• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

G. Metode Penelitian

4. Analisis Data

Dalam penelitian ini bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier yang sebelumnya telah disusun secara sistematis kemudian akan dianalisa dengan menggunakan prosedur logika ilmiah yang sifatnya kualitatif.

Kualitatif berarti akan dilakukan penilitian analisa data yang bertitik tolak dari penelitian terhadap asas atau prinsip sebagaimana yang diatur dalam bahan hukum primer dan kemudian akan dibahas lebih lanjut menggunakan sarana pada bahan

44Muklis Fajar ND dan Yulianto Ahmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hal. 156-159

hukum sekunder, yang tentunya akan diupayakan pengayaan sejauh mungkin dengan didukung oleh bahan hukum tersier. Dalam hal peneliti ini menggunakan metode deduktif yaitu penarikan kesimpulan dari yang umum ke yang khusus.45

Adapun tahapan untuk menganalisa bahan-bahan hukum yang telah ada tersebut, secara sederhana dapat diuraikan dalam beberapa tahapan :

1. Tahapan pengumpulan data, yakni mengumpulkan dan memeriksa bahan-bahan pustaka misalnya ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan langsung dengan permasalahan yang akan diteliti.

2. Tahapan pemilihan data, dalam tahapan ini seluruh data yang telah dikumpulkan sebelumnya akan dipilah-pilah secara sistematis dengan mempedomani konteks yang sedang diteliti, sehingga akan lebih memudahkan dalam melakukan kajian lebih lanjut terhadap permasalahan di dalam penelitian tesis ini.

3. Tahapan analisis data dan penulisan hasil penelitian, sebagai tahapan klimaks dimana seluruh data yang telah diperoleh dan dipindah tersebut akan dianalisa dengan seksama dengan melakukan interprestasi/penafsiran yang diperlukan dengan berpedoman terhadap konsep, asas kaidah hukum yang dianggap relevan dan sesuai dengan tujuan utama dari penelitian ini. Hasil penelitian kemudian akan ditarik kesimpulan dengan menggunakan, metode pendekatan deduktif.

Kesimpulan adalah merupakan jawaban khusus atas permasalahan dalam penelitian ini.

45Zainuddin Ali, Op. cit , hal. 105

BAB II

AKIBAT HUKUM PERKAWINAN YANG TIDAK DICATATKAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG

PERKAWINAN DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM

A. Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

1. Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

Menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan adalah Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.46

Perkawinan adalah sesuatu yang umum di masyarakat, menurut hukum perdata, hukum adat, dan Islamic law (hukum Islam). Perkawinan selalu dipandang sebagai dasar bagi unit keluarga yang mempunyai arti yang sangat penting bagi penjagaan moral atau akhlak masyarakat dalam pembentukan peradaban. Dari kedua ketentuan ini menegaskan bahwa perkawinan merupakan ikatan lahir batin yang mengikat laki-laki dan perempuan sebagai suami isteri atas dasar Ketuhanan Yang Maha Esa.

Perkawinan sering juga disebut “pernikahan”. Dalam bahasa Indonesia,

“perkawinan” berasal dari kata “kawin”, yang menurut bahasa, artinya membentuk

46Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

39

keluarga dengan berlawanan jenis antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan, yang melakukan hubungan kelamin atau bersetubuh. Sedangkan, istilah

“kawin” digunakan secara umum, untuk tumbuhan, hewan, manusia, dan menunjukkan proses generatif secara alami. berbeda dengan ini, nikah hanya digunakan pada manusia karena mengandung keabsahan secara hukum nasional, adat istiadat, dan menurut agama.

Dalam kata kawin, terkesan seolah-olah perkawinan hanya melulu mencerminkan hubungan biologis (seksual) yakni hubungan kelamin yang lazim dikenal dengan sebutan persenggamaan antara laki-laki dengan perempuan, seperti layaknya hubungan kelamin yang juga dilakukan hewan jantan dan betina. Hal itulah yang menyebabkan kenapa atau mengapa banyak orang tidak menikah secara hukum dan lebih suka kumpul kebo karena bagi pasangan seperti ini, hakikat kawin adalah persenggamaan. Kata nikah tidak semata-mata tercermin berkonotasi makna biologis, tetapi juga sekaligus juga tersirat dengan jelas hubungan pisikis kejiwaan (kerohanian) dan tingkah laku pasangan suami-isteri dibalik hubungan bilogis, dalam kata nikah, hubungan antara suami-isteri dan bahkan kemudian hubungan orang tua dan anak, akan mencerminkan hubungan kemanusiaan yang lebih terhormat, sejajar martabat manusia itu sendiri.47

Berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, maka bagi warga negara Indonesia yang beragama Islam apabila

47 Amin Summa, Hukum Kekeluargaan Islam di Dunia Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005), hal. 39

hendak melaksanakan perkawinan supaya sah harus memenuhi ketentuan-ketentuan tentang perkawinan sebagaimana yang diatur di dalam hukum perkawinan. Demikian juga halnya dengan bagi mereka yang beragama Kristen, Buddha dan Hindu, hukum agama merekalah yang menjadi dasar pelaksanaan yang menentukan sahnya suatu perkawinan. "Ini berarti bahwa suatu perkawinan yang dilaksanakan bertentangan dengan ketentuan hukum agama, dengan sendirinya menurut Undang-undang Perkawinan ini dianggap tidak sah dan tidak mempunyai akibat hukum sebagai ikatan perkawinan"

2. Syarat sah Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

Syarat sah perkawinan diatur mulai Pasal 6 sampai dengan Pasal 12 Undang undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Syarat perkawinan yang bersifat materiil dapat dilihat dari ketentuan Pasal 6 sampai dengan Pasal 12 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yaitu:48

a. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai

b. Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat ijin orang tua atau salah satu orang tuanya, apabila salah satunya telah meninggal dunia

48Pasal 6 sampai dengan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

c. Perkawinan hanya hanya diijinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) Tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) Tahun.

d. Seorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi kecuali memenuhi Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

e. Apabila suami dan isteri yang telah cerai kawin lagi satu dengan yang lain dan bercerai lagi untuk kedua kalinya.

f. Bagi seorang wanita yang putus perkawinannya berlaku jangka waktu tunggu.

Mengenai waktu tunggu ini diatur dalam Pasal 39 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang pelaksanan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagai berikut:

a. Apabila perkawinan putus karena kematian, waktu tunggu ditetapkan 130 hari, dihitung sejak kematian suami.

b. Apabila perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu bagi yang masih berdatang bulan adalah 3 kali suci dengan sekurang-kurangnya 90 hari, yang dihitung sejak jatuhnya putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap.

c. Apabila perkawinan putus sedang janda tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan.

d. Bagi janda yang putus perkawinan karena perceraian sedang antara janda dan bekas suaminya belum pernah terjadi hubungan kelamin tidak ada waktu tunggu.

Selanjutnya dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan bahwa perkawinan dilarang antara dua orang yang:

a. Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah maupun ke atas/incest.

b. Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya.

c. Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu/bapak, tiri/periparan.

d. Berhubungan sususan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan dan bibi/paman susuan.

e. Berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang

f. Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku dilarang kawin

Sedangkan syarat perkawinan secara formal dapat diuraikan menurut Pasal 12 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan direalisasikan dalam Pasal 3 s/d Pasal 13 Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 tentang pelaksanan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Secara singkat syarat formal ini dapat diuraikan sebagai berikut:49

1. Setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan harus memberitahukan kehendaknya kepada Pegawai Pencatat Perkawinan di mana perkawinan itu akan

49 Pasal 3 sampai dengan Pasal 13 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

dilangsungkan, dilakukan sekurang kurangnya 10 hari sebelum perkawinan dilangsungkan. Pemberitahuan dapat dilakukan lisan/tertulis oleh calon mempelai/orang tua/wakilnya. Pemberitahuan itu antara lain memuat: nama, umur, agama, tempat tinggal calon mempelai (Pasal 3-5)

2. Setelah syarat-syarat diterima Pegawai Pencatat Perkawinan lalu diteliti, apakah sudah memenuhi syarat/belum. Hasil penelitian ditulis dalam daftar khusus untuk hal tersebut (Pasal 6-7).

3. Apabila semua syarat telah dipenuhi Pegawai Pencatat Perkawinan membuat pengumuman yang ditandatangani oleh Pegawai Pencatat Perkawinan yang memuat antara lain:

a. Nama, umur, agama, pekerjaan, dan pekerjaan calon pengantin.

b. Hari, tanggal, jam dan tempat perkawinan akan dilangsungkan (Pasal 8-9) 4. Barulah perkawinan dilaksanakan setelah hari ke sepuluh yang dilakukan menurut

hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Kedua calon mempelai menandatangani akta perkawinan dihadapan pegawai pencatat dan dihadiri oleh dua orang saksi, maka perkawinan telah tercatat secara resmi. Akta perkawinan dibuat rangkap dua, satu untuk Pegawai Pencatat dan satu lagi disimpan pada Panitera Pengadilan. Kepada suami dan isteri masing-masing diberikan kutipan akta perkawinan (pasal 10-13).

Dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dinyatakan bahwa suatu perkawinan baru sah apabila dilakukan menurut hukum, agama, dan

kepercayaan masing-masing.50 Hal ini diatur dalam Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Disamping itu ada keharusan untuk melakukan pencatatan perkawinan, adapun bunyi pasal tersebut ialah “tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undang yang berlaku”. pencatatan perkawinan sama halnya dengan pencatatan suatu peristiwa hukum dalam kehidupan seseorang. Misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam daftar pencatatan yang disediakan khusus untuk itu.

Di dalam Pasal 2 ayat 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menitik beratkan kepada adanya pencatatan perkawinan yang secara rinci diatur bahwa :

a) Ketentuan tentang pencatatan perkawinan

1. Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut agama Islam dilakukan oleh pegawai pencatat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk.

2. Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut agamanya dan kepercayaannya itu selain agama Islam, dilakukan oleh pegawai pencatatan perkawinan pada KCS (Kantor Catatan Sipil) sebagaimana dimaksud dalam berbagai perundang-undangan mengenai pencatatan perkawinan.

50KN. Sofyan Hasan, Dasar-Dasar Memahami Hukum Islam di Indonesia, (Surabaya: Usaha Nasional, 1994), hal. 7

3. Dengan tidak mengurangi ketentuan-ketentuan yang khusus berlaku bagi tata cara peraturan pencatatan perkawinan dilakukan sebagai mana ditentukan dalam Pasal 3 sampai dengan Pasal 9 peraturan itu.

b) Ketentuan mengenai tempat pemberitahuan dan tenggang waktu antara saat memberitahukan dengan pelaksanaanya.

c) Tata cara pemberitahuan kehendak untuk melakukan perkawinan ditentukan bahwa pemberitahuan dilakukan secara lisan atau tertulis oleh calon mempelai atau oleh orang tua atau wakilnya,

d) Pemberitahuan tersebut mengharuskannya pegawai pencatat untuk melakukan hal-hal yaitu :

1. Meneliti apakah syarat-syarat perkawinan telah dipenuhi dan apakah tidak terdapat halangan perkawinan menurut Undang-undang.

2. Selain itu pegawai pencatatan meliputi pula : a. Kutipan akta kelahiran calon mempelai

b. Keterangan mengenai nama, agama/kepercayaan, pekerjaan, tempat tinggal orang tua calon mempelai.

c. Ijin tertulis atau ijin pengadilan apabila salah satu calon mempelai atau keduanya belum mencapai umur 21 (dua puluh) tahun.

d. Ijin pengadilan dalam hal calon mempelai adalah seorang suami yang masih beristeri.

e. Surat kematian isteri atau suami yang terdahulu atau dalam hal pencatatan bagi perkawinan untuk kedua halnya atau lebih.

f. Ijin tertulis yang ditunjuk oleh Menteri HANKAM/PANGAB apabila salah seorang calon mempelai atau keduanya anggota angkatan bersenjata.

g. Surat kuasa autentik atau dibawah tangan yang disahkan oleh pegawai pencatat, apabila salah seorang calon mempelai atau keduanya tidak dapat hadir karena sesuatu alasan yang tertulis, sehingga mewakilkan kepada orang lain.

Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan secara lengkap mengatur syarat-syarat perkawinan baik yang menyangkut pasangan suami-isteri, kelengkapan administratif, prosedur pelaksanaannya dan mekanismenya. Adapun syarat-syarat yang telah dititikberatkan kepada orangnya diatur pada pasal 6 yang menyatakan bahwa:

1. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.

2. Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (duapuluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua.

3. Dalam hal salah seorang dari kedua orangtua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin dimaksud ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya.

4. Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis

keturunan lurus ke atas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya.

5. Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini, atau salah seorang atau lebih diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka Pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan izin setelah lebih dahulu mendengar orang-orang tersebut dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini.

6. Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini berlaku sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.

Berdasarkan uraian yang terdapat pada Pasal 6 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan memerlukan penjelasan yaitu oleh karena perkawinan mempunyai maksud agar suami-isteri dapat membentuk keluarga, kekal, dan bahagia, dan sesuai dengan hak asasi manusia, maka perkawinan harus disetujui oleh kedua belah pihak yang melangsungkan perkawinan tersebut, tanpa adanya paksaan oleh pihak manapun.

Ketentuan di dalam Pasal ini tidak berarti mengurangi syarat-syarat perkawinan menurut ketentuan hukum perkawinan yang sekarang berlaku, sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.

Dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan pada Pasal 6 menyatakan bahwa:

1. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua mempelai.

2. Untuk melangsungkan pernikahan seorang yang belum mencapai umur 21 harus mendapat izin orang tua.

3. Pencatatan Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

Pencatatan perkawinan sangat penting dilakukan, oleh karena mempunyai implikasi yuridis dalam berbagai aspek sebagai akibat dari dilakukannya perkawinan /pernikahan tersebut. Akan tetapi, di Indonesia terdapat beberapa faktor terutama yang berhubungan dengan nilai-nilai budaya dan agama atau kepercayaan, yang menjadi kendala pelaksanaan pencatatan perkawinan Oleh karena itu, peranan sosiologi hukum sebagai suatu disiplin ilmu pengetahuan menjadi sangat relevan untuk menganalisa hubungan antara kaidah-kaidah hukum positif yang mengatur tentang yang kewajiban pencatatan perkawinan dengan nilai – nilai yang hidup dan berkembang dalam masyarakat Indonesia.

Pencatatan perkawinan dalam pelaksanaannya diatur dengan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dan Peraturan Menteri Agama Nomor 3 dan 4 Tahun 1975 Bab II Pasal 2 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan.

Pencatatan itu perlu untuk kepastian hukum, maka perkawinan yang terjadi sebelum

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, perkawinan yang dilakukan menurut peraturan perundang-undangan yang lama adalah sah. Sebab dengan dilakukannya pencatatan perkawinan tersebut akan diperoleh suatu alat bukti yang kuat sebagai alat bukti autentik berupa akta nikah (akta perkawinan), yang didalamnya memuat sebagai berikut:51

a. Nama, tanggal, dan tempat lahir, agama dan kepercayaan, pekerjaan dan tempat kediaman suami-isteri. Jika pernah kawin disebutkan juga nama suami atau isteri terdahulu.

b. Nama, agama atau kepercayaan, pekerjaan, dan tempat kediaman orang tua mertua.

c. Izin kedua orang tua bagi yang belum mencapai umur 21 tahun/dari wali atau pengadilan.

d. Dispensasi dari pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua bagi yang melakukan perkawinan dibawah umur 19 tahun bagi pria dan dibawah umur 16 tahun bagi wanita.

e. Izin pengadilan bagi seorang suami yang akan melangsungkan perkawinan lebih dari seorang isteri.

f. Persetujuan kedua mempelai

g. Izin dari pejabat yang ditunjuk Menteri Hankam/Pangab bagi anggota TNI h. Perjanjian perkawinan jika ada

51Pasal 12 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

i. Nama, umur, agama atau kepercayaan, pekerjaan dan kediaman para saksi, dan wali nikah bagi yang beragama Islam.

j. Nama, umur, agama atau kepercayaan, pekerjaan dan kediaman kuasa apabila perkawinan dilakukan melalui seorang kuasa.

Hal-hal yang dimuat dalam akta perkawinan tersebut di atas merupakan ketentuan minimal, sehingga masih dimungkinkan ditambahkannya hal-hal lain, misalnya yaitu mengenai:

a. Nomor Akta

b. Tanggal, Bulan, Tahun pendaftaran

c. Jam, tanggal, bulan, dan Tahun Perkawinan dilakukan.

d. Nama dan jabatan dari Pegawai Pencatat.

e. Tanda tangan para mempelai, saksi dan bagi yang beragama Islam wali nikah atau yang mewakilinya, Pegawai Pencatat

f. Bentuk dari mas kawin

g. Ijin Balai Harta Peninggalan bagi mereka yang memerlukannya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sesaat sesudah dilangsungkan perkawinan maka kedua mempelai menandatangani Akta Perkawinan yang telah ditetapkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan, yang kemudian diikuti oleh kedua orang saksi, dan wali nikah. Penandatangan tersebut juga dilakukan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan yang bersangkutan, maka sejak saat itu perkawinan telah tercatat secara resmi.

Akta perkawinan itu oleh Pegawai Pencatatan Perkawinan dibuat rangkap 2 (dua). Helai pertama disimpan di Kantor Pencatat (Kantor Urusan Agama atau Kantor Catatan Sipil). Sedangkan helai kedua dikirim ke Pengadilan yang daerah hukumnya mewilayahi Kantor Pencatatan tersebut. hal ini untuk memudahkan pemeriksaan oleh pengadilan bila dikemudian hari terjadi Talak atau Gugatan Perceraian, kepada suami isteri masing-masing diberikan Kutipan Akta Perkawinan, yang mirip dengan Buku Nikah dengan isi yang sama. Kutipan Akta Perkawinan tersebut adalah merupakan bukti autentik bagi masing-masing yang bersangkutan karena dibuat oleh Pegawai Umum.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 2 ayat (2) menegaskan bahwa “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”. “Artinya, pencatatan merupakan suatu hal yang harus dan wajib dilakukan, tidak bisa dirubah-rubah lagi dalam sebuah perkawinan”.

Pencatatan perkawinan juga dapat berfungsi sebagai “pengatur” praktik poligami yang sering dilakukan secara diam-diam oleh pihak-pihak tertentu yang menjadikan perkawinan yang tidak dicatatkan semata. Setiap pasangan suami isteri yang akan menikah di Kantor Urusan Agama (KUA) bagi yang beragama Islam dan bagi yang beragama non-Islam di Kantor Catatan Sipil (KCS) biasanya harus melalui mekanisme pengumuman status calon pasangan suami-isteri setelah terdaftar sebagai pasangan suami-isteri yang akan melangsungkan perkawinan. Apabila data tentang status kedua calon pasangan suami-isteri diumumkan dan ternyata ada pihak-pihak

yang kurang menyetujui dan keberatan, perkawinan tersebut batal atau dengan kata lain perkawinan tersebut batal demi hukum.

Secara harfiyah, pencatatan perkawinan berarti: pertama perbuatan, cara mencatat, kedua, yaitu pendaftaran. Jadi pencatatan perkawinan berati proses perbuatan, cara mencatat dan mendaftarkan perkawinan.

Ketentuan yang mengatur tentang pencatatan perkawinan, terdapat di dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, terdapat dalam Pasal 2 ayat (2) yang menyatakan bahwa “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”. tujuan pencatatan ini sebagaimana yang telah diutarakan dalam No. 4 huruf b Penjelasaan Undang-Undang Perkawinan adalah sebagai berikut:

“Dalam Undang-undang ini dinyatakan bahwa suatu perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan itu di samping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”.52

Pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya dengan pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang, misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam surat-surat keterangan, dan suatu akta resmi yang juga dimuat dalam daftar pencatatan.

52 Lili Rasjidi, Hukum Perkawinan dan Perceraian di Malaysia dan di Indonesia, (Bandung:

Remaja Rosdakarya, 1991), hal 85

Peraturan perundang-undangan tidak menerangkan pengertian tentang pencatatan perkawinan secara definitif, tetapi hanya mengatur tentang tata cara pencatatannya saja. Pasal 11 ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyatakan bahwa “Dengan penandatangan akta perkawinan maka perkawinan telah tercatat secara resmi”. Penandatangan dimaksud adalah kedua mempelai, kedua saksi, wali nikah atau yang mewakilinya bagi pasangan suami-isteri yang beragama Islam dan pegawai pencatatan perkawinan menghadiri perkawinan yang terdapat pada Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Penjelasan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sedangkan pada Pasal 11 ayat (2) menyatakan bahwa “Akta perkawinan yang telah ditandatangani oleh mempelai itu, selanjutnya ditandatangani pula oleh kedua saksi dan Pegawai Pencatat yang menghadiri perkawinan dan bagi yang melangsungkan perkawinan menurut agama Islam, ditandatangani pula oleh wali nikah atau wakilnya.

Namun sebelum penandatangan dilaksanakan, harus melakukan serangkaian proses tertentu mesti dilaksanakan terlebih dahulu, yaitu:

1. Pemberitahuan

Setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan memberitahukan kehendaknya itu kepada Pegawai Pencatatan Perkawinan di tempat perkawinan akan dilangsungkan. Pemberitahuan tersebut dilakukan sekurang-kurangnya 10 (sepuluh)

Setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan memberitahukan kehendaknya itu kepada Pegawai Pencatatan Perkawinan di tempat perkawinan akan dilangsungkan. Pemberitahuan tersebut dilakukan sekurang-kurangnya 10 (sepuluh)

Dokumen terkait