• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR PUSTAKA

II. BAHAN DAN METODE

2.7 Analisis Data

Penelitian ini menggunakan rancangan percobaan berupa Rancangan Acak Lengkap dengan lima ulangan. Data yang diperoleh dianalisis menggunakan program MS. Excel 2007, SPSS 17.0. Dilakukan analisis ragam dengan tingkat kepercayaan 95%. Dan untuk melihat perbedaan perlakuan maka dilakukan uji lanjut dengan uji Duncan. Selain itu, analisis deskriptif digunakan untuk menjelaskan perkembangan larva ikan botia dan kelayakan media pemeliharaan berupa parameter kualitas air.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Hasil

3.1.1 Volume Kuning Telur

Hasil penelitian (Gambar 5 dan Lampiran 2) menunjukkan bahwa pemakaian hormon tiroksin (0 mg/L; 0,01 mg/L dan 0,1 mg/L) tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata pada volume kuning telur larva ikan botia jam ke-36, jam ke-72, jam ke-78, jam ke-84, jam ke-90 dan jam ke-96 (P>0,05). Sedangkan terdapat perbedaan yang nyata pada volume kuning telur jam ke-48, jam ke-60, jam ke-108 dan jam ke-120 (P<0,05).

Gambar 5 Volume kuning telur (mm3) larva ikan botia setelah direndam dengan hormon tiroksin selama 24 jam

3.1.2 Laju Penyerapan Kuning Telur

Hasil penelitian (Gambar 6 dan Lampiran 3) menunjukkan bahwa perlakuan perendaman larva ikan botia menggunakan hormon tiroksin (0 mg/L; 0,01 mg/L dan 0,1 mg/L) tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata pada jam ke-12, jam ke-24, jam ke-36, jam ke-78, jam ke-84, jam ke-90 dan jam ke-96 (P>0,05). Sedangkan pada jam ke-48, jam ke-60, jam ke-72, jam ke-108 dan jam ke-120 dipengaruhi oleh perlakuan perendaman hormon tiroksin (P<0,05).

 

Gambar 6 Laju penyerapan kuning telur (%) larva ikan botia setelah direndam dengan hormon tiroksin selama 24 jam

3.1.3 Perkembangan Larva

Hasil penelitian (Gambar 7 dan Lampiran 4) menunjukkan bahwa perkembangan larva yang diberi hormon tiroksin lebih cepat dibandingkan larva kontrol. Hal ini dapat dilihat dari terbentuknya bintik mata, gelembung renang, sirip ekor, sirip dada dan pigmentasi.

Gambar 7 Perkembangan larva ikan botia yang direndam dengan hormon tiroksin selama 24 jam

 

3.1.4 Tingkat Kelangsungan Hidup

Hasil pengamatan (Gambar 8 dan Lampiran 5) terhadap kelangsungan hidup larva ikan botia yang dipelihara 7 hari umur tetas di ruang inkubasi berbeda nyata antar perlakuan (P<0,05).

*Huruf superscript yang berbeda menujukkan hasil yang berbeda nyata (p<0,05)

Gambar 8 Kelangsungan hidup larva ikan botia di ruang inkubasi

Tingkat kelangsungan hidup pemeliharaan ikan botia di akuarium tertinggi terdapat pada perlakuan perendaman tiroksin 0,01 mg/L yaitu sebesar 39±6,54% sedangkan nilai terendah pada perlakuan kontrol yaitu sebesar 13±4,82%. Secara statistik penggunaan tiroksin (0,01 mg/L dan 0,1 mg/L) memberikan hasil yang berbeda nyata dengan kontrol (P<0,05). Berikut grafik mengenai tingkat kelangsungan hidup ikan botia yang disajikan pada Gambar 9 dan Lampiran 6.

*Huruf superscript yang berbeda menujukkan hasil yang berbeda nyata (p<0,05)

 

3.1.5 Panjang Total Ikan Botia

Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan perendaman hormon tiroksin 0,01 mg/L memiliki panjang total larva akhir tertinggi yaitu sebesar 1,06±0,14 cm dan berbeda nyata dengan kontrol (P<0,05). Berikut grafik panjang total ikan botia yang disajikan pada Gambar 10 dan Lampiran 7.

*Huruf superscript yang berbeda menujukkan hasil yang berbeda nyata (p<0,05)

Gambar 10 Panjang total ikan botia selama 40 hari pemeliharaan di akuarium

3.1.6 Kualitas Air

Pengukuran kualitas air media pemeliharaan ikan botia dilakukan di awal, tengah dan akhir penelitian. Beberapa parameter kualitas air menunjukkan nilai yang berada di luar kisaran optimum tetapi masih dapat ditoleransi ikan botia yakni pada wadah pemeliharaan parameter pH lebih tinggi (7,6-7,9) dan DO lebih rendah (3,50-7,49 mg/L).

Tabel 1 Kualitas air pada wadah pemeliharaan ikan botia Parameter Satuan Wadah

Penetasan Pustaka (Satyani et al.2007) Wadah Pemeliharaan Pustaka (Satyani et al.2007) Suhu 0C 25-26 24-26 27-28 25-29 pH - 7,0-7,9 6,5-7,0 7,6-7,9 6,5-7,5 DO mg/L 7,25-7,31 6,0-9,0 3,50-7,49 5,5-8,0 NH3 mg/L 0,00-0,055 0,00-0,15 0,00-0,103 0,00-0,20 NO2 mg/L 0,00-0,001 0,00-0,10 0,00-0,012 0,00-0,10

 

3.2 Pembahasan

Pada volume kuning telur ikan botia di awal (jam ke-0) didapatkan hasil yang tidak berbeda nyata pada setiap perlakuan (P>0,05; Gambar 5). Namun pada jam ke-48, jam ke-60, jam ke-108 dan jam ke-120 menunjukkan perbedaan yang nyata antara kontrol dengan perlakuan tiroksin (P<0,05; Gambar 5). Volume kuning telur mengalami penyusutan dikarenakan larva menggunakan kuning telur sebagai sumber energi. Dilihat dari laju penyerapan kuning telur, didapatkan hasil yang berbeda nyata (P<0,05), antara perlakuan tiroksin (0,01 mg/L dan 0,1 mg/L) dengan kontrol (0 mg/L) terutama pada jam 48, jam 60, jam 72, jam ke-108 dan jam ke-120. Penyerapan kuning telur terus semakin meningkat seiring dengan bertambahnya umur larva, dan seiring dengan itu panjang total larva juga mengalami peningkatan (Gambar 6). Hal ini sesuai dengan yang dilaporkan oleh Nacario (1993) bahwa pemberian hormon tiroksin dengan dosis tinggi dapat memacu laju penyerapan kuning telur. Laju penyerapan kuning telur yang tinggi diakibatkan karena kandungan tiroksin yang tinggi dalam tubuh, yang mengakibatkan metabolisme meningkat. Peningkatan metabolisme memerlukan energi, sehingga kuning telur lebih cepat menyusut. Hal ini menunjukkan bahwa tiroksin efektif dalam meningkatkan laju metabolisme tubuh sehingga penggunaan kuning telurpun akan semakin meningkat (Affandi dan Tang 2002).

Namun pada jam ke-78, jam ke-84, jam ke-90 dan jam ke-96 bila dilihat dari laju penyerapan kuning telurnya, tidak menunjukkan hasil yang berbeda nyata (P>0,05; Gambar 6). Diduga bahwa differensiasi jaringan pada larva ikan botia tidak mempengaruhi peningkatan metabolisme. Hal ini berdasarkan Turner dan Bagnar (1976) dalam Astutik (2002) yang melaporkan bahwa adanya stadium-stadium tertentu pada metamorfosis yang digiatkan oleh hormon tiroid tanpa dipengaruhi peningkatan laju metabolisme membuktikan bahwa kemampuan hormon tiroid dalam meningkatkan differensiasi jaringan tidak meningkatkan secara langsung aksi kalorigenik.

Hasil penelitian menunjukan bahwa perkembangan larva ikan botia yang diberi hormon tiroksin lebih cepat bila dibandingkan pada larva ikan kontrol (Gambar 7). Perkembangan sirip ekor dan bintik mata pada perlakuan tiroksin

 

0,01 mg/L terjadi pada jam ke-48 setelah menetas, lebih cepat 12 jam dari larva ikan kontrol. Dengan demikian diduga pada masa ini larva botia yang diberi perlakuan tiroksin mengalami proses pembentukan organ yang lebih cepat dibandingkan dengan kontrol. Hal ini sesuai dengan pernyataan Lam dan Reddy (1992) bahwa pemberian tiroksin mempercepat proses differensiasi dan pertumbuhan pada sirip ikan mas koki serta memacu pembentukan jari-jari sirip dorsal dan anal. Serta Astutik (2002) menyatakan bahwa larva gurame yang diberi perlakuan tiroksin 1 ppm pada hari ke-2 mulai menampakkan adanya sirip kaudal, sedangkan pada kontrol belum.

Pada larva ikan botia yang direndam di dalam tiroksin 0,01 mg/L, pigmen lebih cepat menyebar keseluruh tubuh. Pigmentasi larva ikan botia selama pengamatan mulai terjadi pada jam ke-72 setelah menetas, yang mana lebih cepat 6 jam dari perlakuan perendaman tiroksin 0,1 mg/L. Gelembung renang larva ikan botia yang diberi tiroksin 0,01 mg/L dan 0,1 mg/L sudah memperlihatkan pembentukan pada jam ke-60 yang lebih cepat 12 jam dibandingkan kontrol. Lam dan Reddy (1992) menyatakan bahwa pemberian tiroksin dapat mempercepat terbentuknya bintik mata dan pigmen kulit yang berwarna hitam pada ikan mas koki. Selain itu, menurut Norfirdaus (1997) pembentukan bintik mata, gelembung renang, dan pigmentasi lebih cepat terjadi pada larva ikan betutu yang diberi hormon tiroksin konsentrasi 0,1 mg/L.

Peran tiroksin dalam differensiasi organ yaitu sebagai pengaktivasi enzim polimerase yang digunakan untuk transkripsi DNA. Tiroksin terlebih dahulu dikonversi menjadi triiodotironin. Peningkatan sintesis RNA terutama mRNA dari hasil transkripsi tersebut memacu proses sintesa protein, protein digunakan untuk differensiasi dan penambahan jaringan (Djojosoebagio 1996). Sehingga proses perkembangan larva yang diberi tiroksin lebih cepat bila dibandingkan dengan kontrol.

Hasil pengamatan terhadap kelangsungan hidup awal larva ikan botia yang dipelihara 7 hari di ruang inkubasi, menunjukkan bahwa perlakuan perendaman hormon tiroksin 0,01 mg/L dan 0,1 mg/L berbeda nyata terhadap kontrol (P<0,05; Gambar 8). Hal ini dikarenakan pada perlakuan tiroksin, ikan lebih cepat melewati masa kritisnya. Masa kritis pada ikan merupakan masa peralihan endogenus

 

feeding ke eksogenus feeding. Pada masa kritis tersebut ada kemungkinan larva masih belum siap untuk mengambil makanan dari lingkungannya, hal ini dapat diakibatkan karena belum sempurnanya proses differensiasi organ dan jaringan. Oleh karena itu pemberian tiroksin berfungsi untuk mempercepat pembentukan jaringan, sehingga setelah kuning telur habis larva dapat memanfaatkan makanan dari lingkungannya.

Pada minggu pertama, penurunan tingkat kelangsungan hidup diduga terjadi karena masa kritis larva ikan yaitu pada saat kuning telur habis dan larva harus mengambil pakan dari luar. Pada saat itu kemampuan larva mengkonsumsi pakan dari luar sangat rendah. Hal ini dapat dilihat dari jumlah pakan yang dimakan sangat sedikit.

Perlakuan dengan perendaman hormon tiroksin 0,01 mg/L memiliki tingkat kelangsungan hidup ikan botia paling tinggi yaitu sebesar 64% (Gambar 9). Hal ini diduga disebabkan penyerapan kuning telur yang optimum, sehingga dapat menyebabkan perkembangan pada organ tubuh ikan berjalan dengan baik. Selain itu, berkaitan dengan kecepatan differensiasi jaringan pada ikan uji. Pada dosis 0,01 mg/L differensiasi jaringan lebih cepat, terutama pada bukaan mulut sehingga larva lebih cepat dalam menggunakan pakan dari luar untuk melewat masa kritisnya. Dalam tahap awal dari daur hidup ikan terutama dalam stadia larva terdapat masa kritis yang terletak pada saat, sebelum dan sesudah pengisapan kuning telur dan masa transisi mulai mengambil makanan dari luar (Setyono 2009). Pada hari ke-40, akhir pemeliharaan di akuarium didapatkan tingkat kelangsungan hidup benih ikan botia untuk kontrol; 0,01 mg/L dan 0,1 mg/L berturut-turut adalah 13%, 39% dan 29% (Gambar 10). Nilai kelangsungan hidup benih ikan botia yang direndam tiroksin (0,01 mg/L dan 0,1 mg/L) lebih besar dari nilai larva yang tanpa direndam tiroksin (P<0,05). Rendahnya kelangsungan hidup pada akhir pemeliharaan diduga dipengaruhi oleh rendahnya DO pada akhir pemeliharaan ikan uji yaitu berkisar 3,89-6,93 ppm dan derajat keasaman antara 7,6-7,9. Satyani et al. (2007) menyatakan bahwa kandungan oksigen yang baik untuk pemeliharaan ikan botia berkisar 5,5-8,0. Sedangkan nilai pH yang baik untuk pemeliharaan ikan botia berkisar 6,5-7,5.

 

Menurut Matty (1985) pada umumnya hormon tiroksin berpengaruh meningkatkan daya tahan larva terhadap lingkungannya pada dosis yang rendah. Hasil penelitian Lam (1980) yang menggunakan hormon tiroksin pada ikan mujair dengan kadar 0,1 ppm diperoleh tingkat kelangsungan hidup lebih baik dibandingkan kontrol. Selain itu, Megahanna (2010) menyatakan bahwa perendaman larva dalam larutan tiroksin 0,1 ppm terhadap larva ikan gabus memberikan tingkat kelangsungan hidup yang tinggi dibandingkan dengan kontrol. Adanya perbedaan uji kelangsungan hidup larva ikan perlakuan dengan kontrol menunjukkan bahwa terdapat pengaruh pemberian hormon tiroksin terhadap kelangsungan hidup larva ikan botia.

Perlakuan perendaman larva ikan botia dengan hormon tiroksin 0,01 mg/L dan 0,1 mg/L memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap panjang total larva botia (Gambar 10). Hal ini menunjukkan bahwa hormon efektif dalam meningkatkan pertumbuhan. Hormon tiroksin berperan dalam meningkatkan retensi protein atau pemanfaatan protein dalam tubuh, tiroksin menyebabkan pemasukan nitrogen (protein) yang lebih banyak dibandingkan dengan nitrogen yang dikeluarkan dari dalam tubuh (Djojosoebagio 1996). Hal inilah yang menyebabkan tingginya pemanfaatan protein bagi tubuh. Selain meningkatkan retensi protein, tiroksin juga berfungsi meningkatkan laju metabolisme. Etherge (1993) dalam Daneyanti (2001) melaporkan bahwa, pemberian hormon tiroksin dapat meningkatkan metabolisme tubuh. Sehingga diduga pada perendaman dosis 0,01 mg/L dan 0,1 mg/L larva mengalami metabolisme yang lebih tinggi dibandingkan tanpa perendaman tiroksin. Dengan peningkatan metabolisme tubuh dapat menyebabkan larva ikan botia yang direndam dengan hormon tiroksin memiliki tingkat pertumbuhan lebih tinggi dibandingkan perlakuan tanpa perendaman tiroksin.

 

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan

Pemberian hormon tiroksin meningkatkan perkembangan, kelangsungan hidup dan pertumbuhan larva ikan botia. Dosis terbaik yaitu 0,01 mg/L karena memiliki perkembangan tercepat, tingkat kelangsungan hidup tertinggi (39±6,54%) dan pertumbuhan tertinggi (1,06±0,14 cm).

4.2 Saran

Perendaman hormon tiroksin terhadap larva ikan botia disarankan digunakan pada pembenihan ikan botia untuk meningkatkan produktivitas.

PENGARUH PERENDAMAN LARVA IKAN BOTIA

Dokumen terkait