• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Data a. Penyebab Perceraian

ANALISA DATA DAN INTERPRETASI

C. Subjek III

B.2. Analisis Data a. Penyebab Perceraian

B.2. Analisis Data a. Penyebab Perceraian

1) Keadaan subjek sebelum menikah  Penyesuaian dengan pasangan

a) Konsep pasangan ideal

Sebelum menikah subjek telah memiliki suatu konsep mengenai pasangan yang diinginkannya untuk menjadi pasangan hidupnya. Subjek menginginkan pria yang baik dan menyayangi subjek serta memiliki pekerjaan yang bagus. Pada awal perkawinan suami subjek memang memenuhi kriteria yang diinginkannya. Suami subjek adalah seorang dokter (S3.W1/k. 1-17, k. 23-27/hal.1).

b) Pemenuhan kebutuhan

setelah lama menikah tidak dapat terpenuhi lagi. Subjek mengatakan kalau suaminya tidak lagi bersikap setia terhadap keluarganya (S3. W1/k. 31-34, 37-39, 43-46/hal. 1-2).

c) Kesamaan latar belakang

Keluarga subjek termasuk sebagai keluarga yang kaya sedangkan eluarga suaminya berasal dari keluarga sederhana. Perbedaan tingkat ekonomi keluarga subjek dengan keluarga suaminya menimbulkan ketidaksukaan suami subjek terhadap keluarga subjek. Selain itu subjek dan suaminya sama-sama suku Karo (S3. W1/k. 50-62, 65-66/hal. 3).

d) Minat dan Kepentingan bersama

Subjek merasa ia dan suaminya tidak memiliki minat dan kesukaan yang sama. Subjek menyadari bahwa memang terlalu banyak perbedaan yang muncul di antara mereka (S3. W1/k. 75-95/hal. 3).

e) Konsep peran

Peran suami yang diinginkan subjek adalah bisa menyayangi keluarga, bertanggung jawab, jangan menyakiti keluarga. Sewaktu awal menikah suami subjek menyayangi subjek, apalagi sewaktu anak pertama yang lahir adalah laki-laki kemudian menyusul lahirnya anak perempuan. Subjek merasa bahagia (S3. W1/k. 99-103, 106-119/hal. 4).

f) Perubahan Pola Hidup

Sebelum menikah, saat subjek belum mengenal suaminya, ia bebas pergi dan berteman dengan siapa saja. Setelah berkenalan dan menjalin hubungan dengan suaminya subjek tidak diperbolehkan lagi bergaul dengan teman-temannya (S3. W1/k. 124-138/hal. 5).

 Penyesuaian keuangan

Subjek mengetahui dengan jelas pekerjaan suaminya sejak sebelum menikah. Profesi dokter di kota kecil merupakan profesi yang cukup terkenal sehingga siapa saja yang menjadi dokter akan diketahui dengan jelas oleh semua orang termasuk oleh subjek. Selain itu suami subjek sejak sebelum menikah telah memiliki praktek untuk bekerja di sore hari dan subjek sering datang ke praktek suaminya sejak sebelum menikah. Kondisi keuangan suami subjek pada saat sebelum menikah masih belum terlalu mencukupi, karena suami subjek baru menjalani profesinya sebagai dokter. Subjek pernah dibelikan jam tangan saat masih berpacaran dengan suaminya. Pada saat acara pernikahan suami subjek turut menyumbang biaya pesta (S3. W1/k. 142-149, 162-167, 174-175, 244-248/hal. 5-6, 8).

 Penyesuaian dengan pihak keluarga pasangan a) Stereotipe tradisional

Timbul ketidakcocokan antara mamak subjek dengan suaminya karena orangtua subjek terlalu memaksakan apa yang ia mau dalam penyelenggaraan pesta. Sejak masalah persiapan pesta itu suami subjek tidak menyukai orangtua subjek. Subjek jadi sering bertengkar dengan suaminya (S3. W1/k. 184-189, 193-200/hal. 6-7).

b) Keinginan untuk Mandiri

Tetapi yang menjadi masalah keluarga subjek menginginkan pesta yang besar sedangkan suami subjek hanya menginginkan pesta yang sederhana

akibat keterbatasan dana. Suami subjek tidak mau menerima saran-saran serta masukan dari orangtua subjek (S3. W1/k. 177-183, 211-229/hal. 6-8). c) Keluargaisme

Sebelum menikah subjek lebih banyak menghabiskan waktu dengan keluarganya (S3. W1/k. 233-237/hal. 8).

d) Mobilitas sosial

Subjek merasa tingkat sosial orangtuanya lebih tinggi dibandingkan tingkat sosial suaminya dalam pergaulan. Karena orangtuanya lebih banyak mengenal orang-orang penting termasuk Bupati di kota kecil itu (S3. W1/k. 253-267/hal. 9).

e) Anggota Keluarga yang Berusia Lanjut

Subjek tidak pernah membicarakan masalah merawat anggota keluarga yang lebih tua dengan suaminya. Hal ini karena orangtua subjek mengatakan kalau ia tetap ingin tinggal di rumahnya sendiri (S3. W1/k. 279-296/hal. 9-10).

f) Bantuan Keuangan Untuk Keluarga Pasangan

Subjek dan suaminya terkadang membantu memberi bantuan keuangan pada keluarga suaminya (S3. W1/k. 302-313/hal. 10).

 Pekerjaan

Sebelum menikah subjek tidak pernah bekerja. Subjek tidak bekerja karena orangtua subjek kurang mendukung. Orangtua subjek mengatakan kalau ia akan kesulitan mendapat suami jika ia terus sibuk bersekolah.

Setelah tamat sekolah subjek bertemu dengan suaminya dan kemudian menikah (S3. W1/k. 316-317, 319-331/hal. 10-11).

2) Keadaan subjek setelah menikah e) Alasan menikah

Alasan subjek menikah dengan suaminya adalah karena subjek mencintai suaminya meskipun subjek tahu bahwa suaminya tidak akur dengan keluarganya (S3. W1/k. 337-364/hal. 12).

f) Jumlah anak

Dari hasil perkawinannya subjek mendapatkan tiga orang anak, yang pertama laki-laki dan yang kedua anak perempuan kembar. Suami subjek tidak pernah mempermasalahkan jumlah anak pada subjek. Suaminya justru merasa senang karena bisa memiliki anak laki-laki (S3. W1/k. 367-371, 375-378/hal. 12).

g) Penyesuaian seksual a) Perilaku terhadap seks

Subjek tidak pernah membicarakan masalah seks dengan orangtuanya. Hal itu dianggap sebagai pantangan dan subjek merasa berdosa jika memikirkan masalah seks. Di awal pernikahan, subjek yang tidak tahu soal seks mengalami sedikit masalah. Tetapi dengan seiring waktu subjek mulai mengerti secara alami (S3. W1/k. 402-410, 417-424/hal. 13-14).

Subjek tidak pernah terpikir untuk melakukan hubungan seks di luar nikah. Kebudayaan di kota itu juga sangat melarang hal itu (S3. W1/k. 429-446/hal. 14).

c) Dorongan seksual

Terkadang subjek merasa capek dan tidak ada keinginan melakukan hubungan intim dengan suaminya di masa menstruasi (S3. W1/k. 455-461, 464-468/hal. 15).

d) Pengalaman seks marital awal

Subjek merasa masalah seks sama pentingnya dengan masalah lain di dalam menjalani rumah tangga (S3. W1/k. 473-487/hal.16).

e) Sikap Terhadap Penggunaan Alat Kontrasepsi

Subjek merasa perlu menggunakan alat kontrasepsi untuk mencegah kehamilan yang tidak diinginkan. Subjek merasa sudah cukup memiliki tiga orang anak. Suami subjek juga setuju menggunakan alat kontrasepsi tersebut(S3. W1/k. 490-497, 501-504/hal. 16).

f) Efek vasektomi

Subjek dan suaminya tidak pernah membicarakan dan merencanakan akan melakukan vasektomi. Karena membuat suaminya akan merasa tidak perkasa lagi (S3. W1/k. 513-522/hal. 17).

 Penyesuaian dengan pihak keluarga pasangan a) Stereotipe tradisional

Hubungan suami subjek dengan keluarga subjek semakin memburuk. Subjek merasa hal itu menjadi suatu hambatan di dalam rumah tangganya. Suami subjek yang tidak menyukai keluarga subjek juga melarang subjek

dekat dengan keluarganya. Suami subjek tidak mau lagi berjumpa dengan keluarga subjek. Subjek juga dilarang ikut acara keluarganya. Awalnya subjek merasa bingung dan marah karena tidak dijinkan bergabung dengan keluarganya. Tetapi sekarang subjek tidak berani lagi melawan karena suami subjek akan marah dan subjek merasa takut. Suami subjek akan memarahinya dengan suara yang besar dan di depan anak-anak serta pembantu subjek sendiri. Subjek merasa malu. Suami subjek merasa paling membenci mamak dan abang subjek yang paling tua. Suami subjek mengatakan kalau mamak dan abang subjek yang tertua suka memamerkan harta di depannya. Suami subjek hanya setahun sekali bertemu dengan keluarga subjek, dan itu terjadi saat keluarga subjek datang tanpa pemberitahuan. Biasanya suami subjek langsung masuk kamar atau pergi ke luar. Mamak subjek juga tidak menyukai suami subjek. Subjek merasa hubungan orangtuanya dengan suaminya semakin buruk sehingga ia sempat merasakan keraguan pada pernikahannya (S3. W1/k. 530-599/hal. 17-19).

b) Keinginan Untuk Mandiri

Setelah menikah, suami subjek berencana membeli rumah baru. Tetapi suami subjek merasa marah dan tersinggung karena keluarga subjek turut memberikan saran bagi suami subjek. Suami subjek merasa keberatan dan tidak mau menerima saran tersebut (S3. W1/k. 613-647/hal. 20-21).

Setelah menikah subjek lebih banyak menghabiskan waktu dengan suami dan anak-anaknya dibandingkan dengan keluarganya (S3. W1/k. 651-662/hal. 21).

d) Mobilitas sosial

Tingkat sosial suami subjek setelah menikah masih sama dengan sebelum menikah. Orangtua subjek tidak ada memberi tanggapan (S3. W1/k. 685-689/hal. 22).

e) Anggota keluarga yang berusia lanjut

Setelah menikah pun subjek dan suaminya tidak berencana merawat anggota keluarga yang lanjut usia (S3. W1/k. 693-697/hal. 22).

f) Bantuan untuk keluarga pasangan

Suami subjek tetap membantu keuangan keluarganya tetapi hanya yang benar-benar memerlukan saja (S3. W1/k. 703-713/hal. 22-23).

 Alasan menikah

h) Saat pasangan menjadi orangtua

Jarak antara masa menikah dengan memiliki anak tidak menjadi maslah bagi subjek dan suaminya. Justru mereka merasa senang dengan kelahiran anak mereka (S3. W1/k. 717-727/hal. 23).

i) Model pasangan sebagai orangtua

Sebelum bercerai, subjek dan suaminya memperlihatkan sikap yang cukup baik di depan anak-anaknya. Walaupun pernah juga subjek dan suaminya bertengkar di depan anak mereka, tetapi termasuk jarang. Setelah suami subjek ingin menceraikan subjek, suaminya berubah menjadi kasar dan semakin bersikap dingin terhadap subjek. Anak subjek turut menjadi

pelampiasan amarah bapaknya. Anak subjek merasa takut dan sedih (S3. W1/k. 733-755/hal. 23-24).

j) Mempertahankan identitas

Menurut subjek dirinya banyak dipengaruhi keluarganya seperti cara hidup subjek yang berkecukupan di keluarganya. Tetapi tidak jarang juga suami subjek marah karena menurut suaminya pola pikir subjek terlalu banyak dipengaruhi oleh keluarga subjek (S3. W1/k. 762-776/hal. 24-25).

k) Penyesuaian keuangan

Keuangan suami subjek semakin meningkat setelah menikah (S3. W1/k. 667-680, 795-798/hal. 21-22, 25).

 Pekerjaan

Subjek memutuskan untuk tidak bekerja setelah menikah karena ia merasa suaminya cukup mampu memenuhi kebutuhan hidupnya dan mampu mengikuti cara hidupnya (S3. W1/k. 802-811/hal. 26).

b. Tahap Penyesuaian dalam perceraian

1) Menyangkal bahwa ada perceraian.

Subjek tidak pernah terpikir bahwa ia akan dicerai. Subjek merasa tidak percaya bahwa suaminya akan meninggalakan dia demi wanita lain yang dianggap subjek memiliki banyak kekurangan. Subjek tidak menduga akan dicerai dengan cara yang tidak baik. Subjek merasa tidak bisa menerimanya (S3. W2/k. 123-134, 356-361/hal. 31, 38).

Subjek merasa sakit hati. Suami subjek juga tidak mau lagi berkomunikasi dengan subjek (S3. W2/k. 138-143/hal. 31).

3) Dengan alasan pertimbangan anak mereka berusaha untuk tidak bercerai. Sebenarnya subjek sudah merasa sakit hati karena suaminya menduakan dia. Tetapi subjek mengurungkan niatnya karena memikirkan nasib anak-anaknya (S3. W2/k. 162-178/hal. 32).

4) Mereka mengalami depresi mental ketika mereka tahu akibat menyeluruh dari perceraian terhadap keluarga.

Subjek merasa stress memikirkan bagaimana nanti ia mengurus sendiri hidupnya dan anak-anaknya. Subjek merasa sakit hati dan tidak tahan menjalani semuanya. Subjek merasa sangat sedih dan takut setelah bercerai dari suaminya. Subjek juga merasa kecewa, marah dan benci. Subjek tidak ingin malihat muka suaminya lagi. Subjek tidak akan pernah memaafkan suaminya. Akibat perceraiannya subjek merasa stress berat (S3. W2/k. 146-159, 354-355/hal. 31, 38).

5) Akhirnya mereka setuju untuk bercerai

Semenjak subjek menolak bercerai suaminya banyak melakukan ancaman dan kekerasan terhadap dirinya. Sehingga akhirnya subjek tidak tahan lagi dan mau untuk bercerai dengan suaminya (S3. W2/k. 283-288/hal. 35).

1) Penyesuaian terhadap pengetahuan bahwa perceraian akan terjadi. Subjek merasa tidak terima tetapi akhirnya subjek pasrah dan harus tetap pergi dari rumah suaminya (S3. W2/k. 365-369/hal. 38).

2) Penyesuaian terhadap perceraian itu sendiri

Subjek pada awal bercerai merasa stres dan putus asa. Subjek tidak mampu lagi berpikir lagi. Tetapi subjek merasa beruntung karena abang subjek mau meminjamkan rumahnya kepada subjek yang telah kehilangan rumah. Pada saat itu subjek hanya bisa menangis terus menerus. Sampai pada akhirnya anak laki-laki subjek menyadarkan dan membangkitkan semangat subjek untuk tegar dan bertahan serta berusaha bangkit dari keterpurukan mereka (S3. W2/k. 372-468/hal. 38-41).

3) Penyesuaian salah satu orangtua anak untuk menentang salah satu orangtua yang lain.

Setelah bercerai subjek mengalami pertentangan dengan suaminya mengenai pengasuhan anak laki-laki mereka. Suami subjek mengatakan kalau anak laki-laki mereka harus ikut dengannya sementara yang perempuan ikut dengan subjek. Tetapi subjek menolak hal tersebut. Untungnya anak subjek juga tidak mau ikut dengan suami subjek. Ia lebih memilih tetap tinggal dengan subjek (S3. W2/k. 473-493/hal. 41-42). 4) Penyesuaian terhadap perilaku kelompok usia sebaya

Teman subjek berusaha menghibur dan membesarkan hati subjek agar tidak larut dalam kesedihan (S3. W2/k. 496-498/hal. 42).

Setelah bercerai subjek merasa sangat benci kepada suaminya. Ia merasa sangat sakit hati dan ia tak kan pernah memaafkan suaminya (S3. W2/k. 502-508/hal. 42).

6) Penyesuaian untuk menikah kembali

Subjek merasa tidak siap untuk menikah kembali karena ia tidak mau merasakan sakit hati untuk yang kedua kalinya. Subjek tidak bisa membayangkan jika hal itu terulang kembali. Subjek merasa ia sudah cukup merasakan kesenangan dan sakitnya suatu pernikahan (S3. W2/k. 532-540/hal. 43).

7) Penyesuaian untuk memahami kegagalan keluarga

Subjek banyak merenung mengapa hal ini bisa mendatangi dirinya. Subjek merasa kasihan pada anak-anaknya karena terkena imbas dari perceraian subjek. Tetapi subjek selalu teringat pada perkataan anak laki-lakinya yang selalu menjadi pembangkit dirinya. Akhirnya subjek menerima jalan hidupnya dan terus berusaha agar anak-anaknya bisa hidup bahagia seperti dulu (S3. W2/k. 512-529/hal. 42-43).

c. Keadaan subjek setelah bercerai

1) Masalah ekonomi

Subjek merasa bingung memikirkan uang belanja dan uang sekolah anak-anaknya. Abang kedua subjek ternyata mau membantu menolong masalah biaya sekolah anak-anak subjek. Subjek merasa untuk masalah hidup sehari-hari tidak mungkin bila ia juga bergantung pada abangnya. Subjek akhirnya memutuskan untuk menjual sebagian bajunya yang layak pakai

dan sebagian emasnya agar ia memperoleh uang. Uang tersebut digunakan subjek untuk belanja dan ditabung. Subjek kemudian teringat kalu dulunya ia pernah sekolah kejurusan bagian tata rias. Akhirnya subjek memutuskan untuk bekerja di bagian tata rias juga. Karena biaya membuka salon butuh modal yang banyak maka subjek memutuskan hanya membeli peralatannya saja dan berniat untuk merias dari rumah ke rumah saja. Subjek memulai usahanya dengan menawarkan ke teman-temannya yang hendak pergi ke pesta maka ia bersedia dipanggil ke rumah untuk merias (S3. W2/k. 617-622, 625-639, 643-681, 683-705/hal. 45-47).

2) Masalah sosial

Setelah bercerai subjek merasa perubahan dalam dunia sosialnya. Temannya yang dulunya adalah teman suaminya sudah jarang bertemu dengan subjek. Teman subjek yang sekarang terbatas pada tetangganya yang sekarang (S3. W2/k. 738-743, 747-748/hal. 49).

3) Masalah psikologis & emosional

Subjek merasa benci pada suaminya, subjek tidak ingin malihat muka suaminya lagi. Subjek tidak akan pernah memaafkan suaminya. Subjek merasa sangat sedih dan takut setelah bercerai dari suaminya. Subjek merasa takut tidak bisa mencari nafkah untuk dirinya dan anak-anaknya setelah bercerai, karena sebelumnya subjek tidak punya pengalaman kerja (S3. W2/k. 337-343, 346-350, 606-613/hal. 37-38, 45).

4) Masalah praktis

ini subjeklah yang harus mengerjakan semuanya. Anak-anak subjek terkadang turut membantu mengerjakan pekerjaan rumah jika sudah pulang dari sekolah (S3. W2/k. 711-723, 726-734/hal. 49).

5) Masalah kesepian

Subjek merasa sangat kesepian karena ia merasa orang-orang hanya dekat padanya saat ia senang dan meninggalkannya saat ia kesusahan. Subjek bersyukur masih memiliki anak-anaknya (S3. W2/k. 750-758/hal. 49). 6) Masalah pembagian tanggung jawab terhadap pemeliharaan anak

Semua anak-anak subjek dipelihara dan menjadi tanggung jawab subjek sendiri. Selain subjek, anak subjek juga tidak mau ikut ataupun menerima bantuan dari bapak mereka karena mereka menganggap bapak mereka telah tega membuang mereka (S3. W2/k. 786-802/hal. 50-51).

7) Masalah seksual

Subjek tidak terlalu mengalami masalah dalam kebutuhan biologisnya. Subjek hanya ingin memikirkan kepentingan anak-anaknya. Subjek takut jika ia memikirkan masalah biologisnya ia akan merasa butuh mencari pengganti dan anak-anak akan terlantar. Biasanya untuk menghilangkan rasa kebutuhan biologisnya subjek cukup dengan memikirkan kepentingan anak-anaknya (S3. W2/k. 762-774, 778-782/hal. 49-50).

8) Masalah perubahan konsep diri

Setelah bercerai subjek mengalami perubahan sifat. Dulu subjek adalah orang yang ramahdan sering mengadakan arisan untuk berkumpul dengan teman. Sekarang subjek menjadi pendiam dan cenderung menghindari orang karena merasa takut akan menyinggung masalah perceraiannya.

Subjek hanya mau berinteraksi hanya saat ia harus merias orang dengan alasan harus bersikap baik dengan pelanggan. Subjek terkadang merasa benci pada dirinya sendiri karena berhubungan dengan suaminya. Ia menyesalkan dirinya yang mau diajak menikah suaminya. Subjek merasa benci karena kebodohan dirinya (S3. W2/k. 810-826, 830-838/hal. 51-52).

D. Subjek IV

D. 1. Deskripsi Data a. Data Diri

Tabel IV.G Gambaran umum Subjek IV

Dimensi Deskripsi subjek

Inisial ID

Usia 28 tahun

Jenis Kelamin Perempuan

Suku Karo Agama Islam Pendidikan Terakhir Sekolah Menengah Pertama

Lama Bercerai 1 tahun

Tinggal dengan Tiga orang anak laki-laki

ID adalah seorang wanita dewasa dini yang telah mengalami perceraian selama satu tahun. Selama menikah dengan suaminya dulu, ID merasa sering mendapatkan tekanan dari suaminya Suami ID sangat melarang ID bertemu dengan orang tuanya. Suaminya juga melarang ia berteman dengan para tetangganya. Selain itu, yang membuat ID semakin tidak tahan adalah karena ID merasa suaminya sangat sering merendahkan dan menghina dirinya. Akhirnya ID memutuskan untuk meninggalkan rumahnya hingga ia dicerai oleh suaminya. Setelah bercerai ID mencoba berusaha dengan berjualan lontong untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. ID merasa mungkin ia lebih baik begini karena sekarang ia tidak lagi merasa terhina oleh suaminya. Hal yang membuat ID sedih adalah karena anak-anak ID semuanya diasuh oleh suaminya sejak mereka bercerai. ID menjadi jarang bertemu dengan anaknya. Terkadang ID merasa kesepian dan merindukan anak-anaknya. Tetapi ID merasa cukup beruntung karena terkadang anak-anaknya mau mengunjunginya.

Secara fisik ID memiliki tinggi 150cm dan dengan berat badan 42kg. ID memiliki rambut pendek yang lurus dan berwarna hitam. Pada saat diwawancarai ID sedang memakai daster panjang yang berwarna merah dengan corak bunga besar berwarna hijau di bagian depannya. Kulit ID berwarna kuning langsat sehingga terlihat kontras dengan baju merah yang dikenakannya.

b. Tanggal wawancara

Tabel IV.H Waktu wawancara

No Responden Tanggal wawancara

Waktu wawancara Tempat wawancara 1 ID Selasa. 12 Juni 2007 11.00-13.00 Warung ID 2 ID Kamis, 21 Juli 2007 11.45-14.00 Rumah ID

ID bertempat tinggal di sebuah rumah yang berada di kota Medan. Rumah ID terletak di dalam sebuah jalan kecil yang hanya bisa dilalui oleh kereta dan becak. Rumah ID adalah urutan keempat dari rumah yang berada di awal jalan tersebut. Ukuran rumah ID termasuk rumah yang kecil dibandibfkan rumah tetangganya. Rumah ID hanya terdiri dari empat ruangn kecil, yaitu satu buah kamar dengan ukuran kecil, di depan kamar terdapat ruang tamu yang tidak memiliki kursi tetapi hanya memiliki tikar. Di belakangnya terdapat ruangan dapur yang bersebelahan dengan kamar mandi. ID mengatakan kalau ia hanya membutuhkan rumah yang kecil seperti itu saja karena sekarang ia tinggal sendiri. Di depan rumah ID yaitu di bagian terasnya ID membangun warung lontong yang sederhana. Warung tersebut hanya terdiri dari satu buah stelling untuk berjualan lontong dan satu buah meja panjang dan satu buah kursi panjang untuk para pelanggan ID yang hendak membeli sarapan pagi.

Selama proses wawancara berlangsung subjek banyak menjawab dengan menggunakan nada-nada bicara dengan intonasi yang tinggi dan keras terutama pada saat membicarakan mengenai mantan suaminya dahulu. Subjek terlihat

pertanyaan di tengah-tengah wawancara, subjek mengambil saputangan dari kantong bajunya kemudian ia meremas-remas saputangan tersebut saat menjawab pertanyaan seputar suaminya. Sedangkan pada saat ia menjawab pertanyaan tentang anak-anaknya, subjek menggunakan saputangan itu untuk mengelap matanya yang basah oleh air mata dan terkadang ia menutup mulutnya dengan saputangan sambil menunduk ke bawah.

A.2. Analisis Data a. Penyebab Perceraian

1) Keadaan subjek sebelum menikah a) Penyesuaian dengan pasangan

a) Konsep pasangan ideal

Sebelum menikah subjek telah memiliki suatu konsep mengenai pasangan yang diinginkannya untuk menjadi pasangan hidupnya. Subjek menginginkan pria yang memiliki wajah yang ganteng, kaya dan tidak pelit (S4. W1/k. 9-15, 19-22/hal. 1).

b) Pemenuhan kebutuhan

Kebutuhan yang subjek inginkan setelah menikah adalah pasangan yang Subjek membutuhkan kemapanan dalam segi ekonomi. Subjek merasa hal itu belum bisa dipenuhi suaminya, karena walaupun rumah suaminya bagus tetapi itu adalah milik orangtua suaminya. Suami subjek tidak mempunyai pekerjaan tetap (S4. W1/k. 32-39, 42-63/hal. 2).

Keluarga suami subjek rata-rata adalah orang kaya, ada yang profesinya sebagai dokter ada juga yang pengacara. Sedangkan keluarga subjek sendiri adalah keluarga dari ekonomi lemah. Bapak subjek petani, mamak subjek jualan lontong, dan adiknya ada yang pengangguran. Subjek suku Karo sedangkan suaminya suku Jawa (S4. W1/k. 67-86, 90-92/hal. 3). d) Minat dan kepentingan bersama

Subjek merasa mereka tidak memiliki minat yang sama. Suaminya juga tidak pernah bersikap romantis padanya sejak sebelum menikah (S4. W1/k. 118-131/hal. 4-5).

e) Konsep peran

Subjek merasa sebagai kepala rumah tangga haruslah bisa kerja dan membiayai hidup sehari-hari (S4. W1/k. 135-144/hal. 5).

f) Perubahan pola hidup

Sewaktu sebelum menikah subjek merasa tidak ada dilarang jika bergaul dengan siapa saja (S4. W1/k. 152-157/hal. 5).

2. Penyesuaian keuangan

Saat sebelum menikah subjek dan keluarganya hanya mengetahui kalo suaminya berasal dari keluarga kaya sehingga mereka tidak menanyakan lebih lanjut tentang pekerjaannya. Sebelum menikah subjek tidak pernah dibelikan barang oleh suaminya hanya dibelikan makanan saja untuk keluarganya. Setahu subjek yang membiayai pesta pernikahan subjek dan suaminya adalah adik suami subjek yang memiliki pekerjaan dokter. Sebelum menikah bapak mengira suaminya adalah orang kaya karena

sering membawakannya makanan (S4. W1/k. 161-177, 180-188, 193-200/hal. 5-7).

 Penyesuaian dengan pihak keluarga pasangan a) Stereotipe tradisional

Subjek merasa hubungan bapaknya dengan suaminya dulu sebelum menikah dekat karena suaminya pitar mengambil hati bapak subjek karena sering membawakan makanan (S4. W1/k. 204-211/hal. 7).

b) Keinginan untuk Mandiri

Sewaktu belum menikah bapak subjek merasa sudah percaya dengan suami subjek jadi tidak banyak memberi nasihat. Pada saat itu suami subjek mau menerima nasehat orangtua subjek (S4. W1/k. 218-288, 231-235/hal. 7-8).

c) Keluargaisme

Sebelum menikah subjek lebih banyak menghabiskan waktunya dengan keluarganya (S4. W1/k. 240-242/hal. 8).

d) Mobilitas sosial

Dari segi keuangan dan pergaulan, sebelum menikah, pasangan subjek lebih baik keadaannya daripada bapak subjek (S4. W1/k. 248-255/hal. 8). e) Anggota Keluarga yang Berusia Lanjut

Suami subjek mengatakan kalau sudah menikah mereka aka tinggal

Dokumen terkait