• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Capaian Kinerja Organisasi

BAB III AKUNTABILITAS KINERJA

B. Analisis Capaian Kinerja Organisasi

Terwujudnya Sinkronisasi dan Koordinasi Kebijakan di Bidang Ekonomi Makro dan Keuangan.

Sebagai salah satu unit kerja di Lingkungan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, unit organisasi Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Makro dan Keuangan terus berupaya meningkatkan kualitas pelayanan dalam rangka terwujudnya efektifitas koordinasi dan sinkronisasi kebijakan di bidang ekonomi makro dan keuangan kepada stakeholder. Kegiatan koordinasi dan sinkronisasi kebijakan di bidang ekonomi makro dan keuangan yang berdampak luas meliputi rekomendasi kebijakan antara lain sebagai berikut :

1. Rekomendasi terhadap penyusunan revisi PP Nomor 18 Tahun 2015 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan untuk Penanaman Modal di Bidang-Bidang Usaha Tertentu dan/atau di Daerah-Daerah Tertentu (Tax Allowance) - (Paket Kebijakan VII : Mendorong Industri Padat Karya).

Sebagai upaya untuk meningkatkan kegiatan investasi langsung guna mendorong pertumbuhan ekonomi dan pemerataan serta percepatan pembangunan bagi bidang usaha tertentu dan/atau daerah tertentu. Pemerintah memberikan fasilitas Pajak Penghasilan berupa Tax Allowance. Adapun pemberian fasilitas Tax Allowance dimaksud mengacu pada ketentuan Pasal 31A Undang-Undang No.7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana terakhir diubah dengan UU No. 36 Tahun 2008, yaitu meliputi :

1. Pengurangan PPh netto sebesar 30 persen dari jumlah penanaman modal dan dibebankan selama 6 tahun (5% per tahun).

17

3. Pengenaan PPh atas Deviden yang dibayarkan kepada Subyek Pajak Luar Negeri sebesar 10 % atau tarif tax treaty (tarif normal 20%).

4. Kompensasi kerugian yang lebih lama dari 5 tahun dan tidak lebih dari 10 tahun dengan persyaratan tertentu.

Sebagai pelaksanaan amanat UU dimaksud telah diterbitkan peraturan pemerintah yang dalam perjalanannya telah beberapa kali mengalami perubahan. Adapun daftar PP dimaksud yaitu PP Nomor 1 Tahun 2007, PP Nomor 62 Tahun 2008, PP Nomor 52 Tahu 2011 dan PP Nomor 18 Tahu 2015. Beberapa dasar pertimbangan dilakukannya perubahan terhadap PP Tax Allowance antara lain dengan memperhatikan hasil evaluasi pelaksanaan ketentuan tersebut di lapangan sepertinya minimnya pemanfaatan fasilitas Tax Allowance karena prosedur pemberian fasilitas yang kurang jelas, perkembangan dunia usaha, dan pertimbangan kondisi perekonomian global dan nasional.

Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya bahwa terhadap PP mengenai fasilitas Tax Allowance telah beberapa kali dilakukan perubahan. Revisi terakhir terhadap PP dimaksud dilakukan berkenaan dengan peluncuran Paket Kebijakan Ekonomi.Bahwa berdasarkan Paket Kebijakan Ekonomi dimaksud dalam rangka mendorong industri padat karya perlu untuk memberikan kebijakan insentif perpajakan yang salah satunya melalui pemberian fasilitas Tax Allowance. Berkenaan dengan belum tercantumnya industri padat karya ke dalam daftar bidang usaha yang dapat diberikan fasilitas, maka cakupan revisi PP Nomor 18 Tahun 2015 meliputi perubahan Lampiran dengan detail sebagai berikut :

1. Memindahkan bidang usaha pada Lampiran II PP Nomor 18 Tahun 2015, yang meliputi Industri Alas Kaki untuk Keperluan Sehari-hari, Industri Sepatu Olahraga, dan Industri Sepatu Teknik Lapangan/ Keperluan Industri menjadi bagian dari Lampiran I, dan

2. Menambah bidang usaha pada Lampiran I dengan tambahan Industri Pakaian Jadi dari Tekstil (Garmen) dan Industri Pakaian Jadi dari Kulit.

Perkembangan:

1. Telah diundangkan PP Nomor 9 Tahun 2016 tentang Perubahan Nomor 18 Tahun 2015 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan untuk Penanaman Modal di Bidang-Bidang Usaha Tertentu dan/atau di Daerah-Daerah Tertentu Berkenaan pada tanggal 22 April 2016 dan mulai berlaku pada tanggal 7 April 2016.

18

2. Berdasarkan perubahan dimaksud, maka perubahan jumlah bidang usaha (KBLI) di dalam Lampiran PP sejak PP Nomor 52 Tahun 2011 hingga PP Nomor 9 Tahun 2016 adalah sebagai berikut :

Tabel 7

Perkembangan Jumlah KBLI dalam Lampiran PP Tax Allowance

Keterangan PP 52/2011 PP 18/2015 PP 9/2016

Lampiran I 52 66 71

Lampiran II 77 77 74

Total 129 143 145

Sumber: Peraturan Pemerintah tentang Fasilitas Tax Allowance, diolah.

2. Rekomendasi Terhadap Kebijakan Pengurangan PPh Pasal 21 Untuk Indutri Padat Karya

Seiring dengan tujuan Pemerintah untuk membantu industri padat karya khususnya dalam rangka meningkatkan daya saing industri pada sektor tertentu yang berorientasi ekspor serta untuk mendukung program penciptaan dan penyerapan lapangan kerja, selain memberikan fasilitas Tax Allowance dipandang perlu memberikan fasilitas Pajak Penghasilan Pasal 21 atas penghasilan pegawai yang dibayarkan oleh pemberi kerja yang memenuhi kriteria tertentu, untuk periode waktu tertentu. Berkenaan dengan hal tersebut di dalam Paket Kebijakan Ekonomi Jilid VII, selain melakukan revisi terhadap PP Nomor 18 Tahun 2015 juga dilakukan penyusunan Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Perlakuan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas Penghasilan Pegawai dari Pemberi Kerja dengan Kriteria Tertentu dengan pokok-pokok pengaturan sebagai berikut:

1. Pegawai yang menerima penghasilan dari pemberi kerja dengan kriteria tertentu dengan jumlah Penghasilan Kena Pajak dalam 1 tahun paling banyak sebesar Rp.50.000.000,- dikenai pemotongan PPh Pasal 21 dengan tarif 2,5% dan bersifat final (tarif PPh yang berlaku umum untuk Penghasilan Kena Pajak sampai dengan Rp.50 juta adalah 5%),

2. Pemberi kerja tertentu dimaksud harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: - Merupakan Wajib Pajak badan yang melakukan kegiatan usaha pada bidang

industri alas kaki dan/atau tekstil dan produk tekstil; - Mempekerjakan pegawai langsung minimal 2.000 orang; - Menanggung PPh Pasal 21 pegawainya;

19

- Melakukan ekspor paling sedikit 50% dari total nilai penjualan tahunan pada tahun sebelumnya;

- Memiliki perjanjian kerja bersama;

- Mengikutsertakan pegawainya dalam program BPJS Ketenagakerjaan dan BPJS Kesehatan;

- Tidak sedang mendapatkan atau memanfaatkan fasilitas Tax Allowance atau Tax Holiday.

3. Ketentuan mengenai tarif pemotongan PPh Pasal 21 tersebut berlaku sementara, yaitu untuk Masa Pajak Juli 2016 sampai dengan Masa Pajak Desember 2017. Adapun maksud pemberlakuan kebijakan ini untuk periode tertentu ini diharapkan fasilitas yang diberikan Pemerintah dapat membantu industri padat karya sehingga industri tersebut kembali mencapai kondisi yang stabil.

Perkembangan :

Saat ini terhadap kebijakan untuk mendorong indsutri padat karya dimaksud telah diterbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2016 tentang Perlakuan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas Penghasilan Pegawai dari Pemberi Kerja dengan Kriteria Tertentu yang diundangkan dan mulai berlaku pada tanggal 17 Oktober 2016. Adapun peraturan menteri selaku peraturan pelaksanaan PP dimaksud saat ini sedang dalam tahap penyusunan.

3. Tersusunnya Basis Data Perekonomian (PANDURATA) yang Terbaharui secara Periodik

Basis data dan analisis untuk menghasilkan dukungan rekomendasi kebijakan dalam rangka pengambilan keputusan oleh pimpinan. Dengan terwujudnya koordinasi kebijakan tersebut diharapkan dapat meningkatkan kerjasama dan sinergi para pemangku kepentingan dalam mencapai target dan sasaran pembangunan. Selain itu, agar dapat dihasilkan basis data dan analisis yang berkualitas diperlukan dukungan aplikasi pengolah data, langganan basis data serta analis ekonomi untuk kebutuhan kegiatan pemantauan kondisi perekonomian terkini.

Basis data yang telah terbentuk dengan alamat domain : pandurata.ekon.go.id disusun sebagai sumber rujukan cepat dalam memantau perkembangan ekonomi makro. Dengan memanfaatkan aplikasi data Bloomberg, panel data ekonomi yang terbaharui setiap hari juga dibentuk untuk memantau kondisi ekonomi global dan

20

domestik serta dampaknya untuk mendukung kebijakan yang akan diambil di dalam negeri. Pada akhirnya dapat dilaksanakan koordinasi kebijakan moneter dan neraca pembayaran yang bersifat real-time sebagai basis penyusunan rekomendasi kebijakan bidang moneter dan neraca pembayaran serta pengendalian pelaksanaan yang terkait dengan bidang moneter dan neraca pembayaran.

Pandurata dapat diakses dengan mudah dari seluruh jaringan komputer Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, adapun data yang tersedia dan dapat diakses meliputi :

Tabel 8

Basis Data Perekonomian (Pandurata)

No Tahunan Kuartalan Bulanan

1 PDB dan Pertumbuhan Ekonomi

PDB dan Pertumbuhan Ekonomi

Inflasi dan Harga 2 Inflasi dan IHK Moneter dan Perbankan Tenaga Kerja

3 Tenaga Kerja APBN Kemiskinan

4 Kemiskinan Investasi Moneter dan Perbankan

5 Moneter dan Perbankan Pasar Modal APBN

6 APBN Indikator Ekonomi

Negara Mitra Dagang

Pasar Modal

7 Investasi Neraca Pembayaran Indikator Ekonomi Negara Mitra Dagang

8 Pasar Modal Ekspor dan Impor (Neraca Perdagangan)

Realisasi Penyaluran Kredit Usaha Rakyat (KUR)

9 Indikator Ekonomi Negara Mitra Dagang

Transaksi Berjalan : Ekspor Barang Menurut Komoditas 10 Neraca Pembayaran Transaksi Berjalan : Impor Barang

Menurut Kategori Ekonomi 11 Ekspor dan Impor

(Neraca Perdagangan)

Ekspor & Impor (Neraca Perdagangan)

4. Tersusunnya Model Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi dan Leading Economic Indicator Salah satu indikator penting untuk menganalisis pembangunan ekonomi di suatu negara adalah pertumbuhan ekonomi. Indikator ini tidak hanya mengukur pertumbuhan output dalam suatu perekonomian, namun juga memberikan indikasi tentang sejauh mana aktivitas perekonomian yang terjadi pada suatu periode tertentu. Angka pertumbuhan ekonomi pada periode yang akan datang memegang peranan penting dalam kegiatan perencanaan pemerintah kedepan. Oleh karena itu perlu dibangun sebuah model proyeksi pertumbuhan ekonomi supaya angka proyeksi mendekati nilai aktualnya.

21

Model ekonomi secara sederhana dapat didefinisikan sebagai simplifikasi atas berbagai permasalahan yang kompleks, sehingga dapat diketahui strukturnya secara lebih jelas, berbagai keterkaitan antar variabelnya dan dapat diukur perubahan-perubahan di dalamnya. Proses simplifikasi ini perlu dilakukan untuk memudahkan proses komunikasi bagi para stakeholder, terutama oleh pemerintah sebagai pembuat kebijakan. Penentuan asumsi, pemilihan variabel, penentuan garis hubungan dan sebagainya sangat mungkin terbuka ruang ketidaktepatan. Namun demikian, sebuah model tetaplah berguna sebagai alat bantu analisis. Dengan dilakukannya kajian khusus untuk membuat sebuah model proyeksi pertumbuhan ekonomi maka diharapkan dapat meminimumkan tingkat kesalahan proyeksi. Saat ini sudah terbentuk atau tersusun sebuah proyeksi ekonomi yang dapat digunakan sebagai bahan proyeksi untuk pertumbuhan ekonomi triwulanan dan inflasi setiap bulannya.

5. Koordinasi Pengembangan UMKM Melalui Sertifikat Hak Atas Tanah (SHAT).

Asisten Deputi Pengembangan Ekonomi Daerah dan Sektor Riil telah melakukan koordinasi penyusunan Rancangan Kesepakatan Bersama tentang Pemberdayaan Usaha Mikro dan Kecil (UMK), Petani, Nelayan, dan Pembudi Daya Ikan melalui Sertipikasi Hak Atas Tanah (SHAT) pada tingkat teknis, dalam mendukung Inklusi Keuangan. Latar belakangnya adalah kebijakan reformasi agraria yang terkait dengan pemberdayaan UMK, petani, nelayan, dan pembudi daya ikan melalui SHAT. Langkah reformasi tersebut adalah penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah (land reform) yang berkeadilan dengan memperhatikan kepemilikan tanah untuk rakyat, baik tanah pertanian maupun tanah perkotaan. Diharapkan hal tersebut dapat mempercepat pencapaian kesejahteraan masyarakat. Untuk itu diperlukan kesepakatan bersama dalam rangka koordinasi dan implementasi program kegiatan pemberdayaan masyarakat melalui SHAT.

Kesepakatan bersama dilakukan antara Kementerian ATR/BPN dengan Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Koperasi dan UKM, Kementerian Kelautan dan Perikanan, sebagai landasan kerja sama bagi para pihak dalam pelaksanaan pemberdayaan usaha mikro dan kecil, petani, nelayan, dan pembudi daya ikan melalui kegiatan SHAT. Kesepakatan bersama juga mengatur fasilitasi bagi pemerintah daerah dan menciptakan jejaring kerja dan sinergi kegiatan pemberdayaan usaha sehingga kegiatan pemberdayaan masyarakat melalui SHAT akan membawa dampak yang luas bagi peningkatan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.

22

Draft kesepakatan bersama telah disetujui oleh para Eselon I kementerian terkait, oleh sebab itu perlu diadakan rapat koordinasi untuk membahas kesepakatan bersama dimaksud.

6. Rekomendasi Kepada Menteri Dalam Negeri perihal Permohonan Penerbitan Surat Edaran kepada Pemda Kabupaten/Kota, sebagai dasar pengurangan BPHTB.

Sebagai tindak lanjut amanat Presiden terkait Paket Kebijakan Ekonomi XI tentang Penerbitan KIK (Kontrak Investasi Kolektif) DIRE (Dana Investasi Real Estate) dan Paket Kebijakan Ekonomi XIII tentang Pembangunan Perumahan Untuk Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR), diperlukan dukungan penuh pemerintah daerah berupa fasilitas pengurangan pokok pajak BPHTB. Untuk itu Menteri Koordinator Bidang Perekonomian telah menyampaikan surat kepada Menteri Dalam Negeri, nomor S-319.1/M.EKON/10/2016 tanggal 31 Oktober 2016 tentang Permohonan Penerbitan Surat Edaran Menteri Dalam Negeri terkait DIRE. Dalam surat tersebut disampaikan bahwa Menteri Dalam Negeri diharapkan dapat menerbitkan Surat Edaran Menteri Dalam Negeri kepada pemerintah daerah kabupaten/kota, sebagai dasar pengurangan BPHTB dimaksud.

Menko Perekonomian menyampaikan himbauan tersebut dengan mempertimbangkan hasil rapat koordinasi yang diselenggarakan Deputi Ekonomi Makro dan Keuangan pada tanggal 11 Oktober 2016, yang membahas pemberian insentif BPHTB. Dalam rapat tersebut, pemerintah daerah mengharapkan adanya Surat Edaran Menteri Dalam Negeri sebagai dasar hukum penyusunan peraturan daerah yang memberikan insentif pengurangan BPHTB, sehingga bisa mendukung paket kebijakan ekonomi pemerintah yang terkait DIRE.

7. Peraturan Presiden No. 82 tentang Strategi Nasional Keuangan Inklusif. Dokumen Strategi Nasional Keuangan Inklusif.

Peraturan Presiden No. 82 Tahun 2016 tentang Strategi Nasional Keuangan Inklusif (SNKI) merupakan strategi nasional yang dituangkan dalam dokumen yang memuat visi, misi, sasaran, dan kebijakan keuangan inklusif dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi, percepatan penanggulangan kemiskinan, pengurangan kesenjangan antarindividu dan antardaerah dalam rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat Indonesia. Keuangan inklusif diwujudkan melalui akses masyarakat terhadap layanan keuangan sehingga dapat meningkatkan kemampuan ekonomi dan pada akhirnya membuka jalan untuk keluar dari kemiskinan serta

23

mengurangi kesenjangan ekonomi. Berdasarkan data Global Findex tahun 2014, hanya 36 % penduduk dewasa di Indonesia yang memiliki akses di lembaga keuangan formal. Strategi ini dimaksudkan sebagai pedoman bagi Kementerian/Lembaga dan instansi terkait lainnya dalam meningkatkan akses masyarakat terhadap layanan keuangan melalui kegiatan masing-masing secara bersama dan terpadu. Implementasi Strategi Nasional Keuangan Inklusif yang terpadu diperlukan untuk mencapai target keuangan inklusif yaitu persentase jumlah penduduk dewasa yang memiliki akses layanan keuangan pada lembaga keuangan formal sebesar 75% pada akhir tahun 2019. Dalam rangka pelaksanaan SNKI dibentuk Dewan Nasional Keuangan Inklusif. Dewan Nasional diketuai oleh Presiden, Wakil Presiden sebagai wakil ketua, dan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian sebagai Ketua Harian, serta Gubernur Bank Indonesia dan Ketua Dewan Komisioner Otoritas jasa Keuangan sebagai Wakil Ketua Harian. Dewan Nasional Keuangan Inklusif mempuyai tugas sebagai berikut :

a. melakukan koordinasi dan sinkronisasi pelaksanaan SNKI;

b. mengarahkan langkah-langkah dan kebijakan untuk penyelesaian permasalahan dan hambatan pelaksanaan SNKI; dan

c. melakukan monitoring dan evaluasi pelaksanaan SNKI.

Dewan Nasional Keuangan Inklusif dibantu oleh kelompok kerja dan sekretariat yang beranggotakan dari kementerian dan lembaga terkait. Sekretariat secara fungsional dilakukan oleh salah satu unit kerja di lingkungan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian. Tugas dan keanggotaan Kelompok Kerja dan Sekretariat ditetapkan dengan Keputusan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian selaku Ketua Harian Dewan Nasional.

8. Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian No. 9 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian No. 8 Tahun 2015 tentang Pedoman Pelaksanaan Kredit Usaha Rakyat (KUR).

Menimbang pelaksanaan Program KUR tahun 2016 serta memperhatikan pencapaian target Tahun 2016 sebesar Rp. 100 triliun, Komite Kebijakan Pembiayaan Bagi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah melaksanakan Rapat Koordinasi pada tanggal 16 September 2016. Dalam rangka optimalisasi pelaksanaan KUR serta memperluas cakupan penyalurannya, rapat tersebut memutuskan beberapa perubahan Pedoman Pelaksanaan KUR. Sebagai tindak lanjut Rapat Koordinasi Komite Kebijakan tersebut,

24

telah ditetapkan Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian No. 9 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian No. 8 Tahun 2015 tentang Pedoman Pelaksanaan KUR pada tanggal 7 November 2016. Beberapa perubahan dalam Pedoman Pelaksanaan KUR tersebut adalah :

a. Pengaturan KUR skema syariah. Dalam rangka menampung perluasan penyalur KUR dari lembaga keuangan syariah, disusun skema KUR syariah. Dalam skema KUR Syariah, perlu penambahan nomenklatur subsidi margin sebagai komplimenter dari subsidi bunga dan nomenklatur pembiayaan sebagai komplimenter dari kredit. Diperlukan pula pembahasan skema margin untuk akad murabahah yang digunakan pedoman bagi penyalur KUR syariah dalam menyalurkan pembiayaan KUR Syariah.

b. Mekanisme penetapan Perusahaan Penjaminan sebagai Penjamin KUR. Perubahan mekanisme penetapan Perusahaan Penjaminan sebagai Penjamin KUR merupakan salah satu langkah pencapaian good governance dalam pengelolaan KUR. Dalam rangka mencapai kesetaraan prosedur antara penetapan Penyalur dengan penetapan Penjamin, maka disusunlah pengaturan mekanisme penetapan penjaminan tersebut. Dalam mekanisme penetapan penjamin KUR, persyaratan yang harus dipenuhi adalah sehat dan berkinerja baik (dibuktikan dengan rekomendasi OJK), melakukan kerjasama penjaminan dengan lembaga keuangan dan/atau koperasi simpan pinjam atau koperasi simpan pinjam pembiayaan syariah (dibuktikan dengan PKS), dan memiliki online sistem dengan Sistem Informasi Kredit Program (dibuktikan dengan rekomendasi Kementerian Keuangan).

c. Penambahan Koperasi Simpan Pinjam (KSP) atau Koperasi Simpan Pinjam Pembiayaan Syariah (KSPPS) sebagai Penyalur KUR. Menteri Koperasi dan UKM dengan Ketua Dewan Komisioner OJK telah menandatangani Nota Kesepahaman Bersama terkait dukungan koperasi dalam pembiayaan UMKM yang tercantum dalam Surat Deputi Bidang Pembiayaan Kementerian Koperasi dan UKM No. S-93/Dep.2/VII/2016 tanggal 27 Juli 2016 perihal Nota Kesepahaman dengan OJK. Berdasarkan surat tersebut serta arahan Presiden dalam Rapat Kabinet Terbatas untuk mendorong koperasi sebagai penyalur KUR, maka Komite Kebijakan Pembiayaan bagi UMKM dalam Rapat Koordinasi tanggal 16 September 2016 telah memutuskan untuk menambahkan koperasi simpan pinjam (KSP) atau koperasi simpan pinjam pembiayaan syariah (KSPPS) sebagai calon penyalur KUR.

25

Adapun mekanisme penetapan koperasi yang disepakati dalam Rapat Koordinasi tersebut adalah :

 Koperasi Simpan Pinjam atau Koperasi Simpan Pinjam Pembiayaan Syariah harus sehat dan berkinerja baik. Persyaratan tersebut harus dibuktikan dengan surat rekomendasi tingkat kesehatan dan kinerja baik dari Kementerian Koperasi dan UKM yang telah berkoordinasi dengan OJK.

 Koperasi Simpan Pinjam atau Koperasi Simpan Pinjam Pembiayaan Syariah harus melakukan kerjasama penjaminan dengan Penjamin KUR. Persyaratan tersebut dibuktikan dengan Perjanjian Kerjasama (PKS).

 Koperasi Simpan Pinjam atau Koperasi Simpan Pinjam Pembiayaan Syariah harus membangun online sistem dengan Sistem Informasi Kredit Program. Persyaratan tersebut dibuktikan dengan surat rekomendasi online sistem dari Kementerian Keuangan.

 Koperasi Simpan Pinjam atau Koperasi Simpan Pinjam Pembiayaan Syariah yang telah memiliki 3 dokumen tersebut diatas, harus melakukan kerjasama pembiayaan dengan pemerintah yang diwakili oleh Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) KUR. Setelah menandatangani PKP tersebut, maka koperasi resmi menjadi penyalur KUR.

Selain 3 poin perubahan tersebut, diatur pula persyaratan administrasi penerima KUR seperti kewajiban KTP elektronik bagi seluruh penerima KUR, serta kewajiban NPWP bagi penerima KUR Ritel (diatas Rp. 25 juta sampai dengan Rp. 500 juta). Pengaturan persyaratan tersebut sesuai dengan implementasi kewajiban KTP elektronik bagi seluruh Warga Negara Indonesia (WNI) serta NPWP bagi penerima kredit diatas Rp. 50 juta.

9. Tersusunnya Arahan Komite Privatisasi Perusahaan Perseroan (Persero) atas Program Tahunan Privatisasi (PTP) Tahun 2016 melalui Keputusan Komite Privatisasi dalam rapat sirkuler Nomor: Rakor. 29.01.2016 tanggal 29 Januari 2016

Komite Privatisasi Perusahaan Perseroan (Persero) dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 47 Tahun 2014 sebagai pengganti Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun 2006 tentang Komite Privatisasi Perusahaan Perseroan (Persero). Komite Privatisasi diketuai oleh Menko Perekonomian, dengan anggota Menteri BUMN, Menteri Keuangan serta Menteri Teknis tempat Persero melakukan kegiatan usaha.

26

Dalam pelaksanaan tugas, Komite Privatisasi dibantu oleh Tim Pelaksana yang diketuai oleh Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Makro dan Keuangan, Kemenko Perekonomian.

Dalam rangka pembahasan usulan PTP Tahun 2016 untuk 4 (empat) BUMN yakni PT. Merpati Nusantara Airlines, (Persero), PT. Industri Gelas, (Persero), PT. Kertas Kraft Aceh, (Persero) dan PT. Kertas Leces, (Persero), sebagaimana disampaikan Menteri BUMN melalui surat Nomor: S-992/MBU/12/2015 tanggal 23 Desember 2015 tentang Usulan Program Tahunan Privatisasi Tahun 2016, telah dilakukan beberapa kali rapat koordinasi yaitu :

a. Rapat Tim Pelaksana Komite Privatisasi pada tanggal 13 Januari 2016 membahas usulan PTP Tahun 2016 untuk privatisasi PT. Merpati Nusantara Airlines, (Persero), PT. Industri Gelas, (Persero), PT. Kertas Kraft Aceh, (Persero) dan PT. Kertas Leces, (Persero) melalui metode Strategic Partner dengan saham yang dilepas maksimal seluruh saham baru (100%) dan rencana penggunaan dana untuk restrukturisasi dan revitalisasi perusahaan.

b. Rapat Komite Privatisasi pada tanggal 29 Januari 2016 membahas usulan PTP Tahun 2016 untuk membahas privatisasi 4 (empat) BUMN yakni PT. Merpati Nusantara Airlines, (Persero), PT. Industri Gelas, (Persero), PT. Kertas Kraft Aceh, (Persero) dan PT. Kertas Leces, (Persero) yang dilanjutkan dengan persetujuan sirkuler Komite Privatisasi atas PTP Tahun 2016 melalui Keputusan Komite Privatisasi Nomor: Rakor.22.01.2016 tanggal 29 Januari 2016.

c. Arahan Komite Privatisasi Perusahaan Perseroan atas PTP Tahun 2016 yang dituangkan dalam Keputusan Komite Privatisasi Nomor: Rakor.22.01.2016 tanggal 29 Januari 2016 yaitu:

 Komite Privatisasi Perusahaan Perseroan secara prinsip setuju untuk memperivatisasi PT. Merpati Nusantara Airlines, (Persero), PT. Industri Gelas, (Persero), PT. Kertas Kraft Aceh, (Persero) dan PT. Kertas Leces, (Persero).

 Jangka waktu privatisasi diberikan untuk jangka waktu 1 (satu) tahun dan pelaksanaannya dilaporkan oleh Menteri Badan Usaha Milik Negara kepada Komite Privatisasi Perusahaan Perseroan (Persero).

27

10. Tersusunnya Arahan Komite Privatisasi Perusahaan Perseroan (Persero) atas Privatisasi diluar PTP Tahun 2016 melalui surat Menko Perekonomian selaku Ketua Komite Privatisasi Perusahaan Perseroan (Persero) Nomor S-178/M.EKON/07/2016 tanggal 15 Juli 2016.

Dalam rangka pembahasan usulan privatisasi diluar PTP Tahun 2016 untuk 4 (empat) BUMN yakni PT. Wijaya Karya, (Persero), Tbk, PT. Jasa Marga, (Persero), Tbk, PT. Krakatau Steel, (Persero), Tbk dan PT. Pembangunan Perumahan, (Persero), Tbk sebagaimana disampaikan Menteri BUMN melalui Surat Nomor: S-352/MBU/06/2016 tanggal 13 Juni 2016 tentang Usulan Privatisasi Diluar Program Tahunan Privatisasi (PTP) Perusahaan Perseroan (Persero) Tahun 2016, telah dilakukan rapat koordinasi yaitu :

a. Rapat Tim Pelaksana Komite Privatisasi pada tanggal 30 Juni 2016 membahas usulan Privatisasi Diluar Program Tahunan Privatisasi (PTP) Tahun 2016 untuk privatisasi PT. Wijaya Karya, (Persero), Tbk, PT. Jasa Marga, (Persero), Tbk, PT. Krakatau Steel, (Persero), Tbk dan PT. Pembangunan Perumahan, (Persero), Tbk, melalui Penyertaan Modal Negara (PMN) yang diterima untuk melakukan Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu (HMETD) atas efek baru (right issue) yang diterbitkan agar kepemilikan Pemerintah tetap, rentang jumlah dan harga saham, serta penggunaan dana yang diperoleh dari privatisasi dengan metode right issue..

b. Rapat Komite Privatisasi pada tanggal 12 Juli 2016, pada rapat tersebut membahas usulan Privatisasi Diluar Program Tahunan Privatisasi (PTP) Tahun 2016 untuk serta dipaparkan rincian usulan privatisasi oleh masing-masing BUMN yang mencakup antara lain Penyertaan Modal Negara (PMN) yang diterima untuk melakukan Hal Memesan Efek Terlebih Dahulu (HMETD) atas efek baru (right issue) yang diterbit agar kepemilikan Pemerintah tetap, rentang jumlah dan harga saham, serta penggunaan dana yang diperoleh dari privatisasi dengan right issue tersebut.

c. Berdasarkan hasil Rapat Koordinasi Komite Privatisasi tersebut, telah ditetapkan Arahan Komite Privatisasi Perusahaan Perseroan atas Privatisasi diluar PTP Tahun 2016 melalui surat Menko Perekonomian selaku Ketua Komite Privatisasi

Dokumen terkait