2.4.1. Analisis Data Survey 2.4.1.1. Survey Pertama
Metode survey dilakukan dengan peninjauan lokasi/daerah asal kesenian reog, yaitu Ponorogo. Survey pertama dilakukan pada tanggal 19-20 Februari 2008. Tujuannya adalah mengamati suasana Ponorogo yang sarat dengan reog sebagai ikon kota kabupatennya, mewawancarai beberapa pengrajin dan pengamat reog.
“Ponorogo kota Reyog” merupakan semboyan Ponorogo. Memang benar, terbukti dengan banyaknya ikon kesenian ini di setiap jalan di kota kabupaten maupun desa-desa sekitarnya. Mulai dari gapura pintu masuk ke kota kabupaten Ponorogo yang megah, patung-patung tokoh reog di setiap persimpangan jalan, patung-patung singa dan arena reog di alun-alun kota, hingga gapura-gapura mini di gang-gang kecil pelosok desa. Semuanya melarutkan pengunjung pada suasana reogan, walaupun belum melihat sendiri penampilan reog yang sebenarnya.
Kemegahan gapura pintu masuk Kota Kabupaten Ponorogo tampak dari detailnya yang benar-benar digarap secara serius. Unsur-unsur reog secara lengkap ditampilkan disitu, mulai dari Dhadhak Merak, Jathilan,
Bujangganong/Pujonggo Anom, Warok, Kelana Sewandana hingga pemain gamelan Panaragan dengan alat-alat musiknya. Pada ujung atas tertulis kata
“Ponorogo” yang diapit oleh 2 burung merak yang saling berhadap-hadapan.
Keindahan gapura ini tidak hanya dapat dilihat waktu siang hari saja, tetapi pada waktu malam pun tidak kalah indah dengan tambahan lampu-lampu sorot yang menyorot patung-patung reog tersebut dari bawah. Tulisan “ponorogo” pun bersinar oleh karena barisan lampu-lampu kecil yang diatur sedemikian rupa membentuk tulisan “Ponorogo” sehingga dapat terbaca pada malam hari.
Gb. 2.13. Gapura pintu masuk Kota Kabupaten Ponorogo
Sumber : http://wwwsshe.murdoch.edu.au/intersections/issue2/Warok.html
Patung-patung di persimpangan jalan juga tidak lepas dari cerita rakyat/legenda tentang reog. Misalnya : Patung Dewi Songgolangit, Patung Kelana Sewandana dan Patung Pujonggo Anom. Bahkan infrastruktur-infrastruktur kota yang penting dinamai juga menurut cerita legenda dan nama warok-warok terkenal dalam sejarah Ponorogo, diantaranya : Pasar Legi Songgolangit, Stadion Bathoro Kathong (pendiri Ponorogo), Terminal Seloaji, Gedung Remaja Singodimedjo dan Kolam Renang Tirto Menggolo. Warok sangat erat kaitannya dengan kesenian reog, karena seorang warok biasanya adalah pemilik/pemimpin dari suatu kelompok reog. Maka jika seseorang disebut warok tetapi tidak memiliki sebuah kelompok reog dikatakan aneh.
Gb. 2.14. Foto Pasar Legi Songgolangit
Gb. 2.15. Foto Gelanggang Remaja Singodimedjo
Gb. 2.16. Foto Kolam Renang Tirto Menggolo
Alun-alun Ponorogo seluas 100m2 seringkali menjadi pusat pertunjukan reog di kala malam bulan purnama maupun acara Festival Reog Nasional (FRN) pada setiap Grebeg Suro (1 suro/Tahun Baru Hijriyah). Oleh karena itu, Pemkab menghiasi keempat sudut alun-alun ini dengan patung-patung singa yang menurut cerita rakyat merupakan prajurit dari Raja Singo Barong. Ada yang berupa singa dewasa dan ada juga yang berupa anak-anak singa. Sebelah utara alun-alun langsung berbatasan dengan gedung Pemkab Ponorogo. Pelataran depan Pemkab dihiasi dengan barisan 7 patung singa besar yang sedang mengaum dan dibelakangnya terdapat patung Prabu Kelana Sewandana yang sedang mengayunkan pecut Samandiman-nya seraya mengusir ke-7 singa tersebut. Di pelataran yang lebih dalam dapat dijumpai sebuah kolam yang cukup lebar kurang lebih 15m2 dan di tengah kolam tersebut terdapat patung Dewi Songgolangit setinggi kurang lebih 3 meter. Semua patung di pelataran pemkab. inipun tampak indah di malam hari dihiasi lampu-lampu sorot yang menyorot dari bawah. Pecut Samandiman yang dibawa oleh Prabu Kelana Sewandana pun dihiasi dengan lilitan lampu kecil yang mengelilingi permukaan pecut tersebut sehingga tampak jelas di malam hari.
Panggung Pementasan Reog Patung Prabu Kelana
Patung Pujonggo Anom Patung Warok
Patung Jathilan Pria Patung Singa Gb. 2.17. Arena Pementasan Festival Reog di Alun-alun Kota Ponorogo
Di sisi selatan alun-alun berdiri sebuah panggung pementasan reog yang besar. Dengan lebar kurang lebih 30 x 20 m dan dapat dipenuhi lebih dari 50 orang (Zamzam 14). Di belakang panggung terdapat pilar-pilar besar setinggi 7 meter dan di masing-masing pilar dihiasi sebuah patung tokoh reog dalam ukuran
sebenarnya seperti Dhadhak Merak, Pujonggo Anom, Prabu Kelana Sewandana, Jathilan dan Warok.
Semua atribut reog yang menghiasi kota Ponorogo itu menjadi simbol betapa reog sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Ponorogo. Pemerintah dan masyarakat saling bekerjasama untuk menjadikan reog sebagai ikon dan semboyan kota kabupaten Ponorogo. Hingga kini penyebutan reog sulit dipisahkan dengan nama daerah asalnya, yaitu reog Ponorogo.
2.4.1.2. Survey Kedua
Survey kedua dilakukan pada tanggal 31 Maret-4 April 2008. Fokus tujuannya adalah produksi tahap pertama, yaitu mencari stok-stok foto dan video untuk bahan pembuatan film dokumenter terutama shooting wawancara dan landscape. Lokasi tujuan kali ini adalah Telaga Ngebel dan sekitar kota kabupaten Ponorogo.
Gb. 2.18. Telaga Ngebel
Telaga Ngebel terletak 22 km arah timur laut dari pusat kota kabupaten Ponorogo. Andalan dari kawasan wisata ini adalah keasrian hutan dan telaganya yang masih terjaga dan belum banyak dieksploitasi. Ketinggian lokasi ini sekitar 734 meter diatas permukaan laut, sehingga terasa kesejukan hawa pegunungannya di sepanjang jalan di tepi telaga. Telaga Ngebel ini hanya ramai pada akhir pekan saja, kecuali pada hari grebeg suro/satu suro, 1 minggu sebelumnya penginapan sudah habis terpesan. Hal tersebut dikarenakan pada grebeg suro akan ada
beberapa ritual tradisional dan pentas reog yang dilakukan di sekeliling telaga Ngebel. Ritual tradisional itu adalah larung sesaji berupa sebuah kepala sapi dan sesaji lain yang dilarung ke tengah telaga, untuk menghormati roh penunggu telaga. Tradisi ini berlangsung terus dari tahun ke tahun, bersamaan dengan diadakannya Festival Reog Nasional (FRN) yang juga diadakan pada grebeg suro.
Di bagian timur telaga terdapat hutan yang masih didominasi oleh pepohonan besar yang berakar lebat, berumur ratusan tahun dengan ketinggian pohon melebihi 10 meter. Karena umurnya yang sudah tua, batang atau ranting pohon-pohon ini tidak jarang patah dan jatuh ke tanah sehingga sering ditemukan tulisan peringatan “hati-hati banyak pohon tumbang”. Selain menciptakan kesan alami dengan diiringi pula kicauan burung, hutan ini juga menciptakan kesan yang agak seram, angker hingga tidak jarang membuat pengunjung merinding. Tidak hanya pada malam hari saja, bahkan pada siang hari pun kesan itu sudah terasa.
Hal ini mengingatkan pada sejarah kota Ponorogo yang dahulu memang dibangun di daerah Wengker, yang menurut bahasa Jawa adalah singkatan dari “wewengkon sing angker”/tempat yang menyeramkan. Jika pepohonan besar ini telah tumbuh sejak ratusan tahun yang lalu, maka layaklah jika daerah Ponorogo ini dahulu disebut daerah Wengker.
Gb. 2.19. Hutan sisi timur Telaga Ngebel
Shooting wawancara dilakukan kepada narasumber Shodig Pristiwanto, S.Sn. sebagai wakil dari Dinas Pariwisata Seni dan Budaya Ponorogo dan Molog sebagai salah satu sesepuh Warok di Ponorogo.
Gb. 2.20. Foto wawancara Shodig P. Gb. 2.21. Foto wawancara Molog
Ditemukan cukup banyak perbedaan argumen diantara keduanya karena perbedaan latar belakang pendidikan dan cara berpikir. Shodig Pristiwanto dengan latar belakang pendidikan tinggi telah mampu meneliti, mengkaji reog dari sisi keilmuannya, sedangkan Molog dengan latar belakang masyarakat tradisional yang masih kuat memegang nilai luhur budaya tradisional yang diwariskan oleh para leluhurnya secara turun-temurun. Perbedaan ini akan dianalisis pada analisis data wawancara.
2.4.1.3. Survey Ketiga
Survey ketiga dilakukan pada tanggal 21-25 April 2008. Fokus tujuannya adalah produksi tahap kedua, yaitu shooting pentas Reog Malam Bulan Purnama di Alun-alun Ponorogo dan pentas Reog obyogan di desa Kunthi, Kec.Bungkal, Ponorogo. Selain itu juga dilakukan shooting wawancara kepada narasumber Heru Subeno, ahli ilmu kanuragan-kadigdayan dan 2 penari Jathilan obyog yaitu Nunung dan Ika.
Gb. 2.22. Foto wawancara Gb. 2.23. Foto wawancara
Heru Subeno Jathilan Obyog
Wawancara dengan Heru Subeno diarahkan pada tradisi Kejawen yang telah dipelajarinya selama kurang lebih 23 tahun hingga sekarang. Konteks kejawen yang dipakai adalah tradisi kejawen dalam reog. Oleh karena itu, disiapkan beberapa bahan sesaji dan kemenyan sebagai rekonstruksi dari ritual sebenarnya, diantaranya :
a. Gedang Raja Temen (setangkep),
b. Jenang Merah dan Jenang Putih (di takir), c. Bunga 7 warna,
d. Bunga Kantil, e. Kopi Pahit, f. Rokok Grendo, g. Dupa Kukus.
Semua bahan itu ditaruh dan diatur ke dalam sebuah tempeh. Kemudian satu per satu nilai-nilai luhur dari sesaji dan kemenyan tersebut dijelaskan. Ia juga mempraktekkan ilmu kanuragan yang telah ia pelajari, yaitu : ilmu kebal dan ilmu api. Suasana gaib sangat kental di ruang tamu berukuran 3x2,5 m, aroma dupa memenuhi ruangan hingga menyakitkan mata, para penghuni alam gaib pun berdatangan (berdasarkan penglihatan Heru Subeno). Mereka adalah seniman-seniman reog terdahulu/warok-warok terdahulu yang telah diundang oleh Heru Subeno untuk menyaksikan wawancara. Hal tersebut dimaksudkan agar tidak terjadi kesalahpahaman di kemudian hari oleh karena shooting ritual ini.
Gangguan gaib pun terjadi saat shooting berlangsung, tetapi karena sudah
meminta ijin kepada Yang Maha Kuasa dan para penghuni gaib yang berdatangan maka gangguan hanya terjadi di awal shooting saja, yaitu lampu halogen yang nyalanya terhambat. Maksud gangguan itu menurut Heru Subeno adalah untuk menandakan bahwa mereka (penghuni gaib) sudah datang.
Pentas Reog obyogan di Desa Kunthi, Kec. Bungkal, Ponorogo diadakan dalam rangka acara pernikahan. Reog diarak dari rumah temanten wanita ke perempatan jalan, kemudian ke rumah temanten pria hingga kembali lagi ke rumah temanten wanita. Fungsi reog dalam acara pernikahan ini, yaitu : mengumumkan kepada masyarakat desa bahwa acara pernikahan akan segera dimulai, konvoy menjemput temanten pria dari rumahnya untuk dipertemukan dengan temanten wanita, mengisi acara di waktu senggang acara pernikahan.
Perbedaan antara reog di pentas Malam Bulan Purnama dan pentas acara pernikahan di desa Kunthi tampak jelas pada kostum Jathil yang dikenakan dan gerakan-gerakan yang dimainkan. Jathil obyog di desa Kunthi berpakaian atasan transparan dan bawahan ketat hingga 15 cm diatas lutut, sedangkan Jathil salon di pentas Malam Bulan Purnama berpakaian atasan tebal/tak tembus dan bawahan celana panjang hingga pergelangan kaki. Gerakan-gerakan Jathil obyog terkesan vulgar dengan gaya lemah gemulai dan seringkali mendekatkan goyangan pantatnya ke pemain Dhadhak Merak, baik saat sedang memakai topeng Dhadhak Merak-nya ataupun tidak. Padahal peran penari Jathilan yang sebenarnya adalah prajurit kerajaan, sehingga karakter seharusnya adalah gagah dan langkahnya tegap, tidak lemah gemulai. Sebaliknya, penari Jathil salon di pentas Malam Bulan Purnama melakukan perannya sesuai dengan cerita sebenarnya. Mereka menari dengan gagah dan langkah tegap walaupun mereka perempuan.
2.4.2. Analisis Data Wawancara
Wawancara dilakukan bersamaan dengan kegiatan survey dan produksi/shooting. Wawancara ditujukan kepada 6 narasumber. 1 Narasumber merupakan pegawai Dinas Pariwisata, Seni dan Budaya Ponorogo, 3 Narasumber lainnya merupakan sesepuh reog yang merupakan Warok di desanya, dan 2 narasumber lagi adalah penari Jathilan obyog. Hasil wawancara adalah sebagai berikut :
2.4.2.1. Hasil Wawancara dengan Pak Shodig Pristiwanto, S.Sn.
Nama : Shodig Pristiwanto, S.Sn.
Jabatan : Pegawai Negeri Sipil
Alamat kantor : Dinas Pariwisata, Seni dan Budaya Ponorogo Jl. Pramuka No.14 A, Ponorogo.
Alamat rumah : Jl. Madura No. 32 C, Ponorogo.
TTL : Ponorogo, 18-05-1971 Usia : 37 tahun.
Pendidikan : STSI Surakarta tamat tahun 2000.
Pengalaman : Penata Karya tari Lebur Saketi, Penata Karya tari Kang Potro, Penata Karya tari Mother in Love, Mahakarya tari Kolosal Sang Putra Wengker, Surya Sumurat Ing Bumi Wengker (Kolosal), Penata Karya tari Gojak Gejek, Penata Karya tari Heroik “Ki Marto Puro”, Ass. Sutradara Sinetron Daerah “Suromenggolo”, Duta Seni ke Amerika Serikat 1991 pada American Folklife Festival, Washington DC., dan Dewan Juri Festival Reog Nasional.
Pertanyaan yang diajukan kepada Pak Shodig bertujuan untuk menguji kesesuaian antara kenyataan dengan studi literatur yang telah dilakukan. Ternyata banyak ditemukan kesesuaian pendapat antara pernyataan Pak Shodig dengan beberapa pendapat dalam buku-buku literatur walaupun keduanya bersifat subyektif. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan antara lain :
• Apakah ada perbedaan antara reog yang ditandang orang (reog obyogan) dengan reog untuk pertunjukan (reog festival)?
Ada.
• Apa sajakah perbedaannya?
Pertama, susunan/alur cerita. Kalau yang ada di masyarakat atau di lapangan seringkali sangat bebas, tidak ada alur ceritanya. Kedua, kelengkapan peran. Kasusnya seperti kesenian Sandur di Madura. Untuk kepentingan resmi, sandur lengkap terdiri dari 6 item. Nah, reog kalau dalam festival item-nya ada 5.
Jika reog di lapangan tidak lengkap pun tetap berjalan.
• Kebebasan dalam reog di lapangan itu meliputi apa saja?
Waktu, urutan penampilan, pemeran. Tetapi dari semua pertunjukan itu yang paling dominan dan pasti ada itu Dhadhak Merak, Bujangganong dan Jathilan. Itu adalah unsur pokok reog, di festival pasti ada, di lapangan juga pasti ada. Tapi kalau Warok dan Kelana Sewandana, yang di lapangan biasanya jarang.
Dua tokoh itu seringkali hilang.
• Bagaimana peran Warok di dalam reog di lapangan?
Perlu diketahui latar belakangnya bahwa Warok itu masuk di dalam pertunjukan reog secara konsep pertunjukan baru tahun 1987-an, bersamaan dengan adanya Festival Reog Nasional. Pada awalnya Warok itu sebenarnya adalah masyarakat yang melingkupi atau menghidupi kesenian reog itu sendiri.
Bukan sebagai peraga tarinya. Dalam cerita rakyatnya sendiri, Warok itu tidak ada. Kemudian para seniman reog berpandangan bahwa warok itu juga bagian dari budaya kita, kenapa kok tidak dimasukkan. Akhirnya sesuatu yang tidak mungguh/lumrah berubah jadi mungguh. Jadi enak karena bisa difungsikan secara pertunjukan. Secara cerita sebenarnya itu putus, tetapi akhirnya di dalam konsep karya tari dikenal adanya figuran. Artinya dalam penggarapan karya tari reog itu, Warok dijadikan sebagai simbol marahnya Kelono. Simbol dimana pertengkaran tersebut mengakibatkan kegaduhan. Kalau penarinya banyak, suasana pertempuran akan lebih terasa dalam alur ceritanya. Tujuan Warok masuk ke dalam pertunjukan reog adalah untuk kepentingan penataan artistik yang menarik.
• Bagaimana tradisi gemblakan dapat berkembang di kalangan Warok?
Warok itu budaya kehidupan sehari-harinya menghidupi kesenian reog ini.
Awalnya peraga jaranan/jathilan waktu itu adalah laki-laki yang latar belakang hidupnya adalah orang-orang yang tidak mampu. Karena itu kalau tidak dihidupi oleh Warok-Warok itu, ya mereka tidak mau menari. Akhirnya dia diangkat, kemudian diminta menjadi penari dan rata-rata orangnya bagus/tampan, berkulit agak putih. Jika tidak tampan, berkulit hitam, dan jelek tidak akan menarik.
Saya berani tegaskan bahwa kasus gemblak dengan kasus homoseksual itu berlainan. Tetapi saya tidak tahu ketika terjadi budaya seperti itu kemudian ada pelaku homoseksual murni yang memanfaatkan budaya itu. Itu tergantung pribadi masing-masing. Yang saya tahu antara Warok dan Jathil itu sebenarnya seperti
seseorang yang senang pada burung perkututnya. Bukan seperti hubungan homoseksual yang benar-benar seperti hubungan antara pria dan wanita, namun pada pasangan sejenis. Artinya bahwa Warok menyayangi, memelihara gemblak ini karena dia juga adalah manusia, jadi di peluk pun adalah bukan perasaan seksualitas tapi perasaan yang muncul karena sayang dan senang mempunyai sahabat yang akrab, bahkan seperti anak asuh. Walaupun dalam persahabatan biasanya bercandanya kebablasen/kelebihan, tapi bukan arahnya sampai menuju ke pelampiasan seksual. Namun dalam prakteknya memang ada, jika Warok itu memang sudah tidak mampu untuk melakukan hubungan seksualitas, sudah sepuh/lanjut usia, akhirnya ya hanya ngulek-ulek Jathil, ngempit dan lainnya.
• Bagaimana pendapat Bapak mengenai pandangan jika Warok berhubungan dengan perempuan itu akan menghilangkan ilmu kanuragan-nya?
Dalam sejarah ada beberapa Warok tulen, yaitu : Surokentus, Suromenggolo, Singolodro dan Gunoseco. Jika Warok-Warok ini tidak berhubungan dengan perempuan, bagaimana Suromenggolo bisa punya anak namanya Cempluk Warsiah dan Singolodro juga mempunyai anak bernama Suminten. Dengan demikian pernyataan itu mentah. Memang masyarakat tradisional sering mengatakan begitu, jika berhubungan dengan perempuan maka ilmu kanuragan akan berkurang. Jika yang menyatakan itu adalah orang yang janggutnya panjang pasti banyak yang percaya karena biasanya adalah sesepuh masyarakat. Tapi coba dipikir memakai analisa secara ilmiah dengan bukti yang ada. Kalau itu tentang mengurangi prosentase hubungan seksual maka pernyataan itu masih dapat diterima, karena pengaruh dari sperma yang terlalu banyak dikeluarkan juga mempengaruhi kekuatan laki-laki. Tetapi kalau dihilangkan itu saya tidak setuju.
• Apakah reog masih ada hubungannya dengan tradisi kejawen?
Ada yang masih, ada yang tidak. Awalnya karena kental oleh budaya animisme dan dinamisme kehinduan yang dahulu masih sangat kuat. Daerah Ponorogo saat itu jauh dari pemerintahan kerajaan-kerajaan, diantaranya kerajaan Mangkunegaran di Jawa Tengah dan Majapahit di Jawa Timur. Oleh karena itu, daerah Ponorogo disebut daerah Wengker (wewengkon sing angker). Sampai sekarang orang-orang Ponorogo pun masih banyak yang menerapkan ilmu-ilmu
seperti itu tetapi tertutup, tidak mau menonjolkan diri. Seorang lurah saja dibedhil/ditembak malah hilang dari pandangan.
• Sebelum reogan itu biasanya apakah benar ada tradisi minum minuman keras?
Ada, jadi minum-minum itu adalah sebuah tradisi tetapi bukan sebuah kewajiban. Artinya tidak benar jika pemain reog tidak minum itu tidak bisa reogan. Sekarang malah banyak dari teman-teman saya tidak minum sebelum reogan. Tetapi waktu itu masyarakat mana yang tidak mengenal minuman keras dan kebetulan kelompok pemain reog ini cenderung kehidupannya keras, latar belakang agamanya juga sangat minim. Misalkan Islam ya hanya tulisan saja.
Akhirnya jika didekatkan dengan kesenian sebagai kepentingan aktualisasi diri, orang akan beranggapan bahwa orang yang paling banyak minum atau paling kuat minum adalah orang yang hebat. Munculnya perasaan-perasaan seperti itu akhirnya mengarah pada bombongan/perasaan ingin disanjung-sanjung, ingin lebih dikenal dan lebih bisa menonjolkan ke-aku-annya. Semua itu adalah kebutuhan aktualisasi diri.
• Siapa saja yang ikut minum minuman keras?
Pemain reog, penonton, semua yang hadir.
• Apakah ada akibat dari mabuk-mabukan tersebut pada saat pertunjukan reog, seperti tawuran?
Itu adalah dampak. Jarang terjadi. Tapi kalau era sebelum tahun 1965, memang sangat sering terjadi, bahkan reog ini identik dengan power. Sehingga kalau ada dua kelompok reog ini saling bertemu di tengah jalan akan benar-benar terjadi benturan, siapa yang paling kuat itu yang menang. Mereka saling memamerkan kekuatan.
• Apakah benar bahwa ada penari Jathilan yang seronok dalam menari?
Saya jujur, memang ada, tetapi itu wilayah reog yang ada di lapangan.
Reog di lapangan ini biasa disebut reog versi obyogan. Memang terjadi pergeseran yang akhirnya memunculkan konotasi negatif. Awalnya dahulu penari Jathilan semuanya adalah laki-laki. Hal itu juga terjadi pada pelaku tari Remo, pelaku Ludruk, pelaku tari Sandur di Madura. Pelakunya tidak ada yang perempuan, semua laki-laki. Tetapi kini peran-peran itu dilakukan oleh perempuan yang akhirnya membuat jadi negatif. Dahulu kalau pemerannya
laki-laki, dicium itu sudah biasa, malah jadi guyonan/candaan. Sekarang jadi repot kalau pemerannya perempuan, dicium, di-jawil/dipegang tidak sepantasnya terjadi pada suatu pertunjukan karena mengarah pada tindakan pelecehan seksual. Sudah gerakannya memang sensual sehingga secara tidak sadar membangkitkan hasrat seksual penonton yang mayoritas adalah laki-laki.
2.4.2.2. Hasil Wawancara dengan Pak Molog Nama : Molog (Hardjo Kemun)
Pekerjaan : Pengrajin reog dan sesepuh Warok.
Alamat rumah : Jl. Telutur-Desa Jingglong, Ponorogo.
TTL : Ponorogo, tahun 1924.
Usia : 84 tahun.
Pengalaman : Pelatih Reog dalam Pentas Pembukaan PON ke-7 (1969), Penari Barongan Pentas Reog Hari Kemerdekaan Indonesia di Surabaya, Ponorogo, Jakarta (1974,1978,1981,1982,1987), Duta Seni ke Amerika Serikat 1991 pada American Folklife Festival, Washington DC. sebagai Pembarong utama, Pembarong dalam Pentas Reog Pernikahan, Ulang Tahun dan Sunatan di desa-desa.
Pertanyaan yang diajukan ke Pak Molog lebih diarahkan pada perkenalan terlebih dahulu sebelum wawancara yang sebenarnya. Hal ini ditujukan untuk membina relasi yang baik agar pada saat shooting, narasumber sudah lebih siap dan tidak canggung. Poin-poin penting yang akan dijadikan bahan wawancara diuji kebenarannya secara singkat dengan sedikit menyinggungnya dalam pembicaraan bersama narasumber, namun belum mendalam, agar pada saat wawancara sebenarnya jawaban narasumber dapat lebih spontan dan mampu berbicara banyak. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan antara lain :
• Apakah reog tersebut masih ada unsur kejawen-nya?
Bahasan itu tergantung dari siapa pelakunya, masih mau melakukannya atau tidak. Sekarang sudah jarang ada. Tetapi dulu waktu saya masih giat membarong hal itu masih kental. Waktu itu saya bisa mengumpulkan banyak
penonton untuk menonton saya, sampai-sampai reog di desa lain sepi. Menurut
penonton untuk menonton saya, sampai-sampai reog di desa lain sepi. Menurut