• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Cohort: perangkat untuk menghitung indikator efisiensi internal

INDIKATOR PENDIDIKAN

B. Partisipasi Pendidikan dan Indikator Efisiensi 1. Partisipasi Pendidikan

3) Analisis Cohort: perangkat untuk menghitung indikator efisiensi internal

Untuk menentukan tingkat efisiensi internal dalam jenjang sekolah yang sebenarnya diperlukan perangkat analitis yang dapat membantu untuk menyederhanakan pergerakan peserta didik yang banyak, tumpang

Cohort didefinisikan sebagai sekelompok orang yang bersama-sama mengalami serangkaian kejadian selama satu periode waktu.

Cohort sekolah didefinisikan sebagai sekelompok peserta didik yang masuk kelas pertama dari sebuah jenjang pada tahun ajaran yang sama dan kemudian mengalami kenaikan kelas, pengulangan kelas, putus sekolah atau berhasil menyelesaikan Kelasakhir, sebagaimana yang umumnya mungkin terjadi.

Analisis cohort menelusuri aliran sekelompok peserta didik yang masuk Kelas (Kelas) 1 di tahun yang sama dan mengalami perkembangan sepanjang jenjang pendidikan mereka.

Menggunakan diagram alir untuk menghitung indikator efisiensi internal

Perhatikan ilustrasi berikut:

Pada sebuah jenjang pendidikan terdapat 1.000 peserta didik yang masuk Kelas 1 dari sebuah jenjang 4 kelas pada tahun yang sama t = 1. Seribu peserta didik tersebut akan melanjutkan jenjang pendidikan jenjang demi jenjang. Namun, beberapa dari mereka berhenti bersekolah pada berbagai titik di sepanjang jenjang tersebut, beberapa yang lain tertahan karena harus mengulang kelas dengan ketentuan hanya memperbolehkan dua kali (2x) pengulangan kelas, dan hanya beberapa yang menyelesaikan seluruh jenjang pendidikan itu dalam waktu minimal empat tahun.

Berdasarkan ilustrasi tersebut untuk memperoleh gambaran cara kerja

analisis cohort, sebagai dasar untuk menghitung beberapa indikator dari

tingkat “fisiensi internal” dalam sebuah jenjang pendidikan dapat menggunakan diagram alir sebagai berikut:

Kelas 1 Kelas 2 Kelas 3 Kelas 4 t=1 t=2 t=3 t=4 t=5 t=6

Gambar 3. Diagram Alir Cohort

Keterangan: S = jumlah peserta didik;

berarti jumlah peserta didik di tahun 1 (t=1, ....6); berarti jumlah peserta didik di Kelas 1 (f=1, ... 4);

berarti jumlah peserta didik di tahun 2 dan di Kelas1, dan seterusnya R = jumlah yang mengulang kelas;

D = jumlah yang putus sekolah; P = jumlah yang naik kelas; G = jumlah lulusan;

Diagram alir dibangun berdasarkan sejumlah asumsi penting:

 Bahwa pada setiap Kelas, angka mengulang kelas, angka kenaikan kelas, dan angka putus sekolah tetap sama, terlepas dari apakah seorang peserta didik telah mencapai Kelas itu secara langsung atau setelah satu atau beberapa kali pengulangan (yaitu menggunakan

hipotesis perilaku homogen);

 Bahwa setelah ada peserta didik putus sekolah tidak akan ada peserta didik tambahan di tahun-tahun berikutnya;

 Bahwa rasio aliran untuk semua Kelas tetap tidak berubah selama anggota cohort masih menjalani sebuah jenjang pendidikan.

Untuk memperoleh nilai yang sesungguhnya untuk semua elemen aliran yang ada dalam diagram alir pada Gambar 3, perencana akan membutuhkan informasi yang dikumpulkan melalui sistem data perorangan. Meskipun hal ini memang pernah dicoba, umumnya terlalu mahal dan memakan waktu. Sebagai perkiraan dapat menggunakan rasio pengulangan kelas, rasio putus sekolah, dan rasio kenaikan kelas, sebagaimana yang benar-benar tercatat dalam tahun tertentu, untuk kelas yang berbeda-beda dari jenjang sekolah yang tingkat efisiensinya ingin kita tentukan. Dengan menggunakan rasio aliran yang sesuai kenyataan itu, kita sekarang dapat mewujudkan kelompok hipotetis 1.000 peserta didik untuk menjadi “cohort”.

Contoh:

Di Provinsi G, statistik untuk jumlah peserta didik laki-laki terdaftar di pendidikan menengah umum pada tahun 2010 dan 2011 menunjukkan situasi berikut:

Tabel 2 Jumlah Peserta Didik Laki-Laki Terdaftar Di Pendidikan Menengah Umum Di Provinsi G Tahun 2010 dan Tahun 2011

Tahun Kelas 1 Kelas 2 Kelas 3 Kelas 4 Kelas 5 2010 Jumlah peserta didik

terdaftar

268.851 221.913 212.901 290.310 213.948

2011 Jumlah peserta didik terdaftar

282.613 236.346 223.807 207.332 235.120

Peserta didik yang mengulang dari tahun 2010

70.965 49.788 55.435 57.077 108.900

Catatan: Selain itu, tercatat bahwa pada akhir 2010, total 97.560 peserta didik lulus dari Kelas 5.

Dengan menggunakan data pada Tabel 2, dapat dengan mudah menghitung rasio kenaikan kelas, pengulangan kelas dan putus sekolah secara tahunan untuk peserta didik laki-laki di pendidikan menengah umum pada tahun 2010.

Tabel 3. Rasio Kenaikan Kelas, Pengulangan Kelas Dan Putus Sekolah Untuk Peserta Didik Laki-Laki Di Pendidikan Menengah Umum, Provinsi G Tahun 2010

Kelas Kelas 1 Kelas 2 Kelas 3 Kelas 4 Kelas 5 Rasio

PR 69,4% 75,9% 70,6% 43,5% 45,6% RR 26,4% 22,4% 26,0% 19,7% 50,9%

DR 4,2% 1,7% 3,4% 36,8% 3,5%

Sekarang rasio aliran ini dapat digunakan bersama-sama dengan diagram alir pada Gambar 2 untuk membangun hipotetis aliran 1.000 peserta didik laki-laki yang masuk sekolah menengah di tahun 2010, dengan ketentuan pengulangan kelas hanya diperbolehkan dua kali.

Kelas 1 Kelas 2 Kelas 3 Kelas 4 Kelas 5

42 1000 264 694 11 12 264 694 70 183 156 526 3 6 18 70 339 526 48 76 257 137 372 2 13 137 124 394 372 94 103 278 73 162 Lulusan 7 129 6 197 351 162 74 139 69 153 82 77 8 208 235 107 90 120 7 210 96

Gambar 4. Diagram Aliran Cohort 1.000 Peserta Didik Laki-Laki Melalui Pendidikan Menengah Umum Di Provinsi G, Berdasarkan Rasio Aliran Tahun

2010

Menghitung rasio pemborosan: indikator efisiensi internal

Perencana pendidikan dari Gambar 4 dapat mengetahui tentang efisiensi internal dengan membandingkan jumlah peserta didik-tahun yang dihabiskan oleh cohort jenjang pendidikan lima kelas ini dengan jumlah peserta didik yang lulus Kelas 5. Dalam situasi dengan efisiensi sempurna, semua 1.000 anggota cohort akan menyelesaikan jenjang pendidikan itu dalam waktu yang ideal (lima tahun)– sehingga 5 × 1.000 = 5.000 peserta didik-tahun.

Oleh karena itu rasio masukan/keluaran yang ideal adalah:

Namun pada kenyataannya, sebagaimana ditunjukkan Gambar 4, hanya 277 dari 1.000 anggota cohort yang berhasil menyelesaikan jenjang pendidikan itu (yaitu 74, kemudian 107 dan 96). Karena itu, keluaran dari jenjang ini jauh lebih sedikit dari yang seharusnya; alasannya adalah tingginya rasio pengulangan kelas menggelembungkan jumlah peserta didik-tahun yang dihabiskan oleh cohort:

Tabel 4. Rasio Masukan/Keluaran Ideal

Kelas peserta didik-tahun

1 1.000 + 264 + 70 = 1.334 2 694 + 339 + 124 = 1.157 3 526 + 394 + 197 = 1.118 4 372 + 351 + 208 = 931 5 162 + 235 + 210 = 607 Total untuk ke semua 5 Kelas = 5.146

Oleh karena itu, rasio masukan/keluaran aktualnya adalah:

Langkah terakhir adalah menghitung Kelas efisiensi internal dengan menghubungkan rasio masukan/keluaran aktual dengan rasio masukan/keluaran ideal. Hasilnya, dinyatakan juga sebagai rasio, biasa disebut rasio pemborosan (wastage rate atau WR):

Dalam contoh pembahasan kita:

Dengan demikian, pada tahun 2010, pendidikan menengah umum Provinsi G untuk peserta didik laki-laki ditandai dengan rasio pemborosan 3,7. Angka terbaik untuk rasio ini adalah sebesar 1,0. Namun dalam kenyataannya, banyak negara memiliki rasio pemborosan sebesar 1,5, 2,0 atau bahkan lebih tinggi, baik dalam jenjangpendidikan dasar maupun pendidikan menengah dari sistem pendidikan mereka. Rasio pemborosan 3, misalnya, berarti lulusan yang sedang dihasilkan dalam jenjang itu memerlukan tiga kali lipat biaya ideal.

Sebuah alternatif yang sering digunakan untuk perhitungan rasio pemborosan ini adalah koefisien efisiensi (coefficient of efficiency atau CE). Ini adalah kebalikan dari WR. Definisi resmi dan perhitungannya9 adalah sebagai berikut:

“Jumlah peserta didik-tahun yang dibutuhkan yang ideal (optimal) yaitu dengan tidak adanya pengulangan kelas dan putus sekolah untuk menghasilkan sejumlah lulusan dari sebuah cohort untuk sebuah jenjang atau pendidikan yang dinyatakan sebagai persentase dari jumlah peserta didik-tahun aktual yang dihabiskan untuk menghasilkan jumlah lulusan yang sama.”

Perhitungannya:

Bagi jumlah ideal peserta didik-tahun yang dibutuhkan yang menghasilkan sejumlah lulusan dari sebuah cohort sekolah untuk tingkat pendidikan tertentu (yaitu, 5 x 277), dengan jumlah aktual peserta didik-tahun yang dihabiskan untuk menghasilkan jumlah lulusan yang sama, dan kalikan hasilnya dengan 100.

Jika sudah menghitung WR, CE adalah kebalikan dari WR, yaitu:

Menghitung rasio bertahan sekolah: sebuah indikator kapasitas retensi sistem pendidikan

Selain WR, ada indikator lain yang dapat memberi banyak pemahaman mengenai efisiensi internal dari sebuah sistem pendidikan. Indikator-indikator itu juga didasarkan pada perangkat analisis cohort dan dapat dihitung dengan bantuan diagram alir.

Salah satu indikator ini adalah rasio bertahan sekolah (survival rate atau SR). Indikator ini mungkin sangat penting bagi para perencana pendidikan untuk mengetahui berapa proporsi peserta didik yang terdaftar dalam sebuah jenjang pendidikan yang akan mencapai Kelas 2, Kelas 3, Kelas 4, dan seterusnya dari jenjang itu–hingga ke Kelas akhir. Proporsi ini akan memberi panduan kasar mengenai kapasitas retensi dari jenjang tersebut.

Setelah menyusun diagram untuk menunjukkan aliran cohort melalui sebuah jenjang pendidikan, menghitung rasio bertahan sekolah akan menjadi tugas yang mudah.

Terlepas dari tahun ajarannya, dalam menghitung SR menggunakan: (a) Total (untuk semua tahun) dari jumlah peserta didik yang terdaftar –

melalui kenaikan kelas – untuk tahun-tahuna jaran yang relevan berturut-turut; dan

(b) Jumlah awal dalam cohort.

Dengan menggunakan data dari Gambar 4, terlihat bahwa pada Kelas 2:

 Pada tahun 2011, ada 694 peserta didik yang naik kelas.

Jumlah peserta didik yang naik kelas berturut-turut di Kelas 2 adalah: 694+183+48 = 925, maka

Rasio bertahan sekolah:

Demikian cara yang sama, rasio bertahan sekolah untuk Kelas 3, Kelas 4 dan Kelas 5 adalah sebagai berikut:

Tabel 5. Rasio Bertahan Sekolah Untuk Kelas 3, Kelas 4 dan Kelas 5

Rasio bertahan sekolah 2 694 + 183 + 48 = 925 /1.000 = 92,5 % 3 526 + 257 + 94 = 877 /1.000 = 87,7 % 4 372 + 278 + 139 = 789 /1.000 = 78,9 % 5 162 + 153 + 90 = 405 /1.000 = 40,5 %

Rasio bertahan sekolah hingga Kelas akhir adalah 40,5%. Sistem ini berhasil mempertahankan 40,5% dari peserta didik untuk bertahan hingga Kelas akhir, tapi itu bukan berarti bahwa semua peserta didik akan lulus dari Kelas akhir. Peserta didik yang lulus adalah keluarannya: 74 + 107 + 96 = 277 (Lihat Gambar 4).

Rasio yang dihasilkan: adalah semacam rasio kelulusan (graduation rate) terkait dengan jumlah cohort awal yaitu 1.000 peserta didik.

Menghitung durasi rata-rata belajar per lulusan

Indikator lain yang menarik bagi perencana pendidikan, orang tua dan peserta didik adalah rata-rata durasi belajar per lulusan. Sekali lagi, indikator ini mudah dihitung berdasarkan diagram alir cohort. Setiap kelompok lulusan setiap tahun secara berturut-turut dikalikan dengan jumlah tahun yang mereka perlukan untuk menyelesaikan sebuah

jenjang tersebut; 107 lulusan yang perlu enam tahun dan 96 lulusan yang perlu tujuh tahun. Angka-angka ini dikalikan dengan jumlah tahun yang diperlukan, dijumlah dan dibagi dengan jumlah total lulusan.

Durasi rata-rata belajar per lulusan sama dengan:

Menghitung proporsi dari total pemborosan dari angka putus sekolah dan pengulangan kelas

Masih ada indikator lain yang dapat diperoleh dengan membagi jumlah total peserta didik-tahun yang ‘terboroskan’ menjadi dua proporsi: yang disebabkan angka pengulangan kelas, dan yang disebabkan angka putus sekolah.

Pertama-tama hitung proporsi total pemborosan dari angka putus

sekolah: kalikan angka putus sekolah di setiap kelas dengan kelas yang

mereka duduki terakhir (untuk memperhitungkan semua peserta didik-tahun yang ‘diboroskan’ sebelum berhenti bersekolah). Dengan menggunakan data pada Gambar 4 sebagai contoh, di Kelas 1 ada 42 peserta didik putus sekolah, kemudian 11 dan 3, yang totalnya menjadi 56. Untuk setiap tahun, peserta didik itu hanya bersekolah selama satu tahun; karena itu, total 74 lulusan dikalikan dengan 1. Untuk Kelas 2, ada 20 peserta didik putus sekolah dan jumlah ini dikalikan dengan 2 (dua tahun di sekolah), dan seterusnya. Jumlahkan angka-angka yang dihasilkan tadi dengan semua Kelas dan bagi dengan total peserta didik-tahun untuk semua Kelas (5.146) dikurangi peserta didik yang berhasil lulus, dikalikan dengan 5 (durasi ideal belajar untuk lulus, sesuai dengan jumlah tahun ideal yang diperlukan untuk berhasil).

Interpretasi indikator ini, dalam contoh kita, adalah bahwa 44,9 persen dari 3.761 peserta didik-tahun yang ‘terboroskan’ disebabkan angka putus sekolah; sebaliknya, proporsi total pemborosan dari angka

pengulangan kelas adalah 55,1 persen (100% – 44,9%). Oleh karena itu, dalam pendidikan menengah umum untuk peserta didik laki-laki di Negara G, angka pengulangan kelas dan putus sekolah kurang lebih merupakan sumber data untuk inefisiensi internal dengan proporsi angka pengulangan kelas sedikit lebih dominan pada rasio pemborosan itu.

Indikator lulusan: Rasio Bruto peserta didik baru di kelas terakhir dari pendidikan dasar

Beberapa indikator mencoba untuk mengukur akses ke pendidikan dasar dan memastikan bahwa semua anak-anak yang sudah bersekolah dapat menamatkan pendidikan dasar.

Indikator-indikator ini di antaranya adalah angka masukan kasar peserta didik baru di kelas terakhir dari pendidikan dasar (Gross Intake Ratio in

the Last Grade of Primary Education atau GIRLG). Ukuran proksi untuk

mengukur lulusan pendidikan dasar ini mengindikasikan kapasitas sistem pendidikan dasar untuk memfasilitasi populasi usia teoritis masuk kelas akhir SD untuk menamatkan pendidikan dasar. Rasio ini dihitungdari jumlah peserta didikbaru di kelas akhir SD dengan mengabaikan usia mereka, dibagi dengan populasi usia teoritis masuk kelas akhir SD, dikalikan dengan 100.10

Sebelumnya, telah ditegaskan bahwa ada beberapa cara untuk menilai situasi ini berbanding dengan pencapaian tujuan 2 dari pendidikan dasar universal. Kita juga dapat mencoba untuk mengukur perkembangan pencapaian tujuan ini menggunakan:

 hasil dari rasio bruto peserta didik baru pada tahun pertama dikombinasikan dengan hasil cohort yang dibentuk kembali; atau

Cara yang terakhir lebih tepat tetapi membutuhkan rasio murni peserta didik baru berdasarkan usia selama beberapa tahun. Pengukuran yang paling tepat adalah dengan cara menghitung rasio murni peserta didik baru di Kelas akhir pendidikan dasar berdasarkan usia selama beberapa tahun ajaran (yang memerlukan data jumlah total peserta didikdan peserta didik yang mengulang berdasarkan usia) dan dengan cara menghitung rasio kelulusan cohort demi cohort. Tetapi perhitungan ini memerlukan banyak data yang tidak selalu tersedia. Inilah sebabnya mengapa dipilih perhitungan perkiraan, beberapa dari perkiraan itu disajikan di atas.

C. Indikator Kualitas dan Keuangan 1. Indikator Kualitas

Kualitas pendidikan dan pelatihan bagi semua Negara Anggota adalah prioritas politis tertinggi dan sesuai dengan tujuan EFA nomor 6:

meningkatkan semua aspek kualitas pendidikan dan menjamin keunggulan untuk semua sehingga hasil belajar yang diakui dan terukur dicapai oleh semua, terutama dalam baca-tulis, berhitung dan keterampilan hidup yang penting.

Indikator-indikator kualitas ini mencakup tiga bidang: tingkat pencapaian/prestasi pendidikan; pemantauan pendidikan sekolah; dan sumber daya dan struktur pendidikan. Indikator-indikator kuantitatif yang paling sering digunakan dalam cakupan bidang ini antara lain:

a. Rasio peserta didik-guru

Rasio peserta didik-guru umumnya dianggap sebagai indikator kualitas

pendidikan yang mendesak dalam sasaran Dakar. Rasio ini juga dapat dimasukkan dalam kelompok indikator pada ketersediaan sumber daya manusia. Rasio peserta didik-guru juga merupakan elemen penting untuk merencanakan pengembangan sistem pendidikan.

menambahkan kualifikasi akademik guru, pelatihan pengajaran, pengalaman dan status, metode pengajaran, lama mengajar, bahan ajar dan kondisi ruang kelas – semua faktor yang mempengaruhi kualitas pengajaran dan pembelajaran. Rasio peserta didik-guru adalah jumlah

rata-rata peserta didik (murid) per guru pada tingkat pendidikan tertentu di tahun ajaran tertentu.

Keterangan: RM/G = Rasio Murid per Guru

Indikator ini digunakan untuk mengukur tingkat masukan sumber daya manusia dalam hal jumlah guru dalam kaitannya dengan ukuran populasi peserta didik. Penggunaan rasio ini biasanya harus dibandingkan dengan ukuran umum nasional mengenai jumlah peserta didik per guru untuk setiap jenjang atau jenis pendidikan.

Nilai-nilai rasio peserta didik-guru tidak boleh melebihi ukuran umum nasional yang menentukan kualitas belajar/mengajar karena diyakini bahwa guru dapat memberi lebih banyak perhatian kepada peserta didik di kelas yang lebih kecil. Data harus dipisahkan berdasarkan tingkat pendidikan, jenis sekolah (swasta/umum) dan lokasi geografis (daerah, perkotaan/perdesaan).

Apa standar kualitas dan keterbatasan indikator ini?

Rasio peserta didik-guru cenderung lebih dapat diterapkan untuk pendidikan dasar karena belum ada spesialisasi mata pelajaran di antara guru. Tentunya kualitas belajar/mengajar harus dipertimbangkan dalam konteks perbedaan kualifikasi guru, pelatihan pengajaran, dan lain-lain seperti yang sudah disebutkan di atas.

Dalam menggunakan instrumen pengumpulan data yang ada saat ini, di satu sisi sulit memastikan apakah semua personil mengajar sudah

mengajar. Indikator ini dapat disempurnakan dengan menyatakan jumlah guru dengan istilah “ekuivalen penuh waktu” (full-time equivalents atau FTE) alih-alih hitungan per kepala sehingga kita dapat memperhitungkan praktik mengajar paruh waktu di negara-negara tertentu, dan jadwal mengajar bergantian (multiple shifts) di negara lain, yang dapat mempengaruhi daya banding lintas nasional (cross-national comparability) rasio peserta didik/guru. Masalah lain dari pengumpulan data juga telah dijelaskan oleh ahli statistik nasional, seperti penggelembungan laporan jumlah guru atau peserta didik oleh pihak sekolah, karena alasan keuangan. Kesulitan juga terjadi dalam mendapatkan ukuran-ukuran yang valid dari rasio ini jika sistem pendidikan di suatu negara tidak sesuai dengan ISCED11, misalnya ketika kelas pertama dan kelas kedua dari pendidikan dasar (ISCED Kelas 1 dan Kelas 2) terjadi di sekolah yang sama dan dengan demikian dilaporkan secara bersama-sama.

b. Persentase guru sekolah dasar yang memiliki kualifikasi akademik yang dibutuhkan dan persentase guru sekolah dasar yang bersertifikat (atau terlatih) untuk mengajar sesuai dengan standar nasional

Guru yang terlatih dan berkualitas sangat penting untuk melaksanakan rekomendasi Dakar dalam menyediakan pendidikan dasar yang berkualitas baik. Selama pelaksanaan serangkaian lokakarya regional yang diselenggarakan oleh UIS, kondisi kerja guru dalam kaitannya dengan kualifikasi, pengalaman dan beban kerja mereka disorot sebagai salah satu isu utama yang membutuhkan penelitian lebih lanjut.

Kedua indikator itu mengukur aspek yang berbeda-beda dari kualifikasi guru; indikator pertama menunjukkan tingkat umum pendidikan staf pengajar, dan indikator kedua lebih memusatkan pada pelatihan pengajaran mereka.

Keterangan: AGTD = Angka Guru Tepat Didik, adalah persentase guru dengan kualifikasi akademik yang berkesesuaian dengan bidang studi yang diajar

Keterangan: AGT = Angka Guru Tertatar, adalah persentase guru yang telah mengikuti pelatihan.

c. Persentase peserta didik yang telah mencapai setidaknya kelas 4 sekolah dasar yang menguasai serangkaian kompetensi pembelajaran dasar yang didefinisikan secara nasional

Indikator pencapaian belajar diperlukan untuk menilai sasaran keenam EFA. Terdapat peningkatan permintaan dalam beberapa tahun terakhir dari lembaga internasional dan otoritas nasional untuk mengembangkan metodologi yang lebih tepat untuk menilai prestasi belajar.

Mendefinisikan indikator internasional terhadap prestasi belajar adalah tugas yang kompleks. Para ahli statistik di beberapa negara telah mempertanyakan definisi “kompetensi belajar” yang terdapat dalam Indikator 15 EFA. Sumber data untuk indikator ini dalam Penilaian EFA 2000 biasanya dari Proyek Pemantauan Prestasi Belajar UNESCO / UNICEF yang belum dilakukan di semua negara dan terlalu mahal untuk diulang-ulang di negara-negara tempat dilaksanakannya. Indikator tersebut tergantung pada metode yang menyeluruh, terencana dan logis sebelum survei dilakukan.

Beberapa indikator sederhana untuk mengukur pencapaian bisa diperoleh melalui hasil ujian pada akhir jenjang pendidikan pertama tetapi cara ini tidak akan memiliki daya banding lintas nasional. Indikator lain dari kualitas pendidikan harus dikembangkan, mengenai masukan pendidikan seperti