• Tidak ada hasil yang ditemukan

KUALITAS HIDUPStroke

METODOLOGI PENELITIAN

4.2 Analisis Bivariat

Analisis bivariat dilakukan untuk mengetahui korelasi antara variabel independen dan variabel dependen. Analisis bivariat dilakukan menggunakan uji korelasi Pearson (uji parametrik), jika memenuhi syarat. Jika tidak memenuhi syarat, maka digunakan uji alternatif yaitu uji korelasi Spearman (uji nonparametrik). Skor P < 0.05 dinyatakan bermakna secara statistik. Pearson’s correlation coefficient dan r untuk menentukan signifikan dan kekuatan hubungan antar variabel. Pada penelitian ini, distribusi variabel dependen normal sehingga digunakan uji parametrik yaitu uji korelasi Pearson.

Tabel 4.2.1 Analisis Korelasi Kadar Glukosa Darah Puasa(GDPP) dengan Kualitas Hidup Fisik (Physical Component Score) pada Penderita Diabetes Melitus Tipe 2 di RSUD Cilegon Bulan Januari 2013 – Mei 2013

Variabel Kualitas Hidup Fisik Nilai Interpretasi

Kadar GDP r

p-value

-0,604 0,000

Korelasi kuat

Hasil analisis tabel 4.2.1 antara kadar glukosa darah puasa (GDP) dan kualitas hidup fisik menunjukkan pola negatif, artinya semakin tinggi kadar glukosa darah puasa (GDP), maka skor kualitas hidup fisik penderita diabetes melitus tipe 2 semakin rendah. Hubungan tersebut kuat dengan pearson’s correlation sebesar 0,604. Hasil statistik menunjukkan p = 0,000 yang berarti P <0,05 sehingga dapat disimpulkan ada hubungan yang bermakna antara kadar glukosa puasa (GDP) dan kualitas hidup fisik pada penderita diabetes melitus tipe 2.

Tabel 4.2.2 Analisis Korelasi Kadar Glukosa Darah Puasa(GDP) dengan Kualitas Hidup Mental (Mental Component Score) pada Penderita Diabetes Melitus Tipe 2 di RSUD Cilegon Bulan Januari 2013 – Mei 2013

Variabel Kualitas Hidup Mental Nilai Interpretasi

Kadar GDP r

p-value

-0,439 0,000

Korelasi sedang

Hasil analisis tabel 4.2.2 antara kadar glukosa darah puasa (GDP) dan kualitas hidup mental menunjukkan pola negatif, artinya semakin tinggi kadar glukosa darah puasa (GDP), maka skor kualitas hidup mental penderita diabetes melitus tipe 2 semakin rendah. Hubungan tersebut sedang dengan pearson’s correlation sebesar 0,439. Hasil statistik menunjukkan p = 0,000 yang berarti P <0,05 sehingga dapat disimpulkan ada hubungan yang bermakna antara kadar glukosa puasa (GDP) dan kualitas hidup mental pada penderita diabetes melitus tipe 2.

Tabel 4.2.3 Analisis Korelasi Kadar Glukosa Darah Post Prandial(GDPP) dengan Kualitas Hidup Fisik (Physical Component Score) pada Penderita Diabetes Melitus Tipe 2 di RSUD Cilegon Bulan Januari 2013 – Mei 2013

Variabel Kualitas Hidup Fisik Nilai Interpretasi

Kadar GDPP r

p-value

-0,622 0,000

Korelasi kuat

Hasil analisis tabel 4.2.3 antara kadar glukosa darah post prandial (GDPP) dan kualitas hidup fisik menunjukkan pola negatif, artinya semakin tinggi kadar glukosa post prandial (GDPP), maka skor kualitas hidup fisik penderita diabetes melitus tipe 2 semakin rendah. Hubungan tersebut kuat dengan pearson’s correlation sebesar 0,622. Hasil statistik menunjukkan p = 0,000 yang berarti P <0,05 sehingga dapat disimpulkan ada hubungan yang bermakna antara kadar

glukosa post prandial (GDPP) dan kualitas hidup fisik pada penderita diabetes melitus tipe 2.

Tabel 4.2.4 Analisis Korelasi Kadar Glukosa Darah Post Prandial (GDPP) dengan Kualitas Hidup Mental (Mental Component Score) pada Penderita Diabetes Melitus Tipe 2 di RSUD Cilegon Bulan Januari 2013 – Mei 2013

Variabel Kualitas Hidup Mental Nilai Interpretasi Kadar GDPP r p-value -0,399 0,001 Korelasi lemah

Hasil analisis tabel 4.2.4 antara kadar glukosa darah post prandial (GDPP) dan kualitas hidup mental menunjukkan pola negatif, artinya semakin tinggi kadar glukosa darah post prandial (GDPP), maka skor kualitas hidup mental penderita diabetes melitus tipe 2 semakin rendah. Hubungan tersebut lemah dengan pearson’s correlation sebesar 0,339. Hasil statistik menunjukkan p = 0,001 yang berarti P <0,05 sehingga dapat disimpulkan ada hubungan yang bermakna antara kadar glukosa darah post prandial dan kualitas hidup mental pada penderita diabetes melitus tipe 2.

Glukosa darah puasa (GDP) dan glukosa darah post prandial (GDPP) merupakan salah satu indikator kontrol glikemik, terutama di daerah rural yang tidak memiliki fasilitas laboratorium yang memadai untuk pemeriksaan HbA1C. Kedua indikator ini mencerminkan keadaan hiperglikemia pada penderita diabetes mellitus tipe 2. Hiperglikemia dapat menyebabkan peningkatan stress oksidatif pada berbagai jaringan tubuh sehingga muncul berbagai manifestasi baik langsung maupun tidak langsung. Secara langsung, keadaan hiperglikemia menyebabkan poliuria, polidipsi, dan polifagia yang sangat mengganggu performance seorang penderita diabetes mellitus tipe 2.

Keadaan hiperglikemia juga menyebabkan perubahan pada metabolisme protein dan lemak. Peningkatan proteolisis menyebabkan proses glukoneogenesis

meningkat. Hal ini menambah kadar glukosa darah yang akhirnya tercermin pada peningkatan glukosa darah puasa (GDP) dan glukosa post prandial (GDPP). Selain itu, proteolisis dapat menyebabkan penurunan berat badan yang signifikan sehingga dapat mempengaruhi kualitas hidup baik fisik maupun mental.34

Perubahan metabolisme lemak terlihat dengan semakin banyaknya asam lemak bebas. Peningkatan ketogenesis di hepar, pada akhirnya dapat menyebabkan ketoasidosis karena banyaknya [H]+ yang dilepaskan sebagai molekul sisa. Koma diabetikum dapat terjadi dan hal tersebut dapat mempengaruhi baik kualias hidup fisik maupun mental. Koma diabetikum yang terjadi sebagai konsekuensi kontrol glukosa darah yang buruk dapat berakibat fatal, yaitu kerusakan otak yang irreversibel. Keadaan ini dapat menyebabkan penurunan fungsi fisik dan mental. Kedua hal tersebut secara tidak langsung menyebabkan penurunan pula pada kualitas hidup sosial penderita diabetes mellitus tipe 2.34

Keadaan hiperglikemia persisten membuat kompleksitas pengobatan bertambah. Pengobatan yang semula hanya menggunakan monoterapi dapat ditingkatkan menjadi dual-therapy atau triple therapy. Terkadang penggunaan insulin harus diterapkan untuk mengendalikan keadaan hiperglikemia yang terjadi. Retriksi terhadap diet pun ditingkatkan sebagai upaya menjaga kadar glukosa darah dalam interval normal.21 Penderita diabetes mellitus tipe 2 harus dapat beradaptasi dengan perubahan tersebut. Pengendalian persepsi tentang kesehatan dan penyakitnya memegang peranan penting dalam mencegah peningkatan insiden kecemasan dan depresi yang dapat berpengaruh terhadap kualitas hidup mental.35 Penelitian yang dilakukan G.M Trovato et all menunjukkan bahwa terdapat hubungan 2 arah antara kontrol glikemik dan tingkat stres. 51

Pada penelitian ini, kontrol glukosa darah menyebabkan penurunan kualitas hidup fisik lebih besar dibandingkan penurunan kualitas hidup mental. Hal ini sejalan dengan penelitian Porojan,M dkk walaupun menggunakan parameter yang berbeda yaitu HbA1C. Pada penelitian tersebut menggambarkan bahwa terdapat hubungan bermakna antara level HbA1C yang merupakan

indikator kontrol glukosa darah dengan energy/fatigue yang merupakan salah satu indikator dalam kualitas hidup fisik. ( r = -0,35; p = 0,0043).46

Penelitian lain menyebutkan hal yang berbeda. CY,Lau dkk menyebutkan bahwa kontrol glikemik mempengaruhi kualitas hidup mental, namun tidak mempengaruhi kualitas hidup fisik. Dalam penelitian kohort yang melibatkan 1679 pasien tersebut, penurunan 5% dari HbA1C berhubungan dengan peningkatan 1% dari kualitas hidup mental. Namun, perubahan pada HbA1C tidak mempengaruhi kualitas hidup fisik.39 Walaupun 2 penelitian tersebut memiliki hasil yang berbeda, namun masing-masing penelitian menunjukkan bahwa kontrol glukosa darah dapat mempengaruhi kualitas hidup seorang penderita diabetes melitus tipe 2, baik kualitas hidup fisik maupun kualitas hidup mental.

Dokumen terkait