• Tidak ada hasil yang ditemukan

HIV/AIDS sebuah kasus yang tidak lagi makanan baru bagi masyarakat Indonesia. Layaknya penyakit kejadian luar biasa yang menjadi perhatian akhir-akhir ini, kasus HIV/AIDS yang pertama kali muncul di Indonesia pada tahun 1987 juga menjadi suatu hal yang menggemparkan dan fenomenal di masyarakat. Ironisnya, iklim kegemparan HIV/AIDS tidak menjadikan suatu motivasi bagi masyarakat untuk menanggulangi penyebaran wabah ini di Indonesia.Kegemparan tersebut justru melahirkan stigma di masyarakat terhadap penderita HIV/AIDS atau biasa dikenal dengan istilah ODHA.

Stigma ODHA sering diekspresikan dalam satu atau lebih stigma, terutama yang berhubungan dengan homoseksualitas, biseksualitas, pelacuran, dan penggunaan narkoba melalui suntikan.Di banyak negara maju, terdapat penghubungan antara AIDS dengan homoseksualitas atau biseksualitas, yang berkorelasi dengan tingkat prasangka seksual yang lebih tinggi, misalnya sikap-sikap anti homoseksual.Demikian pula terdapat anggapan adanya hubungan antara AIDS dengan hubungan seksual antar laki-laki, termasuk bila hubungan terjadi antara pasangan yang belum terinfeksi.Menurut Herek and Capitanio (1999). Factor-faktor yang menyebabkan stigmadan diskriminasi terhadap ODHA, yaitu:

1. HIV/AIDS adalah penyakit karena melanggar susila, kotor, tidak bertanggungjawab (Pandangan Agama)

Agama memiliki pengaruh yang kuat terhadap cara pandang dan pola perilaku manusia. Sehingga dengan atas nama agama bisa dijadikan sebagai justifikasi sekaligus sebagai legitimasi bagi seorang untuk memberikan sikap dan tindakannya. Masih banyak masyarakat yang melakukan stigmatisasi dan diskriminasi berdasarkan pengetahuan bahwa

HIV/AIDS semata-mata hasil dari perbuatan sexual diluar hubungan yang disahkan oleh agama dan kegiatan yang tidak sesuai dengan norma-norma seperti sex bebas dan penggunaan jarum suntik/narkoba.

Sama halnya seperti yang terdapat dalam kutipan wawancara dengan Informan Kunci: “Mereka dikucilkan, mereka distigma kalau ODHA itu adalah orang yang kotor/nakal, orang bejat, tidak bermoral, suka berperilaku seks”.

Kemudian pernyataan Informantambahan I : “Orang-orang kayakgitu lebih bagus gak ditemani/jauhi. Dia berbuat seperti itu uda melanggar norma, perilaku menyimpang, tidak bermoral.

Ditambah dengan pernyataan informan tambahan II:Termasuk penyakit menular yang berbahaya, karena itu merupakan perilaku hidup. Orang jaman sekarang pengaulannya terlalu bebas apalagi di Medan ini gak pandang itu anak kecil, anak kecil ini dapatnya ya dari orangtua yang terinfeksi HIV. Karena perilaku kita yang kurang sehat berganti-ganti pasangan kemudian konsumsi narkoba dengan jarum suntik, tidak menggunakan alat kontrasepsi itu kadang-kadang muncul masuknya bibit penyakit.”

2. Kurangnya pengetahuan yang benar tentang cara penularan HIV.

Pengetahuan tentang HIV/AIDS sangat mempengaruhi bagaimana individu tersebut akan bersikap terhadap penderita HIV/AIDS. Dalam konteks medis misalnya masyrakat bahkan pnederita HIV/AIDS itu sendiri masih belum mengetahui tentang informasi dasar HIV dan AIDS secara

utuk mencakup apa itu HIV/AIDS, bagaimna virus HIV bisa ditularkan, bagaimna HIV dicegah perkembangannya dan seterusnya. Pengetahuan tentang HIV/AIDS yang masih awam inilah yang menjadikan masyarakat mempunyai kesimpulan-kesimpulan yang tidak sesuai dengan persoalan HIV/AIDS sebenarnya. Masyarakat masih banyak yang menganggap bahwa HIV/AIDS itu bisa menular melalui kontak sosial seperti bersalaman, makan bersama, bertemu dalam ruangan sama, menghirup udara dekat ODHA dst.

Seperti yang terdapat dalam kutipan wawancara dengan informan tambahan utama II yang mengatakan bahwa: “Tahu, menurut saya HIV/AIDS itu penyakit yang bisa mematikan si penderitanya, dapat menular itu kalau tidak salah seks bebas, suntik-suntik terlarang, sama darah yaa. Sejauh ini, hanya itu saja yang saya tau tentang penyakit

ini.Selebihnya saya hanya ngikutin kata dokter aja”.

Tidak jauh berbeda, informan utama IV juga mengatakan bahwa keluarga dari M sempat tidak mengetahui apa itu HIV/AIDS sebelum akhirnya M memberitahu mereka .“Langsung saya kasih tau sakit saya ini ke mereka, mereka diemmm aja, diem nya bukan karena terkejut tapi malah karena gak tau sama sekali tentang penyakit ini. Ketimbang ada yang ditutupi, saya jelasin lagi, saya kasih juga mereka buku pedoman tentang HIV/AIDS disitu baru mereka nyambung/ngerti lah.”

Kemudian ditambah dengan pernyataan NA (Informan Utama II) bahwa:“Suami saya meninggal gara-gara penyakit ini juga nya, saya kenak dari dia. Gak tau menahu saya tentang HIV/AIDS ini, pas suami

terinfeksi itu baru saya cari tahu ditambah buku pedoman seputar HIV/AIDS dari Medan Plus.

3. HIV/AIDS penyakit yang mematikan

Fakta yang mengatakan bahwa penyakit HIV/AIDS mampu membunuh si penderita, menambah persepsi masyarakat terhadap ODHA semakin negative, dengan tidak mau berteman dengan si penderita yang takutnya akan menularkan penyakit tersebut kepada mereka. Seperti yang dinyatakan informan tambahan I: “Tau dek, penyakit yang gara-gara seks bebas itu kan? Berbahaya loh itu, mematikan, bisa menular ke siapa aja. Makanya jangan mau bergaul sama orang seperti itu, bisa-bisa malahan kenak juga kita. Kita gak sadar kalau kita itu uda kenak apa belum, hati-hatilah. Orang-orang kayakgitu lebih bagus gak ditemani/jauhi.

5.3.4. Analisis Bentuk dan Dampak Stigma dan Diskriminasi

Dampak secara sederhana bisa diartikan sebagai pengaruh atau akibat.Dalam setiap keputusan yang diambil oleh seorang biasanya mempunyai dampak tersendiri, baik itu dampak positif maupun dampak negatif. Dampak juga bisa merupakan proses lanjutan dari sebuah pelaksanaan pengawasan internal. Seorang pemimpin yang handal sudah selayaknya bisa memprediksi jenis dampak yang akan terjadi atas sebuah keputusan yang akan diambil. Dalam penelitian ini sebagian besar memperoleh pengaruh yang negative dari stigma dan diskriminasi dari keluarga ataupun masyarakat.

Bentuk stigma dan diskriminasi yang sering diperoleh ODHA seperti gosip, olok-olok, sebutan negative, pengucilan, pengutukan, penghinaan, penghakiman,

bahkan para ODHA mengstigma diri mereka sendiri, hal ini diakibatkan dari diskriminasi yang sering merekan peroleh dari keluarga bahkan masyarakat

Dampak yang mereka terima dari stigma dan perlakuan diskriminasi itu sendiri berupa dampak negatif, akibat yang dihasilkan dari dampak ini adalah merugikan dan cenderung memperburuk keadaan. Adapun kutipan wawancara tersebut yaitu dari Infoman Utama I: Semenjak itu, semua sikap mereka berubah mbak (mau nangis) berubah total pun saya rasa. Mereka itu gak ngusir saya untuk keluar dari rumah, gak mbak. Tapi mereka kayak membatasi saya gitu, gak boleh satu peralatan mandi, makan sama pun mereka gak mau lagi (sambil hapus air mata), mereka itu gak pernah lagi ngajak makan. Semenjak 2 tahun lalu

sampai sekarang”.Dan dampak dari stigma serta perlakuan diskriminasi yang

dilakukan orang tuanya tersebut membuat infoman utama I serasa terasingkan, seperti yang dikatakannya dalam wawancara: “Ada lah mbak, dari perlakuan mereka itu, saya merasa terasingkan, lebih tertutup sama mereka, semangat untuk hidup gak ada lagi. Biarpun perlakuan diskriminasi ituhanya dari keluarga yang saya terima, tapi kan mbak menurut saya, keluarga lah yang seharusnya memberi semangat, dukungan, dorongan, bukan malah kayak gini, membuat perbedaan antara saya sama adek-adek saya.”

Kemudian diikuti dengan pernyataan informan utama II: Cemoohan/omongan mereka yang gak-gak itu, membuat saya lebih banyak terdiam/termenung, setelah keluar omongan seperti itu saya selalu menangis di kamar, menutup diri dari keluarga, sama orang lain pun saya jadi lebih

tertutup.” Informan Utama II juga mengatakan dia jadi lebih menutup diri serta

saya yang lebih dulu menarik diri dari mereka, bagaimana supaya status saya ini gak kena sama mereka, saya tau malunya, sakitnya gimana, jadi saya simpan sendiri jepit kuku, sisir saya

Kemudian ditambah pernyataan dari informan IV “Dulu iya, sempat takut melihat orangtua/keluarga, asal ketemu langsung nundukin kepala, lebih pendiam, minder.Memang omongan mereka itu gak ada yang nyakiti, tapi perlakuan mereka yang sempat ngejauhi itu saya yang sampai sekarang masih

ingat”. Sama halnya seperti informan utama II, informan IV ini juga mengatakan

bahwa dia lebih dulu menarik diri dari keluarga bahkan anaknya sendiri, adapun kutipan wawancaranya yaitu: “Saya jadi lebih narik diri juga lah, ngehargai ketakutan mereka juga. Sampai sekarang saya itu gak pernah tidur sama anak, untuk jaga-jaga saya biarkan dia tidur sama neneknya, kalau lagi tidurkan kita gak sadar apa yang kita lakukan, sebagai antisipasilah.

Serta ditambah dengan pernyataan Informan Kunci yang mengatakan bahwa:“Kalau orang begitu tau kalau HIV positif, mereka itu kebanyakan meninggal bukan karenan penyakitnya tapi karena stress, strees yang bagaimana?, karena kurang dukungan dari masyarakat, masih tingginya stigma dan diskriminasi dari masyarakat.

BAB VI PENUTUP

Bab ini berisikan kesimpulan dan saran yang didapat dari hasil penelitian. Kesimpulan yang terdapat di bab ini merupakan hasil yang dicapai dari analisis data dalam penelitian tentang Dampak Stigma Negatif dan Diskriminasi terhadap ODHA.

6.1. Kesimpulan

Kesimpulan yang dapat diambil ialah HIV/AIDS yaitu virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia.Adapun perilaku-perilaku yang bisa memudahkan penularan HIV, yaitu berhubungan seks yang tidak aman (tidak menggunakan kondom), ganti-ganti pasangan seks, bergantian jarum suntik dengan orang lain, memperoleh transfusi darah yang tidak dites HIVnya, serta melalui ibu yang terinfeksi HIV kepada janin di kandungannya dan ASI.HIV

dapat menularkan kepada siapapun tanpa memandang kebangsaan, ras, agama, jenis kelamin, kelas ekonomi, mauoun orientasi seksualnya. HIV ditemukan dalam cairan darah, cairan mani, dan cairan vagina dari orang yang terinfeksi HIV. Penularan ini terjadi apabila HIV dalam darah atau cairan itu memasuki aliran darah orang lain.

Skripsi ini berfokus pada mereka yang terinfeksi HIV/AIDS kemudian menerima suatu stigma dan diskriminasi yang bisa saja diperoleh dari siapapun seperti, keluarga, teman, bahkan tetangga/masyarakat luas. Berdasarkan pengamatan di lapangan, peneliti melihat semangat juang seorang penderita HIV dalam mempertahankan hidupnya dan orang lain. Dari situasi terpuruk mereka mampu bangkit untuk melawan virus yang ada dalam tubuhnya dan juga omongan orang yang tidak-tidak tentang HIV, dari beberapa informan yang peneliti wawancarai setidaknya ada 2 atau 3 informan yang mengatakan bahwa beban paling berat yang mereka hadapi selama ini berasal dari stigma yang diberi orang lain kepada mereka daripada kenyataan didiagnosa terinfeksi HIV. Tetapi, tidak sedikit ada juga yang memberi semangat, semangat itu sendiri muncul ketika diberi nasehat dan motivasi oleh keluarga/kerabat dekatnya.

Tingginya stigma masyarakat terhadap pengidap HIV/AIDS menyebabkan banyak perlakuan diskriminasi baik dalam hal pekerjaan, perawatan, pengobatan, pendidikan maupun hal lainnya (Djoerban, 2000).Stigma yang ada dalam masyarakat dapat menimbulkan diskriminasi. Diskriminasi terjadi ketika pandangan-pandangan negatif mendorong orang atau lembaga untuk memperlakukan seseorang secara tidak adil yang didasarkan pada prasangka mereka akan status HIV seseorang.

1. Stigma dan diskriminasi yang diberikan pada ODHA menimbulkan kecemasan dan ketakutan untuk membuka statusnya kepada masyarakat umum, menutup diri, dan tidak mau bergaul dengan lingkungan sekitar. 2. Stigma dan diskriminasi membuat orang enggan untuk melakukan tes

HIV, enggan mengetahui hasil tes mereka, dan tidak berusaha memperoleh perawatan yang semestinya.

3. Stigma dan diskriminasi yang diberikan kepada ODHA membuat mereka depresi, bahkan terganggu kondisi fisik dan psikologinya. Mereka telah memperoleh beban yang berasal dari fakta bahwa mereka terinfeksi virus mematikan yang sampai sekarang belum ditemukan obatnya, dan dengan ditambah beban/tekanan yang diperoleh dari lingkungan sekitar dapat membuat kondisi mereka semakin drop. Dimana jika kondisi tubuh yang lemah, malah mempercepat perkembangan virus yang ada didalam tubuh mereka.

4. Yang menjadi alasan masyarakat memiliki stigma negatif adalah dikarenakan ketakutan masyarakat akan tertular HIV/AIDS dari ODHA sehingga masyarakat memberikan stigma negatif dan diskriminasi kepada ODHA berupa pengusiran serta adanya sedikit pembedaan dari masyarakat meskipun tidak secara langsung diungkapkan masyarakat saat diwawancarai.

6.2. Saran

Berdasarkan uraian bab-bab sebelumnya dari hasil penelitian dan kesimpulan yang telah disampaikan, penulis mengajukan saran yang kiranya dapat

menjadi masukan bagi semua pihak yang membutuhkannya, diantaranya sebagai berikut:

1. Saran bagi pemerintah

Kepada pemerintah diharapkan dapat lebih memperhatikan penderita HIV/AIDS, misalnya memberikan pengobatan gratis kepada penderita HIV/AIDS yang kondisi ekonominya tidak mampu dan memberikan penyuluhan kepada masyarakat mengenai bahaya dan pencegahan penyakit HIV/AIDS, sehingga wawasan masyarakat bertambah tentang hal tersebut, dan dapat mengurangi jumlah stigma dan diskriminasi yang diberikan kepada ODHA.

2. Saran bagi masyarakat

Masalah penyakit HIV/AIDS bukan hanya tanggungjawab si penderita dan pemerintah melainkan semua pihak yang peduli terhadap keberadaan ODHA. Oleh karena itu, masyarakat sangat diharapkan agar dapat membantu keberadaan ODHA, dengan menerima mereka dilingkungan, tanpa memberikan label negatif/stigma negatif. Dan ada baiknya masyarakat juga memperhatikan status pasangannya masing-masing sebelum melanjutkan ke jenjang pernikahan, seperti melakukan test HIV. Hal ini dilakukan agar mengurangi jumlah penularan HIV/AIDS dalam lingkungan masyarakat.

3. Saran bagi penderita HIV/AIDS

Diharapkan penderita HIV/AIDS dapat mengikuti kegiatan yang ada di masyarakat khususnya kegiatan sosialisasi yang dilakukan oleh pihak LSM, pemerintah ataupun rumah sakit, untuk menambah wawasan tentang HIV/AIDS

Dokumen terkait