• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS BUKU

Dalam dokumen Resensi Buku (Halaman 55-60)

Dalam analisis ini, penulis akan menguraikan isi buku secara singkat kemudian akan dilakukan analisis konten berdasar intisari tiap bab. Analisis konten tersebut akan lebih mengkritisi mengenai ide-ide yang diungkapkan oleh Syamsuddin Haris.

3.1 Diskripsi Isi Buku

Munculnya era reformasi sebagai momentum bangkitnya gerakan demokrasi yang sebelumnya dihambat pada era Orde Baru, bukanlah hal yang mudah dilakukan dan dikelola dengan baik, banyak kendala yang menghadang dalam konteks keberagaman bangsa Indonesia. Hal tersebut merupakan benang merah dari buku ini. Buku setebal 234 halaman itu sangat menarik untuk dibaca karena penulis berusaha menguraikan permasalahan seara runtut, yaitu  permasalahan demokrasi yang cenderung terperangkap sekadar elektoral- prosedural baru kemudian mengulas masalah rapuhnya nilai-nilai kebangsaan

serta keindonesiaan.

Syamsuddin mulai membahas permasalahan demokrasi di Bab I yaitu mengenai sistem pemilihan di Indonesia pascareformasi. Ia menganggap bahwa reformasi merupakan jalan yang paling baik untuk memperbaiki sistem  pemerintahan Indonesia. Namun seiring berjalannya praktek pemerintahan mimpi

demokrasi seakan menguap besarta masalah-masalah yang melanda negeri ini. Dia mempertanyakan berbagai praktek politik transaksional yang melanda para elite politik yang menjadi benteng terdepan dalam menegakan demokrasi. Selain itu korupsi yang marak dilakukan oleh jaksa, hakim, aparat keamanan juga memperburuk kondisi hukum di negeri ini.

Selain itu dalam masalah politik, Syamsuddin memberikan analisis kritisnya mengenai pelaksanaan sistem presidensial di Indonesia, tepatnya pasca amandemen keempat Undang-Undang Dasar 1945 yang menempatkan presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan. Dalam hal ini, Ia menilai konstitusi hasil amandemen itu melembagakan pemisahan kekuasaan antara  presiden dan parlemen, pemberian kekuasaan presiden, pemilihan langsung  presiden oleh rakyat, dan likuidasi supremasi Majelis Permusyawaratan Rakyat

(MPR). Syamsuddin juga memberikan penjelasan mengenai berbagai kelebihan dan kelemahan penerapan sistem presidensial di Indonesia.

Secara khusus Syamsuddin juga menguraikan berbagai problema  penerapan sistem presidensial yang bercampur dengan format multipartai di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan dinilainya tidak membuat  pemerintahan Presiden Yudhoyono dalam 10 tahun terakhir berjalan efektif. Dia

mengkritisi berjalannya sistem presidensial dengan multipartai yang dijalankan Presiden Yudhoyono selama 10 tahun, yaitu sejak 2004 hingga 2014 di mana hanya kepentingan jangka pendek yang menjadi tujuan sehingga koalisi menjadi sangat rapuh. Pembahasan mengenai sistem presidensial tersebut dapat menjadi  bahan analisis mengenai kondisi politik kekinian terkait polarisasi kekuatan  politik yaitu Koalisi Indonesia Hebat yang memenangkan pemilu presiden, dan Koalisi Merah Putih yang berhasil menguasai legislatif. Salah satu bahasannya Syamsuddin mengetengahkan bagaimana Presiden Abdurahman Wahid dilengserkan oleh legislatif karena posisinya ketika itu dilantik oleh MPR, karena saat itu konstitusi belum diubah menjadi presiden dipilih rakyat.

Sementara itu, dalam masalah kebangsaan, Syamsuddin menyoroti paham  pluralisme dan keindonesiaan di dalam kehidupan demokrasi Indonesia. Dia menyontoi masih adanya konflik horizontal di dalam masyarakat seperti di Papua, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Maluku, dan Sulawesi Tengah. Dalam kaitan itu Syamsuddin mencoba menuliskan dan menjabarkan pencarian identitas kebangsaan Indonesia sejak awal abad ke-20 dipandang sebagai upaya mentransformasikan bentuk nasionalisme dari nasionalisme kultural menjadi nasionalisme politik. Syamsuddin ingin menekankan bahwa format nasionalisme yang mendasari negara-bangsa Indonesia sebagian besar diinspirasikan oleh kebutuhan akan modernitas dan liberalisasi lebih lagi bagi sub-bangsa di Indonesia. Penjelasan tersebut menarik untuk disimak pembaca karena Syamsuddin menjelaskannya dengan runut dari sisi historis terbentuknya nasionalisme dalam keberagaman hingga analisisnya dengan menggunakan analisis dari beberapa pakar.

Masih terkait denggan masalah kebangsaan, Syamsuddin juga membahas secara khusus mengenai masalah Islam dan keindonesiaan yang terjadi pasca

Soeharto dengan pernyataan menarik bahwa demokratisasi juga membuka  peluang bangkitnya primordialisme dan ikatan-ikatan lokal serta cenderung

mengesampingkan konsep inklusifitas atas dasar nama agama, etnik, daerah maupun hubungan darah. Namun tentu saja demokratisasi disisi lain juga membuka peluang bagi kemunculan dan menguatnya nilai-nilai universal seperti  pluralisme, toleransi, dan inklusifitas. Dalam kaitan Islam dan keindonesiaan

tersebut, Syamsuddin mengetengahkan eksistensi keberadaan partai berbasis massa dan ideologi Islam di Indonesia yang tumbuh subur sejak era reformasi. Selain dari masa reformasi ia juga membahas sejarah bagaimana Islam, sebagai ideologi gerakan, berperan serta dalam sistem politik dan negara Indonesia. Ia  juga menekankan bahwa banyak gerakan Islam yang radikal dan cenderung anti demokrasi. Hal ini menjadi kritik bagi pemerintah untuk semakin mengakomodasi kelompok-kelopok minoritas agar tindakan anarki tidak terulang kembali.

Pada bagian selanjutnya Syamsuddin Haris membahas mengenai sistem kepartaian di Indonesia ia meninjau lemahnya regulasi mengenai kepartaian yang menyebabkan partai bukan tampil sebagai solusi melainkan beban bagi  pemerintah. Selain itu, banyak partai yang masih mengejar rente daripada

mengkaji kebijakan-kebijakan publik di Indonesia. Maka dari itu, ia menyarankan harus ada pengaturan ulang pada sistem kepartaian di Indoneisa. Melalui regulasi ulang mengenai sistem kepartaian ini diharapkan ada kontrol dari semua pihak atas hadirnya partai yang berkualitas.

Pada bagian terakhir ia membahas mengenai konsep desentralisasi atau otonomi daerah. Ia menguraikan perkembangan konsep desentralisasi mulai dari wacana oleh para pendiri bangsa, masa orde baru yang merupakan masa suram dalam wacana desentralisasi, hingga era otonomi daerah. Ia menekankan bahwa dalam era otonomi daerah juga banyak menuai masalah. Terutama yang ia soroti  bahwa konsep desentralisasi simetris yang menempatkan semua daerah sama  bukanlah solusi yang efektif. Sehingga desentralisasi asimetris diperlukan untuk memajukan daerah-daerah di Indonesia. Walaupun Syamsuddin sendiri masih menyangsikan masalah desentralisasi asimetris di papua.

3.2 Analisis Isi Buku

Secara umum buku ini sangatlah bagus untuk dibaca sebagai salah satu wahana membangun dan menumbuhkan pemikiran kritis bagi para pembaca. Pembaca diajak untuk melihat sisi lain dari prakterk demokrasi dan kebangsaan di Indonesia secara mendalam. Syamsuddin menguraikan secara terperinci  permasalahan yang dialami oleh bangsa indonesia. Misalnya pada masalah kebangsaan dimana ia menempatkan negara sebagai satu institusi yang gagal dalam mengelola keberagaman. Hal itu terlihat dari para aktor politik yang menampilkan tingkah laku yang cenderung mereduksi keberagaman bangsa.

Hal yang selama ini dipandang baik-baik saja ternyata dimata Syamsuddin mengandung ancaman serius bagi masa depan bangsa. Misalnya partai politik yang berkembang dewasa ini cenderung mencari rating ketimbang mengkritisi kebijakan. Hal-hal seperti ini akan mendorong pembaca agar semakin cerdas dalam mengikuti ataupun berpartisipasi dalam proses politik di negeri ini. Masyarakat menengah yang cenderung sudah memiliki tingkat kedewasaan yang cukup merupakan massa yang efektif untuk membangun kedewasaan berpolitik. Karena masyarakat kelas mengenengah adalah bagian terbesar dari negeri ini.

Bahasa yang digunakan dalam buku ini adalah bahasa yang cenderung konseptual dan cenderung tidak terlalu lugas. Sehingga pembaca sebaiknya memiliki bekal pengetahuan yang cukup untuk dapat dengan cepat memahami apa yang ingin disampaikan oleh penulis. Namun, pembaca yang kurang familiar dengan politik akan terbantu dengan berbagai catatan kaki yang tersedia dalam  buku ini. Alur penyajian materinya pun sangat bagus. Sebagaian besar masalah selalu dirunut dari perspektif historis hingga kekinian sehingga nampak jelas dinamika bangsa hingga sampai pada masalah yang ingin dikemukakan oleh Syamsuddin.

Dalam hal konten dan bobot materi, nampaknya buku ini terlalu sepihak untuk mengatakan bahwa satu hal dapat dikatakan demikian. Kadang kala penulis tidak membandingkan dengan pendapat lain atau membuktikan dengan data  bahwa yang ia katakan adalah benar sebagai suatu masalah. Misalnya bahwa

substansi amandemen UUD ’45 tidak koheren dan inkonsisten dengan kebutuhan  pembentukan sistem presidensialisme yang kuat dan efektif. Pernyataan contoh di

atas tidak ada bukti yang kuat dan dapat dipercaya sehingga membuat sangsi para  pembaca.

Dalam permasalahan mengenai kebangsaan. Nampaknya Syamsudin kurang mendalam dalam menyajikan masalah-masalah yang berkaitan dengan dengan masalah kesukuan, ras, dan agama. Ia hanya meninjau masalah-masalah ini dari sudut pandang politik semata. Ia cenderung menempatkan para pemangku  jabatan sebagai pihak yang seharusnya paling bertanggung jawab. Tidak ada dalam tulisanya untuk mengajak pembaca menyadari diri dan berefleksi untuk meningkatkan rasa kebangsaan dan nasionalisme. Sehingga nampaknya analisis yang dilakukan syamsudin tidak menyentuh pada akar permasalahan mengenai  pluralisme, multikulturalisme. Solusi yang ditawarkanpun bersifat politis dan

sangat sulit untuk diaplikasikan dalam kebidupan sehari-hari.

Buku terbitan Yayasan Obor Indonesia itu tentu saja tidak cukup untuk mengurai secara rinci permasalahan demokrasi dan kebangsaan Indonesia, karena masih ada yang belum dibahas misalnya mengenai eksistensi peran perempuan dalam perpolitikan nasional, bagaimana kuota 30 persen perempuan di parlemen tidak sekedar secara kuantitas namun kualitas. Dalam konteks kebangsaan, peran  perempuan tidak bisa dipandang sebelah mata, misalnya gerakan buruh sebagai

elemen munculnya demokratisi ada yang dimobilisir kaum perempuan.

Selain itu hal yang perlu dicermati adalah upaya memundurkan format demokrasi melalui pembuatan undang-undang yang jauh dari prinsip kedaulatan rakyat yaitu disahkannya Undang-Undang nomor 22 tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (UU Pilkada) yang isinya pemilihan kepala daerah dilakukan oleh DPRD. Secara prinsip format pemilihan kepala daerah ingin dikembalikan seperti era orde baru, dan hal ini menjadi salah satu masalah dalam sistem demokrasi di Indonesia. Sehingga saran Syamsuddin dapat menjadi masukan yang berharga bagi pemerintah.

Buku karya Syamsuddin Haris itu bisa menjadi catatan bahwa demokrasi yang sudah menjadi pilihan bangsa Indonesia tidak boleh mundur dalam  pelaksanaannya dan permasalahan yang ada di dalamnya harus terus diperbaiki  bukan justru menggugat bahkan menganulir penerapan sistem demokrasi itu sendiri. Intinya, demokrasi yang sudah berjalan saat ini jangan sampai berbalik

dan membawa bangsa Indonesia dalam skema oligarki politik yang saat ini cederung tumbuh subur, terutama dalam partai politik yang merupakan salah satu  pilar dari demokrasi itu sendiri.

Secara umum buku ini cocok dibaca oleh para akademisi, politisi, dan para kritikus bangsa. Hal itu dikarenakan gaya bahasa dan alur berfikir yang ditampilkan oleh penulis membutuhkan cakupan pengetahuan yang cukup untuk  bisa memahaminya. Selain itu, istilah-istilahnya juga kadang belum familiar

dikalangan pembaca pemula. Dalam kaitan dengan solusi yang dikemukakan oleh Syamsuddin, nampaknya belum mencapai prinsip proporsionalitas yang ideal. Penulis mengemukakan permasalahan dengan panjang dan lebar pada tiap bagian  bab. Namun, pada bagian penutup solusi yang ditawarkan hanya berkisar pada solusi klasik. Yang lebih membingungkan pembaca, solusi yang cenderung  bersifat klasik ini tidak disertai dengan hal-hal praktis yang aplikaif. Misalanya  bagaimana cara bekerjasama yang baik, berdialog yang dewasa, dan beberapa

contoh lainnya.

Terlepas dari kekurangan buku dan penyajian materi yang ditampilkan oleh penulis, buku ini sangatlah cocok dengan kondisi masyarakat Indonesia saat ini. Pembaca diajak untuk menyadari masalah-masalah yang berkaitan dengan demokrasi. Bermula dari hal tersebut, selanjutnya juga pembaca diajak untuk menjadi warga negara yang sadar akan demokrasi dan bagaimana menyikapinya secara dewasa.

Dalam dokumen Resensi Buku (Halaman 55-60)

Dokumen terkait