• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

III. HASIL DAN PEMBAHASAN 7 3.1 Hasil

2.5 Analisis Data

Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap dengan lima perlakuan dan tiga ulangan. Data yang diperoleh dianalisa menggunakan analisis ragam dengan tingkat kepercayaan 95% dan dilajutkan dengan uji Tukey untuk melihat pengaruh setiap perlakuan dari masing-masing parameter yang diamati. Analisis ragam dan uji Tukey menggunakan program komputer SPSS 17.0.

7

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Hasil

Perubahan biomasa rata-rata ikan nila merah dengan kadar DDGS berbeda dapat dilihat pada Gambar 1. Perubahan biomassa rata-rata pada pakan DDGS 30% pada awal pemeliharaan 32,87 g menjadi 265,67 g pada akhir pemeliharaan. Pada pakan DDGS 40% pada awal pemeliharaan 30,53 g menjadi 242 g di akhir pemeliharaan. Pakan DDGS 50% di awal pemeliharaan 32,57 g bertambah menjadi 278 g di akhir pemeliharaan. Pada pakan Grade A di tebar awal seberat 30,70 g selama 120 hari menjadi 353,33 g, sedangkan pakan Grade B pada awal tebar 31,30 g selama 120 hari bertambah menjadi 245,67 g. Hasil ini membuktikan bahwa pemberian pakan dengan DDGS dapat meningkatkan bobot biomasa pada ikan selama masa pemeliharaan 120 hari.

Gambar 1. Biomasa ikan rata-rata ikan nila merah Oreochromis sp. selama masa pemeliharaan yang diberi pakan perlakuan A (30% DDGS), pakan B (40% DDGS), pakan C (50% DDGS), pakan D (0% DDGS, kontrol grade A), dan pakan E (0% DDGS, kontrol grade B).

0,00 50,00 100,00 150,00 200,00 250,00 300,00 350,00 400,00 0 30 60 90 120 A B C D E

8 Tabel 2. Jumlah Konsumsi Pakan (JKP), Laju Pertumbuhan Harian (LPH), Konversi pakan (FCR), Efisiensi Pakan (EP), Retensi Lemak (RL), Retensi Protein (RP), dan Kelangsungan hidup (SR) selama masa pemeliharaan

Parameter Pakan perlakuan

30% DDGS 40% DDGS 50% DDGS Grade A Grade B LPH (%) 1,75 ± 0,13ab 1,74 ± 0,10b 1,80 ± 0,04ab 1,97 ± 0,08a 1,73 ± 0,04b JKP (g) 31605± 2721ab 26650 ± 2655b 36157 ± 4305ab 40634 ± 4710a 34917 ± 4136ab EP (%) 62,96 ± 3,89bc 64,92 ± 2,40ab 63,13 ± 0,86bc 69,45 ± 0,76a 58,31 ± 0,70c RP (%) 30,47 ± 6,76a 30,16 ± 0,11a 33,18 ± 1,47a 31,63 ± 2,71a 27,53 ± 2,03b RL (%) 79,76 ± 8,62b 82,70 ± 2,66b 87,73 ± 8,49b 140,08 ± 5,97a 69,04 ± 8,46b SR (%) 87,33 ± 0,58ab 84,33 ± 4,51b 93,67 ± 2,52a 88,33 ± 4,93ab 95,3 ± 0,58a FCR 1,59 ± 0,10ab 1,54 ± 0,06bc 1,58 ± 0,02ab 1,44 ± 0,02c 1,72 ± 0,02a

Keterangan : Nilai yang tertera merupakan nilai rata rata ± standar deviasi. Huruf superscript di belakang nilai standar deviasi yang berbeda pada setiap baris menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata (p<0,05).

Nilai LPH pada perlakuan B berbeda nyata dengan perlakuan D (p<0,05) sebesar 1,97 ± 0,08. Nilai JKP tertinggi diperoleh oleh perlakuan D 40634 ± 4710 g, hasil ini tidak berbeda nyata dengan perlakuan A dan C. Nilai EP perlakuan D dan B tidak berbeda nyata (p>0,05) dengan 64,92 ± 2,40 %. Nilai RP pada perlakuan A, B, dan C berbeda nyata dengan perlakuan E sebesar 27,53 ± 2,03 %. Nilai RP perlakuan D berbeda nyata pada semua perlakuan dengan nilai 140,08 ± 5,97 %. Nilai SR tertinggi didapat pada perlakuan E 95,3 ± 0,58 % dan tidak berbeda nyata dengan perlakuan C 93,67 ± 2,52 %. Nilai FCR terbaik diperoleh oleh perlakuan D 1,44 ± 0,02, dimana dengan perlakuan B tidak berbeda nyata.

3.2 Pembahasan

Penggunaan bahan baku berbasis limbah telah dilakukan untuk mengatasi permasalahan dalam bahan baku pakan yang masih bersumber pada tepung ikan dan tepung bungkil kedelai, dimana kedua bahan tersebut masih banyak didatangkan dari luar negri dan memiliki nilai yang tidak murah. Harga bahan baku yang mahal akan mengakibatkan harga pakan juga semakin mahal. Solusi dari permasalahan ini adalah dengan menggunakan bahan baku limbah. Bahan baku limbah yang digunakan di sini adalah limbah hasil pengolahan etanol yaitu DDGS. Pada tahun 2006 di Amerika, produksi etanol mencapai 5000 juta gallon dan ini baru berasal dari 18,3% jagung dari total produksi jagung (Anonim, 2007). Hasil sampingan dari pengolahan etanol ini dapat digunakan sebagai bahan baku

9 pakan ikan untuk menggantikan sumber protein yang berasal dari tepung ikan maupun tepung bungkil kedelai.

Jumlah konsumsi pakan berdasarkan pada Tabel 2 memberikan hasil yang berbeda nyata pada pakan DDGS 40% dan pakan grade A, jumlah pakan yang dikonsumsi pada ikan perlakuan DDGS 40% sebanyak 26,65 ± 2,65 kg sedangkan untuk ikan perlakuan grade A menghabiskan 40,63 ± 4,71 kg selama masa pemeliharan. Kemampuan ikan untuk menangkap dan mencerna pakan disebabkan karakteristik fisik dari pakan, seperti kecepatan tenggelam, ukuran, warna dan tekstur pakan (Dias et al., 1997).

Energi diperoleh ikan berasal dari pakan yang dikonsumsi. Energi didapat dengan perombakan nutrient dalam pakan, seperti protein, lemak dan karbohidrat. Energy inilah yang digunakan untuk proses metabolism dan tumbuh, dan jika energy yang didapat berlebih maka akan disimpan dalam tubuh ikan dan dapat terlihat dari nilai retensi protein dan lemak.

Nilai retensi lemak tinggi yang didapat perlakuan D dengan 140,08 ± 5,97% disebabkan tingginya kadar BETN mencapai 49,04% sehingga dirubah dan disimpan dalam bentuk asam lemak. Pada proses pencernaan pakan, karbohidrat di hidrolisis dalam mulut, lambung dan usus. Hasil akhir dari dari hidrolisis adalah glukosa, fruktosa, galaktosa dan manosa yang kemuidan dibawa darah menuju hati. Glukosa dioksidasi menjadi asam piruvat, kemudian asam piruvat dekarboksilasi menjadi asilkoenzim. Apabila kadar karbohidrat dalam pakan berlebih, maka Asilkoenzim akan masuk ke dalam jalur pembentukan asam lemak sehingga terbentuk asam lemak (Poedjiaji, 1994). Menurut Bauermeister & Sargent (1979), asam lemak pada ikan ditunjukkan dalam bentuk triasligliserol atau phospholipids yang dibentuk dari gliserol 3-fosfat. Gliserol 3-fosfat dapat dibentuk dari glukosa melalui glikolisis atau dari asam amino melalui glukoneogenesis. Selain karbohidrat, asam amino juga dapat dirubah menjadi asam lemak. Kecenderungan ikan untuk proses glukogenesis dari asam amino adalah sangat mungkin karena ini adalah jalan utama untuk pembentukan gliserol dalam biosintesis gliserolipid pada ikan (Sargent et al., 1972).

Pertumbuhan didefinisikan dengan pertambahan bobot dari awal pemeliharaan sampai akhir pemeliharaan. Laju pertumbuhan harian

10 memperlihatkan adanya pertumbuhan pada ikan setiap harinya. Menurut Watanabe (1988), pertumbuhan maksimum merupakan peningkatan bobot dan ukuran yang dipengaruhi oleh komposisi nutrisi yang optimum. Dapat dilihat bahwa nilai LPH yang mendekati pakan Grade A 1,97 ± 0,08 % adalah pakan DDGS 50% 1,80 ± 0,04 %. Menurut Hertrampf dan Pascual (2000), bahwa secara umum penambahan DDGS pada pakan dapat mencapai 10-35%. Tetapi, hasil yang diperoleh bahwa dengan penambahan DDGS 50% dalam pakan masih memberikan pertumbuhan yang sama dengan pakan grade A.

Ikan menggunakan protein sebagai sumber energi secara efisien (Lovell, 1989). Protein digunakan sebagai pertumbuhan dan unsur pembentuk jaringan baru (NRC, 1993). Pertumbuhan tinggi pada pakan DDGS 50% dan grade A memiliki serat kasar pakan yang rendah dibandingkan yang lain, nilai serat kasar berturut-turut 6,89% dan 7,03%. Sebagian besar ikan dapat menoleransi serat kasar dalam pakan hingga 8%, tetapi jika lebih dari nilai tersebut dapat menekan pertumbuhan (NRC, 1993).

Konversi pakan adalah suatu ukuran yang menyatakan rasio jumlah pakan yang dibutuhkan untuk menghasilkan 1 kg daging ikan. Konversi pakan (FCR) dapat digunakan untuk mengetahui kualitas pakan yang diberikan terhadap pertumbuhan ikan (Mahyuddin, 2008). Nilai FCR yang kecil menandakan pakan dimanfaatkan dengan baik oleh ikan untuk pertumbuhan. Dapat dilihat bahwa pakan DDGS 30% dan 50% memiliki hasil yang tidak berbeda nyata, tetapi pakan DDGS 30% dan 50% berbeda nyata dengan pakan grade A yang memiliki nilai masing-masing 1,59 ± 0,10; 1,58 ± 0,02; 1,44 ± 0,02. Nilai FCR berbanding terbalik dengan nilai efisiensi pakan (EP), semakin kecil FCR maka nilai EP akan semakin besar.

Kelangsungan hidup pakan perlakuan DDGS 40% berbeda nyata dengan pakan DDGS 50%. Pakan tersebut memiliki nilai kelangsungan hidup masing- masing 84,33 ± 4,51% dan 93,67 ± 2,52%. Kematian yang terjadi pada masa pemeliharaan diduga akibat serangan bakteri. Gejala-gejala ikan terserang penyakit adalah ikan berenang soliter, berenang di permukaan, berenang berputar- putar. Hal ini sesuai dengan pernyataan Aryanto (2011), gejala ikan yang

11 terserang Streptococcus sp. adalah ikan berenang abnormal (berputar-putar) tepat dibawah permukaan air, matanya keluar, dan berenang soliter.

12

Dokumen terkait