2.1. Film Dokumenter
Film dokumenter mempunyai 2 syarat yang harus dipenuhi, yaitu : tidak ada usaha untuk menipu penonton dan peristiwanya tidak bertentangan dengan rekonstruksinya (Bazin 26).
Film dokumenter seringkali disamakan dengan film sejarah dan sekaligus film yang benar-benar terjadi (realis), bukan fiksi dan rekaan. Tanpa perlu lebih jauh membahas definisi dan pengertian yang demikian itu, pandangan umum ini sesungguhnya memunculkan kekuatan besar bagi film dokumenter untuk menggali, memaparkan, dan memberikan wacana baru atas berbagai hal yang ada di masyarakat. Masyarakat umum akan merasa terwakili dan sekaligus memahami persoalan yang ada, baik di lingkup sekitar mereka maupun yang bersifat lokal, nasional, dan global.
Film dokumenter merupakan satu genre seni audio-visual yang memiliki sifat demokratis sekaligus personal. Dengan ruang kreatifitas yang terbuka luas, yang tidak terbatas sebagai produk industri media dan hiburan, film dokumenter memberi kesempatan kepada semua orang untuk menampilkan diri, baik sebagai kreator maupun objek film. Film dokumenter juga memungkinkan kreator film memunculkan karya yang unik, orisinil, dan khas, yang tidak terkerangkeng oleh stereotype karya-karya film dari dunia industri hiburan. Dengan karakteristik yang demikian itu, film dokumenter menjadi karya yang bersifat alternatif, baik dari segi ideologi, isi, maupun bentuk, sehingga mampu menarik minat masyarakat umum, dan terutama anak muda.
Dalam tataran yang lebih jauh, film dokumenter sesungguhnya telah berjalan dengan baik, antara lain dengan adanya kebutuhan bagi karya-karya film dokumenter yang bersifat advokasi, akademik, dan kultural, yang sebagian telah melanglang ke berbagai penjuru dunia dan memenangkan penghargaan dari festival-festival film internasional. Di lingkungan industri media, film dokumenter juga bermetamorfosis dalam berbagai bentuk film dokumenter dan semi-
dokumenter, misalnya film perjalanan dan petualangan, profil tokoh, maupun feature dan investigative (“Film”, par.5-7).
2.2. Kesenian Reog Ponorogo
Reog adalah salah satu bentuk tarian massal yang berasal dari kabupaten Ponorogo, terdiri dari 20-40 orang dengan tokoh, peran dan cerita yang berbeda- beda. Tarian ini biasa dibawakan pada malam 1 suro (Grebeg Suro), malam bulan purnama, Ulang Tahun Ponorogo, hari-hari besar nasional, acara pernikahan maupun khitanan.
Seperti dikutip dari pernyataan Soetaryo (1960) dan Poerwowijoyo (1985), kata reog sebelum diubah susunan hurufnya dituliskan reyog. Mengacu pada salah satu pengertian reog menurut asal katanya yaitu dari kata “riyet” atau kondisi bangunan yang hampir rubuh. Suara gamelan reog yang bergemuruh itulah yang diidentikkan dengan suara “bata rubuh” (dalam Zamzam 15). Ada juga argumen narasumber yang mengatakan bahwa “riyet”/”reyot” adalah pernyataan kondisi kerajaan Majapahit waktu itu yang melemah menjelang kekalahannya.
Dalam perkembangannya, susunan huruf dalam kata reog hingga kini dipakai sebagai semboyan kota ponorogo, yaitu :
Resik (bersih), Endah (indah), Omber (kaya),
Girang Gumirang (penuh kegembiraan).
Sejarah reog Ponorogo sering disalahartikan dengan legenda/cerita rakyat Ponorogo tentang Prabu Kelana Sewandana yang melamar Putri Kediri. Cerita rakyat tersebut memang mendasari alur cerita dalam pertunjukan reog saat ini, namun cerita itu merupakan fiksi yang berkembang di dalam masyarakat secara turun-temurun dan bukan asal-usul sebenarnya dari reog karena tidak ada bukti- bukti ilmiah yang mendukungnya. Sejarah munculnya tradisi reog Ponorogo tidak dapat terlepas dari sejarah berdirinya Ponorogo.
Sejarah Ponorogo bukti ilmiah SEJARAH REOG Bathoro Katong
PONOROGO
Cerita Rakyat Prabu turun-temurun Kelana Sewandana
Gb 2.1. Versi-versi sejarah reog Ponorogo dan sifatnya
Walaupun begitu, masih banyak masyarakat tradisional yang mempunyai pandangan bahwa cerita legenda tersebut benar-benar nyata terjadi. Versi cerita Prabu Kelana Sewandana-pun juga bervariasi tergantung siapa yang menceritakannya dan bagaimana interpretasi masing-masing kelompok reog dalam membawakan cerita tersebut dalam pentas reogan-nya. Padahal, setiap desa di Ponorogo mempunyai minimal sebuah kelompok reog dan banyak juga kelompok reog yang berasal dari luar kota Ponorogo, seperti dari Surabaya, Wonogiri, Yogyakarta, Semarang, Jakarta, dan juga dari luar pulau Jawa.
2.3. Identifikasi Data Reog Ponorogo
2.3.1. Sejarah Berdirinya Ponorogo-Bathoro Katong
Sejarah berdirinya Ponorogo dan terciptanya kesenian reog di bawah ini adalah hasil kajian buku Hari Jadi Kota Ponorogo oleh Depdikbud dan Babad Ponorogo oleh Poerwowijoyo berdasarkan bukti-bukti ilmiah yang ada. Kajian tersebut tidak semata-mata langsung disetujui oleh semua pihak sehingga dijadikan sejarah, namun dipilih berdasarkan dominasi dan bukti-bukti yang ada, seperti makam Bathoro Katong, Batu Gilang di lokasi makam Bathoro Katong dan Prasasti Kucur Bathoro di Telaga Ngebel.
Alkisah, ketika pemerintah pusat Majapahit mulai melemah, bandar- bandar di pesisir Jawa seperti Demak, Jepara, Tuban, Gresik dan Surabaya berusaha untuk memerdekakan diri dari kerajaan besar tersebut. Dari kerajaan- kerajaan kecil tersebut yang dapat berkembang menjadi kerajaan besar adalah Demak, terutama pada masa pemerintahan Raden Patah yang disinyalir sebagai putra raja Majapahit Prabu Brawijaya dari putri Cina. Pada saat itu daerah
Wengker atau Ponorogo, dikenal sebagai “Daerah sebelah timur Gunung Lawu dan sebelah barat Gunung Wilis”.
Raden Katong, bernama asli Lembu Kanigoro, anak dari Prabu Brawijaya 5, raja Majapahit, dengan istri kelimanya, seorang putri dari Bagelen. Raden Katong belum mempunyai daerah lungguh (wilayah kekuasaan) seperti halnya Raden Patah yang menempati daerah Demak, maka Brawijaya mengutus Raden Katong ke daerah sebelah timur Gunung Lawu dan sebelah barat Gunung Wilis, untuk menaklukkan seorang Demang dari desa Kutu yang tidak mau sowan (datang menghadap) ke Majapahit. Demang tersebut bernama Ki Ageng Kutu atau Ki Ageng Suryongalam. Daerah tersebut oleh Bathoro Katong diberi nama
“Pramana raga”, lama kelamaan namanya berubah menjadi “Ponorogo”. Menurut buku Babad Ponorogo karangan Poerwowijoyo, “Pramana raga” diartikan sebagai berikut :
Pramana itu bersatunya sumber cahaya dari matahari, bulan dan bumi yang menyoroti seluruh yang hidup. Tiga perkara itu dinamai Trimurti, apabila berada dalam tubuh manusia disebut Tripurusa. Tripurusa menarik sari dari tubuh, menjadi air mani. Mani laki-laki dengan wanita berkumpul, dengan izin Tuhan menjadi manusia. Jadi Prama dan Raga itu tidak bisa dipisahkan, kecuali kalau mati. Prama dan Raga seperti madu dengan manisnya. Sedangkan pana itu berarti telah mengetahui segala pengetahuan. Raga itu adalah badan (dalam Zamzam 46).
Menurut sumber lain yaitu buku Hari Jadi Kota Ponorogo menyebut asal- usul dalam buku Babad Ponorogo adalah asal-usul nama Ponorogo berdasarkan legenda. Buku Hari Jadi Kota Ponorogo sendiri mengemukakan pengertian
“Ponorogo” dengan dasar tinjauan Etimologi, yaitu : a. Pramana raga menjadi Pabaraga.
Sebutan Pramana raga terdiri dari dua kata yakni : Pramana = Daya kekuatan, rahasia hidup, permono, wadi.
Raga = Badan, jasmani.
Dapat ditafsirkan bahwa di balik badan manusia tersimpan suatu rahasia hidup (wadi) berupa olah batin yang mantap dan mapan berkaitan dengan pengendalian sifat-sifat amarah.
b. Ngepenekaken raga menjadi Panaraga.
Manusia yang memiliki kemampuan olah batin, mantap dan mapan akan dapat menempatkan diri dimanapun dan kapanpun berada.
Ki Ageng Kutu, yaitu seorang Demang yang tidak mau sowan ke Majapahit, digambarkan sebagai seseorang yang memiliki perawakan tinggi besar dan bercambang lebat, kulitnya hitam, sorot mata tajam dan berwatak keras.
Namun dia juga dikenal sebagai seseorang yang baik perilakunya, berkeinginan kuat, dan memiliki ilmu kedigdayaan tinggi. Kebal terhadap segala jenis senjata tajam (Ora tedhas tapak paluning pandhe sisaning gurendo). Untuk semakin memperluas dan memperkuat pengaruhnya, Ki Ageng Kutu juga mengumpulkan anak muda yang dilatih berbagai ilmu kanuragan. Setiap malam para pemuda tersebut berlatih bersama dengan diiringi musik terompet, kendhang, ketipung, kethuk dan kempul. Sebagai hiburan di sela-sela latihan dan bentuk sindiran terhadap raja dan pasukan majapahit, Ki Ageng Kutu juga “menciptakan” dan memainkan kesenian reog.
Saat itu di padepokan Surukubeng, Pusat Kademangan Ki Ageng Kutu, sudah diketahui keberadaan sebuah kota baru bernama Ponorogo, dengan pimpinannya bernama Bathoro Katong yang berpangkat Adipati. Para lurah dan para warok yang menjadi orang nomer satu di desa-desa berkumpul di padepokan untuk memberi laporan kepada Ki Ageng Kutu. “Mereka berempat puluh, datang- datang langsung mengajarkan agama Islam, dan setiap malam mereka biasanya ngaji.” kata salah satu warok. Warok lain mengusulkan agar kelompok pendatang itu ditumpas saja sebelum sampai ke tempat mereka. Ketika Ki Ageng Kutu, para lurah dan para warok sedang asyik berbincang, datanglah dua orang yang digambarkan mengenakan pakaian takwah dan tutup kepala putih. Mereka adalah Sela Aji dan Kyai Mirah yang adalah Patih dan Penasihat Agama Kadipaten Ponorogo. Mereka berdua memberi kabar bahwa telah berdiri Kadipaten Ponorogo dan meminta agar Ki Ageng Kutu menyetujui keberadaannya, sekaligus mengajaknya masuk agama Islam. Ki Ageng Kutu marah besar dan terjadilah pertempuran di antara mereka. Dalam pertempuran, salah satu warok ternama, Ki Honggolono meninggal tertikam tombak Sela Aji, lalu para santri, Sela Aji dan Kyai Mirah mundur kembali ke Ponorogo.
Perkelahian di Surukubeng ternyata memancing pertempuran yang lebih besar, karena Ki Ageng Kutu berniat untuk balas dendam. Dia kemudian mengumpulkan orang, yang terdiri dari para warok sejumlah 200 orang. Menurut sumber literatur, sekitar jam sebelas siang, pasukan Surukubeng sampai di perbatasan Ponorogo. Para pengikut Ki Ageng Kutu menabuh gamelan reog, yang biasanya digunakan untuk mengiringi latihan kanuragan dan pertunjukan reog di padepokan mereka, sebagai tanda perang. Sementara itu, kota Ponorogo terlihat sepi karena penghuninya tengah melaksanakan sholat jum’at. Suara tabuhan reog terdengar oleh orang-orang yang ada di Mesjid, lalu Sela Aji diminta untuk menyelidiki apa yang terjadi. Sela Aji kemudian masuk kembali ke Mesjid dan memberitahu bahwa Ki Ageng Kutu datang untuk membalas dendam. Bathoro Katong memerintah rakyatnya untuk menyelesaikan sholat jum’at terlebih dahulu.
Setelah itu Bathoro Katong berdoa meminta pertolongan Gusti Allah. Kemudian dia berbicara kepada rakyatnya bahwa mereka berada dipihak yang benar dan dilindungi oleh Gusti Allah, oleh karena itu Bathoro Katong meminta rakyatnya untuk jangan gentar, karena kalaupun ada yang mati, maka dia mati syahid dan masuk surga.
Pertempuran yang tidak seimbang itu tidak dapat dihindari, 200 Warok lawan 50 orang dari Ponorogo. Sela Aji berhadapan dengan Ki Ageng Kutu yang terkenal sangat sakti. Ketika Sela Aji makin terdesak dan pedangnya lepas, Jayadipa melemparkan tombaknya dan diterima oleh Sela Aji. Tombak itu langsung dihunus Sela Aji, tiba-tiba tombak itu memancarkan cahaya yang menyilaukan serta memunculkan ular naga dengan mulut menganga. Kuda Ki Ageng Kutu ketakutan dan tidak mau maju menerjang, malah berputar dan berlari meninggalkan medan pertempuran. Otomatis seluruh pasukan Surukubeng mengikuti kemana kuda Ki Ageng Kutu berlari. Kota Ponorogo selamat dari kehancuran.
Cerita selengkapnya masih cukup panjang, namun tidak perlu diceritakan secara panjang lebar karena hanya bermaksud untuk mengetahui asal-usul munculnya reog berdasarkan cerita sejarah berdirinya ponorogo. Dari sejarah berdirinya Ponorogo diatas dapat diketahui bahwa tradisi reog mulai ada sejak Ki Ageng Kutu menggunakannya sebagai pertunjukan hiburan sekaligus bentuk
sindiran terhadap raja dan pasukan Majapahit waktu itu. Tradisi itu pada akhirnya terus dilestarikan sebagai hiburan untuk rakyat. Bahkan setelah Ki Ageng Kutu dikalahkan, Bathoro Katong menggunakan kesenian reog sebagai media penyebaran agama Islam. Ia memasang tasbih pada Dhadhak Merak dan mengubah Padepokan Surukubeng menjadi Mesjid.
2.3.2. Cerita Rakyat Prabu Kelana Sewandana/Kerajaan Bantarangin
Cerita rakyat Prabu Kelana Sewandana ini adalah versi yang dirumuskan oleh Mbah Wo Kucing (Kamituwo Kucing) atau Kasni Gunopati, sesepuh Warok dan pemilik kelompok reog terkenal “Pujonggo Anom”. Cerita ini sifatnya subyektif dan dapat berbeda dengan cerita Prabu Kelana Sewandana dari sumber lain.
Adalah sebuah kerajaan baru di sekitar daerah Wengker (angker), yaitu daerah di sebelah timur Gunung Lawu dan sebelah barat Gunung Wilis. Kerajaan itu dinamakan Bantarangin karena daerah itu banyak anginnya. Dibangun oleh 3 Resi kinasih, yaitu : Jin Jami Joyo, Raden Nilosuwarno dan Ki Gedhug Padhang Ati.
Sejak pemerintahan dipegang oleh Prabu Kelana Sewandana maka kerajaan Bantarangin semakin pesat kemajuannya. Bahkan banyak Raja-Raja muda yang bergabung dengan Bantarangin. Para Manggala, Tamtama serta Agul- agul kerajaan tidak bosan-bosannya berlatih olah krida peperangan dan olah ketrampilan menggunakan senjata. Tidak ketinggalan pula olah kesaktian batin.
Prabu Kelana Sewandana sendiri turun tangan; berkenan menurunkan aji- ajian/mantra-mantra kepada para Senapati perang kerajaan. Juga Sang Patih Pujonggo Anom, yang lazimnya mendapat sebutan Bujang Ganong, juga turut mengajarkan kepandaiannya dalam peperangan. Hal ini membuat kerajaan Bantarangin terkenal, harum semerbak baunya sampai ke luar kerajaan. Apalagi kedua pusaka yang dimiliki Raja dan Patih Bantarangin berwujud Pecut Samandiman dan Ajian Landhak Putih, yang kedahsyatannya sudah terbukti, merupakan pusaka kerajaan pemberian Sang Brahmana (Ki Sunan Lawu) tatkala mereka berdua berguru kepadanya.
Namun pusaka yang dimiliki Raja dan Patih tersebut sangatlah berat pantangannya dan apabila pantangan itu dilanggar akan mendapat murka dari Dewata Hyang Agung. Adapun larangan yang dipesankan Sang Guru Ki Sunan Lawu adalah :
a. Sang Prabu Kelana Sewandana harus menjauhi seorang putri (wanita).
b. Sang Prabu Kelana Sewandana tidak boleh sembarangan menggunakan Pecut Samandiman, apabila tidak mendapat perintah dari Sang Guru.
Maka, untuk mencegah agar jauh dari kesenangan terhadap wanita, Prabu Kelana Sewandana memelihara pemuda-pemuda tampan sebagai penghiburnya. Pada umumnya pemuda simpanan itu disebut “gemblakan”. Bahkan kawula Bantarangin yang sudah menguasai semua ilmu, yang biasa disebut Warok, juga memelihara gemblakan. Itu semua karena mengikuti jejak junjungannya, yaitu Raja Kelana Sewandana.
Pada masa kejayaannya, kerajaan Bantarangin aman tentram karena kepandaian dan ketrampilan Sang Patih juga sebagai Pamong Praja (pelindung raja). Sang Patih menciptakan :
a. Gong Beri : sebagai tanda berkumpulnya para Manggala, Tamtama dan kawula praja Bantarangin. Alat ini akhirnya lebih dikenal dengan nama
“kempul” karena sebagai tanda berkumpul.
b. Bendhe Anung : sebagai tanda pengumuman dari kerajaan. Lazimnya dikenal dengan nama “kenong” karena bila dipukul berbunyi ”nong...nong...”
c. Seruling/Terompet : sebagai tanda penghormatan, yang kini lebih dikenal dengan sebutan “slompret”.
d. Pasukan Kuda Teji : yang pandai dan mahir menari sehingga menambah kesenangan (kelangenan) Sang Prabu Kelana Sewandana.
Saat malam yang hening dan sepi Sang Prabu Kelana Sewandana tidur terlentang di bangsal keraton sambil termenung dengan memandang terus langit yang indah dihiasi bintang-bintang bertaburan di angkasa raya. Dalam permenungannya, Sang Prabu Kelana Sewandana memikirkan penerus kerajaannya. Hal ini terpikir atas saran usul ketiga resi yang ngembani (bertindak sebagai penasihat) Sang Prabu Kelana Sewandana, yaitu Jin Jami aya, Raden Nilosuwarno dan Ki Gedhug Padhang Ati.
Atas dasar pemikiran, siapa yang akan menggantikan tahtanya nanti, maka diputuskanlah pencarian permaisuri (prameswari). Karena pada saat itu terdengar kabar tentang kecantikan putri Kediri : Dyah Ayu Sangga Langit (putri sang Raja Kediri : Lembu Amisena), maka diutuslah Sang Patih Bujang Ganong untuk melamarkannya. Dengan diiringi para Tamtama pilihan, berangkatlah rombongan berkuda itu hendak melamar putri Kediri.
Pada waktu itu daerah antara Kediri dan Trenggalek masih berupa hutan belukar. Tepatnya di Tulungagung, yaitu hutan yang disebut dengan nama Wana Roban (Alas Roban). Di Wana Roban inilah hidup segerombolan harimau yang dipimpin oleh Raja Singo Barong. Pusat kekuasaan Sang Singo Barong berada di Lodoyo, Blitar. Di antara bermacam-macam mahluk peri kekuasaan Singo Barong, satu yang menjadi kesenangannya yaitu burung merak, karena parasnya yang elok serta jalannya yang melenggak-lenggok sehingga dapat menghibur Raja Singo Barong.
Pada suatu saat Sang Raja Singo Barong dalam mimpinya mendapat wangsit bahwa kerajaan Lodoyo hanyut terbawa banjir. Satu-satunya yang selamat adalah Sang Raja Singo Barong dan burung merak kesayangannya. Maka diperintahkanlah kepada semua kawula Lodoyo, terutama para prajurit harimau untuk lebih berjaga-jaga di semua wilayah Lodoyo. Para prajurit itu diperintahkan untuk menangkap siapapun yang masuk wilayah kekuasaan Lodoyo, entah hidup ataupun mati.
Akhirnya barisan Singo Barong bertemu dengan barisan Tamtama dari Bantarangin yang hendak melakukan perjalanan ke Kediri, di bawah pimpinan Sang Patih Bujang Ganong/Pujonggo Anom. Karena selisih pendapat, terjadilah peperangan diantara keduanya. Merasa terjepit, Sang Patih Pujonggo Anom segera memberikan sasmita (sandi) kepada Tamtama agar melaporkan kepada Sang Raja Kelana Sewandana di Bantarangin. Mendapat laporan demikian, Sang Raja Bantarangin, Prabu Kelana Sewandana murka.
Maka beliau sendiri berangkatlah memimpin para Tamtama maju ke depan laga. Mengetahui kesaktian lawan yang tidak boleh dianggap remeh, maka segera dihunusnya pusaka Kyai Pecut Samandiman. Dengan amarah besar yang meluap- luap dicambuknya Sang Singo Barong. Seketika itu lemaslah Sang Singo Barong.
Bagai disiram air mendidih, panas rasa sekujur tubuhnya. Dengan suara mengaum-aum bertobatlah Sang Singo Barong, memohon kepada Sang Prabu untuk tetap memberinya hidup. Ia berjanji seumur hidupnya, bahkan sampai anak turunannya di kemudian hari akan mengabdikan diri kepada Sang Prabu Kelana Sewandana. Sang Prabu berkenan menerima pengabdian Sang Singo Barong dan memerintahkannya untuk menghadap sewaktu-waktu dibutuhkan. Sang Singo Barong-pun menyanggupinya dan kembali ke kerajaannya. Sekembalinya Sang Singo Barong, segeralah diperintahkan kepada Sang Patih Pujonggo Anom untuk melanjutkan perjalanannya ke Kediri. Kali ini perjalanan Sang patih tanpa pengikut. Untuk mempercepat perjalanannya, ia menggunakan Aji Landhak Putih, yaitu amblas bumi/menerowong bumi.
Tatkala Sang Prabu Kelana Sewandana menggunakan Pecut Samandiman untuk melawan Sang Singo Barong, suara cambukan tersebut menggelegar bagaikan suara halilintar. Menggelegarnya suara cambuk tersebut sampai ke puncak Gunung Lawu, dimana Sang Brahmana, Ki Sunan Lawu bersemadi.
Firasat yang diterimanya adalah salah seorang dari siswanya jelas melanggar sumpah. Sang Brahmana (Ki Sunan Lawu) adalah seorang pertapa yang sakti dan mempunyai penglihatan batin yang kuat. Ia melihat bahwa Sang Prabu kelana Sewandana kelak menjadi raja yang abadi sampai beliau sendiri berubah wujudnya. Penglihatan itu tidak akan terwujud jika Sang Prabu Kelana Sewandana jadi mempersunting dan akhirnya menikah dengan putri Kediri. Maka bergegaslah Sang Brahmana pergi ke Kediri. Dengan ilmunya, Sang Brahmana ngraga sukma nunggal sejiwa (melepas roh dari badan dan merasuk) dalam tubuh Sang Putri Kediri, Dyah Ayu Dewi Sangga Langit.
Pada waktu itu, Ki Patih Pujonggo anom telah sampai di Kediri dan maksud dari kedatangannya telah diterima dan dipahami oleh Sang Raja Kediri (Lembu Amisena). Namun karena yang akan menjalani perkawinan itu adalah putrinya, dan kebetulan waktu itu Sang Putri sowan (menghadap raja), maka diserahkannya kepada Sang Dewi Sangga Langit sendiri untuk menjawabnya.
Setelah mendapat ijin dan restu dari ramandanya, Sang Putri menjawab bersedia dipersunting dan mau menjadi permaisuri Prabu Kelana Sewandana asal Sang Prabu dapat mengabulkan permintaannya, yaitu :
a. Perjalanan temanten dari daerah Wengker sampai Alun-alun Kediri harus melalui jalan di bawah tanah (menerobos bumi).
b. Iring-iringan pengantin harus diiringi budaya luhur/kesenian yang belum pernah ada di dunia ini.
c. Tamtama pengiring harus pemuda yang terampil berkuda dan gagah, lagipula harus tampan, sebanyak 144 orang.
Permintaan Sang Dewi itu sebenarnya bukan atas kemauannya sendiri, melainkan keinginan Sang Brahmana (Ki Sunan Lawu) yang telah meraga sukma dengan Dewi Sangga Langit.
Sang Patih Pujonggo anom segera bergegas kembali ke Bantarangin untuk memberikan kabar itu kepada Sang Prabu Kelana Sewandana. Setelah mendengar kabar itu, segeralah Sang Prabu mengumpulkan semua orang kepercayaannya untuk mencari jalan pemecahan dalam memenuhi permintaan Sang Putri Kediri.
Diantaranya adalah para Resi kinasih, yaitu : Jin Jami Joyo, Raden Nilosuwarno dan Ki Gedhug Padhang Ati, Sang Patih Pujonggo Anom dan Sang Raja Lodoya, Singo Barong. Dengan niat yang sungguh-sungguh disertai dengan kekuatan batin, berhasilah pekerjaan itu dengan pembagian sebagai berikut :
a. Ketiga Resi kinasih membuat barisan warok dengan ketiga resi itu sendiri sebagai tetuanya/pemimpinnya.
b. Singo Barong dan burung merak kesayangannya menciptakan Merak Barong yang lazimnya disebut Dhadhak Merak.
c. Sang Patih Pujonggo Anom menciptakan gerak bersama di antara para tamtama yang gagah dan tampan yang mengendarai kudanya masing-masing yang sudah terlatih. Akhirnya paduan gerak ini terkenal dengan sebutan Jaranan/Jathilan. Juga alat-alat seperti gong beri, kenong, slompret digunakannya sebagai alat pengiring.
Maka lengkaplah sudah kreasi budaya karya cipta yang adiluhung tersebut.
Tibalah saatnya untuk membuat terowongan sebagai jalan yang akan dilalui iring-iringan itu. Terowongan tersebut telah dibuat, namun pekerjaan itu terasa sangat lamban. Sang Prabu Kelana Sewandana memutuskan untuk menggunakan Pecut Samandiman. Pecutan tersebut membuat bumi bergoyang bagaikan tertimpa gempa.
Seketika itu munculah Ki Sunan Lawu dengan tiba-tiba. Karena telah melanggar sumpah/wewaler guru untuk kedua kalinya, maka Sang Prabu Kelana Sewandana harus memilih satu di antara dua pilihan :
a. Hidup di dunia sampai alam baka dan selalu menjadi junjungan, dihormati dan selalu dihargai serta dipuja kawula Bantarangin, bahkan sampai orang-orang di luar wilayah kekuasaannya.
b. Terlaksana menyunting permaisuri, tetapi tetap tidak mempunyai keturunan dan tiada riwayat Bantarangin, bahkan akan cunthêl (putus tak bersisa).
Seketika heninglah suasana. Semua yang ada disitu dengan perasaan was- was menunggu apa yang menjadi keputusan rajanya. Namun tidak terduga jawabannya. Sang Prabu Kelana Sewandana yang masih muda perkasa itu ternyata sangat besar perhatiannya terhadap kawula-nya, sehingga beliau memilih kelangsungan hidup para kawula Bantarangin, yaitu pilihan ke satu. Maka gemuruhlah suara kawula, hambata rubuh suarake (soraknya bagai tembok bata yang roboh).
Kemudian Ki Sunan Lawu berkata : “Sira kabeh rak wis sarujuk ta, lan sahiyek saeko proyo?” (“Apakah kalian juga sudah setuju dan satu kesepakatan semuanya?”). Kemudian dengan serempak pula dijawab “Iya!” oleh semua kawula Bantarangin. Arak-arakan lamaran Prabu Kelana Sewandana ke Putri Kediri inilah yang akhirnya terkenal dengan sebutan “Reyog” (Gunopati 8-14).
Namun dalam perkembangannya, cerita rakyat tentang reog ini bukan menjadi alur cerita yang baku, karena muncul versi-versi lain yang detailnya tidak sejalan dengan yang telah diceritakan diatas. Seperti contohnya versi buku
“Sejarah Reyog Ponorogo” yang disusun oleh Poerwowijoyo, dimana yang banyak berperan adalah Pujonggo Anom bukan Prabu Kelana Sewandana. Prabu Kelana Sewandana digambarkan sebagai seorang raja yang kalah sakti dan kalah bijaksana dengan Pujonggo Anom patihnya. Saat Kelana Sewandana tertekan oleh serangan Singo Barong, Sang Pujonggo Anom-lah yang datang menyelamatkannya, baru kemudian setelah Singo Barong lemah dikeluarkanlah Pecut Samandiman. Dalam versi ini, yang berangkat pertama kali ke kerajaan Kediri untuk mempersunting Putri Kediri adalah Raja Kelana Sewandana sendiri.
Sang Patih Pujonggo Anom memaksa untuk ikut, namun tidak diijinkan oleh raja
karena wajah Pujonggo Anom yang seram/menakutkan, hidung mancung, wajah merah, rambut lebat dan mata melotot. Hal itu ditakutkan akan mempengaruhi keputusan Sang Putri dalam menerima lamaran Prabu Kelana Sewandana, karena ia akan merasa jijik (Zamzam 65-6).
Versi Cerita Prabu Kelana Sewandana/Bantarangin Pembeda
Kasni Gunopati Poerwowijoyo Kesaktian dan
kebijaksanaan
Prabu Kelana lebih sakti dan bijak
Pujonggo Anom lebih sakti dan bijak
Berangkat melamar pertama kali
Pujonggo anom, ia diutus oleh Prabu Kelana
Prabu Kelana, Pujonggo anom tidak boleh ikut Alasan berangkat melamar
pertama kali
karena Pujonggo Anom adalah wakil/juru bicara Prabu
Kelana
karena Pujonggo Anom wajahnya seram, nanti membuat takut Sang
Putri, sehingga lamaran kemungkinan ditolak Kondisi peperangan
dengan Singo Barong
Pujonggo anom terjepit, meminta bantuan Prabu
Kelana
Prabu Kelana terjepit, meminta bantuan Pujonggo Anom
Hasil perang Singo Barong kalah telak Singo Barong kalah, tetapi wajah tampan Prabu Kelana rusak
Tabel 2.1. Perbandingan dua versi Cerita Prabu Kelana Sewandana menurut literatur yang berbeda
Versi-versi cerita yang beragam tersebut muncul karena subyektifitas masing-masing pencerita dan juga sifat cerita yang turun-temurun dari generasi ke generasi selama berabad-abad, serta dari mulut ke mulut, sehingga banyak detail- detail yang telah berubah dan berbeda satu sama lain. Tetapi perbedaan itu tidak perlu terlalu dipikirkan karena pada dasarnya tokoh-tokoh yang diperankan dalam semua versi cerita Prabu Kelana Sewandana tersebut serupa, yaitu : Prabu Kelana Sewandana, Pujonggo Anom/Bujangganong, Jathilan, Dhadhak Merak dan Warok. Hanya perwatakannya saja yang sedikit berbeda dan juga penyusunan alur ceritanya.
2.3.3. Peran
Alur pertunjukan reog Ponorogo dimainkan oleh beberapa unsur tarian yang mempunyai peranan dan karakteristik yang berbeda-beda. Unsur-unsur tersebut terbagi menjadi 2 bagian, yaitu :
2.3.3.1. Unsur Pokok
Unsur pokok adalah unsur yang selalu ada dalam setiap pertunjukan reog.
Unsur-unsur tari dalam reog Ponorogo yang termasuk dalam unsur pokok diantaranya :
a. Pujonggo Anom atau Bujangganong–Protagonis
Pujonggo Anom atau Bujangganong merupakan penari dan tarian yang menggambarkan sosok patih muda (Patihnya Kelana Sewandana) yang cekatan, cerdik, jenaka dan sakti. Sosok ini digambarkan dengan topeng mirip dengan wajah raksasa, hidung panjang, mata melotot, mulut terbuka dengan gigi yang besar tanpa taring, wajah merah darah dan rambut yang lebat warna hitam menutup pelipis kiri dan kanan.
Kostum lengkap penari Pujonggo Anom terdiri dari : Baju Rompi berwarna merah seret hitam, Stagen hitam, Sabuk epek timang dasarnya hitam, Embong gombyok dari sayet, Sampur warna merah dan kuning (dua sampur), Cakep, Celana dingkikan lepas jebug (seret putih di samping kanan dan kiri bawah), Binggel, Topeng Bujangganong, tanpa rias wajah.
b. Jathilan–Protagonis
Jathilan merupakan penari dan tarian yang menggambarkan sosok prajurit berkuda. Sosok kuda tersebut diwakili oleh jaranan (eblek) yang terbuat dari anyaman bambu dengan hiasan-hiasan tertentu.
Tata busana dan tata rias Jathilan terdiri dari : Ikat kepala hitam (gandhung) jilid ponoragan, Baju putih lengan panjang, kain (jarit) loreng putih parang barong keprajuritan, Stagen cinde dasarnya merah, Sabuk epek dasarnya hitam, Sampur warna merah dan kuning (dua sampur), celana dingkikan kepanjen bordiran dasarnya hitam, Boro-boro samir, Cakep, Srempang, Kace, Gulon ter,
Binggel, Eblek (kuda kepang), memakai make up sehingga kelihatan ganteng (bagus).
Gb 2.2. Pujonggo Anom/Bujangganong dan 2 penari Jathilan dibelakangnya
Sumber : http://wwwsshe.murdoch.edu.au/intersections/issue2/Warok.html
c. Dhadhak Merak–Antagonis
Peralatan ini merupakan ciri khas dan peralatan utama dalam reog Ponorogo. Barongan terdiri dari kepala harimau (caplokan) yang terbuat dari kerangka kayu dadap, bambu dan rotan dengan ditutup kulit harimau gembong atau kulit sapi yang diwarnai menyerupai kulit harimau. Di atas kepala harimau tersebut tersebut bertengger seekor merak yang sedang mengembangkan bulunya (ngigel) yang ditata diatas kerangka dari bambu dan rotan. Di sekitar kepala harimau terpasang krakab, yaitu aksesoris tempat menuliskan identitas-identitas grup reog yang terbuat dari kain bludru warna hitam disulam dengan monte.
Barongan juga dilengkapi dengan kerudung yang berfungsi untuk menutupi tubuh si pembarong (pemain barongan) terbuat dari kain warna merah berseling hitam melintang.
Tata busana dan tata rias penari Dhadhak Merak terdiri dari : Ikat kepala hitam (gandhung), Kaos (baju) kimplong warna merah polos, Stagen (sabuk) ubed cindhe dasarnya merah, Sabuk epek dasarnya hitam, Embong gombyok dari sayet,
Sampur warna merah dan kuning (dua sampur), Cakep, Celana panjang warna hitam jebug, di bawah memakai seret di samping kiri dan kanan, Dhadhak merak lengkap dengan caplokan-nya.
Gb. 2.3. Dhadhak Merak
2.3.3.2. Unsur Tambahan
Walaupun unsur-unsur tambahan tidak selalu ada dalam suatu pementasan reog, namun pementasan tersebut tetap dapat berjalan seperti biasa. Unsur-unsur tambahan yang sengaja ditambahkan untuk melengkapi suatu pementasan reog diantaranya :
a. Warok Tua dan Warok Muda–Protagonis
Pengertian dan sosok Warok hingga saat ini masih menjadi kontroversi, siapakah yang sebenarnya pantas disebut Warok. Kadang ia diterjemahkan sebagai sosok yang dikenal sebagai seseorang yang “menguasai ilmu” (ngelmu) dalam pengertian Kejawen. Ia juga sering berperan sebagai pemimpin lokal informal dengan banyak pengikut. Kadang ia identik sebagai pemilik atau pimpinan kelompok reog atau penggemar reog. Dalam pentas reog, sosok Warok lebih terlihat sebagai pengawal-pengawal (punggawa) Raja Kelana Sewandana (Warok Muda) atau sesepuh dan guru (Warok Tua). Dalam pentas reog, sosok
Warok muda digambarkan tengah berlatih mengolah ilmu kanuragan. Mereka digambarkan berbadan gempal dan berbulu dada, kumis dan jambang lebat serta mata yang tajam. Sementara Warok tua, digambarkan sebagai sosok lelaki tua berbadan kurus, berjanggut putih panjang, dan berjalan dengan bantuan tongkat.
Tata busana dan tata rias Warok Tua terdiri dari : Ikat kepala modhang batik pinggir jilidan ponoragan, Baju wakthung hitam, memakai hiasan jam saku dan rantai kuku macan, Baju dalam warna putih (rangkepan), Kain panjang (jarit) berlatar hitam, Sabuk ubed tenun menang (Ubed cindhe dasarnya merah), Sabuk epek timang dasarnya hitam, Keris gabelan, Celana panjang gejikan ponoragan warna hitam (kobar ponoragan), Kolor putih berdiameter 3 cm dan panjang 2 m, Tongkat (teken), Sandal kosek (cripu), Lepas hias dan wok (jenggot palsu) berwarna putih.
Tata busana dan tata rias Muda terdiri dari : Ikat kepala hitam (gadhung) memakai mondholan, Baju wakthung warna hitam, tanpa baju dalam (rangkepan), Kain panjang (jarit) berlatar hitam, Sabuk ubed cindhe dasar merah, Sabuk epek timang dasar hitam, Keris gabelan, Celana panjang warna hitam kombor ponoragan, Kolor putih berdiameter 3 cm dan panjang 2 m, memakai make up sehingga tampak gagah, memakai wok berwarna hitam dan simbar dada.
Gb 2.4. Warok Tua Gb 2.5. Warok Muda
b. Prabu Kelana Sewandana–Protagonis
Peran Kelana Sewandana ini merupakan tarian yang menggambarkan sosok raja dari kerajaan Bantarangin (kerajaan yang dipercaya berada di wilayah Ponorogo jaman dulu). Sosok ini digambarkan dengan topeng bermahkota, wajah
berwarna merah, mata besar melotot, dan kumis tipis. Selain itu ia membawa pecut Samandiman berbentuk tongkat lurus dari rotan berhias jebug dari sayet warna merah diseling kuning sebanyak 5 atau 7 jebug.
Tata busana dan tata rias Prabu Kelana Sewandana terdiri dari : Praba, Uncal, Kelat bahu, Keris blangkrak memakai hiasan roncen melati, Kain (jarit) loreng putih motif parang barong, Stagen (ubed) cinde dasarnya merah, Kace dasarnya merah, Ulur dasarnya merah, Cakep dasarnya merah, Boro-boro samir dasarnya merah, Binggel, Pecut Samandiman, Topeng Kelana Sewandana, Lepas baju atau Kaos.
Gb. 2.6. Prabu Kelana Sewandana dengan Pecut Samandiman sebagai senjata pamungkasnya
Sumber : http://wwwsshe.murdoch.edu.au/intersections/issue2/Warok.html
2.3.4. Dikotomi Reog Festival dan Reog Obyogan
Keragaman dalam reog tidak hanya dari segi versi ceritanya saja, tetapi juga dari segi konsep pertunjukannya. Terdapat 2 konsep pertunjukan reog yang ada saat ini, yaitu “Reog Festival” dan “Reog Obyogan”. Masyarakat Ponorogo menyebut bentuk pertunjukan reog malam bulan purnama dan Festival Reog Nasional (FRN) sebagai “Reog Festival” atau “Reog Kabupaten”, sedangkan bentuk pertunjukan yang serupa dengan pentas reog tetapi dilakukan di desa-desa disebut sebagai “Reog Obyogan” atau “Reog Desa” (Zamzam 107).
Reog festival biasanya dipentaskan dalam acara-acara resmi dan formal seperti Festival Reog Nasional (FRN), penyambutan tamu pemerintah dan peringatan malam bulan purnama. Sedangkan reog obyogan biasanya ditanggap oleh individu, keluarga atau desa dalam acara-acara khusus seperti pernikahan, khitanan, slametan atau bersih desa. Sebenarnya nama “obyogan” atau disebut juga “gambyongan”, adalah sebutan bagi salah satu bagian dari pertunjukan reog dalam tanggapan di desa-desa yang menampilkan tarian dan penari Jathil secara bebas. Ada penari Jathil yang masih bertahan menggunakan eblek/jaran kepang- nya, namun ada juga yang melepasnya, lalu menari dengan iringan musik yang bermacam-macam dari mulai jaipongan hingga dangdut, melayu, atau campur sari. Pada saat obyogan atau gambyongan ini penonton biasanya ikut “berjoget”
(istilah yang lebih tepat daripada menari) dengan para penari Jathil. Oleh karena itu, istilah obyogan lebih sering digunakan untuk menyebut kategori penari Jathil sebagai oposisi dari “Jathil Festival” atau “Jathil Salon”. Berikut tabel perbandingan bentuk pementasan antara Reog Obyogan dan Reog Festival (Zamzam 108) :
No. Perbandingan Reog “Obyogan”
(Desa)
“Reog Festival”
(Kabupaten) 1 Ruang Pentas Jalan, halaman berpindah-
pindah (arak-arakan)
Stage (panggung)
2 Pola Gerak Improvisasi Standar
3 Sponsor/Penyelenggara Rumah Tangga, desa Lembaga Pemerintahan (kadang bekerjasama dengan perusahaan swasta)
4 Kelengkapan Unsur Tarian
Tergantung pesanan (seringkali tidak lengkap)
Tetap (lengkap)
5 Cerita dan urutan Tidak merepresentasikan cerita tertentu, tanpa urutan yang jelas dan tetap
Merepresentasikan cerita tertentu (asal-usul terjadinya reog), urutan jelas dan tetap 6 Tingkah laku penonton
dan pemain
Mabuk, seronok, aktif Sopan, pasif
7 Penonton Sebagian besar adalah lelaki golongan Tyang Ho’e
Semua golongan 8 Suasana Pertunjukan Gayeng, tidak formal Formal
9 Ideologi Kejawen Nasional
Tabel 2.2. Perbandingan bentuk pementasan antara Reog Obyogan dan Reog Festival
Sumber : Zamzam (2005, 108)
2.3.3.1. Ruang Pentas
Jika ruang pentas reog festival adalah stage/panggung, sehingga tampak batas-batas yang jelas antara penari dan penonton, ruang pentas reog obyogan berubah-ubah, bergerak, mengembang dan mengkerut sesuai situasi dan kondisi.
Halaman rumah, pinggir jalan, perempatan, tanah lapang, bisa jadi arena pementasan, dengan batas-batas yang tidak begitu jelas antara penari dengan penonton. Biasanya alur arak-arakan reog obyogan dari rumah penanggap, perempatan, atau tanah lapang, dhanyangan dan rumah pejabat atau sesepuh desa.
Namun urutan itu bukan sesuatu yang baku tergantung permintaan dan kebiasaan setempat. Kadang-kadang urutannya berubah atau tidak sampai mengunjungi dhanyangan, rumah pejabat atau sesepuh desa (Zamzam 109).
Reog Festival Stage/panggung
Reog Obyogan rumah penanggap perempatan/ dhanyangan tanah lapang
rumah pejabat desa/
sesepuh desa Gb. 2.7. Perbedaan ruang pentas Reog Festival dan Reog Obyogan
2.3.3.2. Pola Gerak
Reog festival lebih berupaya untuk menyeragamkan gerakan kedalam standar-standar yang telah ditentukan. Sebaliknya dalam reog obyogan, para penari malah mencoba untuk menggerakkan tubuh dengan melakukan gerakan- gerakan “spontan”, gerakan-gerakan bebas atau malah diam menunggu giliran, melihat temannya atau hanya karena malas. Improvisasi ini diperkuat dengan dimasukkannya unsur “asing” kedalam reog obyogan diantaranya kendang jaipongan, irama melayu, dangdut dan lagu-lagu campur sari yang diikuti dengan joget sebagai respon terhadapnya (Zamzam 109).
2.3.3.3. Sponsor/Penyelenggara
Salah satu hal penting yang membedakan antara reog obyogan dan reog festival adalah masalah sponsor/penyelenggara. Pada reog festival sponsornya adalah lembaga-lembaga formal seperti Dinas Pariwisata atau kantor-kantor di lingkungan Pemerintahan, dan lebih dalam kepentingan “lomba” atau misi pariwisata dan penyambutan tamu-tamu pemerintah. Maka para praktisi reog jarang menggunakan kata-kata “tanggapan” untuk pementasan dalam bentuk reog festival. Sementara dalam reog obyogan, kata “tanggapan” adalah kata lain dari pertunjukan reog obyogan. Kelengkapan tarian dalam reog obyogan akan disesuaikan dengan permintaan dan harga yang dinegosiasikan oleh si penanggap.
Hal yang serupa tidak terjadi pada pentas reog festival, berapapun biaya yang disediakan oleh pihak sponsor, kelengkapan tarian tetap harus mengikuti standar yang telah ditentukan (Zamzam 110).
2.3.3.4. Kelengkapan Unsur Tarian
Pada reog obyogan, unsur tarian yang selalu ada adalah : Dhadhak Merak, Jathilan, kadang-kadang ditambah tarian Bujangganong. Begitu pula pada reog festival, ketiga unsur tersebut pasti ada. Unsur-unsur tersebut disebut unsur pokok dalam reog. Sedangkan tarian warok dan Kelana Sewandana merupakan unsur tambahan yang terdapat dalam reog festival. Jadi pentas reog festival lengkap terdiri dari 5 unsur yaitu : Dhadhak Merak, Jathilan, Bujangganong, Warok dan
Kelana Sewandana. Berbeda dengan reog obyogan dimana unsur tambahan ini jarang ditemukan didalam pementasannya (Zamzam 111).
UNSUR POKOK Dhadhak Merak Bujangganong
Reog Festival Jathilan Reog obyogan
Warok
Prabu Kelana Sewandana UNSUR TAMBAHAN keterangan : : Jarang ditemukan
Gb. 2.8. Perbedaan kelengkapan unsur tarian dalam kedua versi reog
2.3.3.5. Cerita dan Urutan
Apabila reog festival sangat mementingkan urutan karena berhubungan dengan cerita yang hendak dipresentasikannya, yaitu cerita proses lamaran Prabu Kelana Sewandana kepada Dewi Songgolangit dan mendapat rintangan dari Singo Barong, maka reog obyogan tidak mementingkan urutan pementasan dan tidak mempresentasikan cerita tertentu. Urutan reog festival selalu dimulai dengan datangnya Warok tua, tarian Warok Muda, Jathilan, Bujangganong, Klana Sewandana, Barongan, lalu dengan pertempuran dan diakhiri dengan kekalahan Singo Barong oleh Kelana Sewandana karena terkena pecut Samandiman. Dalam reog obyogan, pertunjukan bisa dimulai dengan penampilan Warok terlebih dahulu (kalau ada), bisa pula Jathil yang muncul pertama, atau Bujangganong, kemudian Warok diulang kembali tergantung situasi dan kondisi. Seringkali pimpinan reog menginstruksikan untuk menari seperti festival dulu lalu baru obyogan. Perintah itu tidak berarti benar-benar menampilkan urutan dan bentuk tarian sesuai dengan standar festival, akan tetapi sering berwujud tarian Jathil Warok saja yang mengikuti pola gerak standar. Itupun hanya diawal pertunjukan dan dalam waktu yang singkat. Setelah itu langsung obyogan sampai selesai pementasan. Bahkan dalam beberapa pementasan, obyogan atau gambyongan langsung dimainkan. Oleh karena itu, dalam tanggapan reog obyogan tidak
merepresentasikan cerita apapun, kecuali kegembiraan, tontonan dan hiburan (Zamzam 111-12).
2.3.3.6. Tingkah Laku Penonton dan Pemain
Hal yang lain yang sering dipertentangkan antara reog festival dengan reog obyogan adalah masalah perilaku penonton dan penari yang seronok pada saat tanggapan reog obyogan berlangsung. Nuansa pementasan reog obyogan memang didominasi oleh penari Jathil yang erotis, kegagahan (kekuatan) barongan, spontanitas dan kebrutalan para penonton yang hampir seluruhnya adalah laki- laki.
Penampilan erotis dari penari Jathil obyogan telah nampak dari kostum yang mereka pakai, yang cenderung ketat dan transparan. Seringkali celana Jathil obyogan yang digunakan berukuran setengah paha, padahal aturan sebenarnya seperti pada reog festival adalah 5 cm dibawah lutut dan tidak ketat. Dari sinilah muncul dua kategori Jathil, yaitu : “Jathil obyogan” dan “Jathil salon”. Sebutan yang terakhir adalah sebutan bagi para penari Jathil untuk festival saja. Mereka biasanya juga menguasai tari klasik. Beberapa pelatih reog kesulitan apabila melatih dan mengikutsertakan penari Jathil obyogan dalam festival. Dengan alasan bahwa para penari Jathil obyogan mempunyai kebiasaan menari yang sulit untuk diubah. Sebaliknya, penari Jathil salon pun merasa enggan untuk ikut ditanggap di desa-desa, karena tuntutan untuk tampil seronok dan seksi (Zamzam 113-14).
Gb.2.9. Kostum Jathil salon Gb.2.10. Kostum Jathil obyogan yang sarat dengan kesopanan yang ketat dan transparan
Praktik lain yang membedakan antara reog festival dan reog obyogan adalah kebiasaan menenggak minuman keras, sebelum dan pada saat tanggapan (Zamzam 115). Dahulu praktik ini masih sangat jarang ditemukan, bukan karena dilarang, tetapi justru karena larangan pada jaman itu masih belum seketat sekarang dimana yang digunakan dulu bukan minuman keras tetapi candu. Candu merupakan salah satu jenis narkotika yang penggunaannya dengan dibakar seperti sebatang rokok. Efek yang ditimbulkan lebih kuat dibandingkan mabuk oleh minuman keras, badan terasa ringan, melayang hingga hilang kesadaran. Kini praktik menghisap candu sudah dilarang karena efek racunnya yang begitu mematikan bagi tubuh manusia.
2.3.3.7. Penonton
Kebanyakan penonton dalam tanggapan reog obyogan adalah laki-laki, kalaupun ada perempuan biasanya hanya melihat dari kejauhan dan rata-rata perempuan dewasa (ibu-ibu dengan anaknya). Para penonton yang pada setiap pementasan reog obyogan seringkali ikut arak-arakan dan menari ini sering disebut “konco reog” (teman reog) atau “tyang ho’e” (orang hok’e). Sebutan ini selain diperuntukkan untuk penggemar dan simpatisan sebuah kelompok reog juga berlaku untuk pemain reog itu sendiri. Dengan kata lain, tyang ho’e adalah sebutan bagi komunitas reog.
Mereka disebut Tyang ho’e karena ketika pentas reog berlangsung para pemain, penggamel, senggakan, dan penonton reog ini sering mengeluarkan teriakan “Hok’e...Hok’e...Hok’e...” sambil ikut menari. Oleh karena itu tidak ada batas yang tegas antara penonton dan pemain dalam tanggapan reog di desa-desa, sebutan Tyang ho’e, konco reog atau wong reogan adalah meliputi keduanya, yaitu penonton dan pemain (Zamzam 115-16).
2.3.3.8. Suasana Pertunjukan
Karena sifat reog obyogan yang penuh improvisasi, tidak perlu sesuai alur cerita tertentu, spontan dan sarat kebrutalan penonton, maka suasana pertunjukan reog jenis inipun terkesan informal/ganyeng. Sedangkan dalam reog festival selalu menggunakan alur cerita yang baku, aturan-aturan penampilan dan pola gerakan-
gerakan yang teratur, maka suasana pertunjukan reog jenis inipun terkesan formal dan teratur.
2.3.3.9. Ideologi
Kategori ini menjadi lebih kentara dan bersifat politis apabila dipertentangkan dengan kategori lain yang disebut “Tyang Mesjid” atau “orang mesjid” karena selain kebiasaan mabuk-mabukan dari orang-orang Tyang ho’e itu dianggap bertentangan dengan ajaran Islam, hampir bisa dipastikan para Tyang ho’e menganut kejawenan atau paling tidak mereka adalah orang-orang abangan.
Kebiasaan menyiapkan sesaji, membakar kemenyan, dan mengunjungi dhanyangan, dalam tanggapan-tanggapan reog di desa-desa adalah salah satu yang sering digunakan untuk mencirikan kepercayaan mereka. Kebiasaan tersebut kadang dipermasalahkan oleh pengurus yayasan dan dewan juri Festival Reog Nasional.
Gb.2.11. Rupa-rupa sesaji dan kemenyan dalam tradisi Kejawen
Gb.2.12. Pohon tempat tinggal Dhanyangan desa Jingglong, Ponorogo
Reog kemudian memang identik dengan pertentangan antara “Islam” dan
“kejawen”. Meskipun sekarang pertentangan itu tidak lagi muncul dalam bentuk- bentuk yang verbal, namun tak bisa dipisahkannya reog dengan tradisi Warok yang kental dengan praktek-praktek ilmu kanuragan dan spiritualitas dalam pengertian kejawen menjadikan pertentangan itu sulit ditutupi.
Ada anggapan bahwa sebutan konco reog muncul setelah pemerintah menjadikan reog sebagai “proyek” yang ambisius di Ponorogo, diantaranya Festival Reog Nasional dan pembakuan alur cerita. Sebelumnya, dalam perbincangan sehari-hari sebutan Tyang ho’e lebih sering digunakan dengan tujuan untuk lebih meredam pertentangan antara Tyang Mesjid dan Tyang ho’e, karena istilah “konco” lebih terdengar egaliter dan inklusif, daripada “tyang” yang berarti “orang” dalam bahasa Jawa halus, yang lebih menunjukkan eksklusifitas sekaligus penghormatan (Zamzam 116-19).
2.4. Analisis Data
2.4.1. Analisis Data Survey 2.4.1.1. Survey Pertama
Metode survey dilakukan dengan peninjauan lokasi/daerah asal kesenian reog, yaitu Ponorogo. Survey pertama dilakukan pada tanggal 19-20 Februari 2008. Tujuannya adalah mengamati suasana Ponorogo yang sarat dengan reog sebagai ikon kota kabupatennya, mewawancarai beberapa pengrajin dan pengamat reog.
“Ponorogo kota Reyog” merupakan semboyan Ponorogo. Memang benar, terbukti dengan banyaknya ikon kesenian ini di setiap jalan di kota kabupaten maupun desa-desa sekitarnya. Mulai dari gapura pintu masuk ke kota kabupaten Ponorogo yang megah, patung-patung tokoh reog di setiap persimpangan jalan, patung-patung singa dan arena reog di alun-alun kota, hingga gapura-gapura mini di gang-gang kecil pelosok desa. Semuanya melarutkan pengunjung pada suasana reogan, walaupun belum melihat sendiri penampilan reog yang sebenarnya.
Kemegahan gapura pintu masuk Kota Kabupaten Ponorogo tampak dari detailnya yang benar-benar digarap secara serius. Unsur-unsur reog secara lengkap ditampilkan disitu, mulai dari Dhadhak Merak, Jathilan,
Bujangganong/Pujonggo Anom, Warok, Kelana Sewandana hingga pemain gamelan Panaragan dengan alat-alat musiknya. Pada ujung atas tertulis kata
“Ponorogo” yang diapit oleh 2 burung merak yang saling berhadap-hadapan.
Keindahan gapura ini tidak hanya dapat dilihat waktu siang hari saja, tetapi pada waktu malam pun tidak kalah indah dengan tambahan lampu-lampu sorot yang menyorot patung-patung reog tersebut dari bawah. Tulisan “ponorogo” pun bersinar oleh karena barisan lampu-lampu kecil yang diatur sedemikian rupa membentuk tulisan “Ponorogo” sehingga dapat terbaca pada malam hari.
Gb. 2.13. Gapura pintu masuk Kota Kabupaten Ponorogo
Sumber : http://wwwsshe.murdoch.edu.au/intersections/issue2/Warok.html
Patung-patung di persimpangan jalan juga tidak lepas dari cerita rakyat/legenda tentang reog. Misalnya : Patung Dewi Songgolangit, Patung Kelana Sewandana dan Patung Pujonggo Anom. Bahkan infrastruktur- infrastruktur kota yang penting dinamai juga menurut cerita legenda dan nama warok-warok terkenal dalam sejarah Ponorogo, diantaranya : Pasar Legi Songgolangit, Stadion Bathoro Kathong (pendiri Ponorogo), Terminal Seloaji, Gedung Remaja Singodimedjo dan Kolam Renang Tirto Menggolo. Warok sangat erat kaitannya dengan kesenian reog, karena seorang warok biasanya adalah pemilik/pemimpin dari suatu kelompok reog. Maka jika seseorang disebut warok tetapi tidak memiliki sebuah kelompok reog dikatakan aneh.
Gb. 2.14. Foto Pasar Legi Songgolangit
Gb. 2.15. Foto Gelanggang Remaja Singodimedjo
Gb. 2.16. Foto Kolam Renang Tirto Menggolo
Alun-alun Ponorogo seluas 100m2 seringkali menjadi pusat pertunjukan reog di kala malam bulan purnama maupun acara Festival Reog Nasional (FRN) pada setiap Grebeg Suro (1 suro/Tahun Baru Hijriyah). Oleh karena itu, Pemkab menghiasi keempat sudut alun-alun ini dengan patung-patung singa yang menurut cerita rakyat merupakan prajurit dari Raja Singo Barong. Ada yang berupa singa dewasa dan ada juga yang berupa anak-anak singa. Sebelah utara alun-alun langsung berbatasan dengan gedung Pemkab Ponorogo. Pelataran depan Pemkab dihiasi dengan barisan 7 patung singa besar yang sedang mengaum dan dibelakangnya terdapat patung Prabu Kelana Sewandana yang sedang mengayunkan pecut Samandiman-nya seraya mengusir ke-7 singa tersebut. Di pelataran yang lebih dalam dapat dijumpai sebuah kolam yang cukup lebar kurang lebih 15m2 dan di tengah kolam tersebut terdapat patung Dewi Songgolangit setinggi kurang lebih 3 meter. Semua patung di pelataran pemkab. inipun tampak indah di malam hari dihiasi lampu-lampu sorot yang menyorot dari bawah. Pecut Samandiman yang dibawa oleh Prabu Kelana Sewandana pun dihiasi dengan lilitan lampu kecil yang mengelilingi permukaan pecut tersebut sehingga tampak jelas di malam hari.
Panggung Pementasan Reog Patung Prabu Kelana
Patung Pujonggo Anom Patung Warok
Patung Jathilan Pria Patung Singa Gb. 2.17. Arena Pementasan Festival Reog di Alun-alun Kota Ponorogo
Di sisi selatan alun-alun berdiri sebuah panggung pementasan reog yang besar. Dengan lebar kurang lebih 30 x 20 m dan dapat dipenuhi lebih dari 50 orang (Zamzam 14). Di belakang panggung terdapat pilar-pilar besar setinggi 7 meter dan di masing-masing pilar dihiasi sebuah patung tokoh reog dalam ukuran
sebenarnya seperti Dhadhak Merak, Pujonggo Anom, Prabu Kelana Sewandana, Jathilan dan Warok.
Semua atribut reog yang menghiasi kota Ponorogo itu menjadi simbol betapa reog sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Ponorogo. Pemerintah dan masyarakat saling bekerjasama untuk menjadikan reog sebagai ikon dan semboyan kota kabupaten Ponorogo. Hingga kini penyebutan reog sulit dipisahkan dengan nama daerah asalnya, yaitu reog Ponorogo.
2.4.1.2. Survey Kedua
Survey kedua dilakukan pada tanggal 31 Maret-4 April 2008. Fokus tujuannya adalah produksi tahap pertama, yaitu mencari stok-stok foto dan video untuk bahan pembuatan film dokumenter terutama shooting wawancara dan landscape. Lokasi tujuan kali ini adalah Telaga Ngebel dan sekitar kota kabupaten Ponorogo.
Gb. 2.18. Telaga Ngebel
Telaga Ngebel terletak 22 km arah timur laut dari pusat kota kabupaten Ponorogo. Andalan dari kawasan wisata ini adalah keasrian hutan dan telaganya yang masih terjaga dan belum banyak dieksploitasi. Ketinggian lokasi ini sekitar 734 meter diatas permukaan laut, sehingga terasa kesejukan hawa pegunungannya di sepanjang jalan di tepi telaga. Telaga Ngebel ini hanya ramai pada akhir pekan saja, kecuali pada hari grebeg suro/satu suro, 1 minggu sebelumnya penginapan sudah habis terpesan. Hal tersebut dikarenakan pada grebeg suro akan ada
beberapa ritual tradisional dan pentas reog yang dilakukan di sekeliling telaga Ngebel. Ritual tradisional itu adalah larung sesaji berupa sebuah kepala sapi dan sesaji lain yang dilarung ke tengah telaga, untuk menghormati roh penunggu telaga. Tradisi ini berlangsung terus dari tahun ke tahun, bersamaan dengan diadakannya Festival Reog Nasional (FRN) yang juga diadakan pada grebeg suro.
Di bagian timur telaga terdapat hutan yang masih didominasi oleh pepohonan besar yang berakar lebat, berumur ratusan tahun dengan ketinggian pohon melebihi 10 meter. Karena umurnya yang sudah tua, batang atau ranting pohon-pohon ini tidak jarang patah dan jatuh ke tanah sehingga sering ditemukan tulisan peringatan “hati-hati banyak pohon tumbang”. Selain menciptakan kesan alami dengan diiringi pula kicauan burung, hutan ini juga menciptakan kesan yang agak seram, angker hingga tidak jarang membuat pengunjung merinding. Tidak hanya pada malam hari saja, bahkan pada siang hari pun kesan itu sudah terasa.
Hal ini mengingatkan pada sejarah kota Ponorogo yang dahulu memang dibangun di daerah Wengker, yang menurut bahasa Jawa adalah singkatan dari “wewengkon sing angker”/tempat yang menyeramkan. Jika pepohonan besar ini telah tumbuh sejak ratusan tahun yang lalu, maka layaklah jika daerah Ponorogo ini dahulu disebut daerah Wengker.
Gb. 2.19. Hutan sisi timur Telaga Ngebel
Shooting wawancara dilakukan kepada narasumber Shodig Pristiwanto, S.Sn. sebagai wakil dari Dinas Pariwisata Seni dan Budaya Ponorogo dan Molog sebagai salah satu sesepuh Warok di Ponorogo.
Gb. 2.20. Foto wawancara Shodig P. Gb. 2.21. Foto wawancara Molog
Ditemukan cukup banyak perbedaan argumen diantara keduanya karena perbedaan latar belakang pendidikan dan cara berpikir. Shodig Pristiwanto dengan latar belakang pendidikan tinggi telah mampu meneliti, mengkaji reog dari sisi keilmuannya, sedangkan Molog dengan latar belakang masyarakat tradisional yang masih kuat memegang nilai luhur budaya tradisional yang diwariskan oleh para leluhurnya secara turun-temurun. Perbedaan ini akan dianalisis pada analisis data wawancara.
2.4.1.3. Survey Ketiga
Survey ketiga dilakukan pada tanggal 21-25 April 2008. Fokus tujuannya adalah produksi tahap kedua, yaitu shooting pentas Reog Malam Bulan Purnama di Alun-alun Ponorogo dan pentas Reog obyogan di desa Kunthi, Kec.Bungkal, Ponorogo. Selain itu juga dilakukan shooting wawancara kepada narasumber Heru Subeno, ahli ilmu kanuragan-kadigdayan dan 2 penari Jathilan obyog yaitu Nunung dan Ika.
Gb. 2.22. Foto wawancara Gb. 2.23. Foto wawancara
Heru Subeno Jathilan Obyog
Wawancara dengan Heru Subeno diarahkan pada tradisi Kejawen yang telah dipelajarinya selama kurang lebih 23 tahun hingga sekarang. Konteks kejawen yang dipakai adalah tradisi kejawen dalam reog. Oleh karena itu, disiapkan beberapa bahan sesaji dan kemenyan sebagai rekonstruksi dari ritual sebenarnya, diantaranya :
a. Gedang Raja Temen (setangkep),
b. Jenang Merah dan Jenang Putih (di takir), c. Bunga 7 warna,
d. Bunga Kantil, e. Kopi Pahit, f. Rokok Grendo, g. Dupa Kukus.
Semua bahan itu ditaruh dan diatur ke dalam sebuah tempeh. Kemudian satu per satu nilai-nilai luhur dari sesaji dan kemenyan tersebut dijelaskan. Ia juga mempraktekkan ilmu kanuragan yang telah ia pelajari, yaitu : ilmu kebal dan ilmu api. Suasana gaib sangat kental di ruang tamu berukuran 3x2,5 m, aroma dupa memenuhi ruangan hingga menyakitkan mata, para penghuni alam gaib pun berdatangan (berdasarkan penglihatan Heru Subeno). Mereka adalah seniman- seniman reog terdahulu/warok-warok terdahulu yang telah diundang oleh Heru Subeno untuk menyaksikan wawancara. Hal tersebut dimaksudkan agar tidak terjadi kesalahpahaman di kemudian hari oleh karena shooting ritual ini.
Gangguan gaib pun terjadi saat shooting berlangsung, tetapi karena sudah
meminta ijin kepada Yang Maha Kuasa dan para penghuni gaib yang berdatangan maka gangguan hanya terjadi di awal shooting saja, yaitu lampu halogen yang nyalanya terhambat. Maksud gangguan itu menurut Heru Subeno adalah untuk menandakan bahwa mereka (penghuni gaib) sudah datang.
Pentas Reog obyogan di Desa Kunthi, Kec. Bungkal, Ponorogo diadakan dalam rangka acara pernikahan. Reog diarak dari rumah temanten wanita ke perempatan jalan, kemudian ke rumah temanten pria hingga kembali lagi ke rumah temanten wanita. Fungsi reog dalam acara pernikahan ini, yaitu : mengumumkan kepada masyarakat desa bahwa acara pernikahan akan segera dimulai, konvoy menjemput temanten pria dari rumahnya untuk dipertemukan dengan temanten wanita, mengisi acara di waktu senggang acara pernikahan.
Perbedaan antara reog di pentas Malam Bulan Purnama dan pentas acara pernikahan di desa Kunthi tampak jelas pada kostum Jathil yang dikenakan dan gerakan-gerakan yang dimainkan. Jathil obyog di desa Kunthi berpakaian atasan transparan dan bawahan ketat hingga 15 cm diatas lutut, sedangkan Jathil salon di pentas Malam Bulan Purnama berpakaian atasan tebal/tak tembus dan bawahan celana panjang hingga pergelangan kaki. Gerakan-gerakan Jathil obyog terkesan vulgar dengan gaya lemah gemulai dan seringkali mendekatkan goyangan pantatnya ke pemain Dhadhak Merak, baik saat sedang memakai topeng Dhadhak Merak-nya ataupun tidak. Padahal peran penari Jathilan yang sebenarnya adalah prajurit kerajaan, sehingga karakter seharusnya adalah gagah dan langkahnya tegap, tidak lemah gemulai. Sebaliknya, penari Jathil salon di pentas Malam Bulan Purnama melakukan perannya sesuai dengan cerita sebenarnya. Mereka menari dengan gagah dan langkah tegap walaupun mereka perempuan.
2.4.2. Analisis Data Wawancara
Wawancara dilakukan bersamaan dengan kegiatan survey dan produksi/shooting. Wawancara ditujukan kepada 6 narasumber. 1 Narasumber merupakan pegawai Dinas Pariwisata, Seni dan Budaya Ponorogo, 3 Narasumber lainnya merupakan sesepuh reog yang merupakan Warok di desanya, dan 2 narasumber lagi adalah penari Jathilan obyog. Hasil wawancara adalah sebagai berikut :
2.4.2.1. Hasil Wawancara dengan Pak Shodig Pristiwanto, S.Sn.
Nama : Shodig Pristiwanto, S.Sn.
Jabatan : Pegawai Negeri Sipil
Alamat kantor : Dinas Pariwisata, Seni dan Budaya Ponorogo Jl. Pramuka No.14 A, Ponorogo.
Alamat rumah : Jl. Madura No. 32 C, Ponorogo.
TTL : Ponorogo, 18-05-1971 Usia : 37 tahun.
Pendidikan : STSI Surakarta tamat tahun 2000.
Pengalaman : Penata Karya tari Lebur Saketi, Penata Karya tari Kang Potro, Penata Karya tari Mother in Love, Mahakarya tari Kolosal Sang Putra Wengker, Surya Sumurat Ing Bumi Wengker (Kolosal), Penata Karya tari Gojak Gejek, Penata Karya tari Heroik “Ki Marto Puro”, Ass. Sutradara Sinetron Daerah “Suromenggolo”, Duta Seni ke Amerika Serikat 1991 pada American Folklife Festival, Washington DC., dan Dewan Juri Festival Reog Nasional.
Pertanyaan yang diajukan kepada Pak Shodig bertujuan untuk menguji kesesuaian antara kenyataan dengan studi literatur yang telah dilakukan. Ternyata banyak ditemukan kesesuaian pendapat antara pernyataan Pak Shodig dengan beberapa pendapat dalam buku-buku literatur walaupun keduanya bersifat subyektif. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan antara lain :
• Apakah ada perbedaan antara reog yang ditandang orang (reog obyogan) dengan reog untuk pertunjukan (reog festival)?
Ada.
• Apa sajakah perbedaannya?
Pertama, susunan/alur cerita. Kalau yang ada di masyarakat atau di lapangan seringkali sangat bebas, tidak ada alur ceritanya. Kedua, kelengkapan peran. Kasusnya seperti kesenian Sandur di Madura. Untuk kepentingan resmi, sandur lengkap terdiri dari 6 item. Nah, reog kalau dalam festival item-nya ada 5.
Jika reog di lapangan tidak lengkap pun tetap berjalan.
• Kebebasan dalam reog di lapangan itu meliputi apa saja?
Waktu, urutan penampilan, pemeran. Tetapi dari semua pertunjukan itu yang paling dominan dan pasti ada itu Dhadhak Merak, Bujangganong dan Jathilan. Itu adalah unsur pokok reog, di festival pasti ada, di lapangan juga pasti ada. Tapi kalau Warok dan Kelana Sewandana, yang di lapangan biasanya jarang.
Dua tokoh itu seringkali hilang.
• Bagaimana peran Warok di dalam reog di lapangan?
Perlu diketahui latar belakangnya bahwa Warok itu masuk di dalam pertunjukan reog secara konsep pertunjukan baru tahun 1987-an, bersamaan dengan adanya Festival Reog Nasional. Pada awalnya Warok itu sebenarnya adalah masyarakat yang melingkupi atau menghidupi kesenian reog itu sendiri.
Bukan sebagai peraga tarinya. Dalam cerita rakyatnya sendiri, Warok itu tidak ada. Kemudian para seniman reog berpandangan bahwa warok itu juga bagian dari budaya kita, kenapa kok tidak dimasukkan. Akhirnya sesuatu yang tidak mungguh/lumrah berubah jadi mungguh. Jadi enak karena bisa difungsikan secara pertunjukan. Secara cerita sebenarnya itu putus, tetapi akhirnya di dalam konsep karya tari dikenal adanya figuran. Artinya dalam penggarapan karya tari reog itu, Warok dijadikan sebagai simbol marahnya Kelono. Simbol dimana pertengkaran tersebut mengakibatkan kegaduhan. Kalau penarinya banyak, suasana pertempuran akan lebih terasa dalam alur ceritanya. Tujuan Warok masuk ke dalam pertunjukan reog adalah untuk kepentingan penataan artistik yang menarik.
• Bagaimana tradisi gemblakan dapat berkembang di kalangan Warok?
Warok itu budaya kehidupan sehari-harinya menghidupi kesenian reog ini.
Awalnya peraga jaranan/jathilan waktu itu adalah laki-laki yang latar belakang hidupnya adalah orang-orang yang tidak mampu. Karena itu kalau tidak dihidupi oleh Warok-Warok itu, ya mereka tidak mau menari. Akhirnya dia diangkat, kemudian diminta menjadi penari dan rata-rata orangnya bagus/tampan, berkulit agak putih. Jika tidak tampan, berkulit hitam, dan jelek tidak akan menarik.
Saya berani tegaskan bahwa kasus gemblak dengan kasus homoseksual itu berlainan. Tetapi saya tidak tahu ketika terjadi budaya seperti itu kemudian ada pelaku homoseksual murni yang memanfaatkan budaya itu. Itu tergantung pribadi masing-masing. Yang saya tahu antara Warok dan Jathil itu sebenarnya seperti
seseorang yang senang pada burung perkututnya. Bukan seperti hubungan homoseksual yang benar-benar seperti hubungan antara pria dan wanita, namun pada pasangan sejenis. Artinya bahwa Warok menyayangi, memelihara gemblak ini karena dia juga adalah manusia, jadi di peluk pun adalah bukan perasaan seksualitas tapi perasaan yang muncul karena sayang dan senang mempunyai sahabat yang akrab, bahkan seperti anak asuh. Walaupun dalam persahabatan biasanya bercandanya kebablasen/kelebihan, tapi bukan arahnya sampai menuju ke pelampiasan seksual. Namun dalam prakteknya memang ada, jika Warok itu memang sudah tidak mampu untuk melakukan hubungan seksualitas, sudah sepuh/lanjut usia, akhirnya ya hanya ngulek-ulek Jathil, ngempit dan lainnya.
• Bagaimana pendapat Bapak mengenai pandangan jika Warok berhubungan dengan perempuan itu akan menghilangkan ilmu kanuragan-nya?
Dalam sejarah ada beberapa Warok tulen, yaitu : Surokentus, Suromenggolo, Singolodro dan Gunoseco. Jika Warok-Warok ini tidak berhubungan dengan perempuan, bagaimana Suromenggolo bisa punya anak namanya Cempluk Warsiah dan Singolodro juga mempunyai anak bernama Suminten. Dengan demikian pernyataan itu mentah. Memang masyarakat tradisional sering mengatakan begitu, jika berhubungan dengan perempuan maka ilmu kanuragan akan berkurang. Jika yang menyatakan itu adalah orang yang janggutnya panjang pasti banyak yang percaya karena biasanya adalah sesepuh masyarakat. Tapi coba dipikir memakai analisa secara ilmiah dengan bukti yang ada. Kalau itu tentang mengurangi prosentase hubungan seksual maka pernyataan itu masih dapat diterima, karena pengaruh dari sperma yang terlalu banyak dikeluarkan juga mempengaruhi kekuatan laki-laki. Tetapi kalau dihilangkan itu saya tidak setuju.
• Apakah reog masih ada hubungannya dengan tradisi kejawen?
Ada yang masih, ada yang tidak. Awalnya karena kental oleh budaya animisme dan dinamisme kehinduan yang dahulu masih sangat kuat. Daerah Ponorogo saat itu jauh dari pemerintahan kerajaan-kerajaan, diantaranya kerajaan Mangkunegaran di Jawa Tengah dan Majapahit di Jawa Timur. Oleh karena itu, daerah Ponorogo disebut daerah Wengker (wewengkon sing angker). Sampai sekarang orang-orang Ponorogo pun masih banyak yang menerapkan ilmu-ilmu