• Tidak ada hasil yang ditemukan

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.5. Analisis Dampak Pengelompokkan Wilayah Kecamatan

Pengelompokan wilayah kecamatan setelah terjadi pemekaran wilayah memberikan hasil yang berbeda dengan penelitian yang dilakukan pada tahun 1999 atau sebelum terjadi pemekaran wilayah. Kedua penelitian ini menggunakan metode analisis yang sama yaitu analisis faktor dan analisis cluster dengan metode pengelompokan hierarki. Adapun perbedaan penelitian pada Tahun 1999 dan Tahun 2008 adalah jumlah peubah yang digunakan pada Tahun 1999 sebanyak 13 peubah dan pada Tahun 2008 sebanyak 12 peubah. Faktor yang terbentuk adalah lima faktor pada tahun 1999 dan dua faktor pada Tahun 2008. Banyaknya cluster

67

yang terbentuk adalah sepuluh cluster pada Tahun 1999 dan 11 cluster pada Tahun 2008.

Penelitian yang dilakukan pada tahun 1999 (sebelum pemekaran wilayah) menggunakan 13 peubah. Peubah tersebut adalah: (1) persentase jumlah desa yang memiliki lahan kritis; (2) kepadatan penduduk; (3) rasio petugas kesehatan per 10.000 penduduk; (4) rasio sarana kesehatan per 10.000 penduduk; (5) persentase jumlah desa yang memiliki sarana telekomunikasi; (6) persentase jumlah desa menurut sarana angkutan utama (kendaraan beroda empat); (7) perseentasee jumlah desa menurut adanya hotel; (8) persentase jumlah desa menurut adanya restoran; (9) persentase jumlah desa menurut jenis permukaan jalan yang terluas adalah aspal; (10) jumlah sekolah SLTP; (11) jumlah sekolah SLTA; (12) rata-rata produksi pertanian; (13) jumlah perusahaan industri.

Pada awalnya penulis menggunakan peubah yang sama dengan penelitian sebelumnya dengan menggunakan data tahun 2008. Penulis mencoba mengelompokkan kembali kecamatan di Kabupaten Bogor dengan menggunakan 13 peubah yang sama namun dari hasil penghitungan ulang beberapa peubah

Tabel 5.6. Jumlah Peubah dan Hasil Penelitian Pengelompokan Kecamatan Sebelum dan Setelah Pemekaran Wilayah di Kabupaten Bogor

Uraian Sebelum Pemekaran Setelah Pemekaran

Tahun 1999 Tahun 2008

(1) (2) (3)

Jumlah Peubah 13 12

Faktor 5 2

sudah tidak dapat digunakan karena tidak lagi berkorelasi dengan peubah yang lainnya seperti persentase desa menurut sarana telekomunikasi, persentase desa yang dapat dilalui angkutan roda empat, persentase desa yang jalan utamanya telah diaspal, persentase desa menurut lahan kritis, dan persentase desa menurut keberadaan hotel. Hal ini mungkin saja disebabkan karena pembangunan yang telah dilakukan telah menyeluruh sampai ke pelosok desa ataupun adanya kemajuan teknologi seperti penggunaan handphone yang menyebabkan peubah- peubah tersebut tidak lagi berkorelasi dengan yang lainnya.

Kemudian penulis menambah peubah baru yang dianggap cukup mewakili potensi wilayah dan sarana prasarana sosial ekonomi seperti jumlah industri kecil dan kerajinan rumah tangga, jumlah obyek wisata, hasil perikanan, hasil peternakan dan lain sebagainya sehingga jumlah seluruhnya menjadi 50 peubah. Data yang digunakan tidak lagi dalam satuan persentase tetapi dalam bentuk agregat. Satuan antar peubah berbeda-beda, dalam arti ada data dengan satuan kilometer persegi, ton dan ada pula data dengan satuan unit. Perbedaan satuan yang mencolok seperti ini akan menyebabkan bias dalam analisis sehingga data asli harus ditransformasi (standardisasi) ke dalam bentuk z-score sebelum bisa di analisis.

Setelah melakukan penghitungan korelasi antar peubah ternyata hanya 12 peubah saja yang berkorelasi tinggi yang kemudian dipilih sebagai peubah yang akan dijadikan bahan analisis. Peubah tersebut adalah: (1) jumlah penduduk; (2) jumlah dokter; (3) jumlah petugas kesehatan; (4) jumlah puskesmas dan pustu; (5) jumlah sekolah SLTP; (6) jumlah sekolah SLTA; (7) jumlah KUD; (8) jumlah

69

toko dan mini market; (9) jumlah restoran; (10) jumlah industri besar dan sedang; (11) luas wilayah; (12) produksi padi.

Hasil penelitian tahun 2008 bila dibandingkan dengan tahun 1999 adalah berkurangnya faktor yang dihasilkan yaitu dari lima faktor menjadi dua faktor. Adapun kelima faktor tersebut adalah: (1) faktor sarana pendidikan dan industri; (2) faktor sarana sektor perdagangan; (3) faktor sarana dan prasarana transportasi; (4) faktor sumber daya manusia dan prasarana kesehatan; dan (5) faktor produktivitas dan tenaga pelayanan kesehatan. Kelima faktor ini didapat dari nilai akar ciri yang lebih besar dari satu yang mampu menerangkan keragaman data sebesar 72,452 persen. Sementara hasil penelitian tahun 2008 didapatkan dua faktor yaitu: (1) faktor potensi penduduk dan sarana sosial ekonomi; dan (2) faktor produksi padi. Kedua faktor ini didapat dari nilai akar ciri yang lebih besar dari satu yang mampu menerangkan keragaman data sebesar 73,123 persen.

Berkurangnya jumlah faktor dari lima pada tahun 1999 menjadi dua pada tahun 2008 selain dari keragaman antar peubahnya juga dapat dijelaskan dari peubah yang berkorelasi erat dengan faktornya. Pada tahun 1999 peubah yang berkorelasi dengan faktornya yang mewakili sarana pendidikan, industri, sarana kesehatan, sarana perdagangan terbagi ke dalam empat faktor dan satu faktor yang mewakili produktivitas padi. Sementara pada tahun 2008, faktor yang mewakili peubah jumlah penduduk, sarana perdagangan, jumlah industri, sarana pendidikan dan sarana kesehatan kini mengumpul menjadi satu dan berkorelasi erat dengan faktornya yaitu faktor potensi penduduk dan sarana sosial ekonomi. Hal ini sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Todaro (2000) yang mengatakan bahwa ada

tiga faktor atau komponen utama dalam pertumbuhan ekonomi. Pertama, akumulasi modal yang meliputi semua bentuk dan jenis investasi baru yang ditanamkan pada tanah, peralatan fisik dan sumber daya manusia. Kedua, pertumbuhan penduduk yang beberapa tahun selanjutnya dengan sendirinya membawa pertumbuhan angkatan kerja dan ketiga adalah kemajuan teknologi. Pembangunan dan pertumbuhan ekonomi telah terjadi di Kabupaten Bogor selama kurun waktu 1999-2008. Kemajuan teknologi, pertumbuhan penduduk dan akumulasi modal dalam bidang industri dan perdagangan telah membawa pertumbuhan pada sektor lainnya. Ilustrasi sederhana adalah dengan adanya akumulasi modal di bidang industri telah menyebabkan terserapnya tenaga kerja di sektor tersebut sehingga wilayah yang industrinya berkembang akan diikuti dengan bertambahnya jumlah penduduk di daerah tersebut. Jumlah penduduk yang bertambah membuat investasi di sektor perdagangan juga bertambah guna memenuhi konsumsi masyarakatnya selain itu terjadi juga pertumbuhan investasi di bidang pendidikan dan pelayanan kesehatan guna memenuhi kebutuhan dasar masyarakat akan pendidikan dan kesehatan. Sementara faktor lainnya hampir sama dengan hasil sebelumnya yaitu faktor produksi padi. Oleh karena itu pada tahun 2008 hanya terdapat dua faktor saja yang mewakili potensi wilayah dan sarana sosial ekonomi di Kabupaten Bogor.

Hasil analisis cluster dengan metode hierarki juga menghasilkan hasil yang berbeda antara tahun 1999 dengan tahun 2008. Terjadi penambahan jumlah cluster dari sepuluh cluster di tahun 1999 menjadi 11 cluster pada tahun 2008 dengan komposisi kecamatan berbeda dalam tiap kelompoknya. Hal ini

71

disebabkan oleh jarak kedekatan antar peubahnya yang membuat beberapa kecamatan yang memiliki ciri yang sama berada pada satu cluster. Penambahan jumlah kecamatan yang disebabkan oleh pemekaran wilayah juga dimungkinkan dapat menambah cluster karena kecamatan-kecamatan hasil pemekaran memiliki ciri yang sama sehingga membentuk satu cluster baru.

Tabel 5.7. Daftar Kecamatan Menurut Cluster Sebelum dan Setelah Pemekaran Wilayah di Kabupaten Bogor

Cluster

Kecamatan

Sebelum Pemekaran Setelah Pemekaran

Tahun 1999 Tahun 2008

(1) (2) (3)

I

Nanggung, Leuwiliang, Ciomas, Cijeruk, Sukaraja, Kemang, Cigudeg, Jasinga, Parung Panjang, Ciampea

Dramaga, Megamendung, Cigombong, Gunung Sindur, Kemang, Parung, Ciomas, Ciawi, Sukaraja, Cisarua

II Megamendung, Rumpin

Leuwisadeng, Tenjolaya, Tamansari, Ciseeng, Cijeruk, Tajurhalang, Rancabungur III Ciawi, Babakan Madang,

Gunung Sindur, Cariu

Cibungbulang, Caringin, Ciampea, Leuwiliang, Parungpanjang

IV Pamijahan, Sukamakmur, Parung, Tenjo, Jonggol

Babakan Madang,

Klapanunggal, Tenjo, Cariu, Sukajaya

V Bojonggede, Gunung Putri, Citeureup, Cibinong

Cigudeg. Jasinga, Pamijahan, Jonggol

VI Cileungsi Sukamakmur, Tanjungsari,

Nanggung, Rumpin

VII Caringin Citeureup

VIII Cisarua Bojonggede

IX Cibungbulang Cileungsi

X Dramaga Gunung Putri

XI Cibinong

Sebelum pemekaran wilayah diberlakukan kecamatan Cijeruk, Ciampea, Cigudeg, Leuwiliang dan Kemang berada pada satu cluster yang sama yaitu cluster yang memiliki ciri sarana prasarana sosial ekonominya di bawah rata-rata kabupaten. Tetapi setelah ada pemekaran wilayah sebagai langkah dalam mengimplementasikan kebijakan otonomi daerah terlihat dari hasil pengelompokan saat ini bahwa kecamatan-kecamatan hasil pemekaran yaitu kecamatan Cijeruk (hasil pemekaran), Tenjolaya, Leuwisadeng, Rancabungur berada dalam satu cluster yang sama yaitu cluster kedua dimana faktor produksi padi dan potensi penduduk dan sarana prasarana sosial ekonomi sangat jauh berada di bawah rata-rata kabupaten. Begitu pula halnya dengan kecamatan lain hasil pemekaran yang saat ini masuk cluster kedua yaitu Tamansari, Ciseeng dan Tajurhalang. Sementara pecahan kecamatannya yaitu Kecamatan Ciampea, Leuwiliang, Cigudeg, termasuk ke dalam cluster III dan V yang semua faktornya berada di atas rata-rata kabupaten.

Penekanan potensi wilayah yang didapat sebelum dan setelah pemekaran wilayah pun berbeda, bila di tahun 1999 potensi wilayah terbagi menjadi potensi non ekonomi (sarana sosial) dan potensi sarana ekonomi, kini potensi sosial dan ekonomi menjadi satu kesatuan. Pada tahun 1999 dengan melihat persamaan ciri yang ada antar cluster maka potensi wilayah Kabupaten Bogor dapat dikelompokkan menjadi empat kelompok yaitu kelompok kecamatan berpotensi bagus, sedang (non ekonomi), sedang (ekonomi), dan rendah. Kecamatan yang dapat dikatakan berpotensi bagus adalah kecamatan yang memiliki produktivitas, sarana prasarana ekonomi dan non ekonomi (sarana sosial) serta sumber daya

73

manusia berada di atas rata-rata kabupaten. Kecamatan yang dapat dikatakan berpotensi sedang (non ekonomi) adalah kecamatan yang memiliki sarana prasarana ekonomi di bawah rata-rata kabupaten namun produktivitas, sumber daya manusia dan tenaga pelayanan kesehatan di atas rata-rata kabupaten.

Kecamatan yang dapat dikatakan berpotensi sedang (ekonomi) adalah kecamatan yang memiliki sarana prasarana ekonomi di atas rata-rata kabupaten Tabel 5.8. Daftar Kecamatan Menurut Potensi Wilayah Sebelum

dan Setelah Pemekaran Wilayah di Kabupaten Bogor Sebelum Pemekaran

Tahun 1999

Setelah Pemekaran Tahun 2008

Potensi Kecamatan Wilayah Kecamatan

(1) (2) (3) BAGUS Bojonggede, Gunung Putri, Citeureup, Cibinong I Cibungbulang, Caringin, Ciampea, Leuwiliang, Parungpanjang, Cigudeg. Jasinga, Pamijahan, Jonggol SEDANG (non ekonomi)

Ciawi, Babakan Madang, Gunung Sindur, Cariu, Pamijahan, Sukamakmur, Parung, Tenjo, Jonggol, Cibungbulang

II

Citeureup, Bojonggede, Cileungsi, Gunung Putri, Cibinong SEDANG (ekonomi) Megamendung, Rumpin, Cileungsi, Caringin, Cisarua, Dramaga III Babakan Madang, Klapanunggal, Tenjo, Cariu, Sukajaya, Sukamakmur, Tanjungsari, Nanggung, Rumpin RENDAH Nanggung, Leuwiliang, Ciomas, Cijeruk, Sukaraja, Kemang, Cigudeg, Jasinga, Parung Panjang, Ciampea

IV

Dramaga, Megamendung, Cigombong, Gunung Sindur, Kemang, Parung, Ciomas, Ciawi, Sukaraja, Cisarua, Leuwisadeng, Tenjolaya, Tamansari, Ciseeng, Cijeruk,

Tajurhalang, Rancabungur

namun produktivitas, sumber daya manusia dan tenaga pelayanan kesehatan di bawah rata-rata kabupaten. Kecamatan yang dapat dikatakan berpotensi rendah adalah kecamatan yang memiliki produktivitas, sarana prasarana ekonomi dan non ekonomi (sarana sosial) serta sumber daya manusia berada di bawah rata-rata kabupaten.

Sementara pada tahun 2008 dengan melihat persamaan ciri yang ada antar cluster maka wilayah Kabupaten Bogor dikelompokkan ke dalam empat wilayah yaitu Wilayah I, II, III dan IV. Wilayah I terdiri dari kecamatan yang memiliki ciri produksi padi, potensi penduduk dan sarana sosial ekonomi cukup memadai. Wilayah II terdiri dari kecamatan yang potensi penduduk dan sarana sosial ekonominya cukup memadai. Wilayah III terdiri dari kecamatan yang produksi padinya tinggi namun sarana prasarana sosial ekonomi dan potensi penduduknya kurang memadai. Wilayah IV terdiri dari kecamatan yang potensi penduduk, sarana prasarana sosial ekonomi dan produksi padinya kurang memadai.

Seperti telah diulas sebelumnya bahwa kecamatan hasil pemekaran hampir seluruhnya masuk ke dalam wilayah I dan kecamatan yang dimekarkan yaitu Kecamatan Ciomas, Kemang dan Parung juga masuk ke dalam wilayah I. Berbeda halnya dengan kecamatan hasil pemekaran yang memiliki potensi pertanian seperti kecamatan Tanjungsari, Sukajaya, Sukamakmur dan Klapanunggal, masuk ke dalam Wilayah III dimana rata-rata faktor produksi padinya di atas rata-rata kabupaten namun untuk rata-rata faktor potensi penduduk dan sarana sosial ekonominya berada di bawah rata-rata kabupaten. Berdasarkan hasil di atas dapat disimpulkan bahwa kecamatan hasil pemekaran merupakan kecamatan yang

75

sarana prasarana sosial ekonominya kurang memadai untuk itu dapat dikatakan bahwa hasil pemekaran kecamatan ini belum efektif. Hasil pemekaran yang dilakukan telah menciptakan daerah yang membutuhkan perhatian khusus dalam penyediaan sarana dan prasarana sosial ekonomi serta harus dibangkitkan keberdayaannya. Kecamatan-kecamatan baru hasil pemekaran harus mendapat prioritas utama dari pemerintah daerah dan diharapkan aparat pemerintah yang berada di kecamatan tersebut dapat membangkitkan perekonomian dan mengawasi pelaksanaan pembangunan serta mengakomodir aspirasi masyarakat setempat.

Dokumen terkait