumatik bila banyak gerak di panti, oleh karena itu responden sering mengikuti kegiatan-kegiatan yang ada di panti. Selain itu, responden juga tiap pagi selalu jalan-jalan pagi dan membuat tubuh menjadi sgar dan bugar.

Demikian pula menurut Priharjo (1993) yang dikutip oleh Soni P. (2010) yang menyatakan aktivitas fisik merupakan pergerakan anggota tubuh yang menyebabkan pengeluaran tenaga. Bagi para lansia aktivitas fisik sangat penting karena dengan mampu beraktivitas, para lansia dapat mempertahankan kualitas hidup mereka agar tetap sehat.

(55)

Demikian pula menurut Soni P (2010) bahwa para lansia yang sebelumnya tidak pernah berolahraga, disarankan agar latihan dilakukan secara bertahap, baik intensitas, lama, dan frekuensi. Tujuannya, memberi kesempatan tubuh beradaptasi pada beban latihannya. Latihan olahraga untuk para lansia juga harus dilakukan dengan takaran cukup

Selain itu, faktor umur juga berpengaruh terhadap kejadian reumatik pada lansia ini. Karena diketahui bahwa responden dalam penelitian ini merupakan lansia yang berumur > 60 tahun. Dimana saat memasuki masa lansia seseorang akan mengalami penurunan fungsi tubuh. Termasuk peningkatan kelemahan di sekitar sendi, penurunan kelenturan sendi, kalsifikasi tulang rawan dan menurunkan fungsi kondrosit, yang semuanya mendukung terjadinya reumatik. Dengan bertambahnya usia, cairan dalam sendi yang berfungsi melumasi setiap gerakan mulai menipis dan mengental. Hal ini menyebabkan tubuh menjadi kaku dan mulai sakit digerakan (Bangun A.P, 2008).

(56)

mentega, makanan laut, kacang-kacangan, daging, tape, jengkol, santan, alpukat, sarden, dan alkohol (Misnadiarly, 2007).

Diketahui bahwa lansia merupakan fase dimana organ-organ tubuh mengalami penurunan fungsi tubuh, seperti fungsi pendengaran, fungsi penglihatan, system persyarafan, system kardiovaskular, fungsi metabolisme, system pencernaan dan lain-lain.

Faktor makanan jelas berhubungan dengan kejadian reumatik pada lansia. Dimana makanan yang mengandung kadar purin yang tinggi akan memicu kenaikan asam urat dalam darah. Purin merupakan salah satu zat alami yang terkandung dalam tubuh. Purin merupakan salah satu penyusun rantai DNA dan RNA bersama-sama dengan pirimidin. Enzim HGPRT bertugas mengubah purin menjadi nukleotida ourin agar dapat digunakan kembali sebagai penyusun DNA dan RNA.

Bahan dasar asam urat adalah purin. Apabila jumlah purin dalam tubuh terlalu banyak, kelebihannya akan diubah menjadi asam urat. Dengan demikian, mengkonsumsi makanan yang banyak mengandung purin dapat meningkatkan asam urat dalam darah.

(57)

peradangan pada persendian. Karena pada masa lansia terjadi penurunan kelenturan sendi, kalsifikasi tulang rawan dan menurunkan fungsi kondrosit, Cairan dalam sendi yang berfungsi melumasi setiap gerakan mulai menipis dan mengental. Ditambah lagi terdapat penimbunan Kristal pada sendi sehingga dapat menyebabkan peradangan pada sendi. Peradangan pada sendi ini akan terasa nyeri sendi, terutama pada saat bergerak pada sendi pinggul,lutut, dan jari-jari, nampak kemerahan, inflamasi, nyeri dan dapat terjadi deformitas (perubahan bentuk).

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Ahdaniar, dkk (2013) dengan judul penelitian Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Penyakit Rematik Pada Lansia Di Wilayah Puskesmas Kassi-Kassi Kota Makassar, dimana hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan aktivitas fisik dengan kejadian penyakit rematik pada lansia didaptkan nilai p= 0,021 (p<0,005).

b. Hubungan Faktor Riwayat Trauma dengan Penyakit Reumatik pada Lansia

(58)

memiliki risiko 5 – 6 kali lipat lebih tinggi untuk menderita reumatik ( Eka P., 2007 ).

Dari hasil analisis univariat diketahui bahwa responden kriteria riwayat trauma tidak beresiko yakni sebanyak 20 responden (52.6%) dan responden kriteria riwayat trauma beresiko yaitu sebanyak 18 orang responden (47.4%).

Sedangkan untuk hasil analisis bivariate menunjukkan hasil bahwa responden dengan riwayat trauma yang beresikolebih banyak menderita penyakit reumatik yakni sebanyak 13 (34.2%) responden daripada yang tidak menderita reumatik sebanyak 5 (13.2%) responden. Sedangkan pada responden dengan riwayat trauma yang tidak beresiko sedikit yang menderita penyakit reumatik sebanyak 6 (15.8%) dan lebih banyak didapatkan pada responden yang riwayat trauma yang tidak beresiko dan tidak menderita penyakit reumatik sebanyak 14 (36.8%) responden.

(59)

satu atau diatas satu maka dinyatakan hubungan bermakna antara faktor riwayat trauma dengan penyakit reumatik pada lansia di Panti Sosial Tresna Werdha Minaula Kendari Tahun 2015.

Peneliti berasumsi bahwa adanya hubungan faktor riwayat trauma dengan penyakit reumatik pada lansia disebabkan karena cedera yang pernah dialami berpengaruh pada elastisitas persendiannya dan berpengaruh pada penyakit reumatik yang dialaminya saat ini. Dari hasil penelitian diketahui bahwa, terdahulunya responden pernah kerja berat, Selain itu, ada responden juga pernah jatuh hingga terkilir pada persendian. Riwayat trauma yang pernah dialami lansia dapat menyebabkan reumatik pada masa lansia. Dimana elastisitas persendian yang mengalami trauma mengalami penurunan dan seiring seseorang mengalami pertambahan usia maka dengan cepat akan dirasakan gejala-gejala dari penyakit reumatik ini akibat riwayat trauma.

(60)

Ditambah lagi responden memasuki masa lansia dimana seluruh fungsi tubuh mengalami penurunan. Dan termasuk juga penurunan kelenturan sendi, kalsifikasi tulang rawan dan menurunkan fungsi kondrosit, yang semuanya mendukung terjadinya reumatik. Dengan bertambahnya usia, cairan dalam sendi yang berfungsi melumasi setiap gerakan mulai menipis dan mengental. Hal ini menyebabkan tubuh menjadi kaku dan mulai sakit digerakan (Bangun A.P, 2008).

Faktor jenis kelamin bisa menjadi faktor resiko reumatik. Pada wanita umumnya lebih banyak yang mengalami reumatik.Pada osteoporosis atau penyakit keropos tulang merupakan jenis reumatik yang banyak dirasakan wanita setelah menopouse. Kurangnya hormon estrogen setelah menopouse memperburuk masa tulang yang sudah berkurang karena usia. Hormon estrogen (hormon utama pada wanita), membantu mengatur pengangkutan kalsium ke dalam tulang pada wanita. Begitu juga faktor kegemukan memberikan beban berlebih pada tulang. Berat badan yang berlebihan nyata berkaitan dengan meningkatnya resiko untuk timbulnya reumatik baik pada wanita maupun pada pria. Hal ini akan mempengaruhi kesehatan sendi (Bangun A.P, 2008).

(61)

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Maharani (2007) dengan judul penelitian Faktor-Faktor Risiko Osteoartritis Lutut (Studi Kasus di Rumah Sakit Dokter Kariadi Semarang) dengan hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan riwayat trauma lutut dengan kejadian rumatik (nilai p = 0,033; OR adjusted = 2,90; 95% CI = 1,09 – 7,75).

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diajukan pada penelitian ini, maka dapat disimpulkan sebagai berikut :

1. Ada resiko antara faktor aktifitas fisik dengan penyakit reumatik pada lansia di Panti Sosial Tresna Werdha Minaula Kendari Tahun 2015.

2. Ada resiko antara faktor riwayat trauma dengan penyakit reumatik pada lansia di Panti Sosial Tresna Werdha Minaula Kendari Tahun 2015.

(62)

Adapun saran yang dapat disampaikan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Bagi pihak Panti Sosial Tresna Werdha Minaula Kendari diharapkan dapat meningkatan pelaksanaan program-program yang berkaitan dengan aktifitas fisik dan dapat membuat lansia ikut berpartisipasi dengan kegiatan tersebut sehingga lansia dapat mencegah terjadinya penyakit reumatik tersebut.

2. Bagi Institusi Pendidikan STIKES Mandala Waluya, diharapkan hasil penelitian ini dapat menjadi sumbangan dalam perkembangan ilmu keperawatan

3. Bagi masyarakat, hasil penelitian ini diharapkan dapat manambah khasanah ilmu kesehatan masyarakat khususnya.

4. Bagi peneliti selanjutnya diharapkan tulisan ini dapat menjadi bahan sebagai referensi dan agar lebih mengembangkan variabel dan desain penelitian sehingga penelitian ini menjadi lebih variatif dan informatif.

Gambar

Tabel 1 Jenis Makanan dan Kadar Purin
Gambar 1. Kerangka Konsep Penelitian
tabel 2 x 2 seperti berikut ini.
Tabel 3.Distribusi   Karakterisitik   Responden   Berdasarkan   Jenis Kelamin  di  Panti  Sosial  Tresna  Werdha  Minaula Kendari Tahun 2015
+3

Referensi

Dokumen terkait

procurement of bOPV for use after the switch, conducting inventories of tOPV and adjusting procurement of tOPV supplies prior to the switch, developing and

The National Notifiable Disease Reporting System (NNDRS) collects basic information for all JE cases. Detailed epidemiological and laboratory testing results of JE

The measles elimination and rubella/CRS control goal may be reached if four strategic objectives are achieved: (1) achieve and maintain at least 95% population immunity with two

Berdasarkan fenomena di atas, peneliti merasa tertarik untuk membahas lebih lanjut mengenai “ studi komparasi pendidikan kesehatan multimedia pembelajaran dan metode

Pada Frame 1 Layer Back ground perbesar ukuran image sehingga menutupi Stage dan ubah Alpha objek im- age menjadi 0% lalu buat animasi Tween hingga Frame 35.... Lanjutkan

Pada bab ini penulis menjelaskan secara rinci metode penelitian yang digunakan, tahapan serta proses pengumpulan data yang berkaitan dengan judul ” seni lukis

Usaha sablon digital merupakan jenis usaha yang memiliki target pasar yang masih sangat luas.. Target pasar usaha ini meliputi perseorangan sampai perusahaan

he purpose of this study was to analyze diferences in the bank's soundness was assessed using a bank's risk proile, good corporate governance, income, and capital (RGEC)