• Tidak ada hasil yang ditemukan

NASKAH PUBLIKASI. Oleh. MUHAMMAD RACHARDI /M.Kn

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "NASKAH PUBLIKASI. Oleh. MUHAMMAD RACHARDI /M.Kn"

Copied!
150
0
0

Teks penuh

(1)

NASKAH PUBLIKASI

Oleh

MUHAMMAD RACHARDI 127011028/M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2015

(2)

NASKAH PUBLIKASI

Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh

MUHAMMAD RACHARDI 127011028/M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2015

(3)

ISLAM

Nama Mahasiswa : MUHAMMAD RACHARDI Nomor Pokok : 127011028

Program Studi : Kenotariatan

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN)

Pembimbing Pembimbing

(

Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, MHum

)

(Dr. Utary Maharany Barus, SH, MHum)

Ketua Program Studi,

(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN)

Tanggal lulus : 04 Juni 2015

(4)

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN Anggota : 1. Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, MHum

2. Dr. Utary Maharany Barus, SH, MHum 3. Dr. Mahmul Siregar, SH, MHum

4. Notaris Dr. Syahril Sofyan, SH, MKn

(5)

Nim : 127011028

Program Studi : Magister Kenotariatan FH USU

Judul Tesis : AKIBAT HUKUM PERKAWINAN YANG TIDAK

DICATATKAN KETIKA SALAH SATU PIHAK MENINGGAL DUNIA MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM

Dengan ini menyatakan bahwa Tesis yang saya buat adalah asli karya saya sendiri bukan Plagiat, apabila dikemudian hari diketahui Tesis saya tersebut Plagiat karena kesalahan saya sendiri, maka saya bersedia diberi sanksi apapun oleh Program Studi Magister Kenotariatan FH USU dan saya tidak akan menuntut pihak manapun atas perbuatan saya tersebut.

Demikianlah surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya dan dalam keadaan sehat.

Medan,

Yang membuat Pernyataan

Nama : MUHAMMAD RACHARDI

Nim : 127011028

(6)

i

secara hukum di Pengadilan Agama. Dalam Hukum Islam perkawinan yang tidak sesuai dengan syarat dan rukunnya, maka perkawinan itu sendiri tidak sah dan dapat berakibat pada batalnya status akad nikah. Pada perkawinan yang tidak dicatatkan bagi pasangan suami-isteri perkawinan yang tidak bisa diperkarakan persoalan rumah tangga pasangan suami-isteri karena perkawinan yang tidak dicatatkan tidak memiliki kekuatan hukum kecuali adanya itsbat nikah yaitu penetapan kembali perkawinan.

Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif yang bersifat deskriptif analisis, pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan data sekunder berupa bahan hukum primer, sekunder, dan tertier sebagai data utama. Data-data yang diperoleh kemudian diolah, dianalisis dan ditafsirkan secara logis, sistematis dengan menggunakan metode berfikir deduktif.

Dari hasil penelitian diketahui bahwa akibat hukum perkawinan yang tidak dicatatkan menuruy Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum islam adalah perkawinan tersebut tidak sah hal ini dapat dilihat di dalam ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinanyang mengamanatkan bahwa setiap perkawinan dicatat menurut perundang-undangan yang berlaku, di dalam Kompilasi Hukum Islam yang berlaku bagi yang beragama Islam juga menyebutkan dalam Pasal 5 ayat (1) yang memuat ketentuan bahwa setiap perkawinan harus dicatatkan kemudian dalam Pasal 6 ayat (2) disebutkan bahwa perkawinan yang dilakukan di luar penawasan Pegawai Pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan hukum. Perlindungan hukum terhadap anak yang dilahirkan dari perkawinan yang tidak dicatatkan ketika salah satu pihak meninggal dunia adalah berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, hanya mempunyai hubungan keperdataan dengan ibunya dan keluarga ibunya yang sesuai dengan ketentuan Pasal 42 dan Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang terdahulu, yang kemudian diubah berdasarkan PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI Nomor : 46/PUU-VIII/2010, Pasal 43 ayat (1) yang menyatakan bahwa:

Anak yang dilahirkan di luar Perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan kelurga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya”, dalam pasal tersebut memiliki arti sepanjang dapat dibuktikan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi, anak tersebut mempunyai hubungan perdata dengan ayahnya dan keluarga ayahnya, sehingga hak anak terpenuhi: hak pemeliharaan, hak pendidikan, dan hak mewarisi. Sedangkan, Kompilasi Hukum Islam Pasal 100 yang menyatakan bahwa: Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya”, maka terhadap anak tersebut menjadi tanggung jawab ibunya dan keluarga ibunya.

Pertimbangan terhadap penetapan Hakim Pengadilan Agama Nomor : 111/Pdt/2014/PA. Medan adalah Pasal 7 ayat (2) dan ayat (3) menyatakan bahwa ke Pengadilan Agama, terbatas mengenai hal-hal yang berkenaan dengan adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dalam Pasal 14 Kompilasi Hukum Islam menyatakan bahwa: untuk melaksanakan perkawinan harus ada: calon mempelai suami-isteri, wali nikah, dua orang saksi dan ijab-qabul. Berdasarkan pertimbangan hukum tersebut, hakim sudah tepat menetapkan hukum in concreto

Kata Kunci : Perkawinan, Tidak Dicatatkan, Pasangan Meninggal Dunia

(7)

ii

the Islamic law, a marriage which does not meet its requirements and fundamental principles is considered invalid and can cause its cancellation. An unregistered marriage cannot be brought to a court since it does not have any legal force except there is marriage ratification.

The research used judicial normative and descriptive analytic methods. The data were gathered by using secondary data which consisted of primary, secondary, and tertiary legal materials as the main data. The gathered data were processed, analyzed, and interpreted logically, systematically, and deductively.

The result of the research showed that the legal consequence of unregistered marriage, according to Article 2, paragraph 1 and paragraph 2 of Law No. 1/1974 on Marriage and to the Compilation of the Islamic Law, was that it was invalid. This Law states that every marriage must be registered. Article 5, paragraph 1 of the Compilation of the Islamic Law states that every marriage must be registered; its Article 6, paragraph 2 also states that a marriage without the knowledge of Marriage Registrar Office does not have any legal force. According to Law No 1/1974, legal protection for a child from parents whose marriage is not registered, according to Law No. 1/1974 on Marriage, is that when one of the parents dies, the child only has relation, in civil law, to his mother and his mother’s relatives. Article 42 and Article 43, paragraph 1 of Law No 1/1974 on Marriage which was amended, based on the Ruling of the Constitutional Court No.

46/PUU-VIII/2010, Article 43, paragraph 1 states that a child who is born from an illegitimate marriage has the relation, in civil law, to his mother and his mother’s relatives and to his father in condition that it can be proved by scientific knowledge and technology and/or other evidence in consanguinity, including in the civil law, to his father’s relatives. This Article indicates that the child then has the right to be raised, to get education, and to get inheritance. Meanwhile, Article 100 of the Compilation of the Islamic Law states that a child who is born from an illegitimate marriage only has nasab (family tie) with the mother and her relatives; therefore the child becomes the responsibility of his mother and his mother’s relatives. The verdict in the Religious Court No. 111/Pdt/20143/PA, Medan, Article 7, paragraph 3 states that the Religious Court only handles the case concerning the marriage which occurs before Law No. 1/1974 on Marriage is in effective. The verdict in Article 14 of the Compilation of the Islamic Law states that the requirements for a marriage are as follows: there are a bide and a groom, a wali nikah (male next of kin and guardian whose consent is required for the marriage of a girl or a woman; he represents her, in person or in writing before the ‘penghulu’), two witnesses, and ijab-qabul (signing a marriage contract). Based on these two verdicts, it could be concluded that the judge has the right to promulgate law in concreto.

Keywords: Marriage, Unregistered, One of the Couple Dies

(8)

iii

persyaratan untuk memperoleh gelar Magister Kenotariatan di Universitas Sumatera Utara Medan. Dalam memenuhi tugas inilah maka penulis menyusun dan memilih judul : “Akibat Hukum Perkawinan Yang Tidak Dicatatkan Ketika Salah Salah Satu Pihak Meninggal Dunia Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam. Penulis menyadari bahwa masih banyak terdapat kekurangan di dalam penulisan tesis ini, untuk itu dengan hati terbuka menerima saeran dan kritik dari semua pihak, agar dapat menjadi pedoman di masa yang akan datang.

Dalam penulisan dan penyusunan tesis ini, penulis mendapat bantuan bimbingan dan pengarahan serta saran-saran dari berbagai pihak, para pimpinan, bapad dan ibu dosen pengajar berserta staf administrasi dan umum pula pda almamater penulis, yang merupakan panutan dan pembuka wawasan bagi penulis selama awal mas perkuliahan sampai selesainya tesis ini. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi- tingginya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), Sp.A(K)., Selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, MHum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan Anggota Komisi Pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan dan arahan-arahan, yang sangat membantu dalam penulisan tesis ini.

3. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH., MS., CN., selaku Ketua Program

Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan

selaku Anggora Komisi Pembimbing yang telah banyak membimbing serta

memberikan arahan-arahan yang sangat membantu dalam penulisan tesis ini.

(9)

iv

5. Ibu Dr. Utary Maharany Barus, SH, MHum., selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah banyak membimbing serta memberikan arahan-arahan yang sangat membantu dalam penulisan tesis ini.

6. Bapak Notaris Dr. Syahril Sofyan, SH, MKn., selaku Dosen Penguji penulis yang telah banyak memberikan kritikan, saran serta masukan dalam penulisan tesis ini.

7. Bapak Mahmul Siregar, SH, MHum., selaku Dosen Penguji penulis yang telah banyak memberikan kritikan, saran serta masukan dalam penulisan tesis ini.

Secara khusus penelitain ini menghaturkan terima kasih yang tak terhingga kepada ayahanda Hery Jusharyadi, SH dan Ibunda Supeni yang telah melahirkan, membesarkan dan mendidik ananda dengan penuh kasih sayang mulai penulis kecil sampai dewasa ini, serta segala dorongan dan semangat yang tiada henti yang telah diberikan kepada penulis selama ini, dan tak lupa jua penulis sampaikan kepada adik- adik (Rizka Yustiaridinia, SH dan Reischa Nabiela) terima kasih buat semangat dan doanya kepada penulis (abang) selama ini.

Tak lupa juga penulis menyampaikan terima kasih kepada para saudara

(Uwak Edy, Wak Ucok, Mak Eli, Wak Joni, Wak Cucun, Wak Titin, Om Deni dan

Tante Heni yang telah memberikan bantuan moril, hingga selesainya tesis ini. Serta

ucapan terima kasih juga saya ucapkan kepada kawan-kawan penulis, Teguh, Rocky,

Bayu, Andy Hakim, Tika, Ujad, Andy, Fauzy, Aya, Edim, Chandra, Bang Gamal,

Bang David, Halimah, Desicha, Iin, Lia, Icha, Ichsan Parinduri, Kak Yuheni, Kak

Fina dan kawan-kawan yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu juga kepada

rekan-rekan seperjuangan, khususnya kepada rekan-rekan Magister Kenotariatan

USU, juga atas kerjasama dan diskusi selama perkuliahan, yang telah banyak

membantu serta memberikan kritik dan saran dari awal masuk di Program Studi

(10)

v

agar selalu dilimpahkan kebaikan, kesehatan, kesejahteraan dan rejeki yang melimpah. Akhirnya, semoga tesis ini dapat berguna bagi diri penulis dan juga bagi semua pihak khususnya yang berkaitan dengan bidang kenotariatan.

Medan, Juni 2015

(Muhammad Rachardi)

(11)

vi

Tempat/Tanggal lahir : Medan/29 September 1988 Jenis Kelamin : Laki-laki

Warga Negara : Indonesia

Status : Belum Menikah

Agama : Islam

II. DATA KELUARGA

Ayah : Hery Jusharyadi, SH

Ibu : Supeni

III. DATA PENDIDIKAN

1. SD Negeri 060925 (Lulus Tahun 2000)

2. SLTP Swasta Kesatria Medan (Lulus Tahun 2003)

3. SMA Swasta Kesatria Medan (Lulus Tahun 2006)

4. S-1 Fakultas Hukum UMSU Medan (Lulus Tahun 2010)

5. S-2 Program Studi Magister Kenotariatan FH USU (Lulus Tahun 2015)

(12)

vii

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR ISTILAH ... x

DAFTAR SINGKATAN ... xii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 21

C. Tujuan Penelitian ... 21

D. Manfaat Penelitian ... 22

E. Keaslian Penelitian ... 22

F. Kerangka Teori dan Konsepsi ... 24

1. Kerangka Teori ... 24

2. Kerangka Konsepsi ... 32

G. Metode Penelitian ... 34

1. Jenis dan Sifat Penelitian ... 34

2. Sumber Data ... 36

3. Teknik Pengumpulan Data ... 37

4. Analisis Data ... 37

BAB II AKIBAT HUKUM PERKAWINAN YANG TIDAK DICATATKAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM ... 39

A. Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.... 39

(13)

viii

3. Pencatatan Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan... 49 4. Akibat Hukum Perkawinan yang Tidak Dicatatkan Menurut

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan 60 B. Perkawinan Menurut Kompilasi Hukum Islam ... 65 1. Pengertian Perkawinan Menurut Kompilasi Hukum Islam . 65 2. Syarat Syah Perkawinan Menurut Kompilasi Hukum Islam 67 3. Pencatatan Perkawinan Menurut Kompilasi Hukum Islam . 74 4. Akibat Hukum Perkawinan yang Tidak Dicatatkan

Menurut KHI (Kompilasi Hukum Islam) ... 80 BAB III PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK YANG

DILAHIRKAN DARI PERKAWINAN YANG TIDAK DICATATKAN KETIKA SALAH SATU PIHAK

MENINGGAL DUNIA ... 86 A. Status Anak yang Dilahirkan dari Perkawinan yang Tidak

Dicatatkan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam ... 86 1. Status Anak yang Dilahirkan dari Perkawinan yang

Tidak dicatatkan Menurut Undang-Undang Nomor 1

Tahun 1974 tentang Perkawinan ... 86 2. Status Anak yang Dilahirkan dari Perkawinan yang

Tidak dicatatkan Menurut Kompilasi Hukum Islam... 92 B. Bentuk Perlindungan Hukum Terhadap Anak yang Lahir

dari Perkawinan yang Tidak Dicatatkan ... 95

BAB IV KEDUDUKAN HARTA BENDA SUAMI APABILA

MENINGGAL DUNIA PADA PERKAWINAN YANG TIDAK DICATATKAN... 103 A. Kedudukan Harta Benda Perkawinan Menurut Undang-undang

Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi

Hukum Islam... 103

(14)

ix

3. Amar Putusan ... 117

4. Analisis Putusan Hakim ... 119

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 122

A. Kesimpulan ... 122

B. Saran ... 124

DAFTAR PUSTAKA ... 127

(15)

x

Akad : Perjanjian

Bukti P.1 : Bukti domisili Bukti P.2 : Bukti kartu keluarga Bukti P.3 : Bukti meninggal

Bukti P.4 : Bukti pensiun pegawai negeri sipil

Civil law : Hukum perdata

Common law : Hukum adat

Iqrar : Pengakuan

Islamic law : Hukum Islam

Itsbat nikah : Penetapan Kembali Perkawinan

Juncto : Dihubungkan/dikaitkan

Law in the books : Peraturan perundang-undangan

Lafaz : Kata-kata

Legal order : Ketertiban hukum Lex naturalis : Undang-undang abadi Library research : Penelitian dokumen/pustaka

Li’an : Sumpah pemutus/ sumpah seorang suami untuk

meneguhkan tuduhannya bahwa istrinya telah berzina dengan laki-laki lain

Mazhab : Aliran/pandangan

Madzi : Lampau

Mawaddah : Sebuah keluarga yang telah mencapai ketentraman Model N10 : Penolakan pernikahan

Mustaqbal : Yang akan datang

Mitsqan qhalidhan : Akad yang sangat kuat

(16)

xi

tidaknya suatu pekerjaan (ibadah)

Sakinah : Sebuah pernikahan sudah mendapatkan ketenangan Syarat : Sesuatu yang mesti ada yang menntukan sah dan

tidaknya suatu pekerjaan (ibadah), tetapi Sesuatu itu tidak termasuk dalam rangkaian pekerjaan itu.

Syari’at : Agama

Statude apporoach : Pendekatan perundang-undangan

Staatsblad : Lembaran Negara, peraturan dan ketentuan pada masa kolonial Belanda

Watha : Bersetubuh

Warahma : Pasangan suami istri akan diberikan rahmad dari Allah SWT, karunia, kasih sayang yang lebih

Wali adhal : Wali hakim baru Wittege en onwittegen : Anak tidak sah

Ziwaj : Kesepakatan antara seorang pria dengan seorang wanita

yang mengikatkan diri dalam hubungan suami-istri

untuk mencapai tujuan hidup dalam melaksanakan

ibadah kepada Allah SWT

(17)

xii

KDRT : Kekerasan Dalam Rumah Tangga KCS : Kantor Catatan Sipil

KHA : Konvensi Hak Anak

KHI : Kompilasi Hukum Islam

KUA : Kantor Urusan Agama

KUHPerdata : Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ICPR : International on Civil and Political Right

Mdn. : Medan

MK : Mahkamah Konsitusi

Nim : Nomor Induk Mahasiswa

No. : Nomor

PPN : Pegawai Pencatat NikaH

P3N : Pembantu Pegawai Pencatat Nikah

PA : Pengadilan Agama

Pdt : Perdata

PP : Peraturan Pemerintah

PPN : Pegawai Pencatat Nikah

R.I : Republik Indonesia

UU : Undang-undang

UDHR : Universal Declaration of Human Right

Jo : Juncto

Stbl. : Staatsblad

SWT : Subhanahu wata’ala

(18)

i

secara hukum di Pengadilan Agama. Dalam Hukum Islam perkawinan yang tidak sesuai dengan syarat dan rukunnya, maka perkawinan itu sendiri tidak sah dan dapat berakibat pada batalnya status akad nikah. Pada perkawinan yang tidak dicatatkan bagi pasangan suami-isteri perkawinan yang tidak bisa diperkarakan persoalan rumah tangga pasangan suami-isteri karena perkawinan yang tidak dicatatkan tidak memiliki kekuatan hukum kecuali adanya itsbat nikah yaitu penetapan kembali perkawinan.

Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif yang bersifat deskriptif analisis, pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan data sekunder berupa bahan hukum primer, sekunder, dan tertier sebagai data utama. Data-data yang diperoleh kemudian diolah, dianalisis dan ditafsirkan secara logis, sistematis dengan menggunakan metode berfikir deduktif.

Dari hasil penelitian diketahui bahwa akibat hukum perkawinan yang tidak dicatatkan menuruy Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum islam adalah perkawinan tersebut tidak sah hal ini dapat dilihat di dalam ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinanyang mengamanatkan bahwa setiap perkawinan dicatat menurut perundang-undangan yang berlaku, di dalam Kompilasi Hukum Islam yang berlaku bagi yang beragama Islam juga menyebutkan dalam Pasal 5 ayat (1) yang memuat ketentuan bahwa setiap perkawinan harus dicatatkan kemudian dalam Pasal 6 ayat (2) disebutkan bahwa perkawinan yang dilakukan di luar penawasan Pegawai Pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan hukum. Perlindungan hukum terhadap anak yang dilahirkan dari perkawinan yang tidak dicatatkan ketika salah satu pihak meninggal dunia adalah berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, hanya mempunyai hubungan keperdataan dengan ibunya dan keluarga ibunya yang sesuai dengan ketentuan Pasal 42 dan Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang terdahulu, yang kemudian diubah berdasarkan PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI Nomor : 46/PUU-VIII/2010, Pasal 43 ayat (1) yang menyatakan bahwa:

Anak yang dilahirkan di luar Perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan kelurga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya”, dalam pasal tersebut memiliki arti sepanjang dapat dibuktikan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi, anak tersebut mempunyai hubungan perdata dengan ayahnya dan keluarga ayahnya, sehingga hak anak terpenuhi: hak pemeliharaan, hak pendidikan, dan hak mewarisi. Sedangkan, Kompilasi Hukum Islam Pasal 100 yang menyatakan bahwa: Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya”, maka terhadap anak tersebut menjadi tanggung jawab ibunya dan keluarga ibunya.

Pertimbangan terhadap penetapan Hakim Pengadilan Agama Nomor : 111/Pdt/2014/PA. Medan adalah Pasal 7 ayat (2) dan ayat (3) menyatakan bahwa ke Pengadilan Agama, terbatas mengenai hal-hal yang berkenaan dengan adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dalam Pasal 14 Kompilasi Hukum Islam menyatakan bahwa: untuk melaksanakan perkawinan harus ada: calon mempelai suami-isteri, wali nikah, dua orang saksi dan ijab-qabul. Berdasarkan pertimbangan hukum tersebut, hakim sudah tepat menetapkan hukum in concreto

Kata Kunci : Perkawinan, Tidak Dicatatkan, Pasangan Meninggal Dunia

(19)

ii

the Islamic law, a marriage which does not meet its requirements and fundamental principles is considered invalid and can cause its cancellation. An unregistered marriage cannot be brought to a court since it does not have any legal force except there is marriage ratification.

The research used judicial normative and descriptive analytic methods. The data were gathered by using secondary data which consisted of primary, secondary, and tertiary legal materials as the main data. The gathered data were processed, analyzed, and interpreted logically, systematically, and deductively.

The result of the research showed that the legal consequence of unregistered marriage, according to Article 2, paragraph 1 and paragraph 2 of Law No. 1/1974 on Marriage and to the Compilation of the Islamic Law, was that it was invalid. This Law states that every marriage must be registered. Article 5, paragraph 1 of the Compilation of the Islamic Law states that every marriage must be registered; its Article 6, paragraph 2 also states that a marriage without the knowledge of Marriage Registrar Office does not have any legal force. According to Law No 1/1974, legal protection for a child from parents whose marriage is not registered, according to Law No. 1/1974 on Marriage, is that when one of the parents dies, the child only has relation, in civil law, to his mother and his mother’s relatives. Article 42 and Article 43, paragraph 1 of Law No 1/1974 on Marriage which was amended, based on the Ruling of the Constitutional Court No.

46/PUU-VIII/2010, Article 43, paragraph 1 states that a child who is born from an illegitimate marriage has the relation, in civil law, to his mother and his mother’s relatives and to his father in condition that it can be proved by scientific knowledge and technology and/or other evidence in consanguinity, including in the civil law, to his father’s relatives. This Article indicates that the child then has the right to be raised, to get education, and to get inheritance. Meanwhile, Article 100 of the Compilation of the Islamic Law states that a child who is born from an illegitimate marriage only has nasab (family tie) with the mother and her relatives; therefore the child becomes the responsibility of his mother and his mother’s relatives. The verdict in the Religious Court No. 111/Pdt/20143/PA, Medan, Article 7, paragraph 3 states that the Religious Court only handles the case concerning the marriage which occurs before Law No. 1/1974 on Marriage is in effective. The verdict in Article 14 of the Compilation of the Islamic Law states that the requirements for a marriage are as follows: there are a bide and a groom, a wali nikah (male next of kin and guardian whose consent is required for the marriage of a girl or a woman; he represents her, in person or in writing before the ‘penghulu’), two witnesses, and ijab-qabul (signing a marriage contract). Based on these two verdicts, it could be concluded that the judge has the right to promulgate law in concreto.

Keywords: Marriage, Unregistered, One of the Couple Dies

(20)

1 A. Latar Belakang

Menikah merupakan salah satu fase kehidupan yang lazim dilakukan oleh setiap manusia dewasa (akil baligh), siap lahir batin, serta memiliki rasa tanggung jawab dalam membangun rumah tangga. Setiap orang yang telah memenuhi persyaratan tersebut dianjurkan agar menginjakkan kakinya ke jenjang pernikahan.

Jenjang inilah yang menandai sebuah fase kehidupan yang sangat penting bagi kelangsungan hidup seseorang pada masa mendatang. Dibandingkan dengan hidup sendirian, kehidupan berkeluarga memiliki banyak tantangan dan sekaligus mengandung sejumlah harapan positif. Tidak dimungkiri dalam pernikahan terdapat banyak manfaatnya jika kita dapat mengelolanya dengan baik.

1

Dalam suatu rumah tangga berkumpul dua insan yang berlainan jenis (suami isteri), mereka saling berhubungan agar mendapatkan keturunan sebagai penerus generasi. Insan-insan yang berada dalam rumah tangga itulah yang disebut

“keluarga”, keluarga merupakan unit terkecil dari suatu bangsa, keluarga yang dicita- citakan dalam ikatan perkawinan yang sah adalah keluarga sejahtera dan bahagia selalu mendapat ridho dari Allah SWT.

2

1 Happy Santoso, Nikah siri apa untungnya, (Jakarta: Visimedia, 2007), hal. 1

2 Abdul Manan, Aneka Masalah hukum Perdata Islam Di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), hal. 1

(21)

Menikah bukan merupakan suatu beban penghalang kehidupan manusia, tetapi justru berfungsi membangun kehormatan pergaulan hidup laki-laki dan perempuan. Pergaulan yang dimaksud adalah pergaulan dalam rumah tangga yang dibina oleh pasangan suami-isteri itu sendiri agar bisa menuju suasana yang damai, tenteram, dan penuh rasa kasih sayang, yang tentunya menjadi keinginan semua orang. Oleh sebab itu, alasan pernikahan bernilai sangat penting dalam kehidupan manusia. Sebaliknya jika pernikahan tersebut tidak dikelola dengan baik, yang terjadi justru dianggap sebagai suatu derita yang menambah penderitaan hidup manusia.

Untuk itu, pengelolaan terhadap pernikahan tidak bisa berjalan apa adanya, akan tetapi juga diperlukan keseriusan dan kesungguhan dari pasangan suami-isteri itu sendiri.

Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang terdapat dalam Pasal 1 mendefenisikan tentang pengertian perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dengan kata lain pernikahan dapat pula diartikan sebagai bentuk suatu ikatan perjanjian antara pasangan suami-isteri yang harus bekerja sama dan bertanggung jawab terhadap segala urusan rumah tangganya agar bisa terbangun sebuah keluarga yang kekal, bahagia dan sejahtera dengan bertujuan untuk mendapatkan keturunan yang sah meneruskan generasi-generasi keluarga mereka.

3

3Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982), hal. 11

(22)

Dalam perkawinan pencantuman berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa adalah karena Negara Indonesia berdasarkan kepada Pancasila yang sila pertamanya adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Sampai disini tegas dinyatakan bahwa perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali dengan agama, kerohanian sehingga perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahir/jasmani tetapi juga memiliki unsur batin/rohani.

4

Dapat dikatakan bahwa dalam sebuah perkawinan memiliki dua aspek yaitu :

1. Aspek formil (hukum), hal ini dinyatakan dalam kalimat ‘ikatan lahir batin’

artinya bahwa perkawinan di samping mempunyai nilai ikatan secara lahir tampak, juga mempunyai ikatan batin yang dapat dirasakan terutama oleh yang bersangkutan dan ikatan batin ini merupakan inti dari perkawinan itu.

2. Aspek Sosial Keagamaan, dengan disebutkannya ‘membentuk keluarga’

berdasarkan ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’, artinya perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali dengan kerohanian, sehingga bukan saja unsur jasmani tapi unsur batin berperan penting.

5

Di samping itu, defenisi perkawinan tersebut di atas ditelaah, maka terdapatlah 5 unsur perkawinan di dalamnya yaitu:

1. Ikatan lahir batin.

2. Antara seorang pria dengan seorang wanita.

4 Aminur Nurddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia : Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No 1/1974 sampai KHI, (Jakarta: Kencana, 2004), hal. 43

5Titik Triwulan Tutik, Penghantar Hukum Perdata di Indonesia, (Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher, 2006), hal. 110

(23)

3. Sebagai suami isteri.

4. Membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal, dan 5. Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

6

Berdasarkan unsur-unsur perkawinan yang terdapat di dalam defenisi perkawinan menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, maka unsur-unsur tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:

a. Ikatan lahir batin

Maka dari unsur ikatan lahir dan batin bahwa dalam suatu perkawinan tidak hanya cukup dengan ikatan lahir saja atau ikatan batin saja, akan tetapi kedua-duanya secara sinergis dan terpadu erat. Ikatan lahir merupakan ikatan yang dapat dilihat dan mengungkapkan hubungan hukum antara seorang pria dan seorang wanita untuk hidup bersama sebagai suami-isteri (hubungan formal), sedangkan ikatan batin merupakan hubungan non formal, suatu ikatan yang tidak tampak, tidak nyata, yang hanya dapat dirasakan oleh pihak-pihak yang mengikatkan dirinya, ikatan batin ini merupakan ikatan dasar ikatan lahir, sehingga dijadikan fondasi dalam membentuk dan membina keluarga yang kekal dan bahagia.

b. Antara seorang pria dengan seorang wanita

Ikatan perkawinan hanya boleh terjadi antara seorang pria dengan seorang wanita. Dengan demikian Undang-undang ini tidak melegalkan hubungan perkawinan antara pria dengan pria, wanita dengan wanita, atau antara waria dengan waria. Selain itu juga bahwa unsur ini mengandung asas perkawinan monogami.

6 Ibid, hal. 110

(24)

c. Sebagai suami isteri

Persekutuan antara seorang pria dengan seorang wanita dipandang sebagai suami isteri, apabila ikatan mereka didasarkan pada suatu perkawinan yang sah. Suatu perkawinan dianggap sah, bila memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh Undang- undang, baik syarat-syarat intern maupun ekstern. Syarat intern adalah syarat yang menyangkut pihak-pihak yang melakukan perkawinan, yaitu kesepakatan mereka, kecakapan dan juga adanya izin dari pihak lain yang harus diberikan untuk melangsungkan perkawinan. Sedangkan syarat ekstern adalah syarat yang menyangkut formalita-formalita kelangsungan perkawinan.

d. Membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal

Dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat, sangat penting artinya kesejahteraan dan kebahagian keluarga, karena tidak lain, masyarakat yang berbahagia akan terdiri dari keluarga-keluarga yang berbahagia pula, membentuk keluarga yang bahagia yang erat hubungannya dengan keturunan yang merupakan pula tujuan perkawinan.

e. Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa

Berdasarkan Pancasila terutama sila pertama yakni Ketuhanan Yang Maha Esa, maka perkawinan mempunyai hubungan erat dengan agama, sehingga perkawinan mempunyai unsur lahir, akan tetapi unsur batin/rohani juga mempunyai peranan penting.

Namun jika dilihat dari segi agama perkawinan itu memiliki, dua cara

pengertiannya yaitu:

(25)

1) Pengertian secara bahasa

Al-nikah yutlaq Kata Al-nikah secara umum digunakan dalam makna persetubuhan, namun juga bermakna akad tanpa persetubuhan.

2) Pengertian secara istilah

Secara umum ‘Fuqaha’ memberikan definisi perkawinan sebagai berikut:

“Sebuah akad yang menghalalkan bagi kedua belah pihak untuk bersenang- senang sesuai dengan syariat”.

7

Perkawinan dalam Islam ialah suatu akad atau perjanjian mengikat antara seorang laki-laki dan perempuan untuk menghalalkan hubungan kelamin antara kedua belah pihak dengan suka rela dan kerelaan kedua belah pihak merupakan suatu kebahagiaan hidup berkeluarga yang diliputi rasa kasih sayang dan ketentraman (sakinah) dengan cara-cara yang di ridhoi Allah SWT.

8

Di dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 2 menyatakan bahwa perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan atau akad yang sangat kuat (mitsaqan galidzan) untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.

9

Kata perkawinan itu sendiri merupakan kata yang berbentuk perintah (‘amr).

Perintah kawin/nikah itu sendiri diisyaratkan dalam firman Allah: “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin)

7 Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia, (Bandung : Mandar Maju, 1990), hal 76

8 Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan, (Yogyakarta : Liberti, 1982), Hal. 30

9Amiur Nurddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia : Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No. 1/1974 sampai KHI, (Jakarta: Kencana, 2004), hal. 43

(26)

dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hambamu yang perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas lagi Maha Mengetahui” (An-Nur: 32).

Jadi dapat dikatakan Perkawinan merupakan salah satu perintah agama kepada pasangan suami-isteri yang mampu untuk segera melaksanakannya, jalan yang dipilih oleh Allah SWT agar pasangan suami-isteri dapat bekerja sama, tanggung jawab, serta melestarikan keturunan (anak - cucu) dan bertujuan agar bisa terbangun sebuah keluarga yang sakinah, mawaddah, dan warahma. Karena perkawinan dapat mengurangi kemaksiatan, baik dalam bentuk penglihatan maupun dalam bentuk perzinahan.

10

Oleh karena itu, faedah yang terbesar dalam perkawinan ialah untuk menjaga dan memelihara perempuan yang bersifat lemah itu dari kebinasaan. Sebab seorang perempuan, apabila sudah kawin, maka nafkahnya (belanjanya) menjadi wajib atas tanggungan suaminya. Perkawinan juga berguna untuk memelihara kerukunan anak – cucunya, sebab kalau tidak dengan nikah, tentulah anak tidak berketentuan siapa yang akan mengurusnya dan siapa yang bertanggung jawab atasnya. Nikah juga dipandang kemaslahatan umum, sebab kalau tidak ada perkawinan, tentu manusia akan menurutkan sifat kebinatangannya, dengan sifat itu akan timbul perselisihan, bencana, dan permusuhan antara semuanya, yang mungkin juga sampai menimbulkan pembunuhan yang maha dahsyat. Dengan demikianlah maksud perkawinan yang

10Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hal. 7

(27)

sejati dalam Islam, singkatnya untuk kemaslahatan dalam rumah tangga dan turunan, juga untuk kemaslahatan masyarakat.

11

Menurut Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan menurut Pasal 2 menyatakan bahwa “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Lebih lanjut, penjelasaan Undang -Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan ini mengemukakan bahwa tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, sesuai Undang-Undang Dasar 1945. Dengan demikian juga dikemukakan bahwa yang dimaksud dengan hukum agamanya dan kepercayaannya itu termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi golongan agamanya dan kepercayaanya itu sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam Undang-undang ini.

Dari penjelasan ini dapat dipahami bahwa hukum agama dan kepercayaan tentang perkawinan sudah pasti sesuai dan tidak bertentangan dengan hukum nasional (Undang-undang), artinya baik hukum agama dan kepercayaan maupun hukum nasional itu harus saling berkesesuaian.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 2 ayat 1 menyebutkan “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing- masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Ayat tersebut bisa sebagai dasar tolak ukur untuk menilai sah atau tidaknya pernikahan yang tidak dicatatkan dalam Islam, secara hukum, baik hukum (syariat agama) itu sendiri maupun hukum positif.

11Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam, (Bandung: Sinar Baru, 1992), hal. 349

(28)

Perkawinan yang sah adalah Perkawinan yang dicatatkan, Undang- Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan menurut Pasal 2 ayat 2 menyatakan bahwa

“Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”.

12

Pencatatan perkawinan memang tidak termasuk dalam rukun dan syarat sahnya akad nikah, tetapi dimaksudkan sebagai alat bukti tertulis yang menyatakan bahwa perkawinan tersebut terjadi. Terlebih lagi, hasil pencatatan perkawinan itu berfungsi sangat penting sebagai alat bukti tertulis yang sah untuk memperkarakan persoalan rumah tangga secara hukum di Pengadilan Agama. Disamping itu, juga untuk urusan-urusan administratif suami-isteri dan anak-anaknya.

Perkawinan selain merupakan masalah keagamaan juga merupakan suatu perbuatan hukum, sebab dalam hal melangsungkan perkawinan, kita harus tunduk pada peraturan-peraturan tentang perkawinan yang diterapkan oleh Negara.

Terdapat berbagai variasi dari pelaksanaan perkawinan di Indonesia di antaranya perkawinan yang tidak dicatatkan dikenal dengan berbagai istilah seperti

‘kawin dibawah tangan’, ‘nikah siri’, nikah secara agama, yakni perkawinan yang dilakukan berdasarkan agama atau adat istiadat dan tidak dicatatkan di kantor pegawai pencatat nikah, nikah tasmaya, yakni perkawinan yang dipublikasikan di media massa dan tidak dicatatkan di kantor pegawai pencatat nikah KUA (Kantor Urusan Agama bagi yang beragama Islam), KCS (Kantor Catatan Sipil bagi yang beragama non-Islam).

12Pasal 2 ayat 2 Undang- Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan

(29)

Dalam hukum Islam perkawinan yang tidak sesuai dengan syarat dan rukunnya, maka perkawinan itu sendiri tidak sah dan dapat berakibat pada batalnya status akad nikahnya. Berdasarkan ketentuan ini, perkawinan yang tidak dicatatkan tidak sesuai dengan syarat dan rukun perkawinan, maka juga dianggap tidak sah.

Syarat dan rukun yang harus ada dalam perkawinan adalah mencakup adanya wali, saksi, ijab-qabul, dan juga harus diumumkan kepada khalayak umum.

Berdasarkan penjelasan umum Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, pencatatan kelahiran, pencatatan kematian, demikian pula pencatatan perkawinan dipandang sebagai suatu peristiwa penting, bukan suatu peristiwa hukum.

13

Akta nikah/ Buku Nikah dan pencatatan perkawinan bukan merupakan satu- satunya alat bukti mengenai adanya perkawinan atau keabsahan perkawinan, karena akta nikah dan pencatatan perkawinan adalah sebagai alat bukti tetapi bukan alat bukti yang menentukan. Karena yang menentukan keabsahannya suatu perkawinan adalah menurut agama.

14

Dapat dikatakan sebagai bentuk perikatan dalam sebuah perkawinan menunjukkan adanya kerelaan dua pihak yang berakad, dan akibatnya adalah kewajiban dan hak yang mereka tentukan. Oleh karena suatu perikatan perkawinan yang sah apabila dilakukan menurut ajaran agama masing-masing, yang mana dalam

13Bagir Manan, Keabsahan dan Syarat-syarat Perkawinan antar Orang Islam Menurut UU No. 1 Tahun 1974, makalah disampaikan dalam Seminar Nasional dengan tema Hukum Keluarga dalam Sistem Hukum Nasional antara Realitas dan Kepastian Hukum, yang diselengarakan Mahkamah Agung Republik Indonesia, di Hotel Redtop, pada hari Sabtu tanggal 1 Agustus 2009, hal. 4

14Ibid, hal. 6

(30)

Islam sahnya suatu perkawinan apabila telah terpenuhinya syarat dan rukunnya.

15

Syarat dan rukun yang harus ada dalam perkawinan adalah mencakup adanya wali, saksi, ijab-qabul, dan juga harus diumumkan kepada khalayak umum. Dalam perkawinan yang tidak dicatatkan tidak jarang wali tidak dihadirkan. Atau wali yang ditunjuk tidak sesuai dengan ketentuan yang diatur agama. Pernikahan yang tidak memenuhi ketentuan hukum agama tentang wali, maka berdasarkan hukum positif perkawinan ini secara otomatis tidak sah. Itu baru pada persoalan wali, belum beranjak pada rukum dan syarat lainnya, seperti persoalan saksi, ijab-qabul, dan sebagainya.

Untuk mengukur perkawinan tidak hanya itu tetapi juga perlu mencermati aspek pencatatan perkawinan yang diwajibkan dalam perundang-undangan hukum positif. Sebagaimana yang telah diketahui bahwa pernikahan yang tidak dicatatkan pencatatan tidak berlaku.

Sistem perkawinan dan aturannya yang berlaku pada suatu masyarakat atau pada suatu Bangsa, tidak terlepas dari pengaruh budaya dan lingkungan, dimana masyarakat itu berada serta pergaulan masyarakat yang dipengaruhi oleh pengetahuan, pengalaman, kepercayaan, dan keragaman yang dianut oleh masyarakat.

Dalam hal ini ada yang menjadi masalah yaitu perkawinan yang tidak dicatatkan. Memang masalah perkawinan yang tidak dicatatkan sulit untuk dipantau oleh pihak yang berwenang, karena mereka menikah tanpa sepengetahuan pihak berwenang tersebut.

15Ibid, hal. 110

(31)

Biasanya perkawinan yang tidak dicatatkan hanya dilakukan oleh seorang ustad atau tokoh masyarakat saja sebagai penghulu atau dilakukan berdasarkan adat- istiadat saja. Perkawinan yang tidak dicatatkan ini kemudian tidak dilaporkan kepada pihak yang berwenang, yaitu KUA (Kantor Urusan Agama bagi yang muslim) atau KCS (Kantor Catatan Sipil bagi yang non muslim) untuk dicatat.

Berkembang pro kontra di masyarakat. Ada yang berpendapat bahwa orang yang melakukan pernikahan yang tidak dicatatkan, maka suami isteri tersebut tidak memiliki hubungan pewarisan. Artinya jika suami meninggal dunia, maka isteri dan anak-anaknya tidak memiliki hak untuk mewarisi harta suaminya. Ketentuan ini juga berlaku jika isteri yang meninggal dunia.

Banyak faktor seseorang tidak mencatatkan pernikahannya di lembaga pencatatan. Faktor belum cukup umur untuk melakukan perkawinan secara Negara, ada pula yang disebabkan karena takut ketahuan melanggar aturan yang melarang PNS (Pegawai Negeri Sipil) nikah lebih dari satu dan lain sebagainya.

Ada juga perkawinan yang dirahasiakan karena pertimbangan-pertimbangan tertentu misalkan karena takut mendapatkan stigma negatif dari masyarakat yang terlanjur menganggap tabu pernikahan yang tidak dicatatkan, atau karena pertimbangan-pertimbangan rumit yang memaksa seseorang untuk merahasiakan pernikahannya. Bagi yang takut diketahui masyarakat perkawinannya tidak dicatatkan dan dirahasiakan.

Perkawinan yang tidak dicatatkan tidak mempunyai akibat hukum yang

dilindungi oleh hukum yang mengatur, dikarenakan perkawinan tersebut dipandang

(32)

bukan perbuatan hukum, para pihak tidak dapat menuntut haknya, bila seandainya ada para pihak dalam hal ini pasangan suami-isteri tidak menunaikan kewajibannya.

Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan bagi orang Indonesia bagi yang beragama Islam diatur dalam Undang- Undang Nomor 32 tahun 1954 tentang Penetapan Berlakunya Undang-Undang Republik Indonesia tanggal 21 November 1946 Nomor 22 Tahun 1946 Tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk. Bagi orang Indonesia Kristen di Jawa, Minahasa dan Ambonia diatur dalam Stbl. 1933 No. 75 jo. Stbl. 1936 No. 607. Bagi golongan Tionghoa diatur dalam dalam Stbl. 1917 No. 130 jo. Stbl. 1919 No. 81. Bagi golongan Eropa diatur dalam Stbl. 1849 No. 25. Sedangkan bagi orang Indonesia Kristen di Sumatera, Kalimantan, sebagian Sulawesi, NTB, NTT, sebagian Maluku dan Irian Jaya pencatatan perkawinan tidak ada peraturannya.

16

Pada perkawinan yang tidak dicatatkan, akan banyak menimbulkan mudharatnya. Untuk mengantisipasinya, perkawinan yang tidak dicatatkan haruslah dicatatkan secara resmi pada lembaga yang berwenang. Bagi sebagian orang yang tidak berfikir secara logis dan akibat yang ditimbulkan karena perkawinan yang tidak dicatatkan menjadi haram, akan tetapi bagi pasangan suami-isteri yang beragama Islam adanya penetapan kembali perkawinan.

Akibat hukum perkawinan yang tidak dicatatkan, walaupun secara agama atau kepercayaan dianggap sah, namun perkawinan yang dilakukan diluar pengetahuan

16Arso Sarsoatmodjo dan A Wasit Aulawi. Hukum Pekawinan di Indonesia. (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), hal 72

(33)

dan pengawasan pegawai pencatatan nikah tidak memiliki kekuatan hukum yang tetap dan dianggap tidak sah dimata hukum Negara. Akibat perkawinan tersebut berdampak sangat merugi bagi isteri dan perempuan umumnya, baik secara hukum maupun sosial, serta bagi anak yang dilahirkan.

Dalam prespektif hukum, hak anak memiliki aspek yang universal terhadap kepentingan anak. Dalam pandangan hukum, hak anak memberikan gambaran bahwa tujuan dasar kehidupan manusia adalah membangun manusia yang memegang teguh ajaran agama. Dengan demikian, hak anak dalam pandangan hukum meliputi aspek hukum dalam lingkungan hidup seseorang.

Perkawinan yang tidak dicatatkan, yang telah memenuhi semua rukun dan syarat yang telah ditetapkan dalam hukum fiqih (hukum Islam), namun tanpa pencatatan resmi di Instansi berwenang sebagaimana diatur oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku. Namun demikian perkawinan seperti ini dipandang tidak memenuhi ketentuan perundang-undangan dan sering kali menimbulkan dampak negatif terhadap isteri dan anak yang dilahirkannya terkait dengan hak-hak mereka seperti nafkah ataupun hak waris. Tuntutan pemenuhan hak- hak tersebut seringkali menimbulkan sengketa. Sebab tuntutan akan sulit dipenuhi karena tidak adanya bukti catatan resmi perkawinan yang sah. Namun untuk menghindari kemudharatan ulama sepakat bahwa pernikahan harus dicatatkan.

Persoalan mengenai perkawinan yang tidak dicatatkan ini masih menimbulkan

pro dan kontra di masyarakat. Sistem hukum di Indonesia tidak mengenal adanya

istilah perkawinan yang tidak dicatatkan serta tidak mengatur secara khusus

(34)

mengenai perkawinan yang tidak dicatatkan dalam sebuah peraturan. Namun, secara umum istilah ini diberikan bagi perkawinan yang tidak dicatatkan kepada Pegawai Pencatat Nikah. Bagaimana status perkawinan yang tidak dicatatkan dimata Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan hukum Islam serta akibat hukumnya terhadap isteri yang dinikahi dan anak yang dilahirkan serta harta kekayaannya di dalam perkawinan yang tidak dicatatkan merupakan masalah yang diteliti dalam tulisan ini.

Anak sebagai hasil dari suatu perkawinan merupakan bagian yang sangat penting kedudukannya dalam suatu keluarga menurut hukum perkawinan. Seorang anak yang sah ialah anak yang dianggap lahir dari perkawinan yang sah antara ayah dan ibunya. Dan sahnya seorang anak dalam Islam adalah menentukan apakah ada atau tidak ada hubungan kebapakan (nasab) dengan seorang laki-laki. Dalam hukum positif di Indonesia membedakan antara keturunan yang sah dan keturunan yang tidak sah. keturunan yang sah didasarkan atas adanya perkawinan yang sah, dalam arti bahwa keturunan yang satu adalah keturunan atau sebagai akibat perkawinan yang sah, anak yang demikian disebut anak sah. Sedangkan keturuan yang tidak sah adalah keturunan yang tidak didasarkan atas suatu perkawinan yang sah, anak yang lahir disebut anak luar kawin.

Perkawinan yang tidak dicatatkan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun

1974 tentang Perkawinan merupakan tidak sah, karena perkawinan jenis ini

merupakan suatu penyimpangan dari ketentuan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974

tentang Perkawinan yakni ketentuan dalam Pasal 2 ayat (2) mengenai pencatatan

(35)

perkawinan, yang menyatakan “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”.

Istilah perkawinan yang tidak dicatatkan atau nikah yang dirahasiakan memang sudah dikenal di kalangan para ulama. Hanya saja perkawinan yang tidak dicatatkan yang dikenal pada masa dahulu berbeda pengertiannya dengan perkawinan yang tidak dicatatkan pada masa ini. Dahulu yang dimaksud dengan perkawinan yang tidak dicatatkan yaitu perkawinan sesuai dengan rukun-rukun perkawinan dengan syaratnya menurut syari’at, hanya saja saksi diminta tidak memberitahukan terjadinya perkawinan tersebut kepada khalayak ramai, kepada masyarakat, dan dengan sendirinya tidak ada walimatul’ussry. Adapun perkawinan yang tidak dicatatkan yang dikenal oleh masyarakat Indonesia sekarang ini adalah perkawinan yang dilakukan oleh wali atau wakil wali dan disaksikan oleh para saksi, tetapi tidak dilakukannya dihadapan Petugas Pencatatan Nikah sebagai aparat resmi pemerintah atau tidak dicatatkan di KUA (Kantor Urusan Agama) bagi yang beragama Islam atau di KCS (Kantor Catatan Sipil) bagi yang tidak beragama Islam.

Pada dasarnya, fungsi pencatatan nikah pada lembaga pencatatan nikah adalah agar seseorang memiliki alat bukti (bayyinah) untuk membuktikan bahwa dirinya benar-benar telah melakukan perkawinan dengan orang lain. Sebab, salah satu bukti yang telah dianggap sahnya suatu perkawinan sebagai bukti syar’iy (bayyinah syar’iyyah) dokumen resmi yang dikeluarkan oleh negara.

Ketika perkawinan dicatatkan pada lembaga pencatatan sipil, tentunya

seseorang telah memiliki sebuah dokumen resmi yang bisa dijadikan sebagai alat

(36)

bukti dihadapan majelis peradilan, ketika ada sengketa yang berkaitan dengan perkawinan, maupun sengketa yang lahir akibat perkawinan, seperti waris, hak asuh anak, perceraian, nafkah, dan lain sebagainya. Hanya saja dokumen resmi yang dikeluarkan oleh Negara, bukanlah satu-satunya alat bukti syar’iy.

Kesaksian dari saksi-saksi perkawinan atau orang-orang yang menyaksikan perkawinan, juga absah dan diakui oleh Negara sebagai alat bukti syar’iy. Negara tidak boleh menetapkan bahwa satu-satunya alat bukti untuk membuktikan keabsahan perkawinan seseorang adalah dokumen tertulis. Pasalnya, syari’at telah menetapkan keabsahan alat bukti selain dokumen tertulis, seperti kesaksian saksi, sumpah, pengakuan (iqrar), dan lain sebagainya.

Berdasarkan penjelasan maka orang yang perkawinannya tidak dicatatkan tetap memiliki hubungan pewarisan yang sah, dan hubungan-hubungan lain yang lahir dari perkawinan. Oleh sebab itu, kesaksian saksi-saksi yang hadir pada perkawinan yang tidak dicatatkan tersebut sah dan harus diakui sebagai alat bukti syar’iy. Negara tidak boleh menolak kesaksian mereka hanya karena perkawinan

tersebut tidak dicatatkan pada lembaga pencatatan, atau tidak mengakui hubungan pewarisan, nasab dan hubungan-hubungan lain yang lahir dari perkawinan yang tidak dicatatkan tersebut.

Akibat hukum perkawinan tersebut berdampak sangat merugikan bagi isteri

dan perempuan pada umumnya baik secara hukum maupun sosial, serta bagi anak

yang dilahirkan. Namun tidak demikian halnya dalam perkawinan yang tidak dapat

(37)

dicatatkan. Jika terjadi perceraian bahkan kematian maka akan sangat dirugikan yaitu pihak isteri.

Oleh karena perkawinan yang tidak dicatatkan, maka isteri bukan merupakan isteri sah dan karenanya isteri tidak mendapatkan nafkah dan harta gono-gini dalam hal terjadi perpisahan. Dalam hal ini isteri tidak bisa menunjukkan alat bukti tertulisnya (akta nikah), maka pekara hukum tidak dapat diproses. menurut Pasal 6 Kompilasi Hukum Islam (KHI) menyatakan “Bahwa setiap perkawinan harus dilangsungkan di hadapan dan di bawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah”. Jadi jika perkawinan yang tidak tercatat atau yang tidak dapat dibuktikan dengan surat nikah, maka tidak mempunyai akibat hukum apapun. Artinya jika suami atau isteri tidak memenuhi kewajibannya, maka salah satu pihak tidak dapat menuntut apapun ke pengadilan, baik mengenai nafkah termasuk anak yang lahir atau harta bersama yang mereka peroleh selama perkawinan yang berlangsung. Bahkan jika salah satu pihak meninggal dunia baik suami maupun isteri maka ia tidak dapat mewaris dari si isteri atau si suaminya itu. Perkawinan yang tidak dicatatkan ini resiko hukumnya sangat tinggi dan sangat merugikan kaum perempuan terutama anak-anak yang telah dilahirkan dari perkawinan yang tidak dicatatkan.

Perkawinan yang tidak dicatatkan bagi pasangan suami-isteri perkawinannya

tidak bisa diperkarakan persoalan rumah tangga pasangan suami-isteri secara hukum

di Pengadilan Agama bagi pasangan suami-isteri karena perkawinan yang tidak

dicatatkan tidak memiliki kekuatan hukum kecuali adanya itsbat nikah yaitu

penetapan kembali perkawinan.

(38)

Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan menjelaskan mekanisme bagaimana pencatatan perkawinan itu dilaksanakan. Pasal 7 ayat (2) dan (3) Kompilasi Hukum Islam (KHI) sebagai berikut:

1. Pasal 7 ayat (2) menyatakan bahwa :

“Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akta Nikah, dapat diajukan itsbat nikahnya ke Pengadilan Agama”.

17

2. Pasal 7 ayat (3) menyatakan bahwa:

“Itsbat nikah yang diajukan ke Pengadilan Agama terbatas mengenai hal-hal yang berkenaan dengan:

a. Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian.

b. Hilangnya akta nikah.

c. Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan.

d. Adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

e. Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

18

Itsbat nikah (penetapan kembali perkawinan) hanya bisa dilakukan apabila memenuhi syarat-syarat di atas, itsbat nikah bukan hanya pada pernikahan yang berazas monogami akan tetapi bisa juga pada pasangan suami-isteri yang menikah

17Pasal 7 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam

18 Muhammad Rachardi, Akibat Hukum Pernikahan Yang Tidak Dicatatkan menurut Perspektif Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan Skripsi Program Sarjana, Program Ilmu Hukum Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara. (Medan: 2010), hal. 47

(39)

siri, pasangan suami-isteri yang telah mencatatkan perkawinannya secara resmi melalui pejabat yang telah diatur ketentuannya, berhak memperoleh akta nikah yang dapat dipergunakan untuk mengurus keperluan dalam rumah tangga, itsbat nikah apabila salah satu pasangannya meninggal dunia maka salah satu pasangannya suami/isteri dapat mengajukan permohonan itsbat nikah, bisa juga anak-anaknya yang mengajukan permohonan itsbat nikah. Itsbat nikah (penetapan kembali perkawinan) bertujuan untuk dapat menuntut hak isteri, anak-anak dalam membina suatu rumah tangga apabila dikemudian hari terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Dengan adanya itsbat nikah tersebut maka isteri mendapatkan warisan dan anak-anaknya bisa mendapatkan warisan dari peninggalan ayahnya.

Anak luar kawin hanya mempunyai hak waris terhadap ayah/ibunya sepanjang ayah/ibunya telah mengakuinya dengan sah. Bila dikembalikan dalam hukum perkawinan Islam maka selagi perkawinan telah dilakukan memenuhi syarat dan rukunnya, perkawinan itu adalah sah dan berhak atas ketentuan yang digariskan dalam hukum perkawinan Islam seperti hubungan hukum antara isteri dan suami, anak dan kedua orang tuanya, pewarisan serta penyelesaian bila terjadi perceraian atau bila salah satu dari suami atau isteri meninggal dunia.

Bertitik tolak dari uraian di atas, maka tertarik ingin meneliti lebih lanjut

mengenai permasalahan yang menjadi latar belakang di atas dan menyusunnya dalam

tesis yang berjudul “Akibat Hukum Perkawinan Yang Tidak Dicatatkan Ketika Salah

Satu Pihak Meninggal Dunia Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan dan KHI (Kompilasi Hukum Islam)”.

(40)

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimana akibat hukum perkawinan yang tidak dicatatkan menurut Undang- Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam?

2. Bagaimana perlindungan hukum terhadap anak yang dilahirkan dari perkawinan yang tidak dicatatkan ketika salah satu pihak meninggal dunia?

3. Bagaimana kedudukan harta benda suami apabila meninggal dunia pada perkawinan yang tidak dicatatkan?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan di atas, tujuan yang ingin dicapai dari penelitian tesis ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui dan menganalisis akibat hukum perkawinan yang tidak dicatatkan menurut Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam.

2. Untuk mengetahui dan menganalisis perlindungan hukum terhadap anak yang dilahirkan dari perkawinan yang tidak dicatatkan ketika salah satu pihak meninggal dunia.

3. Untuk mengetahui dan menganalisis kedudukan harta benda suami apabila

meningal dunia pada perkawinan yang tidak dicatatkan.

(41)

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat atas kegunaan baik secara teoritis dan praktis, yaitu:

1. Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat menambah literatur mengenai perkawinan, khususnya mengenai pembuktian perkawinan dan akibat hukum perkawinan yang tidak dicatatkan terhadap harta benda perkawinan ketika salah satu pihak meninggal dunia.

2. Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi pedoman dan masukan bagi semua pihak mengenai pengembangan ilmu pengetahuan hukum dalam bidang hukum perkawinan.

E. Keaslian Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa berdasarkan informasi

dan penelusuran kepustakaan di lingkungan Universitas Sumatera Utara dan Sekolah

Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, belum ada penelitian yang dilakukan

dengan judul “Akibat Hukum Perkawinan Yang Tidak Dicatatkan Ketika Salah Satu

Pihak Meninggal Dunia Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan” belum pernah dilakukan, namun demikian terdapat beberapa judul yang

membahas tentang pernikahan, antara lain oleh:

(42)

1. Yakup Ginting, Nim: 002111052, mahasiswa Program Pasca Sarjana Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara dengan judul: “Penerapan Nilai-Nilai Hukum Yang Hidup Dalam Masyarakat Oleh Hakim Dalam Perkara Perceraian Dari Perkawinan Yang Tidak Dicatatkan Di Kantor Catatan Sipil (Studi Kasus Di Pengadilan Negeri Kabanjahe)”.

a. Bagaimana hakim menerapkan nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat sebagai alasan dan dasar hukum putusannya, untuk menyatakan sah perkawinan yang dilangsungkan secara adat, secara agama, yang tidak dicatatkan, dan menyatakan putus perkawinan dengan jalan perceraian karena kematian?

b. Hambatan-hambatan apa saja yang dihadapi oleh hakim untuk menerapkan nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat sebagai alasan pertimbangan hukum dalam putusan dari perkawinan yang dilangsungkan secara adat, secara agama tidak dicatat, dan menyatakan putus perkawinan dengan jalan perceraian karena kematian?

2. Lisda Warta Purba, Nim: 002111029, mahasiswi Program Pasca Sarjana Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara dengan judul: “Akibat Hukum Perceraian Terhadap Hak Anak (Kajian Pada Perkawinan Yang Tidak Didaftarkan Pada Kantor Catatan Sipil Pada Masyarakat Karo)”.

a. Bagaimana keabsahan suatu perkawinan yang tidak didaftarkan di Catatan

Sipil pada masyarakat Karo di Kecamatan Tigapanah?

(43)

b. Bagaimana tanggung jawab orang tua setelah perceraian terhadap pemeliharan serta nafkah hidup anak pada masyarakat Karo di Kecamatan Tigapanah?

c. Bagaimana hubungan hukum antara anak dengan kedua orang tuanya dan kerabat orang tuanya setelah perceraian di Kecamatan Tigapanah?

Jika dihadapkan pada penelitian yang telah ada, judul yang akan dibahas dalam penelitian ini berbeda baik dari segi permasalah maupun pembahasan. Oleh karena itu penelitian ini jelas dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah sesuai dengan etika penelitian yang harus dijunjung tinggi bagi penelitian atau akademis.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis, mengenai suatu kasus atau permasalahan yang dijadikan bahan perbandingan, pegangan teoritis, baik disetujui maupun tidak disetujui yang dijadikan masukan dalam membuat kerangka berpikir dalam penulisan.

19

Dalam dunia ilmu, teori menempati kedudukan yang penting karena memberikan sarana kita untuk bisa merangkum serta memahami masalah yang kita bicarakan secara lebih baik.

20

19M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, (Bandung: Mandar Maju, 1994), hal. 80

20Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2006), hal. 259

(44)

Teori menguraikan jalan pikiran menurut kerangka yang logis artinya mendudukkan masalah penelitian yang telah dirumuskan di dalam kerangka teoritis yang relevan, yang mampu menerangkan masalah tersebut.

21

Teori merupakan pengetahuan ilmiah yang mencakup penjelasan mengenai sesuatu sektor tertentu dari sebuah disiplin ilmiah.

22

Hal-hal semula yang lebih tampak tersebar dan berdiri sendiri dapat disatukan dan ditunjukkan kaitannya satu sama lain secara lebih bermakna. Teori dengan demikian memberikan penjelasan dengan cara mengorganisasikan dan mensistematisasikan yang dibicarakan.

23

Teori hukum pada hakikatnya merupakan sesuatu keseluruhan pernyataan yang saling berkaitan berkenaan dengan sistem konseptual aturan-aturan hukum dan putusan-putusan hukum dan sistem tersebut untuk sebagian penting dipositifkan.

Defensi tersebut terlebih dahulu harus memperhatikan makna ganda dalam istilah teori hukum. Defenisi diatas muncul, sehingga sebagai produk keseluruhan pernyataan yang berkaitan ini adalah hasil kegiatan teoristik di bidang hukum. Teori merupakan generalisasi yang dicapai setelah mengedepankan pengujian hasilnya mencakup ruang lingkup dan fakta yang luas.

24

21 Made Wiratha, Pedoman Penulisan Usulan Penelitian, Skirpsi dan Tesis, Edisi 1, (Yogyakarta: 2006), hal. 6.

22Koentjaraningrat, Metode – Metode Penelitian Mss, Edisi ke – 3, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1997), hal. 21

23Khudzaifah Dimiyati, Teorisasi Hukum Study Tentang Perkembangan Pemikiran Hukum di Indonesia, (Jakarta: Pustaka Sinar harapan, 1999), hal. 1945

24 Soejono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Univesitas Indonesia Press, 1986), hal. 126

(45)

Menurut H.R. Otje Salman dan Anthon F. Susanto. Teori berasal dari kata theoria dalam bahasa latin yang berarti perenungan yang pada gilirannya berasal dari kata thea dalam bahasa Yunani yang secara hakiki menyiratkan suatu yang disebut dengan realitas. Dalam banyak literarur beberapa ahli menggunakan kata ini untuk menunjukkan bangunan berfikir yang tersusun secara sistematis, logis (rasional), empiris (kenyataan), juga simbolis.

25

Tugas teori hukum ialah memberikan suatu analisis tentang pengertian hukum dan tentang pengertian-pengertian lain yang dalam hubungan ini relevan, kemudian menjelaskan hubungan antara hukum dengan logika dan selanjutnya memberikan suatu filsafat ilmu dari ilmu hukum dan suatu ajaran metode untuk praktek hukum.

26

Dengan demikian apabila dikaitkan dengan judul penelitian ini, maka kerangka teori yang digunakan sebagai pisau analisis adalah “Teori Kepastian Hukum” yaitu bahwa dengan adanya hukum setiap orang mengetahui yang mana dan seberapa haknya dan kewajibannya serta “Teori Perlindungan Hukum”.

Teori Kepastian Hukum adalah Kepastian hukum bukan hanya berupa Pasal- pasal dalam Undang-undang melainkan juga adanya konsisten dalam putusan hakim antara putusan hakim yang satu dengan hakim yang lainnya untuk kasus yang serupa yang telah diputuskan.

27

25H.R. Otje Salman dan Anthon F. Susanto, Teori Hukum, Mengingat, Mengumpulkan dan Membuka Kembali, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2010), hal. 21

26B. Arief Sidarta, Meuwissen, Tentang Pengembangan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum dan Filsafat Hukum, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2007), hal. 31

27 Peter Mahmud Marzuki, Penghantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Kencana Pranada Media Group, 2008), hal. 158

(46)

Dalam kaitannya dengan teori kepastian hukum ini O. Notohamidjojo mengemukakan berkenaan dengan tujuan hukum yakni: Melindungi hak dan kewajiban manusia dalam masyarakat, melindungi lembaga-lembaga sosial dalam masyarakat (dalam arti luas, yang mencakup lembaga-lembaga sosial di bidang politik, sosial, ekonomi dan kebudayaan), atas dasar keadilan untuk mencapai keseimbangan serta damai dan kesejahteraan umum (bonum commune).

28

Menurut Mochtar Kusumaatmadja berkaitan dengan kepastian, beliau menyatakan sebagai berikut:

“Untuk mencapai ketertiban dalam masyarakat, diusahakan adanya kepastian dalam pergaulan antar manusia dalam masyarakat teratur, tetapi merupakan syarat mutlak bagi suatu organisasi hidup yang melampaui batas-batas saat sekarang. Karena itulah terdapat lembaga-lembaga hukum, seperti perkawinan, hak milik dan kontrak. Tanpa kepastian hukum dan ketertiban masyarakat yang dijelmakan olehnya manusia tak mungkin mengembangkan bakat-bakat dan kemampuan yang diberikan Tuhan kepadanya secara optimal dalam masyarakat tempat ia hidup”.

29

Dalam tugas itu tersimpul dua tugas lain yakni hukum harus menjamin keadilan maupun hukum harus tetap berguna. Akibatnya kadang-kadang yang adil terpaksa dikorbankan untuk yang berguna. Ada 2 (dua) macam pengertian “kepastian hukum” yaitu kepastian oleh karena hukum tercapai kalau hukum itu sebanyak- banyaknya hukum Undang-undang dan bahwa dalam Undang-undang itu tidak ada ketentuan yang bertentangan, Undang-undang itu dibuat berdasarkan

28O. Notohamidjojo, Makna Negara Hukum, (Jakarta: BPK, 1970) hal. 80-82

29 Mochtar Kusumaatmadja, Fungsi dan Perkembangan Hukum dalam Pembangunan Nasional, 1970, (Bandung: Majalah Pajajaran), No 1 jilid III, hal. 6

Referensi

Dokumen terkait

Oleh karena itu penulis tertarik untuk merancang sistem informasi dengan judul “ Pengembangan Sistem Informasi Rekam Medis Pada Puskesmas Gisting Berbasis Web ”

Alhamdulillah puji syukur saya panjatkan kepada Allah SWT yang masih memberikan nafas kehidupan, sehingga saya dapat menyelesaikan pembuatan makalah

Kesimpulan dari teori motivasi kerja Herzberg’s Two Factors Motivation Theory adalah fokus teori motivasi ini lebih menekankan bagaimana memotivasi karyawan di

Dari beberapa ruang dari kelompok pelayanan yang terdapat interaksi secara visual maka akan diberikan kenyamanan ruang yang dapat memudahkan pengunjung pada saat melihat-lihat proses

Di Provinsi Riau telah terjadi Kebakaran Hutan dan Lahan (Karhutla) di beberapa lokasi, selain pemadaman darat, juga telah dilakukan pemadaman dari udara menggunakan Helicopter

(3) Hasil penyempurnaan Rancangan Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan kepada sekretaris daerah setelah dilakukan paraf koordinasi oleh kepala biro hukum

(1) Setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera Indonesia melakukan penangkapan ikan di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik

Kolom 7 Penyusunan Peraturan DPRD dan Keputusan Ketua DPRD merupakan delegasi/ perintah dan peraturan yang lebih tinggi Kolom 8 Unit kerja/instansi terkait dengan materi