• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dampak Stigma Negatif dan Diskriminasi Masyarakat terhadap ODHA di Medan Plus, Tanjung Sari, Medan Chapter III VI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Dampak Stigma Negatif dan Diskriminasi Masyarakat terhadap ODHA di Medan Plus, Tanjung Sari, Medan Chapter III VI"

Copied!
45
0
0

Teks penuh

(1)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Tipe Penelitian

Adapun tipe penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah

Penelitian Deskriptif.Penelitian deskriptif ialah penelitian yang dilakukan dengan

tujuan untuk menggambarkan atau mendeskripsikan objek dan fenomena yang

diteliti. Termasuk di dalamnya bagaimana unsur-unsur yang ada dalam variabel

penelitian itu berinteraksi satu sama lain dan apa pula produk interaksi yang

berlangsung. (Siagian, 2011:52)

Melalui penelitian deskriptif ini peneliti menggambarkan secara

menyeluruh mengenai bagaimana Dampak Stigma Negatif dan Diskriminasi

Masyarakat terhadap ODHA di Medan Plus, Tanjung Sari.

3.2. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Medan Plus, Tanjung Sari Medan. Alasan

peneliti memilih lokasi penelitian ini adalah karena Medan Plus merupakan salah

satu lembaga yang menangani masyarakat yang terkena HIV/AIDS di kota

Medan.

3.3. Informan

Informan adalah orang yang bermanfaat untuk memberikan informasi

tentang sittuasi dan kondisi latar penelitian yang diperlukan selama proses

(2)

dan sampel tetapi menggunakan subyek penelitian yang telah tercermin dalam

fokus penelitian.

Subyek penelitian ini menjadi informan yang akan memberikan berbagai

informasi yang diperlukan selama proses penelitian (Suyanto, 2005:171),

informan penelitian ini meliputi 2 jenis informan, yaitu :

1. Informan Kunci

Mereka yang mengetahui dan memiliki berbagai informasi pokok yang

diperlukan dalam penelitian.Informasi kunci dalam penelitian ini diambil 1 orang

yaitu staff lembaga (orang yang membuat kebijakan) di Medan Plus.

2. Informan Utama

Orang yang terlibat secara langsung dalam interaksi sosial yang

diteliti.Yang menjadi informan utama dalam penelitian ini adalah penderita

HIV/AIDS dan yang mendapat stigma/diskriminasi dari masyarakat, berjumlah 5

orang.

3. Informan Tambahan

Mereka yang memberikan informasi walaupun tidak terlibat secara

langsung dalam interaksi sosial yang diteliti.Informan tambahan dalam penelitian

ini adalah keluarga dan masyarakat umum berjumlah 2 orang.

3.4. Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini teknik pengumpulan data yang digunakan adalah :

(3)

Yaitu teknik pengumpulan data atau informasi yang menyangkut masalah

yang diteliti dengan mempelajari dan menelaah buku, jurnal, majalah, surat kabar,

dan berbagai tulisan atau media informasi yang menyangkut yang diteliti.

2. Studi Lapangan

Yaitu teknik pengumpulan data yang diperoleh melalui kegiatan peneliti

langsung turun ke lokasi penelitian untuk mecari fakta-fakta yang berkaitan

dengan masalah yang diteliti. Penelitian ini ditempuh dengan cara :

a. Observasi yaitu teknik pengumpulan data dengan mengamati secara

langsung objek peneliti dengan mengamati, mendengar, dan mencatat yang

menjadi sasaran penelitian.

b. Wawancara yaitu, pertemuan dua orang untuk bertukar informasi dan ide

melalui tanya jawab sehingga dapat dikonstruksikan makna dalam suatu

topik tertentu. Jenis wawancara yang dilakukan adalah wawancara

terpimpin, dimana proses tanya jawab dilakukan secara terarah untuk

memperoleh data-data yang lebih relevan. Dalam hal ini, mula-mula

pewawancara menanyakan sederet pertanyaan yang terstruktur, kemudian

satu persatu pertanyaan sebelumnya diperdalam lagi guna memperoleh

keterangan yang lebih lengkap dan mendalam. Cara pelaksanaannya bebas

terpimpin, dimana pewawancara membawa pedoman yang merupakan

garis besar tentang apa yang dipertanyakan.

c. Dokumentasi, yaitu pengambilan data yang diperoleh dari

dokumen-dokumen. Data-data yang dikumpulkan melalui pengambilan gambar pada

(4)

3.5. Teknik Analisis Data

Dalam penelitian ini, teknik analisa data yang digunakan adalah

pendekatan deskriptif kualitatif, yaitu dengan mengkaji data dimulai dengan

menelaah data yang tersedia dari berbagai sumber yang telah terkumpul yang

kemudian dikategorikan pada tahapan berikutnya dan memeriksa kesalahan data

serta mendefenisikannya dengan analisis sesuai dengan kemampuan daya peneliti

(5)

BAB IV

DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN

4.1. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Medan Plus tepatnya di Jalan Bunga Wijaya

Kesuma No. 108 Pasar IV Tanjung Sari, Kecamatan Medan Selayang, Sumatera

Utara.Penelitian ini juga dilakukan di RSUD Dr Pirngadi Medan, tempat para

informan berobat.

4.2. Latar Belakang Berdirinya

Medan plus adalah organisasi berbasis komunitas yang didirikan sebagai

wadah bekumpul komunitas untuk berbagi informasi seputar Narkoba dan

HIV/AIDS.Medan Plus fokus terhadap pemberdayaan Pengguna Narkoba serta

Orang dengan HIV/AIDS (ODHA) di Sumatera Utara.Berdiri pada tanggal 23

September 2003.Medan Plus dibangun dan dijalankan untuk merespon banyaknya

kesenjangan dan ketidakadilan dalam memenuhi dan melindungi hak-hak

pengguna Napza serta ODHA di Sumatera Utara, khususnya Medan.Medan plus

juga memberikan layanan bagi masyarakat untuk mendapatkan informasi yang

benar tentang HIV/AIDS dan Narkoba.

Berawal dari sebuah panti rehabilitasi ketergantungan NAPZA

(Narrkotika, Alkohol, Psikotropika & Zat Adiktif lainnya). Dibentuk oleh ada 4

orang anggota (3 orang HIV positif dan 1 orang HIV negatif) yang berupaya

untuk mencuri waktu menawarkan ketenangan, kenyamanan, kebersamaan serta

kerahasiaan saling berbagi dan saling memberi dukungan. Sebab HIV telah hadir

(6)

membantu teman-teman diluar yang terinfeksi HIV dan ketergantungan Narkoba

agar tetap dapat informasi yang benar serta penguatan secara psikologi.

Medan Plus yang dulunya hanya sebuah Kelompok Dukungan Sebaya

(KDS)menjadi suatu organisasi berbadan hukum sejak Juni 2006.Mengubah

strategi pendukungan komunitas.Awalnya mendukung secara individu menjadi

mendukung dengan menginisiasi pembentukan organisasi berbasis komunitas

lainnya di berbagai wilayah di Sumatera Utara dan Aceh. Telah mendampingi

lebih dari 5000 ODHA juga mendampingi 1200 WPS, 1600 LSL, 400 Waria

serta 300 Penasun dan 100 pasangan penasu di Sumatera Utara. Menjadi anggota

Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Provinsi Sumatera Utara sejak tahun 2 –

sekarang, dan di tahun yang sama pula Medan Plus bekerja sama dengan Badan

Narkotika Nasional atau yang sering disebut BNN. Pada Januari 2016 Medan

Plus berubah menjadi Yayasan Medan Plus dengan struktur kepengurusan.

Medan Plus yang digerakkan oleh orang yang berasal dari komunitas,

sebagian besar adalah orang yang hidup dengan HIV/AIDS (ODHA), Pecandu

dan juga orang yang terpengaruh dengannya (OHIDHA).Bahkan berasal dari

beragam latar belakang faktor resiko penularan, seperti pecandu, transgender, gay,

dan pekerja seks.Selain itu juga terdapat dari kaum perempuan yang juga beresiko

tinggi untuk tertular HIV.Bergerakya Medan Plus seiring dengan kebutuhan dari

teman-teman komunitas di wilayah Sumatera Utara.Selain berjuang untuk meraih

hak serta bertanggungjawab atas kewajiban sebagai bagian dari warga negara,

setiap perjuangan diharapkan berdampak positif bagi individu maupun kelompok

komunitas.Pendekatan KESEBAYAAN merupakan strategi yang diutamakan,

(7)

4.3. Visi dan Misi Medan Plus

4.3.1. Visi

Adapun yang menjadi visi dari Yayasan Medan Plus ini yaitu Menghapus

Stigma dan Diskriminasi terhadap Orang dengan HIV/AIDS (ODHA) dan Korban

Narkoba.

4.3.2. Misi

1. Meningkatkan mutu hidup ODHA dan Korban Narkoba.

2. Mendorong terciptanya lingkungan yang kondusif bagi ODHA dan korban

Narkoba.

4.4. Program Kerja Lembaga

Medan Plus memiliki beberapa program pendampingan bagi pengguna

Napza dan ODHA, Rehabilitasi Pengguna Narkoba, Konseling Sebaya seperti:

1. Melakukan upaya pemberdayaan pengguna Napza dan Orang dengan

HIV/AIDS di Sumatera Utara.

2. Melakukan upaya mempengaruhi pembuat dan pelaksana kebijakan (Lobi,

negosiasi, kolaborasi, dll) dalam penanggulangan HIV/AIDS.

3. Pemberdayaan ekonomi bagi keluarga.

4. Pendampingan dan edukasi bagi pengguna Napza serta ODHA.

5. Melakukan penguatan kapasitas kelompok ODHA, pengguna Napza dalam

isu lingkungan dan pemberdayaan masyarakat.

4.5. Peta KDS di Sumatera Utara

(8)

Plus 2. Permata

Gambar 1: Peta KDS Sumut

Medan Plus sebagai Kelompok Penggagas yang menggagasi 28 KDS

dengan spesifikasi kategori kelompok antara lain:

1. Kelompok Gender terdiri dari: PERMATA, PERWARI, PRIMAS, P3M,

PRM

2. Kelompok Orangtua terdiri dari: CAHAYA BULAN

3. Kelompok Pecandu terdiri dari: NOSCOVIDA, PEJANTAN,

EKSPERIMEN, THE JOURNEY, PEGAGUS, JARKONS PLUS

4. Kelompok Kabupaten/kota terdiri dari: Tanah Karo Care, SANTOSA

(Sanggar Toba Support), SEHATI, Simalungun Support, Siantar Support,

Rantauprapat Care, Binjai Stabat Plus, Deli Support Plus, PASTEL

(9)

5. Kelompok berbasis Kecamatan yang ada di Kota Medan, terdiri dari:

Medan Plus kec I, Medan Plus kec II, Medan Plus kec III, Medan Plus kec

IV.

Kelompok Dukungan Sebaya (KDS) tersebut berada di 10 kabupaten kota

dengan cakupan 20 wilayah yang ada di Sumatera Utara antara lain:

1. PERMATA, PERWARI, PRIMAS, P3M, PRM, CAHAYA BULAN,

NOSCOVIDA, PEJANTAN, EKSPERIMEN, THE JOURNEY,

PEGAGUS, JARKONS PLUS, LABAS/RUTAN dengan cakupan wilayah

Kotamadya Medan.

2. Binjai Stabat Plus dengan cakupan wilayah Kota Binjai dan Kabupaten

Langkat.

3. Deli Support Plus dengan cakupan wilayah kabupaten Deli Serdang dan

Serdang Bedagai.

4. Tanah Karo Care dengan cakupan wilayah Kabupaten Tanah Karo dan

Kabupaten Dairi.

5. Simalungun Support dengan cakupan wilayah Kabupaten Simalungun

6. Siantar Support dengan cakupan wilayah Kota Siantar.

7. Sanggar Toba Support dengan cakupan wilayah Kabupaten Toba Samosir,

Taput, dan Humbang Hasundutan

8. Pastel Pedas dengan cakupan wilayah Kabupaten Tapsel, Tapteng,

Kotamadya Padang Sidempuan dan Kotamadya Sibolga.

9. Asahan Plus dengan cakupan wilayah Kabupaten Asahan, Kotamadya

Tanjung Balai, Kabupatn Labuhan Batu Bara

(10)
(11)

5.3. Pengantar

Pada bab ini akan dibahas data-data yang diperoleh dari lapangan. Data

tersebut diperoleh dari hasil penelitian melalui observasi dan wawancara

mendalam dengan informan. Analisis data adalah proses menjadikan data

memberikan pesan kepada pembaca. Melalui analisis data, maka data yang

diperoleh tidak lagi diam melainkan “berbicara”. Analisis data menjadikan data

itu mengeluarkan maknanya sehingga para pembaca tidak hanya mengetahui data

itu melainkan juga mengetahui apa yang ada di balik data itu.

Di bagian ini penulis mencoba menganalisis data-data yang diperoleh dari

hasil observasi dan wawancara yang diajukan kepada informan yakni para Orang

dengan HIV/AIDS (ODHA). Yang menjadi informan dalam penelitian ini

berjumlah 7 orang, dengan komposisi 1 orang informan kunci, 4 orang informan

utama, dan 2 orang informan tambahan.

Pengumpulan data ini dilakukan melalui beberapa tahapan, yaitu:

1. Studi kepustakaan (library research) yaitu pengumpulan data atau

informasi menyangkut masalah yang diteliti dengan mempelajari dan

menelaah buku serta tulisan yang ada kaitannya terhadap masalah yang

diteliti.

2. Peneliti melakukan observasi untuk memperoleh gambaran tentang kondisi

fisik dan sosial lokasi penelitian dan selanjutnya untuk menggali informasi

tentang dampak stigma negatif dan diskriminasi ODHA di Medan Pluss.

3. Melakukan wawancara terhadap informan kunci, informan utama, dan

(12)

5.4. Hasil Temuan

5.4.1. Informan Kunci

Nama : Priasih

Umur : 36 Tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Alamat : Jl. Bunga Wijaya Kesuma no. 108 (Pasar IV)

Pekerjaan : Program Manager

Priasih berusia 36 Tahun, menduduki jabatan sebagai Program Manager di

Medan Plus Tanjung Sari, mulai bekerja 10 tahun lalu tepatnya tahun 2010, di

mana pada saat itu masih seorang staff di tempat yang sama. Adapun kutipan

wawancara yang dilakukan peneliti terhadap informan kunci sebagai berikut:

“Pihak medan plus sering kasih sosialisasi itu ke masyarakat medan/Rumah

sakit. Kita langsung turun setiap kelurahan, khususnya masyarakat yang

ada di pelosok medan, yang kurang mendapat infolah tentang HIV/AIDS.

Setiap kelurahan/Rumah Sakit itu, kami rujuk 2 orang staff dari Medan

Plus. Disana kita mensosialisasikan tentang informasi HIV/AIDS, apa dan

bagaimana ODHA itu sebenarnya, dapat menular dari apa saja. Banyak

lah, pokoknya paling utama itu informasi yang bisa mencegah munculnya

stigma dan diskriminasi yang baru.Sudah cukup selama ini para ODHA

memperoleh anggapan dan perlakuan seperti itu, maunya jangan ditambah

lagi”.

Kemudian peneliti menanyakan apakah dengan kegiatan atau sosialisasi

tersebut dapat mengurangi stigma dan diskriminasi yang diberikan masyarakat

(13)

“Kalau masyarakat mau bekerja sama dengan pihak lain (LSM,Rumah

Sakit, Pemerintah), stigma dan diskriminasi itu sebenarnya bisa

dihilangkan. Apalagi dengan informasi yang selama ini diberikan kepada

masyarakat mengenai HIV/AIDS, sekarang kuncinya itu ada ditangan

masyarakat.Ada terkadang masyarakat yang sudah memperoleh informasi

dan mengerti tentang penyakit itu, malah diri mereka sendiri yang

mendoktri oranglain untuk menjauhi ODHA.Padahal dia itu tau loh,

bagaimana HIV itu nularnya.Karena masyarakat sudah terdoktrin seperti

stereotip yaitu keyakinan mendalam kalau HIV/AIDS itu penyakit yang

sangat menular yang ditularkannya sangat mudah berartikan

pengetahuan.Sebenarnya mereka pengetahuannya juga mulai ada kalau

ternyata HIV/AIDS tidak tertular ketika kita bersalaman, berbicara,

berenang, maupun makan bersama.Tetapi stereotip keyakinan mendalam

kalau ODHA itu penyakit yang kotor itu lho... itu strereotip maksudnya

dek.”

10 tahun bekerja, menjadikan informan mengetahui rintangan yang sering

dihadapi pada ODHA selama ini, dimana informan yang mengatakan kalau

ancaman terbesar bagi ODHA itu bukan berasal dari penyakitnya melainkan

lingkungan luar. Berikut kutipan wawancaranya:

“Ini pengalaman dari staff yang bekerja disetiap Rumah Sakit ya, kan

setiap staff disini dirujuk ke Rumah Sakit yang ada di Medan. Jadi pernah

salah satu staff yang bercerita ada ODHA yang dipecat dari pekerjaan,

diusir/dijauhi keluarganya sendiri, keluarga belum bisa menerima.Kita

(14)

mereka (Keluarga ODHA) itu stereotipnya masih sangat tinggi, keyakinan

mendalam, bagaimana mengubah keyakinan itu sangat susah perlu

tahap-tahap tertentu.”

Stigma dan diskriminasi yang diterima para ODHA selalu dihubungkan

dengan penyakit mereka, yang tanpa disadari stigma yang diberikan itu dapat

menimbulkan efek psikologis yang berat tentang bagaimana ODHA melihat diri

mereka sendiri.Hal ini bisa mendorong dalam beberapa kasus, terjadinya depresi,

kurangnya penghargaan diri, dan keputusasaan.Sama halnya seperti yang

dirasakan TH sekarang ini. Berikut cakupan wawancara dengan informan

“Kalau orang begitu tau kalau HIV positif, mereka itu kebanyakan

meninggal bukan karenan penyakitnya tapi karena stress, strees yang

bagaimana?, karena kurang dukungan dari masyarakat, masih tingginya

stigma dan diskriminasi dari masyarakat. Mereka dikucilkan, mereka

distigma kalau ODHA itu adalah orang yang kotor/nakal, orang bejat,

tidak bermoral, suka berperilaku seks.Padahal tidak semua kena

HIV/AIDS dikarenakan hal yang tidak-tidak tadi.Jadi bagaimana dengan

mereka yang terkena HIV/AIDS dari suaminya?Kan kasihan kalau mereka

juga ikut-ikutan dianggap seperti itu.”

Setiap staff yang bekerja di Medan Plus, diwajibkan mengikuti aturan

yang ada, seperti salah satunya melakukan pendampingan kepada para ODHA, di

mana pendampingan ini dilakukan ketika ODHA melakukan tes ARV di Rumah

Sakit.Seperti kutipan wawancara dibawah ini:

“Ada dimasing-pasing Rumah Sakit, Puskesmas juga, mereka dibina

(15)

mereka yang mendapat stigma dan diskriminasi dari

masyarakat/keluarganya sendiri.Banyak juga ODHA yang konsultasi

dengan staff kita di Rumah Sakit.Bagaimana kita melakukan

pendampingan?Ketika ODHA dirujuk ke layanan untuk melakukan tes

ARV yang diadakan secara berskala.Melalui sosialisasi itu kita

memberikan komunikasi, informasi, dan edukasi atau yang disebut KIE

kepada masyarakat.Masyarakat kita beri pelatihan sehingga yang belum

tahu tentang HIV/AIDS jadi tahu, yang tahu kemudian mau untuk dilatih

dan kemudian menjadi mampu untuk menyalurkan ilmu atau informasi

tentang HIV/AIDS kepada masyarakat lainnya.”

5.4.2. Informan Utama I

Nama : ST

Umur : 32 Tahun

Alamat : Jl. Balai Desa P.Laut I

Jenis Kelamin : Laki-laki

Pekerjaan : -

Pada tanggal 10 April 2017, peneliti mengunjungi seorang yang terinfeksi

HIV/AIDS sedang menunggu panggilan untuk konsultasi.Peneliti menghampiri

dan memperkenalkan diri, serta menjelaskan maksud dari peneliti.Informan

merupakan anak ke 1 dari 3 bersaudara, sehari-hari informan hanya menghabiskan

waktu di rumah, semenjak didiagnosa terinfeksi HIV/AIDS.Sesekali keluar rumah

(16)

”Pertama kali didiagnosa seperti ini pas waktu saya ulang tahun yang ke

30, disitu saya senang nya karena Tuhan masih kasih pertambahan usia

sampai kepala 3 ini, sekaligus terkejut ketika kak Witha (Dokter)

mendiagnosa kalau saya itu terinfeksi HIV. Untuk beberapa hari ke depan

saya kebanyakan diam, gak tau mau lakukan tindakan kayak mana. Saya

belum berani ngomong ke orang mamak/bapak.”

ST baru tahu apa dan bagaimana itu HIV/AIDS semenjak dia terinfeksi,

selama melakukan konsultasi disitu dia diberi masukan dan pengetahuan serta

arahan tentang HIV. Dari 3 cara penularan HIV/AIDS yang diketahuinya, yang

menyebabkan ST terinfeksi itu melalui seks bebas (sesama jenis). Selanjutnya ST

pun menceritakan awal mula dia masuk ke jalan ini.

“Seks bebas mbak, kalau dari jarum suntik saya gak berani sampai

sekarang.SD ntah kelas berapa waktu itu saya lupa, mulai berbaur ke

arah pergaulan bebas. Pergaulan bebasnya bukan langsung melakukan

hubungan seks ya mbak hanya pelukaan,ciuman tapi itu sesama laki.

Awal nya hanya ajang coba-coba, kayak kita makan permen gitu mbak

ketagihan.Bukan karena orang bapak/mamak sering berkelahi atau

mukulin saya, tapi karena uang jajan mbak.Waktu saya SD itu, uang jajan

yang dikasih orangtua cuma goceng.Berhubung kerja mamak/bapak hanya

jual sayur di pasar ya saya gak mau nuntut lebih, makanya saya jadi lari

kesini. Pas SMA lah saya baru mulai seks bebas, itupun juga karena ada

teman yang ngajak, sama kayak tadi juga ajang coba-coba mbak.”

5 bulan lamanya keluarga ST belum mengetahui penyakit nya, sejauh itu

(17)

tidak mampu lagi menahan bebannya seorang diri dan pihak RS serta Medan Plus

yang meminta nomor telepon orangtua nya. Sebelum pihak RS ataupun Medan

Plus yang memberitahu orangtuanya, dia berinisiatif untuk lebih dulu

memberitahukan kepada mereka..

“Pertama kali yang tau itu mamak, baru saya kasih tau ke

bapak.Terkejut.Saya lihat mata mereka itu uda mau nangis gitu.Terdiam

mereka mbak, semakin membuat saya merasa bersalah aja.Adik gak tau,

hanya mereka 2 aja. Itupun yang mereka tau hanya saya kenak penyakit

itu saja, kalau yang suka sejenis gak sama sekali. Sempat saya beritahu

tentang itu gak tau mau gimana lagi.Semenjak itu, semua sikap mereka

berubah mbak (mau nangis) berubah total pun saya rasa.Mereka itu gak

ngusir saya untuk keluar dari rumah, gak mbak. Tapi mereka kayak

membatasi saya gitu, gak boleh satu peralatan mandi, makan sama pun

mereka gak mau lagi (sambil hapus air mata), mereka itu gak pernah lagi

ngajak makan. Semenjak 2 tahun lalu sampai sekarang.”

Orangtua yang berperan penting juga dalam hal ini, seharusnya mampu

mendorong atau memotivasi ST. Baik itu dari ucapan, maupun tindakan.Bukan

sebaliknya seperti ini dan selanjutnya peneliti langsung menanyakan kalau

perlakuan diskriminasi dari masyarakat itu bagaimana terhadap ST.

“Kalau mereka itu saya gak open mbak, bahkan gak ada tetangga yang

tau status saya ini. Keluarga ini nya sekarang, gak tau mau gimana

lagi.Gara-gara uda gak nyaman lagi, makanya saya itu lebih sering ke

sini dari pada dirumah.Mereka itu welcome-welcome aja orangnya,

(18)

bilang tadi perlakuan diskriminasi dari mereka itu gak ada. Dirumah itu,

beda, tersiksa mbak, kayak gak dirumah sendiri, banyak aturan. Seperti

tadi lah pas saya mau ke sini, saya minta ongkos sama uang obat ke

bapak, bapak itu gak ngasih diemmm aja. Malah sempat saya gak jadi

pergi gara-gara itu, karena lihat air muka saya uda beda gitu, baru lah

bapak kasih, cukuplah untuk nebus obat tadi”.

Selama konsultasi ST selalu mengeluh tentang sikap orangtua, pihak

Medan Plus dan RS menelepon orangtua dari ST supaya disuruh datang, untuk

memberitahu kendala ataupun kemajuan yang dialami ST selama konsultasi dan

hasilnya nihil tidak ada perubahan sama sekali.

“Tetep aja mbak, uda saya jelasin semua tentang HIV/AIDS, tertular tidak

tertular nya bagaimana itu uda mbak, sampai-sampai pihak Medan Plus

sama RS juga uda jelasin sama orangtua. Tapi ya, gk berubah juga, masih

sama. Ada lah mbak, dari perlakuan mereka itu, saya merasa terasingkan,

lebih tertutup sama mereka, semangat untuk hidup gak ada lagi. Biarpun

perlakuan diskriminasi ituhanya dari keluarga yang saya terima, tapi kan

mbak menurut saya, keluarga lah yang seharusnya memberi semangat,

dukungan, dorongan, bukan malah kayak gini, membuat perbedaan antara

saya sama adek-adek saya.”

5.4.3. Informan Utama II

Nama : N.A

Umur : 37 Tahun

(19)

Alamat : Jl. Jangka

Pekerjaan : Wiraswasta

Informan ke II adalah seorang perempuan berusia 37 tahun dengan inisial

NA.Pada saat peneliti jumpai, informan sedang menunggu antrian untuk

konsultasi dan mengambil obat dari dokter.Didiagnosa terinfeksi HIV/AIDS tahun

2013 yang berasal dari suaminya sendiri (NA belum mengetahui status suaminya

selama ini).Setelah suami NA meninggal, dalam waktu dekat NA berinisiatif

sendiri untuk cek kesehatannya di Pukesmas yang berada di dekat pasar Petisah.

NA kenal dengan mantan suaminya, karena dikenalkan oleh sang adik, dan tidak

sampai dalam satahun NA dan suami memutuskan untuk melanjutkan hubungan

mereka ke jenjang yang lebih tinggi lagi (menikah).

“Suami saya meninggal gara-gara penyakit ini juga nya, saya kenak dari

dia. Gak tau menahu saya tentang HIV/AIDS ini, pas suami terinfeksi itu

baru saya cari tahu ditambah buku pedoman seputar HIV/AIDS dari

Medan Plus. Semua keluarga itu tau dek, keluarga suami pun tau status

saya ini. Saya belum kasih tau mereka aja, mereka uda tau sendiri status

saya, karena pas suami saya meninggal kemarin mereka tau gara-gara

apa dia meninggal, jadi mereka langsung berprasangka saya juga pasti

bakalan kenak. Itu pihak keluarga suami ya dek, kalau dari keluarga saya

belum tau pada saat itu.

Setelah keluarga mengetahui bahwa NA pun didiagnosa terinfeksi virus

yang sama dengan suaminya, keluarga NA langsung menjauhkan diri. Bahkan

setelah suami NA meninggal, pihak keluarga suami tidak pernah berhubungan lagi

(20)

bersentuhan tangan dengan beliau. NA diterima kembali oleh keluarga setelah ibu

nya meninggal dunia dan sekarang NA tinggal bersama dengan keluarga adiknya.

“Gak terceritakan terkadang dek (sedih), sampai sekarang itu saya gak

terima kena penyakit ini, saya itu perempuan baik-baiknya, gak pernah

sekalipun nyoba “jajan” sembarangan, pulang kerja langsung ke rumah.

Gak adil saya rasa, saya korban dari suami saya, saya gak tau sama

sekali status suami saya kemarin. Ada, tapi dulu ya dek, keluarga

langsung menjauh pas saya kasih tau status saya, mereka gak mau

peralatan makan dan mandi saya itu sama dengan punya mereka. Tapi

sekarang gak kayak gitu lagi, yaa walau gak sampai 100% ya. Mereka

mulai mau menerima status saya ini.Dan sejauh ini, masyarakat ataupun

keluarga gak tau sampai sekarang, masih rahasia umum, jadi kalau

anggapan negatif atau perlakuan diskriminasi dari mereka ga ada yang

saya terima, hanya keluarga saja.”

Memperoleh kabar bahwa kita mengidap penyakit yang berbahaya dan

tidak dapat disembuhkan hingga meninggal, membuat NA lebih sadar arti hidup

itu apa, dan lebih mendekatkan diri lagi dengan Tuhan. Jauh dari sebelum NA

terinfeksi, NA berkata bahwa dia dulu tidak dekat dengan Tuhan, jarang

beribadah.

“Dulu saya itu jauh kali dari Tuhan, gak pernah sekalipun berdoa

sebelum/sesudah tidur, jarang ke gereja.Tapi setelah terinfeksi ini

semuanya berubah.Karena awal-awalnya keluarga semua menjauh gitu,

jadi kalau sempat lagi saya jauh dari Tuhan gak tau bagaimana lagi hidup

(21)

dekat lagi bersekutu sama Tuhan. Kalau ruginya, yaaa kena ini lah.Gak

tau saya lagi kalau saya gak terinfeksi ini, bisa jadi saya makin gak kenal

Tuhan.”

Walaupun NA tidak menerima perlakuan diskriminasi lagi dari

keluarganya, bukan berarti NA bisa bernafas lega, yang ada akibat dari perlakuan

diskriminasi yang sempat di berikan masih berbekas dalam hatinya.NA lebih

tertutup, dan langsung menarik diri. Seperti yang terdapat dalam kutipan

wawancara berikut:

“Ya ada lah dek, walaupun keluarga gak ada kasih perlakuan seperti itu

lagi sama saya, tapi efek dari anggapan dan perlakuan diskriminasi yang

mereka berikan kemarin pada saya itu masih ada sampai sekarang.

Cemoohan/omongan mereka yang gak-gak itu, membuat saya lebih

banyak terdiam/termenung, setelah keluar omongan seperti itu saya selalu

menangis di kamar, menutup diri dari keluarga, sama orang lain pun saya

jadi lebih tertutup. Bahkan, saya yang lebih dulu menarik diri dari

mereka, bagaimana supaya status saya ini gak kena sama mereka, saya

tau malunya, sakitnya gimana, jadi saya simpan sendiri jepit kuku, sisir

saya. Kalau yang lain saya dengar, keluarga mereka yang memperlakukan

seperti itu. Beda kalau saya semenjak mereka menerima dan mendekatkan

diri sama saya, saya yang memperlakukan hal yang seperti itu.”

5.4.4. Informan Utama III

Nama : L

(22)

Jenis Kelamin : Perempuan

Alamat : Jl. Tangguk Bongkor

Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

Informan III dalam penelitian ini seorang IRT, berusia 30 tahun, berinisial

L. didiagnosa terinfeksi HIV/AIDS tepat setahun lalu. Sama seperti informan II

(NA) ,yang diperoleh dari suaminya sendiri. Sebelum menikah, ternyata suaminya

telah terinfeksi namun tidak pernah mengakuinya kepada L. L sendiri telah

menikah 3 kali, dan suaminya yang terinfeksi adalah suami yang ke 2.

“Tahu, menurut saya HIV/AIDS itu penyakit yang bisa mematikan si

penderitanya, dapat menular itu kalau tidak salah seks bebas,

suntik-suntik terlarang, sama darah yaa.Sejauh ini, hanya itu saja yang saya tau

tentang penyakit ini.Selebihnya saya hanya ngikutin kata dokter aja.Saya

didiagnosa terinfeksi penyakit ini baru tahun lalu (2016), dari suami yang

ke 2, sebelumnya saya gak tau dia itu sering “jajan” diluar sana dan kena

penyakit ini, saya gak ada nanya sampai kesana dan dia pun gak mau

ngasih tau.”

Berbeda dengan informan-informan sebelumnya yang menyembunyikan

statusnya dalam waktu lama, L langsung memberi kabar nya tersebut sama

keluarga, khususnya orangtuanya. Tanpa takut akibat yang akan dia peroleh.

Seperti halnya, perubahan sikap yang ditunjukkan keluarga terhadap dirinya.

Seperti kutipan dibawah ini:

“Sejauh ini yang tau status saya hanya keluarga, itu pun sebagian

keluarga saja (suami, orangtua). Kalau tetangga ataupun masyarakat gak

(23)

sama saya. Dari keluarga memang ada perubahan ya saya perhatikan,

tapi mereka pintar nutupinnya, kalau oranglain yang ngelihat mungkin

gak sadar, tapi dari perasaan saya mereka itu berubah, sikap mereka

sama saya itu gak sama lah. Saya gak masalah mereka berubah atau gak,

gak ada rasa bersalah gitu, gak minta maaf sama mereka, yaaa karena

saya kan terinfeksi ini bukan karena saya perempuan yang gak baik-baik

“liar”, saya di sini sebagai korban kok dari laki yang gak tau diri itu.

Kalau misalnya saya gak nikah, dan dia kasih tau statusnya kemarin sama

saya, saya pasti 100% langsung nolak lah.”

Sempat mendapat perlakuan diskriminasi juga dari tetangga, L di usir dari

tempat tinggal nya dulu.Memaksa dia pada saat itu harus pindah.Kenyamanan,

keterbukaan, penerimaan yang di beri staff RS dan Medan Plus menjadikan L

lebih betah berlama-lama di RS, dengan di temani suaminya yang sekarang.

“Saya sering konsultasi disini, disini orangnya baik-baik, pengertian,

ramah, enaklah ngobrol sama mereka. Mereka kasih dorongan, support

sama saya. Keluarga juga ngasih supportt, tapi hanya dukungan materi

aja, kalau kayak dukungan moral ataupun kayak nasehat-nasehat gitu gak

ada.Makanya saya jarang bertamu kerumah keluarga saya, mendingan

dirumah sendiri.”

Walaupun L melihat ada nya perbedaan sikap yang diberikan keluarga dan

juga diskrimnasi yang di berikan tetangga pada dirinya kemarin, tidak membuat L

putus asa, tutup telinga ketika ada orang membicarakan tentang dirinya yang tidak

baik. Tetapi, M sempat mengatakan kepada peneliti bahwa kalau jauh di dalam

(24)

dengan anggapan orang lain yang sangat di butuhkan M pada saat-saat seperti ini

adalah orangtuanya.

“Gak ada, ya karena saya gak open sama anggapan mereka, bukan hanya

mereka aja yang ada di sekeliling saya. Terserah mereka, mereka mau

anggap saya perempuan gak baik, perempuan yang “liar” lah,

terserahhh.Selama saya masih di kasih Tuhan umur panjang, saya harap

saya bisa memanfaatkannya lebih baik lagi, bahkan ini saya uda nikah

lagi (sambil tersenyum).Dia tau saya kena ini, saya jelasin langsung ke

dia kalau saya itu terinfeksi HIV/AIDS, yaa dia nerima saya.Kalau dia

nerima saya, berarti dia harus berani terima kalau nantinya dia bakal

kena juga.Jujur-jujur aja lah, daripada dia nanti menyesal, kecewa seperti

sekarang. Dia kok yang terus nemani aku berobat ke RS selama ini”

5.4.5. Informan Utama IV

Nama : M

Umur : 36 Tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Alamat : Bukit Tinggi

Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga (IRT)

Informan ke IV dalam penelitian ini adalah M (36 tahun), seorang IRT

(25)

besarnya.Suaminya sendiri telah meninggal dunia disebabkan penyakit HIV/AIDS

7 tahun yang lalu. Dikenalkan oleh orangtuanya sendiri, bekerja sebagai seorang

guide di salah satu hotel di Bali. Setelah didiagnosa terinfeksi HIV/AIDS, baru

suami dari M mengakui bahwa sebelum menikah dengan M dia sering melakukan

hubungan suami-istri dengan perempuan yang ada disana. Adapun kutipan

wawancara peneliti dengan informan, sebagai berikut:

“Kalau itu tau dek, setau saya itu menular dari darah, jarum suntik,

hubungan badan, selain itu gak bisa. Dari suami, jadi saya menikah

dengan dia itu tahun 2005, 3 tahun nikah belum di kasih keturunan, dan

belum tau, 2009 suami saya meninggal akibat terinfeksi HIV/AIDS, di

tahun yang sama pula anak pertama lahir (program). Baru tahun 2010

saya didiagnosa terinfeksi HIV/AIDS.Saya yakin kena, karena uda sering

melakukan hubungan suami-isteri, langsung saya cek ke RS waktu itu.Dan

ternyata dugaan saya itu benar.”

Didiagnosa terinfeksi HIV/AIDS, tidak ada lagi suami yang seharusnya

membantu, memberi dukungan, anak ketika ditinggal suami baru berusia beberapa

bulan, membuat M pada saat itu patah semangat, bingung mau ambil tindakan

yang bagaimana, ditambah lagi keluarga tidak ada yang mengetahuinya.

“Perasaan pas tau kena ini, ya sedih lah dek, apalagi dulu yang saya tau

tentang HIV/AIDS itu penyakit yang mematikan, gak ada semangat hidup

lagi. Suami meninggal, anak masih bayi pada saat itu, yang terpikirkan

waktu itu hanya “anak” ini, bagaimana dia nanti, kan kasihan kalau

(26)

saya, ibu curiga kok saya terus minum obat, kan kalau uda kena penyakit

ini bakalan minum obat seumur hidup kalau mau bertahan lebih lama.

Nah, ibu curiga-curiga yaa saya gak bisa nutupin lagi. Langsung saya

kasih tau sakit saya ini ke mereka, mereka diemmm aja, diem nya bukan

karena terkejut tapi malah karena gak tau sama sekali tentang penyakit

ini. Ketimbang ada yang ditutupi, saya jelasin lagi, saya kasih juga

mereka buku pedoman tentang HIV/AIDS disitu baru mereka

nyambung/ngerti lah.”

Ketika orangtua kasih kabar, beruntung M tidak ada memperoleh

perlakuan diskriminasi dari orangtuanya, perubahan sikap pun tidak.Tetapi

keterbalikan dari semua informan kunci lainnya, M memperoleh perlakuan seperti

itu dari beberapa tetangga tempat dia dan suaminya tinggal kemarin, sebelum M

memutuskan untuk pindah ke Bukittinggi.

“Orangtua gak ada.Mereka malah kasihan lihat saya, pas saya lupa

makan/minum obat gitu, ibu yang nyuruh saya, bahkan dia pernah malah

marah dek (sambil tertawa). Tapi beda dengan abang yang

memperlakukan saya kayak orang asing, dia gak mau anggap saya lagi

saudaranya kemarin, dia marahi saya habis-habisan, gak mau sama

tempat makan/peralatan mandi, sampai-sampai dia pernah mau ngusir

saya dari rumah, dia nyuruh saya supaya pulang ke kampung saja (bukit

tinggi), padahal sudah saya jelasin loh apa yang saya tau tentang penyakit

ini. Disitu langsung saya lawan dia, saya bilang gini “aku orang baik-baik

(27)

lihat aku nyeleweng, pulang kerja langsung balik kerumahnya aku, aku

seperti ini itu, hanya karena mendiang suami aku aja nya kemarin!!!”

saya bilang gitu dek, gak tau lah kenapa sok berani gitu (tertawa).

Tetangga juga sempat tau kemarin, sebelum saya pindah ke sini.Ada itu 1

orang, gak tau dia dapat berita ini darimana, dia langsung ngejauh

gitu.Tanpa bilang apa-apa.Tapi hanya seperti itu aja, kalau sampai ada

tetangga yang mukul atau ngusir dari tempat tinggal kemarin gak ada.

Mungkin karena saya yang langsung ambil tindakan pindah yaa, supaya

gak makin banyak yang tau, kan bahaya juga, jaga diri lah.”

Walaupun seluruh keluarga M, menerima statusnya sekarang, bukan

berarti M santai-santai, dengan inisiatifnya sendiri M lebih menarik diri, dengan

tujuan keluarga besarnya tidak ada yang terkena penyakit yang sama dengan

dirinya. Terkhusus putri semata wayangnya F (18 tahun), mulai dari kecil M tidak

pernah mengijinkan F untuk tidur sekamar dengan dirinya, walaupun F telah

memohon.Dia pun besyukur, penyakitnya ini tidak menurun ke putrinya (F).

“Dulu iya, sempat takut melihat orangtua/keluarga, asal ketemu langsung

nundukin kepala, lebih pendiam, minder.Memang omongan mereka itu gak

ada yang nyakiti, tapi perlakuan mereka yang sempat ngejauhi itu saya

yang sampai sekarang masih ingat.Tapi saya ambil positifnya aja, mereka

ngejauh karena takut tertular ke mereka.Saya jadi lebih narik diri juga

lah, ngehargai ketakutan mereka juga. Sampai sekarang saya itu gak

pernah tidur sama anak, untuk jaga-jaga saya biarkan dia tidur sama

neneknya, kalau lagi tidurkan kita gak sadar apa yang kita lakukan,

(28)

suami kemarin kan jalani program, gak saya kasih ASI juga, sudah di

periksa juga kok di RS dan memang hasilnya Alhamdulilah negatif dek.”

5.4.6. Informan Utama V

Nama : TH

Umur : 30 Tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Alamat : Stabat

Pekerjaan : -

TH merupakanmantan seorang manager di salah satu perusahaan yang ada

di stabat (tidak disebutkan oleh informan).Pada saat status nya diketahui pihak

perusahaan, pada saat itu pula TH langsung di depak dari pekerjaannya. Pada saat

peneliti melakukan wawancara, kondisi TH sedang drop, jadi sebagian pertanyaan

yang diajukan kepada informan dijawab oleh sang ibu juga adiknya yang pada

saat itu sedang menemani TH.

“Saya itu dari SMA sudah berkecimpung dengan narkotika, kebetulan

teman saya kebanyakan cowok, mereka yang pertama kali nawarkan

benda itu pada saya. Sekali dua kali itu saya masih coba-coba, dari situ

ketagihan, setelah ketagihan pas di tahun ketiga saya beranikan nyoba

jarum suntik. Jarum suntiknya juga sama make dengan mereka, mungkin

salah satu teman saya itu ada yang sudah terinfeksi. Jadi saya ambil

kesimpulan saya terinfeksi virus ini karena sering gonta ganti jarum suntik

dan itu tidak steril (bicara perlahan).Dari dokter juga mengatakan, besar

(29)

Pada tahun 2016 bulan 11 TH dinyatakan terinfeksi HIV/AIDS oleh pihak

puskesmas yang ada di Stabat, dikarenakan peralatan di Puskesmas tidak

memadai, TH direkomendasikan pihak puskesmas untuk melanjutkan

pengobatannya di RSU Pirngadi.Belum ada 1 tahun TH terinfeksi, kondisi

tubuhnya sudah jauh berbeda, berat badannya turun drastic.Sebelumnya berat

badan daripada TH itu 65kg, sekarang sudah 45kg.Hal ini disebabkan, depresi

yang dialami TH.Selain tekanan tentang sakitnya, ada juga tekanan dari pihak

keluarga khususnya adik TH. Seperti kutipan wawancara berikut ini:

“Semua keluarga itu langsung tahu, karena ketika saya pertama kali

berobat ditemani mamak, adik juga. Pada saat itu kondisi tubuh sudah

drop, tidak mampu lagi jalan lama-lama apalagi sendirian, jadi minta

bantu keluarga kemarin nemani. Setelah mereka tahu saya kenak ini, saya

kayak tidak ada hak untuk lakukan apasaja, mereka yang nentukan

semua.Harus inilah, itulah.Suka-suka mereka.Ya saya nuruti, karena tidak

sanggup lagi ngapai-ngapai. Kalau mereka tidak ada, saya juga yang

susah. Tidak ada lagi yang mandikan, suapin.Pokoknya semua keperluan

saya, mereka juga yang urus.”

Pemahaman masyarakat yang salah dalam menilai HIV/AIDS dan ODHA

sebenarnya dapat ditekan secara bertahap dengan memberikan pemahaman dan

stimulus positif mengenai kebenaran HIV/AIDS.banyak dari masyarakat yang

hanya memahami HIV/AIDS sebagai bentuk penyakit seks menular saja, atau

penyakit yang tidak ada obatnya dan menyebabkan kematian dalam waktu

singkat. Diskriminasi ini bukan hanya diperoleh dari keluarga/masyarakat saja,

(30)

seperti yang dialami oleh TH.Dimana dirinya di PHK pihak perusahaan tempat

dia bekerja, karena ketahuan terinfeksi HIV/AIDS.berikut ungkapan TH mengenai

diskriminasi yang diperolehnya dari perusahaan:

“Mereka mulai curiga melihat saya, yang kondisi tubuh semakin lama

semakin drop, sering ijin tidak masuk kantor. Pada saat itu saya masih

berusaha nyari alasan lain, pernah saya baca berita tentang ODHA yang

dipecat. Saya berusaha terus nutupinnya, saya tidak mau lah di pecat.2

minggu setelah itu, tidak tau dapat info darimana mereka tahu status saya

yang seperti ini, dan pada saat itu saya langsung di pecat.”

Stigma dan diskriminasi yang diterima para ODHA selalu dihubungan

dengan penyakit mereka, yang tanpa disadari stigma yang diberikan itu dapt

menimbulkan efek psikologis yang berat tentang bagaimana ODHA melihat diri

mereka sendiri.Hal ini bisa mendorong dalam beberapa kasus, terjadinya depresi,

kurangnya penghargaan diri, dan keputusasaan.Sama halnya seperti yang

dirasakan TH sekarang ini. Berikut cakupan wawancara dengan informan:

“Karena siapa juga saya sampai seperti ini, ini memang kesalahan saya

yang sering make narkoba/jarum suntik. Tapi, kalaulah misalnya saya

tidak menerima tekanan dari luar, mungkin kondisi saya tidak terlalu

begini kali.Saya merasa tertekan, tidak ada kebebasan lagi bagi

saya.mereka baik mau nyuruh saya berobat, tapi cara mereka suruh saya

berobat itu dipaksa, bukan benar-benar dari hati mereka. Setiap mau

berobat, mereka selalu menyalahkan saya, mengingatkan kembali masa

kelam saya yang semenjak SMA itu.Ditambah lagi dengan di PHK nya

(31)

di RS ini yang penyakit sama seperti saya, lebih duluan lagi mereka

terinfeksi ketimbang saya, tapi kondisi tubuh mereka masih oke oke saja,

lah kenapa saya yang baru terinfeksi 6 bulan terakhir ini langsung seperti

ini? berdiri saja sudah tidak mampu apalagi jalan harus menggunakan

kursi roda. Dukungan dan motivasi itu yang paling saya butuhkan

sekarang (menangis).Pikiran saya banyak terbagi tidak ke penyakit, malah

perlakuan dari keluarga.”

5.4.7. Informan Tambahan I

Nama : Sari

Umur : 24 Tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Alamat : Jl. Bunga wijaya kesuma XII

Pekerjaan : Penjahit

Informan tambahan yang pertama, peneliti memilih seorang masyarakat

biasa yang tinggal di pasar 4 Padang Bulan, tepatnya Jl. Bunga Wijaya Kesuma

XII.Beliau iyalah Sari (24 tahun), berprofesi sebagai seorang penjahit didekat

tempat tinggalnya.Peneliti langsung memperkenalkan diri, dan memberitahukan

(32)

saat itu, informan mau memulai jahitannya kembali setelah istirahat 1 jam, jadi

untuk mempersingkat waktu peneliti langsung memberikan pertanyaan seperti :

“Bagaimana pandangan Anda terhadap mereka yang terinfeksi HIV/AIDS?”

“Tau dek, penyakit yang gara-gara seks bebas itu kan? Berbahaya loh itu,

mematikan, bisa menular ke siapa aja. Makanya jangan mau bergaul

sama orang seperti itu, bisa-bisa malahan kenak juga kita. Kita gak sadar

kalau kita itu uda kenak apa belum, hati-hatilah. Orang-orang kayakgitu

lebih bagus gak ditemani/jauhi. Dia berbuat seperti itu uda melanggar

norma, perilaku menyimpang, memang sih siapa aja bebas berbuat seperti

itu, itu hak nya masing-masing, tapi maunya jangan sampai kenak

penyakit ini. Kalau memang gak tahan lagi mau berhubungan, langsung

nikah aja, berbuat seperti itu ke 1 orang jangan ke semua orang.”

Masih menjadi rahasia besar status seseorang yang terkena HIV/AIDS,

ditambah tidak adanya ciri-ciri yang membedakan para si penderita dengan

masyarakat awam, menjadikan masyarakat tidak mengetahui apakah ada penderita

HIV/AIDS di lingkungan mereka.Adanya rasa takut berlebih dikucilkan, dihina,

disiksa, jika ada oranglain yang tahu.

“Pasti adanya itu dek, cuma ditutup-tutupi keluargnya.Malu lah sampai

ketahuan tetangga/masyarakat, bisa-bisa diusir dari sini. Di ujung sana

kan ada itu kayak lembaga yang menangani orang-orang kayak gini,

kalau kita dari sini sebelah kanan tempatnya, sering saya lewat dari situ

kalau mau ke Setia Budi. Tapi, kayaknya gak tinggal disitu orang itu.”

Banyak pemikiran buntu yang dipahami ODHA, pemikiran yang

(33)

ODHA dalam memahami diri dan penyakitnya.Memahami seseorang yang

mengetahui ratusan, ribuan, dan bahkan jutaan virus mematikan dalam dirinya

seperti halnya virus HIV memang tidak mudah.Hal ini dipersulit dengan

penerimaan masyarakat yang seakan tidak memberikan tangan terbuka untukdapat

merangkul atau bahkan sedikit memberikan pemahamannya terhadap ODHA.

Banyak ODHA yang merasa kehilangan nilai diri di mata keluarga/masyarakat,

karena ODHA tahu bahwa masyarakat akan memberikan nilai merah untuk sulit

memahami mereka terlebih penyakitnya. Sepaham dengan apa yang dikatakan

oleh infoman tambahan I, yang mengatakan bahwa:

“Setiap orang bebas bergaul sama siapa aja ya kan, aku gak pernah

larang atau keluarga larang kami bergaul sama orang seperti itu. Karena

memang, kami itu gak pernah ngebahas ini.Aku pribadi, ngejauhi mereka

lah, gak mau dekat-dekat, takut.Hehehhe, ada sih dek. Kalau aku di posisi

mereka dan mendapat diskriminasi yang kayak aku bilang tadi, pasti aku

pun ikut menjauhnya, malu, minder, tertutup dari orang banyak, stress,

bahkan bisa gila memikirkannya. Tapi kan wajar, kalau ada rasa takut

tertular penyakit itu. Mereka yang berbuat kayak gitu, mereka juga harus

berani nanggung resikonya.”

5.4.8. Informan Tambahan II

Nama : Ester Silalahi

Umur : 40 Tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

(34)

Pekerjaan : Guru

Informan tambahan II yang menjadi informan terakhir dalam penelitian ini

adalah Ester Silalahi (40 tahun), seorang guru di salah satu sekolah yang ada di

padang bulan. Peneliti melakukan wawancara ketika informan Ester sedang

bersantai di sebuah kedai tidak jauh dari tempat tinggalnya. Adapun kutipan

wawancara dengan informan, yaitu:

“Pengurangan kekebalan tubuh karena disebabkan virus, sehingga

muncul penyakit-penyakit seks yang membawa dampak yang kurang baik

terhadap kondisi seseorang.Dari virus itu lah nanti baru muncul yang

AIDSnya. Kalau hanya bersalaman, duduk berdampingan, pakai peralatan

makan/mandi sama gak ada efeknya.Dari artikel yang pernah saya baca,

penyakit ini biasanya hanya menular melalui hubungan seksual, jarum

suntik, dan tranfusi darah.Termasuk penyakit menular yang berbahaya,

karena itu merupakan perilaku hidup.Orang jaman sekarang

pengaulannya terlalu bebas apalagi di Medan ini gak pandang itu anak

kecil, anak kecil ini dapatnya ya dari orangtua yang terinfeksi HIV.Karena

perilaku kita yang kurang sehat berganti-ganti pasangan kemudian

konsumsi narkoba dengan jarum suntik, tidak menggunakan alat

kontrasepsi itu kadang-kadang muncul masuknya bibit penyakit.”

Bila stigma masyarakat ataupun lingkungan sekitarnya negative, beban

penderitaan mereka akan semakin besar. Tidak jarang dari stigma itu membuat

sebagian ODHA lebih menutup diri dari masyarakat. Mereka seharusnya

mendapatkan perhatiana yang serius dan dihindarkan dari kemungkinan untuk

(35)

mengakhir hidup secara bunuh diri. Berikut kutipan wawancara dengan informan

tambahn II yang mengatakan dampak daripada stigma dan diskriminasi itu

sendiri:

“Status mereka itu masih tertutup rapat, jarang ada masyarakat yang

tahu, bahaya. Adek ini lagi penelitian tentang ODHA ini kan, pasti agak

susah nanti adek meneliti orang itu, karena kebanyakan mereka itu

benar-benar tertutup, malah terkadang mereka sendiri yang langsung menarik

diri. Saya itu tidak pernah melarang anak/keluarga saya itu bergaul

dengan mereka, tapi jaga diri dari dalam saja. Dan mereka berhak

mendapatkan pekerjaan, mereka juga manusia yang bersosialisasi butuh

aktivitas dan kegiatan, beda hal kalau ODHA nya yang tidak mampu lagi

beraktifitas/bekerja.ODHA begitu tau kena HIV itu stress, depresi, tidak

mendapat dukungan keluarga, mulai mengurung diri, penyakit sudah

mulai bermunculan, kurang produkti, dan masih tingginya stigma dan

diskriminasi dari keluarga/masyarakat mereka dikucilkan, mereka di

stigma kalau ODHA iu “orang nakal”, orang bejat, orang yang tidak

benar, tidak bermoral, suka berperilaku seks, pake narkoba, gara-gara

stigma itu lah ODHA jadi tidak berani buka “kartu”. Mereka kebanyakan

meninggal bukat karena penyakitnya tapi disebabkan stress, stressnya

apa? Karena kurang dukungan dari keluarga.”

5.5. Analisis Data

(36)

HIV/AIDS sebuah kasus yang tidak lagi makanan baru bagi masyarakat

Indonesia. Layaknya penyakit kejadian luar biasa yang menjadi perhatian

akhir-akhir ini, kasus HIV/AIDS yang pertama kali muncul di Indonesia pada tahun

1987 juga menjadi suatu hal yang menggemparkan dan fenomenal di masyarakat.

Ironisnya, iklim kegemparan HIV/AIDS tidak menjadikan suatu motivasi bagi

masyarakat untuk menanggulangi penyebaran wabah ini di Indonesia.Kegemparan

tersebut justru melahirkan stigma di masyarakat terhadap penderita HIV/AIDS

atau biasa dikenal dengan istilah ODHA.

Stigma ODHA sering diekspresikan dalam satu atau lebih stigma, terutama

yang berhubungan dengan homoseksualitas, biseksualitas, pelacuran, dan

penggunaan narkoba melalui suntikan.Di banyak negara maju, terdapat

penghubungan antara AIDS dengan homoseksualitas atau biseksualitas, yang

berkorelasi dengan tingkat prasangka seksual yang lebih tinggi, misalnya

sikap-sikap anti homoseksual.Demikian pula terdapat anggapan adanya hubungan antara

AIDS dengan hubungan seksual antar laki-laki, termasuk bila hubungan terjadi

antara pasangan yang belum terinfeksi.Menurut Herek and Capitanio (1999).

Factor-faktor yang menyebabkan stigmadan diskriminasi terhadap ODHA, yaitu:

1. HIV/AIDS adalah penyakit karena melanggar susila, kotor, tidak

bertanggungjawab (Pandangan Agama)

Agama memiliki pengaruh yang kuat terhadap cara pandang dan

pola perilaku manusia. Sehingga dengan atas nama agama bisa dijadikan

sebagai justifikasi sekaligus sebagai legitimasi bagi seorang untuk

memberikan sikap dan tindakannya. Masih banyak masyarakat yang

(37)

HIV/AIDS semata-mata hasil dari perbuatan sexual diluar hubungan yang

disahkan oleh agama dan kegiatan yang tidak sesuai dengan norma-norma

seperti sex bebas dan penggunaan jarum suntik/narkoba.

Sama halnya seperti yang terdapat dalam kutipan wawancara dengan

Informan Kunci: “Mereka dikucilkan, mereka distigma kalau ODHA itu

adalah orang yang kotor/nakal, orang bejat, tidak bermoral, suka

berperilaku seks”.

Kemudian pernyataan Informantambahan I : “Orang-orang

kayakgitu lebih bagus gak ditemani/jauhi. Dia berbuat seperti itu uda

melanggar norma, perilaku menyimpang, tidak bermoral.

Ditambah dengan pernyataan informan tambahan II:Termasuk

penyakit menular yang berbahaya, karena itu merupakan perilaku hidup.

Orang jaman sekarang pengaulannya terlalu bebas apalagi di Medan ini

gak pandang itu anak kecil, anak kecil ini dapatnya ya dari orangtua yang

terinfeksi HIV. Karena perilaku kita yang kurang sehat berganti-ganti

pasangan kemudian konsumsi narkoba dengan jarum suntik, tidak

menggunakan alat kontrasepsi itu kadang-kadang muncul masuknya bibit

penyakit.”

2. Kurangnya pengetahuan yang benar tentang cara penularan HIV.

Pengetahuan tentang HIV/AIDS sangat mempengaruhi bagaimana

individu tersebut akan bersikap terhadap penderita HIV/AIDS. Dalam

konteks medis misalnya masyrakat bahkan pnederita HIV/AIDS itu sendiri

(38)

utuk mencakup apa itu HIV/AIDS, bagaimna virus HIV bisa ditularkan,

bagaimna HIV dicegah perkembangannya dan seterusnya. Pengetahuan

tentang HIV/AIDS yang masih awam inilah yang menjadikan masyarakat

mempunyai kesimpulan-kesimpulan yang tidak sesuai dengan persoalan

HIV/AIDS sebenarnya. Masyarakat masih banyak yang menganggap

bahwa HIV/AIDS itu bisa menular melalui kontak sosial seperti

bersalaman, makan bersama, bertemu dalam ruangan sama, menghirup

udara dekat ODHA dst.

Seperti yang terdapat dalam kutipan wawancara dengan informan

tambahan utama II yang mengatakan bahwa: “Tahu, menurut saya

HIV/AIDS itu penyakit yang bisa mematikan si penderitanya, dapat

menular itu kalau tidak salah seks bebas, suntik-suntik terlarang, sama

darah yaa. Sejauh ini, hanya itu saja yang saya tau tentang penyakit

ini.Selebihnya saya hanya ngikutin kata dokter aja”.

Tidak jauh berbeda, informan utama IV juga mengatakan bahwa

keluarga dari M sempat tidak mengetahui apa itu HIV/AIDS sebelum

akhirnya M memberitahu mereka .“Langsung saya kasih tau sakit saya ini

ke mereka, mereka diemmm aja, diem nya bukan karena terkejut tapi

malah karena gak tau sama sekali tentang penyakit ini. Ketimbang ada

yang ditutupi, saya jelasin lagi, saya kasih juga mereka buku pedoman

tentang HIV/AIDS disitu baru mereka nyambung/ngerti lah.”

Kemudian ditambah dengan pernyataan NA (Informan Utama II)

bahwa:“Suami saya meninggal gara-gara penyakit ini juga nya, saya

(39)

terinfeksi itu baru saya cari tahu ditambah buku pedoman seputar

HIV/AIDS dari Medan Plus.

3. HIV/AIDS penyakit yang mematikan

Fakta yang mengatakan bahwa penyakit HIV/AIDS mampu

membunuh si penderita, menambah persepsi masyarakat terhadap ODHA

semakin negative, dengan tidak mau berteman dengan si penderita yang

takutnya akan menularkan penyakit tersebut kepada mereka. Seperti yang

dinyatakan informan tambahan I: “Tau dek, penyakit yang gara-gara seks

bebas itu kan? Berbahaya loh itu, mematikan, bisa menular ke siapa aja.

Makanya jangan mau bergaul sama orang seperti itu, bisa-bisa malahan

kenak juga kita. Kita gak sadar kalau kita itu uda kenak apa belum,

hati-hatilah. Orang-orang kayakgitu lebih bagus gak ditemani/jauhi.

5.3.4. Analisis Bentuk dan Dampak Stigma dan Diskriminasi

Dampak secara sederhana bisa diartikan sebagai pengaruh atau

akibat.Dalam setiap keputusan yang diambil oleh seorang biasanya mempunyai

dampak tersendiri, baik itu dampak positif maupun dampak negatif. Dampak juga

bisa merupakan proses lanjutan dari sebuah pelaksanaan pengawasan internal.

Seorang pemimpin yang handal sudah selayaknya bisa memprediksi jenis dampak

yang akan terjadi atas sebuah keputusan yang akan diambil. Dalam penelitian ini

sebagian besar memperoleh pengaruh yang negative dari stigma dan diskriminasi

dari keluarga ataupun masyarakat.

Bentuk stigma dan diskriminasi yang sering diperoleh ODHA seperti gosip,

(40)

bahkan para ODHA mengstigma diri mereka sendiri, hal ini diakibatkan dari

diskriminasi yang sering merekan peroleh dari keluarga bahkan masyarakat

Dampak yang mereka terima dari stigma dan perlakuan diskriminasi itu

sendiri berupa dampak negatif, akibat yang dihasilkan dari dampak ini adalah

merugikan dan cenderung memperburuk keadaan. Adapun kutipan wawancara

tersebut yaitu dari Infoman Utama I: Semenjak itu, semua sikap mereka berubah

mbak (mau nangis) berubah total pun saya rasa. Mereka itu gak ngusir saya

untuk keluar dari rumah, gak mbak. Tapi mereka kayak membatasi saya gitu, gak

boleh satu peralatan mandi, makan sama pun mereka gak mau lagi (sambil hapus

air mata), mereka itu gak pernah lagi ngajak makan. Semenjak 2 tahun lalu

sampai sekarang”.Dan dampak dari stigma serta perlakuan diskriminasi yang

dilakukan orang tuanya tersebut membuat infoman utama I serasa terasingkan,

seperti yang dikatakannya dalam wawancara: “Ada lah mbak, dari perlakuan

mereka itu, saya merasa terasingkan, lebih tertutup sama mereka, semangat untuk

hidup gak ada lagi. Biarpun perlakuan diskriminasi ituhanya dari keluarga yang

saya terima, tapi kan mbak menurut saya, keluarga lah yang seharusnya memberi

semangat, dukungan, dorongan, bukan malah kayak gini, membuat perbedaan

antara saya sama adek-adek saya.”

Kemudian diikuti dengan pernyataan informan utama II:

Cemoohan/omongan mereka yang gak-gak itu, membuat saya lebih banyak

terdiam/termenung, setelah keluar omongan seperti itu saya selalu menangis di

kamar, menutup diri dari keluarga, sama orang lain pun saya jadi lebih

tertutup.” Informan Utama II juga mengatakan dia jadi lebih menutup diri serta

(41)

saya yang lebih dulu menarik diri dari mereka, bagaimana supaya status saya ini

gak kena sama mereka, saya tau malunya, sakitnya gimana, jadi saya simpan

sendiri jepit kuku, sisir saya

Kemudian ditambah pernyataan dari informan IV “Dulu iya, sempat takut

melihat orangtua/keluarga, asal ketemu langsung nundukin kepala, lebih

pendiam, minder.Memang omongan mereka itu gak ada yang nyakiti, tapi

perlakuan mereka yang sempat ngejauhi itu saya yang sampai sekarang masih

ingat”. Sama halnya seperti informan utama II, informan IV ini juga mengatakan

bahwa dia lebih dulu menarik diri dari keluarga bahkan anaknya sendiri, adapun

kutipan wawancaranya yaitu: “Saya jadi lebih narik diri juga lah, ngehargai

ketakutan mereka juga. Sampai sekarang saya itu gak pernah tidur sama anak,

untuk jaga-jaga saya biarkan dia tidur sama neneknya, kalau lagi tidurkan kita

gak sadar apa yang kita lakukan, sebagai antisipasilah.

Serta ditambah dengan pernyataan Informan Kunci yang mengatakan

bahwa:“Kalau orang begitu tau kalau HIV positif, mereka itu kebanyakan

meninggal bukan karenan penyakitnya tapi karena stress, strees yang

bagaimana?, karena kurang dukungan dari masyarakat, masih tingginya stigma

(42)

BAB VI PENUTUP

Bab ini berisikan kesimpulan dan saran yang didapat dari hasil penelitian.

Kesimpulan yang terdapat di bab ini merupakan hasil yang dicapai dari analisis

data dalam penelitian tentang Dampak Stigma Negatif dan Diskriminasi terhadap

ODHA.

6.1. Kesimpulan

Kesimpulan yang dapat diambil ialah HIV/AIDS yaitu virus yang

menyerang sistem kekebalan tubuh manusia.Adapun perilaku-perilaku yang bisa

memudahkan penularan HIV, yaitu berhubungan seks yang tidak aman (tidak

menggunakan kondom), ganti-ganti pasangan seks, bergantian jarum suntik

dengan orang lain, memperoleh transfusi darah yang tidak dites HIVnya, serta

(43)

dapat menularkan kepada siapapun tanpa memandang kebangsaan, ras, agama,

jenis kelamin, kelas ekonomi, mauoun orientasi seksualnya. HIV ditemukan

dalam cairan darah, cairan mani, dan cairan vagina dari orang yang terinfeksi

HIV. Penularan ini terjadi apabila HIV dalam darah atau cairan itu memasuki

aliran darah orang lain.

Skripsi ini berfokus pada mereka yang terinfeksi HIV/AIDS kemudian

menerima suatu stigma dan diskriminasi yang bisa saja diperoleh dari siapapun

seperti, keluarga, teman, bahkan tetangga/masyarakat luas. Berdasarkan

pengamatan di lapangan, peneliti melihat semangat juang seorang penderita HIV

dalam mempertahankan hidupnya dan orang lain. Dari situasi terpuruk mereka

mampu bangkit untuk melawan virus yang ada dalam tubuhnya dan juga omongan

orang yang tidak-tidak tentang HIV, dari beberapa informan yang peneliti

wawancarai setidaknya ada 2 atau 3 informan yang mengatakan bahwa beban

paling berat yang mereka hadapi selama ini berasal dari stigma yang diberi orang

lain kepada mereka daripada kenyataan didiagnosa terinfeksi HIV. Tetapi, tidak

sedikit ada juga yang memberi semangat, semangat itu sendiri muncul ketika

diberi nasehat dan motivasi oleh keluarga/kerabat dekatnya.

Tingginya stigma masyarakat terhadap pengidap HIV/AIDS menyebabkan

banyak perlakuan diskriminasi baik dalam hal pekerjaan, perawatan, pengobatan,

pendidikan maupun hal lainnya (Djoerban, 2000).Stigma yang ada dalam

masyarakat dapat menimbulkan diskriminasi. Diskriminasi terjadi ketika

pandangan-pandangan negatif mendorong orang atau lembaga untuk

memperlakukan seseorang secara tidak adil yang didasarkan pada prasangka

(44)

1. Stigma dan diskriminasi yang diberikan pada ODHA menimbulkan

kecemasan dan ketakutan untuk membuka statusnya kepada masyarakat

umum, menutup diri, dan tidak mau bergaul dengan lingkungan sekitar.

2. Stigma dan diskriminasi membuat orang enggan untuk melakukan tes

HIV, enggan mengetahui hasil tes mereka, dan tidak berusaha memperoleh

perawatan yang semestinya.

3. Stigma dan diskriminasi yang diberikan kepada ODHA membuat mereka

depresi, bahkan terganggu kondisi fisik dan psikologinya. Mereka telah

memperoleh beban yang berasal dari fakta bahwa mereka terinfeksi virus

mematikan yang sampai sekarang belum ditemukan obatnya, dan dengan

ditambah beban/tekanan yang diperoleh dari lingkungan sekitar dapat

membuat kondisi mereka semakin drop. Dimana jika kondisi tubuh yang

lemah, malah mempercepat perkembangan virus yang ada didalam tubuh

mereka.

4. Yang menjadi alasan masyarakat memiliki stigma negatif adalah

dikarenakan ketakutan masyarakat akan tertular HIV/AIDS dari ODHA

sehingga masyarakat memberikan stigma negatif dan diskriminasi kepada

ODHA berupa pengusiran serta adanya sedikit pembedaan dari masyarakat

meskipun tidak secara langsung diungkapkan masyarakat saat

diwawancarai.

6.2. Saran

Berdasarkan uraian bab-bab sebelumnya dari hasil penelitian dan

(45)

menjadi masukan bagi semua pihak yang membutuhkannya, diantaranya sebagai

berikut:

1. Saran bagi pemerintah

Kepada pemerintah diharapkan dapat lebih memperhatikan penderita

HIV/AIDS, misalnya memberikan pengobatan gratis kepada penderita HIV/AIDS

yang kondisi ekonominya tidak mampu dan memberikan penyuluhan kepada

masyarakat mengenai bahaya dan pencegahan penyakit HIV/AIDS, sehingga

wawasan masyarakat bertambah tentang hal tersebut, dan dapat mengurangi

jumlah stigma dan diskriminasi yang diberikan kepada ODHA.

2. Saran bagi masyarakat

Masalah penyakit HIV/AIDS bukan hanya tanggungjawab si penderita dan

pemerintah melainkan semua pihak yang peduli terhadap keberadaan ODHA.

Oleh karena itu, masyarakat sangat diharapkan agar dapat membantu keberadaan

ODHA, dengan menerima mereka dilingkungan, tanpa memberikan label

negatif/stigma negatif. Dan ada baiknya masyarakat juga memperhatikan status

pasangannya masing-masing sebelum melanjutkan ke jenjang pernikahan, seperti

melakukan test HIV. Hal ini dilakukan agar mengurangi jumlah penularan

HIV/AIDS dalam lingkungan masyarakat.

3. Saran bagi penderita HIV/AIDS

Diharapkan penderita HIV/AIDS dapat mengikuti kegiatan yang ada di

masyarakat khususnya kegiatan sosialisasi yang dilakukan oleh pihak LSM,

Gambar

Gambar 1: Peta KDS Sumut

Referensi

Dokumen terkait

harvesting of woods and plants Establishing conservation areas Establishing conservation areas Managing the. harvesting of woods

Menguasai meteri sesuai bidang ilmu yang dipilih seharusnya sudah menjadi tugas bagi mahasiswa, sayangnya penguasaan materi menjadi alasan utama bagi mahasiswa

Walaupun sudah menggunakan SAP, dalam pembuatan laporan hasil.. tagihan masih dilakukan secara manual, menggunakan Microsoft

Pengisian atau pemulihan kembali energi dalam otot memerlukan waktu, dengan demikian pemulihan energi otot melalui proses ensimatis (menggunakan enzim), pulih asal

Elemen tersebut sangat erat kaitannya dengan risiko finansial, karena proyeksi aliran kas dalam perhitungan dengan metoda capital budgeting menggambarkan bahwa investasi

PERANAN ASESMEN FORMATIF TERHADAP LEARNING PROGRESSION SISWA PADA KONSEP KLASIFIKASI TUMBUHAN BERBIJI DENGAN PENDEKATAN FENETIK.. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu

Sauropus androgynus and Elephantopus scaber has substance like saponin and flavonoid which has been well known as natural imunomodulator, particularly to increase amount of

Sebelum melaksanakan praktek mengajar, praktikan membuat RPP sesuai dengan kompetensi yang akan diajarkan. Praktikan mendapat kesempatan untuk mengajar