MASALAH-MASALAH DEMOKRASI DAN
MASALAH-MASALAH DEMOKRASI DAN
KEBANGSAAN
KEBANGSAAN
Disusun sebagai Pemenuhan Tugas Akhir Resensi Buku Disusun sebagai Pemenuhan Tugas Akhir Resensi Buku Mata Kuliah Konsep Dasar Pendidikan Kewarganegaraan Mata Kuliah Konsep Dasar Pendidikan Kewarganegaraan
Dosen Pengampu Dr. Waspodo Tjipto Subroto, M.Pd. Dosen Pengampu Dr. Waspodo Tjipto Subroto, M.Pd.
Disusun Oleh Disusun Oleh
Andreas Erwin Prasetya Andreas Erwin Prasetya
NIM 187855133 NIM 187855133
PRODI PENDIDIKAN DASAR
PRODI PENDIDIKAN DASAR
PROGRAM PASCASARJANA
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA
UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA
2015
2015
KATA PENGANTAR KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis haturkan pada TuhanYang Maha Kasih atas Puji dan syukur penulis haturkan pada TuhanYang Maha Kasih atas berkat,
berkat, rahmat, rahmat, karunia, karunia, hidayah, hidayah, dan dan kasihnya kasihnya tugas tugas akhir akhir yang yang berjudulberjudul ““Masalah-masalah Demokrasi dan KebangsaanMasalah-masalah Demokrasi dan Kebangsaan” dapat terselesaikan dengan baik.” dapat terselesaikan dengan baik.
Tulisan ini menyajikan kajian kepemimpinan yang didasarkan pada buku Tulisan ini menyajikan kajian kepemimpinan yang didasarkan pada buku yang dikarang oleh Prof. Dr. Wasiono, M.Hum. Tulisan ini dibagi dalam 4 bagian. yang dikarang oleh Prof. Dr. Wasiono, M.Hum. Tulisan ini dibagi dalam 4 bagian. Bagian pertama menguraikan mengenai identitas buku yang menjadi bahan Bagian pertama menguraikan mengenai identitas buku yang menjadi bahan resensi, bagian kedua menjelaskan mengenai rangkuman isi buku, bagian ketiga resensi, bagian kedua menjelaskan mengenai rangkuman isi buku, bagian ketiga menguraikan mengenai kajian penulis pada isi buku dan kepemimpinan di menguraikan mengenai kajian penulis pada isi buku dan kepemimpinan di Indonesia, dan bagian keempat merupakan kesimpulan dan saran.
Indonesia, dan bagian keempat merupakan kesimpulan dan saran.
Selanjutnya penulis ingin menyampaikan ucapan trima kasih pada Selanjutnya penulis ingin menyampaikan ucapan trima kasih pada
1.
1. Dr. Waspodo Tjipto Subroto, M.Pd. selaku dosen pengampu mata kuliahDr. Waspodo Tjipto Subroto, M.Pd. selaku dosen pengampu mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan yang telah memberikan ilmunya dalam Pendidikan Kewarganegaraan yang telah memberikan ilmunya dalam berbagai kesempatan perkuliahan.
berbagai kesempatan perkuliahan. 2.
2. Teman-teman kelas C Dikdas 2014 yang telah memberikan dukunganTeman-teman kelas C Dikdas 2014 yang telah memberikan dukungan berupa teman diskusi dan motivasi.
berupa teman diskusi dan motivasi.
Pada akhirnya penulis menyadari bahwa banyak keterbatasan pada hal Pada akhirnya penulis menyadari bahwa banyak keterbatasan pada hal pengetahuan
pengetahuan dan dan pengalaman pengalaman menyebabkan menyebabkan ketidaksempurnaan ketidaksempurnaan dalam dalam penulisanpenulisan ini. Sehingga penulis memohon maaf dan mengharap kritik, saran yang ini. Sehingga penulis memohon maaf dan mengharap kritik, saran yang membangun dari pembaca. Trimakasih.
membangun dari pembaca. Trimakasih.
Penulis, Penulis,
Andreas Erwin Prasetya Andreas Erwin Prasetya
KATA PENGANTAR KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis haturkan pada TuhanYang Maha Kasih atas Puji dan syukur penulis haturkan pada TuhanYang Maha Kasih atas berkat,
berkat, rahmat, rahmat, karunia, karunia, hidayah, hidayah, dan dan kasihnya kasihnya tugas tugas akhir akhir yang yang berjudulberjudul ““Masalah-masalah Demokrasi dan KebangsaanMasalah-masalah Demokrasi dan Kebangsaan” dapat terselesaikan dengan baik.” dapat terselesaikan dengan baik.
Tulisan ini menyajikan kajian kepemimpinan yang didasarkan pada buku Tulisan ini menyajikan kajian kepemimpinan yang didasarkan pada buku yang dikarang oleh Prof. Dr. Wasiono, M.Hum. Tulisan ini dibagi dalam 4 bagian. yang dikarang oleh Prof. Dr. Wasiono, M.Hum. Tulisan ini dibagi dalam 4 bagian. Bagian pertama menguraikan mengenai identitas buku yang menjadi bahan Bagian pertama menguraikan mengenai identitas buku yang menjadi bahan resensi, bagian kedua menjelaskan mengenai rangkuman isi buku, bagian ketiga resensi, bagian kedua menjelaskan mengenai rangkuman isi buku, bagian ketiga menguraikan mengenai kajian penulis pada isi buku dan kepemimpinan di menguraikan mengenai kajian penulis pada isi buku dan kepemimpinan di Indonesia, dan bagian keempat merupakan kesimpulan dan saran.
Indonesia, dan bagian keempat merupakan kesimpulan dan saran.
Selanjutnya penulis ingin menyampaikan ucapan trima kasih pada Selanjutnya penulis ingin menyampaikan ucapan trima kasih pada
1.
1. Dr. Waspodo Tjipto Subroto, M.Pd. selaku dosen pengampu mata kuliahDr. Waspodo Tjipto Subroto, M.Pd. selaku dosen pengampu mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan yang telah memberikan ilmunya dalam Pendidikan Kewarganegaraan yang telah memberikan ilmunya dalam berbagai kesempatan perkuliahan.
berbagai kesempatan perkuliahan. 2.
2. Teman-teman kelas C Dikdas 2014 yang telah memberikan dukunganTeman-teman kelas C Dikdas 2014 yang telah memberikan dukungan berupa teman diskusi dan motivasi.
berupa teman diskusi dan motivasi.
Pada akhirnya penulis menyadari bahwa banyak keterbatasan pada hal Pada akhirnya penulis menyadari bahwa banyak keterbatasan pada hal pengetahuan
pengetahuan dan dan pengalaman pengalaman menyebabkan menyebabkan ketidaksempurnaan ketidaksempurnaan dalam dalam penulisanpenulisan ini. Sehingga penulis memohon maaf dan mengharap kritik, saran yang ini. Sehingga penulis memohon maaf dan mengharap kritik, saran yang membangun dari pembaca. Trimakasih.
membangun dari pembaca. Trimakasih.
Penulis, Penulis,
Andreas Erwin Prasetya Andreas Erwin Prasetya
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI
HALAMAN
HALAMAN JUDUL...JUDUL...1...1
KATA
KATA PENGANPENGANTAR ... 2TAR ... 2 DAFTAR
DAFTAR ISI ISI ... 3... 3 BAB I
BAB I IDENTITIDENTITAS BUKU AS BUKU ... 4... 4 1.1
1.1 Diskripsi Buku ...Diskripsi Buku ... 4... 4 2.1
2.1 Biografi Penulis ... 5Biografi Penulis ... 5 BAB II
BAB II RINGKASAN BUKU RINGKASAN BUKU ... 6... 6 2.1
2.1 Bab 1: Bab 1: Indonesia dan Indonesia dan PerangkaPerangkap p DemokraDemokrasi si Elektoral Elektoral ... 6... 6 2.2 BAB 2: “Salah Urus” Negara dan Rapuhnya Keindonesiaan
2.2 BAB 2: “Salah Urus” Negara dan Rapuhnya Keindonesiaan ... 12 ... 12 2.3 Bab
2.3 Bab 3: Problem Demokrasi Presidensial Pasca-Amandem3: Problem Demokrasi Presidensial Pasca-Amandemen Konstitusi... 19en Konstitusi... 19 2.4 Bab
BAB I
IDENTITAS BUKU
Judul Buku : Masalah-Masalah Demokrasi dan
Kebangsaan Era Demokrasi
Pengarang : Syamsuddin Haris
Penerbit : Pustaka Obor Indonesia
Tahun Terbit : 2014 Tempat Terbit : Jakarta
Tebal Buku : XVI dan 234 halaman
1.1 Diskripsi Buku
Buku ini terdiri dari 9 bab yang masing-masing menguraikan masalah-masalah demokrasi di Indonesia. Berikut merupakan judul untuk masing-masing bab:
1. Indonesia dan perangkap demokrasi elektoral 2. Salah urus negara dan rapuhnya keindonesiaan
3. Problem demokrasi presidensial pasca-amandemen konstitusi 4. Koalisi presidensial era presiden SBY
5. Pluralisme, kebangsaan, dan paradoks demokrasi 6. Demokrasi dan politik kelas menengah
7. Islam dan keindonesiaan: relasi pasca-Soeharto 8. Urgensi demokrasi partai dan sistem kepartaian 9. Desentralisasi asimetris, problem atau solusi?
Sebelum masuk pada bagian tiap bab, penulis menghantarkan pembaca untuk memahami permasalahan umum yang dialami bangsa ini terutama dalam demokrasi. Penulis menjelaskan bahwa proses politik bangsa ini mengalami keterpurukan karena kelakuakn para elit politik yang menyimpang. Bahasa yang digunakan dalam buku ini termasuk bahasa yang konseptual namun mengena
sebagai kritik dan ungkapan kegelisahan penulis atas praktek demokrasi di Indonesia. Selain mengungkapkan masalah, penulis juga berusaha untuk memberikan sumbangan ide yang tertuang di bagian akhir tiap bab. Ide ini membantu pembaca untuk berfikir reflektif.
2.1 Biografi Penulis
Syamsuddin Haris merupakan peneliti senior di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Professor riset kelahiran Bima, 9 Oktober 1957, ini menyelesaikan studi S1 ilmu politik di FISIP Universitas Nasional serta S2
(magister) dan S3 (doktor) ilmu politik di FISIP Universitas Indonesia (UI) pada 2008. Menulis sejumlah buku, puluhan artikel di jurnal ilmiah, dan lebih dari 200 kolom opini di media cetak, terutama kompas. Sejak tahun 2008 menjadi Kepala Pusat Penelitian dan Politik (P2P) LIPI, Sekjen Pengurus Pusat Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI) sejak 2008, staf pengajar Program Pascasarjana FISIP Universitas Nasional, dan sejak 2008, staf pengajar Program Program Pascasarjana FISIP Universitas Nasional, dan sejak 2012 menjadi anggota Dewan Riset Nasional (DRN). Salah satu karyanya, Demokrasi di Indonesia: Gagasan dan Pengalaman (1995), memperoleh penghargaan sebagai buku terbaik bidang Ilmu Sosial dari Yayasan Buku Utama pada 1996.
BAB II
RINGKASAN BUKU
Sistematika penulisan ringkasan buku ini, akan disajikan berdasar tiap-tiap bab yang ada. Ringkasan akan tetap menampilkan sub bab atau anak judul pada masing-masing bab, sehingga pembaca mengenali konseptualisasi penulis buku dalam membangun pengetahuan pembaca.
2.1 Bab 1: Indonesia dan Perangkap Demokrasi Elektoral
Republik Indonesia adalah negara besar yang dianggap sukses dalam melaksanakan proses demokrasi oleh negara barat. Penghargaan atas hak-hak politik warga negara meningkat secara signifikan dibandingkan dengan negara-negara demokratis lainnya seperti Thailand dan Filipina. Namun demikian, mimpi bangsa ini cenderung cepat menguap tatkala presiden dan wakil presiden terpilih dalam pemilihan umum yang dipilih langsung oleh rakyat. Betapa tidak, karut-marut persoalan politik hampir tidak pernah absen dari panggung politik negeri ini. Politik transaksional berdasar pada kepentingan sempit jangka pendek tetap mendominasi interaksi, kerjasama, dan persaingan para elite politik.
Berbagai kasus suap, korupsi, dan gratifikasi timbul kepermukaan sebagai konsumsi rakyat. Kasus korupsi “berjamaah” yang dilakukan oleh DPRD dari tingkat, kabupaten, kota, hingga propinsi, kasus suap dan korupsi yang melibatkan sejumlah jaksa, hakim tertinggi, dan polisi seolah menjadi cambuk yang meninggalkan luka lebam dalam tubuh demokrasi bangsa ini. Para elite bangsa ini seolah mengalami “mati rasa” untuk membedakan mana tindakan yang konstitusional dan inkonstitusional. Lalu, apa yang salah dari negeri ini ? mengapa keberhasilan pesta demokrasi tidak berbanding lurus dengan praktek pemerintahan yang dijalankan oleh elite politik? Dalam kaitanya dengan permasalahan tersebut, bagian ini mencoba menggali akar tunjang persoalan bangsa yang menyebabkan negeri ini terperangkap pada salah urus politik yang
tak berkesudahan.
Cita-cita Politik Republik
Pancasila dan UUD 1945 merupakan kristalisasi dari para pendiri bangsa yang menggambarkan atau mencerminkan Indonesia di masa depan. Indonesia
oleh para pendiri bangsa dalam sidang BPUPKI pada tahun 1945 memilih menjadi satu negara kebangsaan, bukan monarki ataupun negara yang berdasar pada Islam. Oleh karena itu, Sutan Takdir Alisjahbana melihat Indonesia sebagai
negara yang baru saja “ditemukan” di abad ke -20, bukan sekdar lanjutan dari kerajaan Sriwijaya atau Majapahit. Pemikiran Hatta juga menunjukan cita-cita bangsa Indonesia sebagai “negara pengurus”, yang mengusung Indonesia sebagai negara demokrasi yang tidak berdasar pada individualisme, melainkan pada kehendak rakyat.
Orientasi demokrasi yang dibayangkan oleh peresiden pertama Indonesia adalah demokrasi yang menjanjikan keadilan dan kesejahteraan sosial bagi rakyat. Pengertian tersebut sebenarnya harus dimaknai tidak hanya dalam konteks politik namun juga ekonomi. Artinya bahwa kebebasan dan demokrasi yang diraih rakyat semestinya tidak mengorbankan hak dasar mereka untuk mendapatkan pekerjaan hidup layak, keadilan, dan kesejahteraan. Secara singkat barangkali dapat dirumuskan bahwa cita-cita politik republik tak hanya menolak demokrasi politik yang tidak terkait dengan agenda keadilan dan kesejahteraan rakyat, melainkan juga terminologis menolak konglomerasi kekuasaan, baik dalam pengertian politik maupun ekonomi.
Mengenali Akar Masalah
Mengenali akar masalah yang dialami bangsa ini memang tidak semudah menyelesaikan soal matematika. Namun, melalui pengalaman politik kita dapat menemukan paling tidak 4 persoalan yang sekiranya menjadi akar masalah, di antaranya (1) kegagalan konsolidasi kekuatan politik sipil pada momentum reformasi 1998-1999, (2) berlangsungnya reformasi institusi yang cenderung inkonsistensi, (3) pendangkalan serius terhadap pemahaman pemahaman politik serta tata kelola pemerintahan dan demokrasi, (4) kegagalan sekaligus krisis kepemimpinan yang berlangsung di bidang eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Reformasi dan Kegagalan Sipil
Realitas politik kontemporer dewasa ini tidak bisa dilepaskan dari kegagalan sipil dalam mengkonsolidasi pemerintahan menjelang lengsernya peresiden Soeharto pada 1999. Momentum transisi negara kepada era reformasi semstinya dianggap sebagai masa emas untuk menata kehidupan politik,
sosial- budaya, ekonomi, dan hukum ke arah yang lebih baik. Semangat pemberantasan kejahatan politik nyatanya tidak mengubah wajah Indonesia sebagai negara terkorup di Asia dan negara dengan tingkat kriminalitas dan premanisme yang mengatasnamakan rakyat, mayoritas, agama, etnisitas, agama, dan demokrasi itu sendiri.
Momentum transisi yang gagal tersebut tidak terlepas dari setting reformasi yang memang tidak menjanjikan perubahan secara signifikan. Transisi pada era ’98 hingga ’99 dapat dipahami sebagai tranisisi yang disebabkan tekanan oposisi di luar rezim otoriter kala itu. Hal ini dapat dipahami dengan munculnya gerakan mahasiswa dan rakyat yang tidak terkatit dengan partai politik. Tekanan dari pihak oposisi yang tidak terlembaga semacam ini akan menyebabkan perubahan situasi politik yang tidak mendasar dan signifikan. Seperti dapat dilihat pada periode 1998-1999 para elite oposisi tidak bisa menyatukan agenda dan platform politik, dan menegosiasikan agenda dan platform itu dengan kelompok status quo.
Dengan demikian, permasalahan besar dalam pola transisi politik yang dialami Indonesia pada masa Orde Baru adalah (1) tidak adanya kekuasaan oposisi yang terlembaga, (2) terpolarisasinya kekuatan reformasi, sehingga tidak terjadi konsolidasi yang diperlukan untuk mendukung perubahan yang signifikan, (3) terjadinya konsensus minimum di antara kalangan oposisi sendiri, terutama menganai arah dan format politik. Permasalahan tersebut pada akhirnya membagi bangsa ini pada 3 golongan besar, yaitu (1) kekuatan status quo yang berpusat di militer dan Golkar, (2) kelompok reformis yang diwakili oleh pemimpin di partai baru, (3) kelompok reformis radikal yang terpusat pada LSM dan gerakan
mahasiswa.
Reformasi Kelembagaan Inkonsisten
Reformasi konstitusi telah dilakukan, perubahan yang dilakukan oleh MPR atas UUD ’45 cenderung masih bersifat tambal sulam. Sehingga cita-cita terbentuknya sistem presidensial yang kuat, stabil, dan efektif hanya terganjal dengan peraturan lainnya yang tidak mendukung hal tersebut. Amandemen atas UUD ’45 juga tidak menggambarkan mekanisme chceks and balances yang baik. Selain itu, hasil amandemen juga tidak koheren dan inkonsisten dengan kebutuhan
pembentukan sistem presidensial yang kuat dan efektif. Akibatnya terjadi kekacauan konstitusional di mana lembaga seperti MK, KY, dan MA terkesan terpisah, padahal lembaha tersebut adalah satu kesatuan parlemen.
Reformasi yang cenderung tambal sulam juga mengakibatkan deadlock dan immobilism dalam relasi Presiden dan Parlemen. Ketidak ajekan berikutnya tampak dalam pembentukan kabinet presidensial dalam sekema koalisi parlementer, sehingga berhadapan dengan DPR SBY cenderung terpenjara oleh koalisi partai pendukung yang mbalelo di Senayan. Hal itu menyebabkan terpenjaranya parpol koalisi politik pendukung preseiden SBY dalam politik transsaksional dan kolusi yang menurunkan tingkat efektifitas dan produktivitas pemerintahan hasil pemilu.
Pendangkalan Pemahaman Politik
Pasca Orde Baru partisipasi masyarakat dalam berpolitik memang mengalami peningkatan yang signifikan, namun tidak dapat dipungkiri juga terdapat pendangkalan akan pemahaman politik, partai politik, pemilu, demokrasi, dan esensi pemerintahan yang luar biasa. Pada bidang politik misalnya, kini tidak ada lagi kebebasan untuk memproduksi kebijakan dan keutamaan bagi kehidupan kolektif, melainkan dipandang sebagai hak dasar yang melekat pada setiap manusia bebas. Pemahaman akan partai politik juga mengalami pendangkalan yang sama. Pewarisan pemikiran dari rezim Soeharto ke era reformasi memperikan sumbangsih pada fenomena kedangkalan pada partai politik. Masa reformasi hanya dipandang sebagai sebuah transisi kekuasaan semata ketimbang dipandang sebagai reformasi pada kedaulatan rakyat dalam politik dan ekonomi.
Partai politik bukan dipandang sebagai tempat mengabdi, mendidik, dan mencerdaskan bangsa, partai politik justru dipandang sebagai tempat mencari nafkah. Hal tersebut merambat pada ideologi, kinerja, dan kedangkalan praktek kinerja. Ideologi partai cenderung dimaknai sebagai “visi dan misi” normatif tanpa kejelasan agumentatif mengapa suatu program lebih dipilih ketimbang yang lainnya. Selain itu, pengontorolan yang dilakukan oleh wakil rakyat hanya didisotorsikan sebagai “hak interplasi” dan “hak angket” semata, ketimbang benar-benar mempersoalkan kebijakan pemerintah yang belum berpihak pada rakyat atau menawarkan alternatif kebijakan sebagai solusinya. Kinerja juga
hanya dimaknai pada lamanya rapat tanpa mempertimbangkan kedalaman substansi yang dibahas.
Krisis Etika dan Kegagalan Kepemimpinan
Akumulasi pendangkalan pemahaman terhadap politik tersebut
mengakibatkan pada krisis etika dan kepemimpinan yang sangat serius disemua tingkat, negara, dan masyarakat. Pemimpin mudah tergoda dengan uang yang berupa suap dan gratifikasi yang berupa barang. Kegagalan kepemimpinan dapat
dilihat dari kinerja partai-partai politik. Hal itu tercermin antara lain dari kecenderungan para elite partai meraih dukungan dengan memanipulasi identitas kultural dan primordial. Hampir belum pernah terjadi upaya para pemimpin partai untuk mendidik rakyat supaya mendukung secara rasional berdasarkan prinsip pertukaran dukungan dengan pelayanan publik.
Sebagian partai politik juga terperangkap pada kepemimpinan yang oligarkis. Sehingga komitmen terhadap segenap proses demokratis hanya berhenti pada jargon semata. Selain itu, sistem multipartai juga tidak dapat memberikan
variasi yang signifikan pada ideologi-ideologi yang diusung oleh masing-masing partai. Realitas lembaga-lembaga peradilan juga tidak jauh berbeda. Hukum yang semestinya diciptakan untuk menegakkan keadilan dewasa ini justru cenderung dikhianati oleh para jaksa, hakim, dan polisi untuk memburu kepentingan pribadi dan kelompok. Kegagalan kepemimpinan juga dapat dilihat dari ketidakmampuan pemerintah, partai-partai, dan parlemen dalam melakukan reformasi atas birokrasi
negara, baik birokrasi pemerintahan maupun militer.
Kehilangan etika kepemimpinan juga tercermin dari peresiden yang terpilih setelah rezim Soeharto. Belum ada presiden yang mampu memberikan janji yang dapat terwujud melalui tindakan nyata. Kepemimpian Presiden Yudoyono misalnya. Kepemimpinan beliau hanya terjebak pada pencitraan semata. Berbagai kebijakan Yudoyono yang berkedok pro rakyat ternyata hanya sampai pada tingkat wacana dan pidato belaka. Berbagai kebijakan dalam bidang energi dan pertanian jauh dari kata prorakyat. Semestinya presiden mampu bertindak lebih cepat, tegas dan terarah karena pemerintahanya didukung oleh 75 persen partai politik. Dalam situasi yang demikian, maka tidak mengherankan jika pemaksaan kehendak, premanisme, dan anarki menjadi satu-satunya pilihan bagi
massa rakyat yang tidak berdaya dan tidak percaya terhadap para wakilnya di parlemen, hukum, pemerintahan, dan negara.
Merajut Harapan dan Optimisme
Jika kita menelaah dengan pikiran positif, maka masih ada harapan yang bisa dirajut dibalik karut-marut persoalan bangsa. Pertama, Konsep institusionalisasi sistem kepartaian didasarkan pada tingkat stabilitas “kompetisi antar partai” seperti yag diajukan oleh Main dan Torcal, sebagian besar partai di Indonesia lebih terinstitusional ketimbang partai-partai lain di Asia Tenggara. Kedua, terdapat pertumbuhan ekonomi hingga 6 persen selama satu dasarwarsa terakhir. Artinya, peluang terbuka lebar bagi negara ini untuk menyejahterakan rakyat apabila berbagai distorisi reformasi kelembagaan serta krisis etika dan kepemimpinan di balik karut-marut persoalan bangsa secara berangsur dapat dikurangi.
Ketiga, secara historis bangsa ini pernah melahirkan pemimpin yang benar-benar memiliki komitmen mengabdi pada Indonesia, bukan sekedar “mengambil” seperti para politikus dewasa ini. Misalnya saja Bung Karno, Bung Hatta, HOS Tjokroaminoto, dan Tjipto Mangunkusumo. Realitas ini dapat digunakan untuk menumbuhkan rasa optimisme bahwa pemimpin yang berpihak pada rakyat dapat dilahirkan di negeri ini. Keempat , berbagai lapisan dari civil society memiliki komitmen untuk mendidik penerus bangsa agar menjadi pemimpin yang berkarakter, pemerintahan yang bersih, serta demokrasi yang
terkonsolidasi. Kesemua modal tersebut harus didukung dengan pemimpin yang baik untuk mengelola, merajut, dan menapitalisasikannya sehingga dapat diubah
menjadi kekuatan yang dasyat bagi Indonesia. Menuju Rumah Indonesia
Kemudian pertanyaan yang muncul. Apa yang harus dilakukan, siapa yang mengambil inisiatif, serta dari mana kita harus membenahi karut-marut negeri ini? Pertama-tama, bahwa tanggung jawab atas kondisi yang kurang baik ini ada dipundak para elite pemerintahan baik di pusat dan daerah. Kemudian, mungkinkah perubahan signifikan berlangsung dalam waktu tertentu ke depan jika selama ini sudah terbukti bahwa mereka, para elite telah “mati rasa”?. Maka
penyelenggara negara. Hal tersebut terjadi karena (1) para elite berpandangan bahwa “tidak ada masalah” dalam kehidupan berbangsa kita, (2) pemilu yang semakin demokratis lebih melahirkan para penguasa yang lebih “mengambil” daripada pemimpin yang amanah, bertanggung jawab, serta benar-benar mengabdi pada rakyat dan bangsa. Oleh karena itu, perubahan menuju rumah Indonesia yang lebih baik harus dilakukan dengan membangun rasa saling percaya, kerja sama, dan konsolidasi di antara berbagai elemen civil society.
2.2 BAB 2: “Salah Urus” Negara dan Rapuhnya Keindonesiaan
Sejak 1998 bangsa Indonesia memasuki era kehidupan baru yang lebih terbuka dan demokratis. Transisi masa pemerintahan Indonesia tergolong terlambat namun dapat berjalan dengan cepat menuju pada penghargaan atas hak politik rakyat. Namun, tak seorang pun mengetahui kemana Indoneisa hendak
menuju. Meskipun pemilihan umum secara bebas, fair, dan demokratis berhasil diselenggarakan secara berkala dan relatif damai, tata kelola kekuasaan dan pola distribusi sumber-sumber ekonomi strategis belum sepenuhnya berubah. Suasana saling curiga dan saling tidak percaya, baik antar elemen masyarakat sipil maupun antara masyarakat dan negara, meluas sedemikian rupa, sehingga anarki dan tindak kekerasan menggejala di hampir semua tingkat negara dan masyarakat.
Cita-cita luhur bangsa hanya terhenti pada jargon para elit politik dan penyelenggara negara tak terkecuali pada era reformasi ini. Selain itu, konflik-konflik horisontal juga menambah keraguan akan masa depan bangsa ini. Dalam kaitan dengan permasalahan tersebut, tulisan ini mencoba mengidentifikasi kecenderungan semakin rapuhnya semangat kebangsaan dan keindonesiaan dari sudut pandang tata kelola negara dan pemertintahan. Fokusnya adalah menilai dan menimbang berbagai kebijakan pemerintahan dalam pengelolaan politik dan ekonomi yang semula ditujukan untuk mewujudkan cita-cita persatuan, keadilan, demokrasi, dan kesejahteraan bagi rakyat, tetapi pada akhirnya terperangkap pada persimpangan dan bahkan perselingkuhan kepentingan para elite politik dari
zaman ke zaman.
Problematik Indonesia sebagai sebuah negara-bangsa sebenarnya tidak dapat dilepaskan dari sejarah panjang pencarian identitas nasional yang dilakukan para elite pergerakan sejak awal abad ke-20. Tarik menarik atas pilihan bentuk negara, sistem politik dan pemerintahan, dialitas struktur ekonomi, ketegangan dan konflik pusat daerah, ketegangan dalam relasi sipil militer, dikotomi pribumi, dan berbagai radikasisasi lainnya mencerminkan Indonesia masa kini. Sejarah panjang pencarian identitas nasional itu sendiri lahir dari perdebatan intelektual
yang hampir tak pernah berhenti hingga kini.
Jauh sebelum polemik kebudayaan, pencarian dasar-dasar bagi suatu identitas pernah diperdebatkan oleh RM Sutatmo Surjokusumo yang mengampanyekan “nasionalisme Jawa” dipihak lain Tjipto Mangunkusumo memperjuangkan “nasionalisme Hindia”. Nasionalisme jawa mengarahkan masyarakat agar memperkuat landasan budaya, bahasa, dan sejarah: suatu yang tidak ditemukan dalam nasionalisme. Sementarai itu nasionalisme Hindia menyerukan bahwa masyarakat pada waktu itu adalah bagian dari pemerintahan Hindia. Perdebatan intelektual sebagai bagian dari pencarian identitas nasional pernah pula berlangsung antara Sukarno dan Haji Agus Salim. Sukarno menekankan dasar nasionalisme pada rasa cinta terhadap tanah air, kemudian Agus Salim memandang Islam sebagai dasar negara. Selain hal tersebut masih banyak perdebatan mengenai nasionalisme bangsa Indonesia.
Puncak dari perdebatan yang dialami bangsa Indonesia mengenai dasar bagi suatu bangsa terjadi dalam sidang BPUPKI ketika pemerintahan Jepang memberikan kesempatan para nasionalis untuk bertemu. Secara historis pertemuan tersebut menghasilkan dasar-dasar negara Indonesia. Secara teoritis pencarian identitas nasional yang dialami bangsa Indonesia sejak awal abad ke-20 tersebut dapat dipandang sebagai upaya mentransformasikan bantuk nasionalisme. Secara umum terdapat perbedaan antara nasionalisme barat dan nasionalisme timur. Nasionalisme timur pada umumnya menentang nasionalisme barat yang cenderung liberalis. Indonesia merupakan negara yang menganut nasionalisme timur pada awal kemerdekaan.
Meskipun demikian, pengalaman dan pencarian identitas keindonesiaan sejak awal abad ke-20 hingga terbentuknya negara, sebenarnya tidak sebegitu
hitam-putih seperti yang digambarkan di atas. Sehingga tercipta landasan fondasi yang kokoh bagi format Indonesia sebagai republik dan negara-negara modern seperti tercermin dalam pancasila dan UUD ’45. Setelah itu, format Indonesia yang telah dirancang sedemikian rupa tidak berjalan lancar karena realitas politik yang begitu dinamis dan tidak terduga. Dari situ, Indonesia mulai bereksperimen untuk mencari format kenegaraan yang tepat. Eksperimen tersebut bahkan berlangsung hingga era reformasi dewasa ini. Sehingga dalam dinamikanya terjadi banyak gejolak politik. Meskipun tidak semua gejolak itu berkehendak memisahkan diri dari republik, realitas ini sekuarng-kurangnya mencerminkan rapuhnya bangunan Indonesia dan fondasinya.
Negara “Integralistik Soepomo
Nasionalisme pada dasarnya bukanlah ideologi yang bersifat final. Nasionalisme adalah cita-cita dan kesepakatan kolektif yang bersifat imajiner tentang masa depan yang lahir dari refleksi atas masa lalu dan masa kini. Negara menjadi lembaga penting untuk merasionalisasikan ide tentang nasionalisme menjadi kebutuhan bangsa untuk mempertahankan komitmen kolektif atas republik. Masalahnya, pemerintahan yang berkuasa di negeri ini cenderung
melestarikan “salah urus” atas negara ketimbang mengkondisikan
penyelenggaraan negara yang memungkinkan nasionalisme dan semangat keindonesiaan terkelola sebagai aset dan kekuatan kolektif dalam menghadapi persaingan global.
Arah format negara yang dikehendaki oleh para pendiri bangsa adalah republik. Namun, pada batang tubuh UUD ’45 tidak dijelaskan lebih lanjut konsep yang lebih teknisnya. Hanya sedikit para tokoh bangsa yang menerjemahkan hal tersebut pada hal yang lebih operasional dan pragmatis. Selain Hatta yang mencoba mengoperasionalkan, Prof. Soepomo juga memiliki konsep tersendiri mengenai kesatuan negara. Ia memperkenalkan faham negara integralistik, yaitu satu negara yang bersatu dengan seluruh rakyatnya. Ia menyebut negara integralistik itu sebagai negara kekeluargaan dengan asas kolektivitas. Gagasan integralistik Soepomo berintikan persatuan negara dan individu dalam rangka “kemuliaan negara” yang pada dasarnya mengarah pada faham negara absolut.
Penyelenggaraan negara yang dilakukan oleh Soekarno dan Orde Baru Soherto pada hakekatnya bersumber dari perspektif negara dari Soepomo. Dalam prakteknya memang menjadikan keabsolutan negara sebagai tirai untuk menghalalkan otoritarisme. Kecerdasan dan kreatifitas warga dianggap sebagai ancaman bagi negara. Demikian pula aspirasi dari daerah dianggap sebagai gerakan separatis yang tidak boleh dilanjutkan. Kencenderungan tersebut menempatkan nasionlaisme sebagai hal yang didasari oleh perspektif subjektif yang menekankan apa yang terbaik baginya.
Sentralisasi Politik dan Dampaknya
Pergolakan politik lokal seperti yang terjadi di Aceh dan Papua merupakan indikasi adanya persoalan yang serius dalam relasi negara-masyarakat secara umum dan hubungannya dengan pusat-daerah. Disamping itu, pergolakan lokal merupakan produk serta dampak dari salah urus negara yang menempatkan daerah sebagai subkoordinasi kekuasaan sentralistik pemerintahan pusat. Sumber dari salah urus negara itu dari kecenderungan pemerintah pusat, terutama selama rezim orde baru. Akibat dari pola hubungan yang dibangun pada rezim orde baru memberikan presepsi subyektid dan distorsif elite politik penyelenggara negara di Jakarta ketimbang aspirasi rakyat, khususnya rakyat kita di daerah -daerah.
Orde baru merupakan pemerintahan yang tidak seimbang di mana stabilitas kekuasaan lebih satabil daripada stabilitas pemerintahan. Sehingga para elitelah yang diuntungkan. Selain itu, kebijakan yang seragam dan sentraistik bagi bangsa yang amat beragam, menjadi begitu parah ketika digabungkan dengan pendekatan keamanan yang represif, menindas, dan menafikan aspirasi masyarakat terutama tingkat lokal. Potensi konflik dan disintegrasi berakar pada kecenderungan elite politik dihampir semua tigkat untuk memanipulasi aspirasi dan kepentingan masyarakat. Lebih jelas lagi, potensi disintegrasi itu muncul ketika elite politik, terutama elite birokrasi negara (sipil dan militer) memanipulasi kepentingan pribadi, keluarga, dan kelompok sebagai kepentingan nasional.
Orde Baru juga gagal untuk memperkokoh integrasi bangsa karena cenderung memanipulasi hampir semua faktor integratif. Sementara itu, ideologi negara Pancasila yang mestinya bisa jadi faktor dinamik bagi perubahan, tak
hanya dimonopoli penafsiranya oleh negara, melainkan juga dijadikan alat pembenaran bagi setiap penyimpangan kekuasaan yang dilakukan elite penguasa. Hal tersebut merambat pada pergolakan politik di daerah yang melibatkan pihak asing. Sebut saja PT. Freeport Indonesia di Papua dan PT. Caltex Petroleum di Riau, di mana masyarakat lokal tidak menerima hasil dari eksplorasi yang dilakukan.
Kejadian-kejadian tersebut berimplikasi pada menguatnya sentimen daerah terhadap pemerintahan pusat yang tak pernah benar-benar ditanggapi dan diakomodasi, bahkan sejak periode 1950-an. Jelas terlihat integrasi dan stabilitas semu yang diraih melalui stratei kooptasi atas elite lokal, represi terhadap aspirasi alternatif dan masyarakat, dan pemberian ganjaran ekonomi serta kekuasaan bagi mereka yang mendukung tetap tegaknya otoritarisme. Sentralisasi pemerintahan sebenarnya merupakan prinsip yang inherent di dalam konsep negara kesatuan karena kekuasaan negara bersumber dari otoritas politik yang bersifat tunggal. Meskipun demikian, sentralisasi di jaman moderen tidak akan bisa memusatkan semua kekuasaan pada satu pusat, tetap ada pembagian kekuasaan di daerah.
Politik sentralisasi sendiri sudah dimulai sejak pemerintahan kolonial Belanda. Bahkan beberapa ahli mengatakan bahwa masa Orde Baru merupakan replika dari masal kolonial. Kecenderungan kebijakan yang sentralis ini dilatar belakang tiga hal, yaitu (1) adanya kekhawatiran terhadap persatuan nasional dan
munculnya kekuatan-kekuatan yang memecah persatuan, (2) sentralisasi diperlukan dalam rangka memelihara kesinambungan politik dan keamanan dalam pembagian sumber daya, khususnya antara jawa dan luar jawa, (3) pengalaman politik yang dialami oleh Indonesia sebelum 1965, sehingga pemerintah ingin
tetap memegang kendali yang kuat atas kebijakan pembangunan ekonimi. NKRI: Pendangkalan Ide Persatuan
Barangkali tak seorang pun bisa membantah bahwa ide persatuanlah yang dapat menyatukan seluruh Nusantara bekas wilayah administratif Hindia Belanda ke dalam proyek Indonesia. Sukarno mencoba menuliskan konsep persatuan dan kesatuan bangsa pada buku yang berjudul Nasionalisme, Islam, dan Marxisme (1926) telah mencerminkan obsesi besarnya untuk memaksimalkan persamaan di antara berbagai golongan idologis yang berbeda meskipun ia sering dikritik atas
upaya yang hampir mustahil tersebut. Persoalannya bahwa ide persatuan itu hanya upaya yang hampir mustahil tersebut. Persoalannya bahwa ide persatuan itu hanya diintepretasikan secara dangkal oleh pemerintahan yang berkuasa.
diintepretasikan secara dangkal oleh pemerintahan yang berkuasa.
Ketika Soekarno berkuasa, ia mendapatkan dukungan penuh dari militer Ketika Soekarno berkuasa, ia mendapatkan dukungan penuh dari militer dan sokongan PKI di bawah sistem demokrasi terpimpin. Obsesi persatuan dan sokongan PKI di bawah sistem demokrasi terpimpin. Obsesi persatuan
dikampanyekan dengan format ideologi Nasionalisme-agama-komunis
dikampanyekan dengan format ideologi Nasionalisme-agama-komunis
(Nasakom). Naskom akirnya menjadi perangkap bagi Sukarno sendiri karena (Nasakom). Naskom akirnya menjadi perangkap bagi Sukarno sendiri karena membiarkan kaum komunis memperoleh momentum untuk membesarkan diri. membiarkan kaum komunis memperoleh momentum untuk membesarkan diri. Pada masa Soeharto persatuan dipahami sebagai persepsi yang subjektif dan Pada masa Soeharto persatuan dipahami sebagai persepsi yang subjektif dan distortif. Konsep kemiliteran membungkus kata persatuan yang didengungkan distortif. Konsep kemiliteran membungkus kata persatuan yang didengungkan pada
pada masa masa itu. itu. Nasionalisme Nasionalisme dan idan ide de keindonesian keindonesian (NKRI) (NKRI) akhirnya akhirnya hanya hanya milikmilik golongan militer dan mereka yang dianggap loyal terhadap kekuasaan represif golongan militer dan mereka yang dianggap loyal terhadap kekuasaan represif negara Orde Baru.
negara Orde Baru.
Dampak lebih jauh dari pendangkalan ide persatuan nasional menjadi Dampak lebih jauh dari pendangkalan ide persatuan nasional menjadi NKRI
NKRI adalah adalah melembagakan melembagakan saling-curiga saling-curiga dan dan prasangka prasangka politik politik di di antaraantara berbagai kelompok masyarakat di satu pihak
berbagai kelompok masyarakat di satu pihak, dan antara negara-masyarakat di lain, dan antara negara-masyarakat di lain pihak.
pihak. Pada Pada era era pasca-Soeharto pasca-Soeharto pemahaman pemahaman para para elite elite politik politik terhadap terhadap NKRINKRI relatif berubah. Hal ini terlihat dari cara menyelesaikan konflik Aceh yang relatif berubah. Hal ini terlihat dari cara menyelesaikan konflik Aceh yang mengedepankan pendekatan keamanan daripada kesejahteraan. Meskipun terdapat mengedepankan pendekatan keamanan daripada kesejahteraan. Meskipun terdapat perkembangan yang signifkan, namu
perkembangan yang signifkan, namun terdapat konflik yang sampai saat ini belumn terdapat konflik yang sampai saat ini belum terselesaikan di antaranya konflik Papua.
terselesaikan di antaranya konflik Papua. Demokratis
Demokratisasi dan asi dan Dilema KeindonesiaanDilema Keindonesiaan
Era reformasi dan domokratisasi yang berkembang pesat sejak 1998 Era reformasi dan domokratisasi yang berkembang pesat sejak 1998 merupakan momentum bagi penyelenggara negara dan pemerintahan untuk merupakan momentum bagi penyelenggara negara dan pemerintahan untuk meninjau kembali kecenderungan praktik “salah urus” negara seperti berlangsung meninjau kembali kecenderungan praktik “salah urus” negara seperti berlangsung pada
pada periode periode sebelumnya. sebelumnya. Tak Tak mengherankan mengherankan jika jika pemerintah pemerintah dan dan parlemenparlemen selaku
unsur-selaku unsur-unsur penyelenggara negara acap kali “gagap” dan disorientasiunsur penyelenggara negara acap kali “gagap” dan disorientasi bagaimana
bagaimana seharusnya seharusnya mengelola mengelola tuntutan tuntutan masyarakat masyarakat akan akan Indonesia Indonesia baru baru yangyang lebih adil, demokratis, sejahtera, dan
lebih adil, demokratis, sejahtera, dan civilized civilized ..
Secara formal, memang penyelenggara negara berkonsep pada Secara formal, memang penyelenggara negara berkonsep pada desentalisasi namun pemerataan pembangunan belum mencapai tingkat daerah. desentalisasi namun pemerataan pembangunan belum mencapai tingkat daerah. Sebagai akibat dari kecenderungan yang dikemukakan di atas, peranan negara Sebagai akibat dari kecenderungan yang dikemukakan di atas, peranan negara pada
sebagai cita-cita kolektif sebagaimana disepataki oleh para pendiri bangsa, sebagai cita-cita kolektif sebagaimana disepataki oleh para pendiri bangsa, menjadi tidak begitu diperjuangkan oleh pemerintah, DPR selaku penyelenggara menjadi tidak begitu diperjuangkan oleh pemerintah, DPR selaku penyelenggara negara yang utama. Pada periode SBY-Kalla pengutamaan kepentingan nasional negara yang utama. Pada periode SBY-Kalla pengutamaan kepentingan nasional juga
juga kurang kurang mendapat mendapat prioritas. prioritas. Terbukti Terbukti dari dari keputusan keputusan pemerintah pemerintah untukuntuk memberikan pengelolaan minyak di blok Cepu kepada perusahaan Amerika memberikan pengelolaan minyak di blok Cepu kepada perusahaan Amerika Exxon Mobile Oil, perusahaan asal Amerika Serikat. Keputusan ini Exxon Mobile Oil, perusahaan asal Amerika Serikat. Keputusan ini mengecewakan banyak pihak karena menunjukan kurangnya komitmen mengecewakan banyak pihak karena menunjukan kurangnya komitmen pemerintah pada pengembangan P
pemerintah pada pengembangan PT. Pertamina.T. Pertamina.
Sementara itu, ditingkat lokal, desentralisasi pemerintahan yang Sementara itu, ditingkat lokal, desentralisasi pemerintahan yang diagendakan dalam rangka otonomi yang lebih luas bagi daerah justru menjadi diagendakan dalam rangka otonomi yang lebih luas bagi daerah justru menjadi momentum bagi tumbuh suburnya semangat kedaerahaan yang tinggi. Realitas momentum bagi tumbuh suburnya semangat kedaerahaan yang tinggi. Realitas kedaerahaan tersebut bukan semata-mata refleksi dari ketidakmampuan negara kedaerahaan tersebut bukan semata-mata refleksi dari ketidakmampuan negara mengonsolidasikan diri, melainkan juga karena para penyelenggara negara relatif mengonsolidasikan diri, melainkan juga karena para penyelenggara negara relatif tidak memiliki komitmen yang
tidak memiliki komitmen yang genuine genuine mengenai format Indonesia pasca- mengenai format Indonesia pasca-Soeharto. Di sisi lain, era reformasi dan demokratisasi juga menjadi Soeharto. Di sisi lain, era reformasi dan demokratisasi juga menjadi momentuhmberbagai kelompok masyarakat yang termarjinalkan dalam era momentuhmberbagai kelompok masyarakat yang termarjinalkan dalam era otoriter untuk mengaktualisasikan diri. Munculnya premanisme mengindikasikan otoriter untuk mengaktualisasikan diri. Munculnya premanisme mengindikasikan menguatnya kepentingan eksklusif dan melemahnya usaha untuk mengakomodasi menguatnya kepentingan eksklusif dan melemahnya usaha untuk mengakomodasi kepentingan inklusif.
kepentingan inklusif. Apa yang Salah? Apa yang Salah?
Era demokrasi tidak kunjung memperkuat nasionalisme. Pemerintah Era demokrasi tidak kunjung memperkuat nasionalisme. Pemerintah cenderung menunjukan kegamangan dan kegagapan yang berpotensi cenderung menunjukan kegamangan dan kegagapan yang berpotensi menimbulkan “salah urus” negara.
menimbulkan “salah urus” negara. Nasionalisme menjadi landasar mendasar atas Nasionalisme menjadi landasar mendasar atas situasi ini. Sebenarnya para pendiri bangsa telah meletakkan format nasionalisme situasi ini. Sebenarnya para pendiri bangsa telah meletakkan format nasionalisme yang kuat. Pancasila sendiri sudah mewakili secara garis besar kebutuhan segenap yang kuat. Pancasila sendiri sudah mewakili secara garis besar kebutuhan segenap bangsa
bangsa yang yang amat amat beragan. beragan. Meskipun Meskipun demikian, demikian, para para penyelenggara penyelenggara negaranegara berulang
berulang kali kali merumuskan merumuskan konsep konsep negara negara kesatuan kesatuan ini ini dalam dalam arti arti yang yang lebihlebih pragmatis. Perumusan ini merupakan penafsiran atas Indonesia di masa kin
pragmatis. Perumusan ini merupakan penafsiran atas Indonesia di masa kini.i.
Kegamangan dan kecenderungan “salah urus” negara yang berlangsung Kegamangan dan kecenderungan “salah urus” negara yang berlangsung pada
pada era era pemerintahandemokratis pemerintahandemokratis dewasa dewasa ini ini tampaknya hantampaknya hanya beya berkaitan rkaitan dengandengan realitas transisional yang tengah dialami bangsa ini, melainkan juga bersumber realitas transisional yang tengah dialami bangsa ini, melainkan juga bersumber pada
Indonesia di masa depan. Ketidakadanya komitmen dari penyelenggara negara Indonesia di masa depan. Ketidakadanya komitmen dari penyelenggara negara dan pemerintahan berdampak pada kreativitas yang tidak positif. Sehingga pada dan pemerintahan berdampak pada kreativitas yang tidak positif. Sehingga pada era sekarang tantangan dari pemerintah hasil pemilihan yang demokratis jauh era sekarang tantangan dari pemerintah hasil pemilihan yang demokratis jauh lebih besar dari era Orde Baru. Pasalnya demokrasi semacam ini juga membuka lebih besar dari era Orde Baru. Pasalnya demokrasi semacam ini juga membuka akses pada tumbuhnya politik identitas berdasar pada suku, ras, agama, dan yang akses pada tumbuhnya politik identitas berdasar pada suku, ras, agama, dan yang lainnya. Oleh karena itu, kemampuan pemerintah untuk memperbaharui, lainnya. Oleh karena itu, kemampuan pemerintah untuk memperbaharui, mengelola, dan mengatur nasionalisme menjadi peran kunci bagi tegaknya mengelola, dan mengatur nasionalisme menjadi peran kunci bagi tegaknya demokrasi.
demokrasi.
2.3 Bab 3:
2.3 Bab 3: Problem Demokrasi Presidensial Pasca-AmandemProblem Demokrasi Presidensial Pasca-Amandemen Konstitusien Konstitusi Reformasi politik 1998, yang kemudian diikuti pemilu bebas dan Reformasi politik 1998, yang kemudian diikuti pemilu bebas dan demokratis 1999, telah mengubah secara cukup mendasar pada relasi presiden dan demokratis 1999, telah mengubah secara cukup mendasar pada relasi presiden dan DPR.
DPR. Pada era Orde Baru eksekutif dan legeslatif terkesan sangat “keras” danPada era Orde Baru eksekutif dan legeslatif terkesan sangat “keras” dan kurang felksibel.
kurang felksibel. Presiden menjadi korban atas “angkuhnya” kedua lembagaPresiden menjadi korban atas “angkuhnya” kedua lembaga tersebut. Pemakzulan atas dasar politik menjadi hal yang bisa dilakukan ketika tersebut. Pemakzulan atas dasar politik menjadi hal yang bisa dilakukan ketika Undang-undang belum di amandemen. Berbagai konflik presiden-DPR pun tidak Undang-undang belum di amandemen. Berbagai konflik presiden-DPR pun tidak dapat dihindarkan. Hampir setiap presiden pernah merasakan konflik dengan dapat dihindarkan. Hampir setiap presiden pernah merasakan konflik dengan DPR. Pada pemerintahan Yudoyono periode pertama, ketegangan tersebut DPR. Pada pemerintahan Yudoyono periode pertama, ketegangan tersebut cenderung meningkat. Namun, ketegangan-ketegangan tersebut berangsur mereda cenderung meningkat. Namun, ketegangan-ketegangan tersebut berangsur mereda ketika “rapat konsultasi” berlangsung.
ketika “rapat konsultasi” berlangsung. Dalam kaitannya dengan hal tersebut, Dalam kaitannya dengan hal tersebut, tulisan ini coba memetakan problem demokrasi yang muncul pada era presiden tulisan ini coba memetakan problem demokrasi yang muncul pada era presiden Wahid, Megawati, dan Y
Wahid, Megawati, dan Yudhoyonoudhoyono.. Presidensialism
Presidensialisme-Sistem Multi e-Sistem Multi PartaiPartai
Pemisahan kekuasaan pemerintahan menjadi tiga yaitu eksekutif, Pemisahan kekuasaan pemerintahan menjadi tiga yaitu eksekutif, legeslatif, dan yudikatif merupakan satu kelebihan dalam sistem presidensial. legeslatif, dan yudikatif merupakan satu kelebihan dalam sistem presidensial. Namun,
Namun, jika jika dibandingkan dibandingkan dengan dengan sistem sistem parlementer, parlementer, sistem sistem presidensialpresidensial memiliki tiga kelemahan, yaitu (1) kemungkinnan munculnya
memiliki tiga kelemahan, yaitu (1) kemungkinnan munculnya deadlock deadlock akibat akibat konflik eksekutif-legeslatif, (2) tidak ada peluang bagi presiden di tengah masa konflik eksekutif-legeslatif, (2) tidak ada peluang bagi presiden di tengah masa pemerintahannya
pemerintahannya untuk untuk diganti, diganti, karena karena kekakuan kekakuan sistemik, sistemik, (3) (3) pemisahanpemisahan kekuasaan antara eksekutif dan legeslatif tidak cocok diadopsi di negara kekuasaan antara eksekutif dan legeslatif tidak cocok diadopsi di negara demokrasi baru karena akan menimbulkan banyak konflik. Namun, hal-hal demokrasi baru karena akan menimbulkan banyak konflik. Namun, hal-hal
tersebut akan dapat direduksi tergantung pada implementasi agenda-agenda yang telah dibuat untuk menentukan kestabilan demokrasi presiden sial.
Di lain pihak, pemisahan eksekutif dan legislatif juga dipandang satu kelebihan jika dibandingkan dengan sistem parlementer. Namun resikonya juga besar ketika terdapat “pemerintahan yang terbelah” seperti pengalaman di negara
Amerika Serikat. Maka dapat diidentifikasi bahwa problem presidensial adapaka kombinasi sistem multi partai apalagi dengan tingkat fragmentasi dan polarisasi yang relatif tinggi. Presiden yang berasal dari partai kecil atau koalisi minoritas juga menjadi faktor penting bagi stabilitas dan efektifitas demokrasi presiden sial.
Saling klaim legitimasi karena prinsip pemilihan presiden yang mayoritarian akan memicu konflik dan ketegangan di antara lembaga presiden dan parlemen jika tidak ada mekanisme institusi yang mengubah perilaku menjadi konsensus dalam relasi presiden-parlemen. Probelm sistem presidensial tidak hanya berhenti sampai disitu, peluang munculnya demokrasi presidensial yang tidak stabil dan tidak efektif bisa terjadi apabila lembaga presiden yang semestinya merupakan eksekutif tunggal terdiri atas dua partai yang berbeda dari presiden dan wakil presiden. Jika hal itu terjadi, maka tarik-menarik antara presiden dan parlemen dalam hal kekuasaan dapat menjadi ongkos politik
tersendiri.
Presiden Minoritas dan Pemerintahan Mayoritas
Potensi problematis sistem demokrasi presidensial di Indonesia pasca orde baru sebenarnya sudah bisa diduga ketika pemilu dipercepat dengan desain perwakilan berimbang disatu pihak dan sistem multi partai dilain pihak. Kontelasi politik di parelemen relatif tidak berubah meskipun telah ada trobosan institusional melalui pemberlakuan electoral treshold . Hal itu nampak dari karakteristik presiden pada era reformasi, di mana berasal dari partai yang minoritas. Oleh karena itu, dalam rangka efektifitas pemerintahan, baik presiden Wahid, Megawati, dan Yudhoyono membentuk koalisi partai-partai sehingga terbentuk “pemerintahan mayoritas” dengan harapa bahwa relasi Presiden-DPR bisa dibangun dengan konsep checks and balances.
Presiden Wahid misalnya, ia memperoleh koalisi yang besar di parlemen namun justru partai-partai pengusungnya lah yang memakzulkan Wahid. Pada era
Yudhoyono, semua usulan hak interplasi DPR yang akhirnya disetujui menjadi hak DPR justru karena turut didukung oleh partai-partai yang menyatakan diri sebagai “partai pendukung”. Begitu juga dengan hak angket yang justru menyerang presiden. Kemudian muncul pertanyaan mengapa partai-partai pendukung justru malah menyerang kebijakan-kebijakan pemerintah?.
Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi pasang surut hubungan presiden-DPR ? Faktor-Faktor Institusional
Model Koalisi dan Disiplin Partai
Salah satu problem yang melekat pada kombinasi sistem presidensial dan multi partai adalah kesulitasn melembagakan format koalisi yang relatif permanen di antara partai-partai tanpa mayoritas parlemen. Dewasa ini problem tersebut bersumber pada tidak adanya basis kesepakatan politik yang mengikat partai=partai yang saling berkoalisi, baik ketika pencalonan presiden maupun menjelang pembentukan kabinet dari pasangan presiden dan wapres terpilih. Ketidaksepakatan politik tersebut menjelaskan mengapa Presiden Wahid begitu mudah dan tanpa beban mencopot menteri-menteri yang memiliki basis politik cukup besar di parlemen.
Dalam kasus presiden Wahid, jelas bahwa presiden tidak berupaya untuk memelihara dukungan politik dari partai-partai di DPR, sehingga dengan mudah mengandung protes keras partai yang mentri-mentrinya dicopot tanpa alasan yang jelas. Hal tersebut disebabkan salah satunya adalah koalisi yang tidak permanen.
Upaya membangun koalisi permanen sebenarnya pernah dicoba dilakuakn oleh beberapa partai politi seperi (PG, PDIP, KB, PDS, PBR) yang merupakan afilasi dari partai-partai yang mencalonkan Mega-Hasyim. Hal yang sama juga terjadi ketika koalisi kerakyatan pengusung Yudhoyono-Kalla. Namun, koalisi tersebut bubar karena Golkar menarik diri, dan timbulnya konflik tidak sehat di DPR.
Masing-masing koalisi membentuk kepemimpinan komisi-komisi yang terpisah satu sama lain dengan menggelar rapat-rapat, temasuk rapat paripurna, secara terpisah. Sehinga aktivitas institusi DPR lumpuh. Persoalan lain yang merupakan dampak dari sistem multi partai dan presidensialisme adalah lemahnya disiplin partai-partai dalam mempertahankan sikap dan prinsip politik. Selain itu, disiplin dalam mempertahankan koalisi juga menjadi lemah. Oleh karena itu,
dalam hal koalisi, semestinya diadakan kontrak politik yang jelas agar partai- partai di DPR mengandung efektivitas sistem dmokrasi presidensial.
Dilema Kohabitasi Presiden-Wapres
Persoalan yang bersumber pada ketegangan relasi Presiden-DPR adalah masalah “kohabitasi” yakni perbedaan basis politik antara presiden dan wapres. Hal tersebut berlangsung baik pada pemerintahan Wahid, Megawati, dan Yudhoyono. Pada era Wahid-Mega, ketidaksepakatan terlihat ketika terjadi pencopotan Laksamana Sukardi, di mana PDIP tidak menyetujui hal tersebut. Pada era Mega-Hamzah. Pada era ini persoalan timbul pada Mega yang kecewa terhadap Hamzah Haz ketika mewacanakan tak lazim kepemimpinan perempuan dalam Islam. Pada era Yudhoyono-Kalla konflik kohabitasi berakibat pada tidak terciptanya keefektifan pada sistem presidensial.
Pada era Yudhoyono indikasi ketidak harmonisan Presiden-wapres ini sudah terindikasi sejak 100 hari pertama kabinet Indonesia Bersatu bekerja. Hal itu berawal pada tuntutan Golkar agar diberikan jatah menteri yang lebih banyak. Situasi ini menjebak presiden Yudhoyono karena ia tidak memenuhi tuntutan tersebut. Selain itu, keputusan Wapres untuk membuat surat keputusan penanggulanagan bencana Tsunami di Aceh juga memicu ketegangan. Selain itu, persoalan pemilihan Gubernur Bank Indonesia yang sepertinya tidak didasari kesepahaman antara Presiden dan Wapres menambah tegang hubungan Yudhoyono dan Kalla.
Problem institusional tersebut antara lain disebabkan karena minimnya pengaturan tentang relasi Presiden-Wapres. Baik dalam konstitusi sebelum maupun setelah amandemen. Ketidakadaan pengartuan yang menyebutkan posisi dan otoritas Wapres nampaknya menjadi penyebab berbagai bentuk ketegangan antara Presiden dan Wapres. Kaitanya dengan hal tersebut, ada beberapa solusi yang dapat dilakukan untuk menghindari konflik presiden-wapres di masa yang akan datang, yakni (1) Menata kembali hubungan presiden-wapres melalui UU Lembaga Kepresidenan, (2) pencalonan pasangan Presiden-Wapres hanya dapat dilakukan oleh partai besar atau koalisi peramen di DPR, (3) pasangan Presiden-Wapres yang didukung koalisi besar semestinya berasal dari partai politik yang sama agar keharomnisan dapat diminimalkan.
Faktor-faktor Non-Institusional
Personalitas dan Gaya Kepemimpinan Presiden
Tiga presiden yaitu Wahid, Megawati, dan Yudhoyono memiki karakter yang berbeda satu dengan yang lainnya. Karakter masing-masing nampaknya turut mempengaruhi dan membentuk pola relasi Presiden-Deper, bukan hanya di bawah dua periode pemili yang berbeda, melainkan juga dibawah dua konstitusi yang berbeda. Presiden Wahid memiliki karakter keras. Dalam beberapa kesempatan ia sempat melontarkan penolakan keras pada sidang yang dislenggarakan oleh MPR. Pada era Presiden Yudhoyono karakter tidak mau ikut campur secara langsung terlihat pada penyelesaian permasalahan di konstitusi. Ia cenderung tidak hadir dalam berbagai kesempatan yang penting guna memberikan klarifikasi. Terlihat pola relasi Presiden-DPR yang cenderung berbeda-beda. Presiden Wahid cenderung konfirmatif pada DPR, sementara Yudhoyono dan Mega lebih menyelesaikan konflik melalui rapat-ratat dengan DPR.
“Parlementarisme” dan Persepsi-diri DPR
Reformasi konstitusi melalui empat tahap amandemen terhadap UUD ’45 tidak hanya semakin melembagakan sistem demokrasi presidensial, melainkan juga makin memperkuat posisi politik dan otoritas DPR dihadapan dengan Presiden. Lebih jauh lagi, atas dasar otoritas legislasi yang dimilikinya, DPR memberi kewenangan tunggal pada dirinya untuk menyeleksi para calon anggota komisi-komisi negara, hakim konstitusi, hakim agung, calon gubernur dan sebagainya. Otoritas DPR yang begitu kuat tidak hanya melahirkan lembaga super body, melainkan realitas para politikus partai di DPR juga menyebabkan kekuatan yang melampaui batas.
Catatan Penutup
Sebagai pemerintahan mayoritas, pola relasi Presiden-DPR pada era Wahid, Megawati, dan Yudhoyono semestinya menjadi pembelajaran untuk menciptakan pemerintahan yang efektif dan kondusif. Penyebab hubungan yang fluktuatif tersebut juga tidak hanya disebabkan oleh variabel institusional namun juga pada sistem presidensial yang dikombinasikan dengan sistem multi partai. Dengan demikian, dalam rangka meningkatkan efektivitas dalam demokrasi
presiden sial perlu ada penataan kembali pola interaksi menuju pada arah yang lebih baik. Sehingga tercipta prinsip checks and balances yang baik.
2.4 Bab 4: Koalisi Presidensial Era Presiden SBY
Hanya beberapa bulan setelah membentuk kabinet Indonesia bersatu II, Presiden SBY harus menghadapi “perlawanan” sebagai partai politik koalisi pendukungnya di DPR. Melalui hak angket Golkar, PKS, PPP, bersekutu dengan PDIP (partai oposisi) untuk mempersalahkan keputusan pemerintah pada pemberian talangan pada Bank Century. Fenomena ini jelas merupakan ironi karena partai-partai tersebut senelumnya tergabung dalam satu koalisi yang juga menandatangani kontrak politik dengan Presiden Yudhoyono. Namun, ada hal yang unik dari fenomena tersebut. SBY justru menunjuk Aburizal Bakrie sebagai ketua harian sekertariat gabungan parpol pendukung pemerintah. Dengan kata lain SBY lebih memilih bersekutu kembali dengan Golkar ketimbang menghukum dan mengeluarkannya dari koalisi.
Memasuki semester 3, fenomena politik hampir serupa kembali terulang. Para petinggi Partai Demokrat kembali mendesak SBY untuk menghukum Golkar dan PKS. Namun yang dilakukan SBY justru merangkul kembali Golkar untuk kembali ke koalisi. Mengapa dalam prakteknya koalisi justru menjadi “beban” ketimbang menjadi solusi? Apa ada yang salah dengan format koalisi sistem presidensial? Tulisan ini mencoba memetakan problem koalisi dibawah sistem presiden sial pada umumnya dan dalam konteks pemerintahan SBY pada
khususnya.
Koalisi dalam Skema Presidensial
Presidensial adalah sistem pemerintahan dimana pemerintahan
menempatkan presiden sebagai pusat kekuasaan eksekutif sekaligus pusat kekuasaan negara. Ciri presidensial adalah pemilihan kepala eksekutif dilakuakan secara langsung oleh rakyat. Kemudian ciri lain adalah kedudukan lembaga parlemen yang tidak hanya terpisah dari eksekutif melainkan juga independen terhadapnya: serta mentri-mentri yang diangkat bertanggungjawab pada presiden. Inspirasi model presidensaial ini cenderung berkiblat ke Amerika Serikat sebagai model pelaksanaan presidensial yang baik. Kemudian dalam sistem koalisi
merupakan pemerintahan yang merupakan gabungan dari beberapa partai dalam sistem presidensial yang berbasis multipartai.
Secara teoritis model koalisi sebenarnya sangat beragam. Atas dasar sekala atau besarnya, model koalisi dapat dibedakan menjadi 3 jenis, yaitu (1) minimal winning coalition, (2) minority coalition, dan (3) grand coalition. Koalisi pemenang minimal menunjuk pada pemerintahan yang mendapatkan dukungan mayoritas sederhana di parlemen. Kategori koalisi minoritas merupakan gabungan dari partai-partai kecil karena tidak mendapatkan dukungan mayoritas sederhana dari parlemen. Sementara itu koalisi besar merupakan koalisi pemerintahan yang didukung oleh mayoritas utlak partai politik di parlemen. Semenntara itu, pola hubungan atau relasi antara eksekutif dan legislatif mengacu pada pola institusional maupun terbangun antara lembaga eksekutif dengan satu pihak. Pola relasi kekuasaan antara eksekutif dan legislatif ini menjadi salah satu faktor penting yang turut mempengaruhi terbentuknya pemerintahan yang efektif.
Konsep pemerintahan yang efektif merujuk pada situasi di mana lembaga eksekutif dapat mewujudkan proses pelaksanaan kebijakan yang berorientasi pada aspirasi dan kepentingan rakyat tanpa hambatan berarti dari lembagai legislatif. Asumsinya semakin minim iterupsi dan distorsi pada proses pembentukan dan pelaksanaan kebijakan akan membuat pemerintah lebih efektif, sehingga pencapaian tujuan bernegara dan berbangsa menjadi lebih nyata. Sebaliknya, jika presiden hanya didukung oleh kekuatan minoritas, maka justru akan membuka peluang pemakzulan presiden itu sendiri.
Permasalahan Presidensial di Indonesia
Sistem presidensial memang memiliki kelebihan daripada sistem parlementer, yaitu (1) keterpisahan institusi presiden dan lembaga parlemen, (2) masa jabatan presiden yang bersifat tetap, (3) dan pemilihan langsung oleh rakyat. Tiga ciri tersebut dapat menjamin tegaknya prinsip checks and balances dalam relasi eksekutif dan legislatif. Meskipun demikian, kelebihan tersebut juga dapat diidentifikasi sebagai sumber kelemahan dari sistem presidensialisme. Kelemahannya yaitu (1) memicu terjadinya legitimasi demokratis ganda, (2) potensi presiden mengabaikan suara parlemen sehingga terjadi sistem yang
otoriter, (3) potensi menghambat berbagai kebijakan pemerintah yang akhirnya berujung pada instabilitas demokrasi Indonesia.
Dalam kasus Indonesia, problem presidensial tidak hanya dialami oleh presiden Susilo Bambang Yudoyono, melainkan juga dialami oleh presiden Abdulrahman Wahid dan Megawari. Karena itu, tidak mengherankan jika ketiga presiden tersebut dalam pemerintahanya membentuk kabinet-kabinet yang
mempersatukan partai-partai untuk meminimalkan resiko di atas. Kabinet-kabinet tersebut dibentuk untuk mengamankan posisi pemerintahan. Pasalnya kursi yang didapat oleh partai yang mengusung presiden tidak begitu besar sehingga kekuatan politik dari presiden sendiri menjadi sangat lemah. Akan tetapi pembentukan kabinet yang sedemikian juga menjadi bumerang bagi presiden
sendiri.
Presiden Yudhoyono misalnya menjadi terperangkap dalam situasi di mana ia harus melayani sekurang-kurangnya 14 hak interplasi dan 9 hak angket yang diajukan oleh DPR. Sebenarnya tidak ada yang salah dari penggunaan hak angket dan interplasi, karena secara politik dijamin oleh konstitusi dan perundang-undangan. Hanya saja fokus presiden menjadi terbelah antara DPR dan menjalankan kebijakan. Sehingga tak jarang presiden menjadi tidak produktif. Faktor institusional lain, misalnya menjadikan DPR sebagai lembaga super body yang tak jarang mengarah pada otoritarisme DPR. Hal tersebut semakin mempersempit ruang gerak presiden sebagai kepala pemerintahan.
Faktor Kerapuhan Koalisi Era Yudhoyono Faktor Desai Koalisi
Secara teoritis, koalisi bentukan presiden Yudhyono sebenarnya termasuk dalam kategori “koalisi besar”. Atau bahkan “koalisi superbesar”. Namun koalisi besar tersebut ternyata rapuh secara internal. Rapuhnya koalisi tersebut terlihat dari indikasi bahwa presiden harus melayani banyak hak angket dan interplasi. Pertanyaan berikutnya mengapa koalisi besar bentukan Yudhoyono menjadi sangat rapuh? Hal tersebut dapat dijawab dengan (1) basis koalisi, (2) problem sifat kesepakatan dan konflik politik, (3) problem cakupan materi masalah koalisi. Sudah menjadi pengetahuan umum koalisi politik mendukung pemerintahan dibentuk untuk mengamankan kelangsungan pemerintahan hasil
pemilu ketimbang faktor kesamaan ideologi dan halauan politik tentang reformasi dan penataan bangsa. Konsekuesi logis dari koalisi yang dibentuk atas dasar kepentingan jangka pendek ini adalah lemahnya ikatan dan solidaritas koalisi, sehingga dukungan parpol terhadap pemerintahan acap ditentukan oleh “mood politik” ketimbang kepentingan jangka panjang. Kemudian problem sifat
kesepakatan dan kontrak politik juga menjadi maslah rapuhnya koalisi. Koalisi bentukan Yudhoyono banyak berdasar pada kontrak-kontrak politik. Persoalan mendasar dari model kontrak politik adalah bahwa komitmen koalisi adalah bahwa komitmen lebih merupakan keputusan pemimpin parpol bukan suatu
komitmen parpol secara institusional yang disosialisasikan dan dilembagakan. Kemudian problem cakupan materi yang menjadi kesepakatan koalisi tidak pernah dijelaskan kepada publik. Bahkan para anggota partai yang menjadi anggota koalisi bentukan Yodhoyono pun belum mengerti sepenuhnya cakupan kerja yang menajdi fokus dari koalisi tersebut. Sehingga seperti Wakasekjen PKS tidak mengetahui bagaimana ia bisa dikatakan melanggar koalisi. Problematik dibalik hal tersebut adalah tidak adanya komunikasi yang baik antara parpol dengan anggota koalisi. Problem selanjutnya adalah mekanisme internal koalisi. Persoalan internal koalisi acap kali hanya saling berbalas di media massa tanpa ada pembicaraan internal yang jelas di dalam kubu koalisi sendiri. Sehingga hal tersebut menjadi santapan empuk media sebagai sajian berita yang menarik.
Faktor Personalitiy Presiden
Pilihan-pilihan pengambilan kebijakan tidak hanya dapat dipahami dari konteks institusional saja, namun juga dari konteks karakter presiden. Dalam pembahasanya perlu diketahui bahwa ada 4 karakteristik presiden yang dimiliki
oleh Amerika Serikat selama ini, yaiitu (1) Jeffersonian leadership, (2) Jacksonian leadership, (3) Republican Leadership, (4) Liberal Leadership. Melalui hal tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa meskipun sedikit partai yang berpartisipasi, karakter presiden dapat menjadi bervariasi. Hal yang sama nampaknya juga berlaku di Indonesia. Kajian psikologi yang dilakuakan oleh Naniek L. Karim mendapati bahwa SBY memiliki cukup banyak aspek yang
intelektualitas, keterbukaan pikiran, pola penalaran sistematis, kebutuhan prestasi, kebutuhan afiliasim dan penampilan yang selalu terjaga dan berwibawa.
Kekuatan presiden tersebut juga dapat menjadi sumber kelemahan karena pembangunan kepemimpinan yang dislimuti pencitraan. Kecenderungan ini menjadikan Yudhoyono lambat dalam mengambil keputusan karena selalu ingin tampil baik, tetap menjadi pusat perhatian orang dan cenderung menghindari konflik. Watak presiden yang sedemikian menimbulkan beberapa akibat, di antaranya (1) kepemimpinan cenderung mementingkan pencitraan publik, (2) kepemimpinan yang terlalu hati-hati, lamban, tidak berani mengambil resiko, tidak tegas, dan kompromistis. Karakter kepemimpinan yang lembek, lamban, tidak tegas, dan bepusat pada pencitraan ini nampaknya menjadi faktor penting dibalik kerapuhan koalisi politik bentukan Yudhoyono.
Faktor Karakter Parpol di DPR
Sistem multipartai yang menjadi dasar perpolitikan di Indonesia, nampaknya relatif tidak menunjukan perbedaan ideologis yang signifikan antara sejumlah parpol di DPR dewasa ini. Walaupun para parpol tersebut mengeklaim dirinya berbeda dengan yang lain, namun dalam kenyataannya tidak begitu nampak adanya perdebatan mengenai isu dan kebijakan pemerintah. Konsekuensi dari fenomena ini adalah maraknya politik kartel yang hanya mengejar rente ketimbang memperjuangkan kebijakan atas dasar ideologi tertentu untuk kepentingan umum. Nampaknya fenomena ini dapat menjelaskan mengapa politik kartel ini memancing para parpol untuk menjadi bagian dari koalisi pemerintahan yang berkuasa.
Karakter partai yang cenderung numpang tenar inilah yang tidak diwaspadai oleh presiden Yudhoyono. Akibatnya koalisi politik yang dibentuk menjadi perangka politik sekaligus penjara bagi Yudhoyono sendiri ketimbang meningkatkan efektifitas dan produktifitas pemerintahan. Berbagai kebijakan seoalah mentah ditangan DPR, padahal 70 anggota DPR merupakan anggota koalisi yang seharusnya dapat mepermudah kebijakan-kebijakan yang akan dilakukan. Akan tetapi itulah yang menjadi karakter mayoritas parpol di Indonesia. Tidak disiplin, cenderung pragmatis, dan oportiunis, serta lebih berorientasi pada perburuan rente.
Koalisi 2009-2014 dan Kasus Century
Pada dasarnya koalisi 2009 melalui kabinet indonesia bersatu II tidak jauh berbeda dengan koalisi sebelumnya. Parpol penghuni sebenarnya relatif tetap dan hanya mengalami tambahan dari partai kecil seperti PBB dan PKPI. Publik sebenarnya berharap lebih pada kabinet 2009 yang akan lebih diisi oleh para profesional untuk memperbaiki situasi ekonomi. Namun seperti yang diuraikan
sebelumnya Yudhoyono tidak memiliki cukup keberanian untuk memenuhi ekspektasi publik. Presiden nampaknya beranggapan bahwa pemerintahanya akan aman jika didukung oleh sebagian parpol.
Selain itu karakter parpol yang cenderung tidak disiplin dan mengincar perburuan rente juga dan juga tidak adanya konsensus minimum yang bersifar
institusional, sehingga cenderung longgar dan tidak mengikat secara publik. Realitas seperti itulah yang melatarbelakangi munculnya gugata keras parpol, termasuk parpol koalisi, di DPR terhadap kebijakan pemerintahan Yudhoyono, atas dasar sekomendari KSSK yang waktu itu di pimpin oleh Menku Sri Mulyani, ,menyelamatkan Bank Century melalui pendanaan sebesar 6,7 triliun. Meskipun DPR gagal membuktikan adanya penyimpangan dan korupsi, melalui voting, parlemen akhirnya memutuskan bahwa kebijakan bail out atas Bank Century
adalah bermasalah dan melanggar hukum.
Sebagai tindak lanjut keputusan DPR, beberapa politikus dan inisiator hak angket mewacanakan perlunya penggunaan hak yang menyatakan pendapat bahwa perlunya pemrosesan pemecata Boediono sebagai Wakil Presiden.
Presiden nampanya merasa tidak nyaman dihadapkan pada kenyataan tersebut. Namun kendati berkali-kali ditekan untuk melakukan perombakan koalisi dan kabinet SBY tetap tidak melakukannya. Watak yang sedemikian nampanya dipahami Golkar yang sering memberikan bantuan finansial melalui perusahaan Bakrie. Karena itu, meski tampak konflik dan ketegangan antara presiden dan Golkar, secara publik presiden tidak pernah langsung menyebut usaha Bakrie sebagai pengempalng pajak dengan niali triliunan rupiah.
Catatan Penutup
Untuk membentuk pemerintahan yang bisa memerintah dalam skema presidensial berbasis multi partai diperlukan koalisi berbasis kesamaan ideologi