• Tidak ada hasil yang ditemukan

VI. GAMBARAN WILAYAH, KARAKTERISTIK PETERNAKAN

7.2. Analisis Daya Saing Usaha Penggemukan Sapi Potong

Efisiensi merupakan salah satu akar penentu daya saing. Suatu produk memiliki daya saing yang tinggi salah satu cirinya adalah produk tersebut dapat diproduksi secara efisien. Hal ini karena suatu produk yang diproduksi secara efisien akan menyebabkan biaya produksi menurun sehingga keuntungan akan makin meningkat. Secara sederhana, produksi yang efisien adalah produksi yang dapat menghasilkan produk yang optimal. Efisiensi adalah rasio antara output

dengan input. Dari definisi tersebut, terdapat tiga situasi yang dapat dikategorikan sebagai produksi yang efisien. Pertama, apabila dengan input yang sama menghasilkan output yang lebih besar. Kedua, apabila dengan input yang lebih kecil menghasilkan output yang sama, dan yang terakhir dengan input yang lebih besar menghasilkan output yang lebih besar (Lipsey, 1995).

Berdasarkan hasil analisis dihasilkan bahwa rata-rata efisiensi pada usaha penggemukan sapi potong adalah sebesar 76.4 persen, dimana nilai efisiensi terendah yaitu 47.8 persen dan yang tertinggi 99.6 persen. Hal ini mengindikasikan bahwa pada tingkat penggunaan input yang ada produksi masih dapat ditingkatkan, atau pada tingkat produksi yang ada biaya produksi masih dapat diturunkan. Berdasarkan kondisi tersebut, maka pada penelitian ini juga akan dilihat bagaimana pengaruh produksi terhadap daya saing usaha penggemukan sapi potong. Upaya peningkatan efisiensi dapat dilakukan dengan memanfaatkan sumberdaya yang ada. Beberapa upaya yang perlu dioptimalkan penggunaannya pada usaha penggemukan sapi potong adalah sumberdaya alam seperti bahan baku pakan lokal dan bibit ternak lokal, sumberdaya kapital dan sumberdaya manusia dalam hal ini peternak sebagai pengelola. Hal ini tentunya juga akan sangat menentukan daya saing usaha penggemukan sapi potong, dimana pemanfaatan sumberdaya domestik seefisien mungkin akan meningkatkan daya saing usaha itu sendiri.

Daya saing usaha penggemukan sapi potong di kedua lokasi penelitian dianalisis dan diukur melalui keuntungan finansial, keuntungan ekonomi, analisis keunggulan kompetitif dan komparatif dengan menggunakan Matriks Analisis Kebijakan (Policy Analysis Matrix). Berdasarkan analisis yang dilakukan dengan

menggunakan matriks PAM akan diperoleh informasi daya saing kegiatan usaha penggemukan sapi potong di wilayah penelitian. Hasil analisis tersebut dapat memberikan informasi apakah sebaiknya pemerintah mengimpor atau memproduksi daging untuk mencukupi kebutuhan dalam negerinya, serta melihat dampak kebijakan pemerintah terhadap pengelolaan usaha penggemukan sapi potong. Dari analisis PAM dapat diketahui nilai PCR (Private Cost Ratio) dan DRC (Domestic Resources Cost Ratio) yang merupakan kriteria keunggulan kompetitif dan komparatif suatu komoditas.

7.2.1. Justifikasi Harga Bayangan

1. Harga Bayangan Output

Harga bayangan dalam hal ini sapi potong ditingkat peternak digunakan harga CIF (cost insurance and freight). Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa Indonesia sebagai net importir sapi potong. Kemudian dari harga border tersebut dilakukan penyesuaian dengan penambahan terhadap biaya penanganan dan angkutan. Harga output disesuaikan dengan nilai tukar Rupiah bayangan (Shadow Exchange Rate).

Harga bayangan sapi potong dalam penelitian ini ditetapkan rata-rata sebesar Rp. 13 741 741 per ekor. Harga ini diperoleh dari harga CIF sapi potong ditambah dengan biaya penanganan dan pengangkutan dan dikalikan dengan

Shadow Exchange Rate (SER) yaitu sebesar Rp. 11 004.42. 2. Harga bayangan Sapi Bakalan

Sumber bibit atau bakalan sapi diperoleh dari hasil persilangan sapi impor dan lokal. Untuk itu harga bayangan bibit diasumsikan 50 persen terdiri dari

komponen tradable dan 50 persen terdiri dari komponen domestik. Untuk komponen domestik diasumsikan harga bayangan sama dengan harga pasarnya (harga di lokasi usaha). Sedangkan untuk komponen tradable yang berasal dari impor digunakan harga CIF ditambah dengan biaya transportasi dan tataniaga lainnya. Rata-rata harga bayangan sapi bakalan adalah Rp. 8 990 281 per ekor.

3. Harga Bayangan Sarana Produksi dan Peralatan

Penentuan harga bayangan sarana produksi dan peralatan didasarkan pada harga border price untuk yang termasuk komoditi tradable dan harga domestik untuk input non tradable. Dalam penelitian ini yang termasuk input tradable

adalah mineral, vitamin, antibiotik, obat cacing dan pupuk urea. Sedangkan bahan pakan berupa hijauan, dedak, dan ampas tahu serta peralatan yang digunakan pada usaha penggemukan sapi termasuk input non tradable.

Harga bayangan untuk mineral dan obat-obatan walaupun sudah diproduksi di dalam negeri namun sebagian bahan bakunya masih diimpor, sehingga harga bayangan untuk mineral dan obat-obatan berdasarkan harga CIF. Biaya obat-obatan terdiri dari input tradable dan non tradable, dimana karena sebagian besar bahan bakunya adalah impor, maka ditetapkan 80 persen dihitung sebagai komponen tradable dan 20 persen sebagai komponen non tradable, seperti yang dilakukan oleh Adnyana et al. (1996). Untuk biaya komponen non tradable atau domestik vitamin, juga ditambahkan dengan biaya tip yang dikeluarkan untuk tenaga kesehatan hewan yang membantu dalam pengobatan. Harga CIF antibiotik ditambah biaya penanganan dan pengangkutan yaitu sebesar Rp. 875.54/ml.

Harga pupuk urea sampai saat ini masih disubsidi oleh pemerintah, yaitu berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 32 tahun 2010 yaitu tentang kebutuhan dan Harga Eceran Tertinggi (HET) pupuk bersubsidi untuk sektor pertanian tahun anggaran 2010, harga pupuk urea subsidi yaitu Rp. 1 600 per kilogram. Harga bayangan pupuk urea berdasarkan pada harga pupuk non subsidi di wilayah penelitian yaitu Rp. 3 500 per kilogram. Komponen biaya pupuk urea terdiri dari 33.7 persen tradable dan 64.3 persen non tradable, seperti yang dilakukan Kurniawan (2008).

4. Harga Bayangan Tenaga Kerja

Harga bayangan tenaga kerja dihitung dengan mempertimbangkan tingkat pengangguran pada daerah penelitian. Harga bayangan tenaga kerja jika tidak ada pengangguran berarti harganya sama dengan harga harga aktual upah, sedangkan berdasarkan data Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Agam (2009) dengan adanya pengangguran sebesar 7 persen, maka harga bayangan sosial adalah 93 persen dari tingkat upah yang berlaku di daerah penelitian. Tingkat upah aktual yang berlaku adalah Rp. 35 000 per HOK. Dengan demikian harga bayangan tenaga kerja adalah Rp. 32 550 per HOK.

5. Harga Bayangan Lahan

Harga sosial lahan didekati dengan nilai sewa lahan di daerah penelitian, hal ini dilandasi oleh mekanisme pasar lahan di pedesaan berjalan dengan baik, dan sulitnya mencari opportunity cost of land. Walaupun berdasarkan hasil wawancara diperoleh informasi bahwa sebagian besar peternak memanfaatkan lahan milik sendiri, namun di wilayah penelitian tersebut masih berlaku sewa menyewa lahan, terutama dalam usaha pertanian. Berdasarkan hal tersebut, maka

harga bayangan sewa lahan mengacu pada harga yang berlaku di daerah penelitian yaitu Rp. 1 000 000 per hektar.

6. Harga Bayangan Nilai Tukar Rupiah

Harga bayangan nilai tukar Rupiah dihitung menggunakan Standard Conversion Factor (SCF) sebagai koreksi terhadap nilai tukar resmi yang berlaku. Harga bayangan merupakan hasil bagi dari harga nilai tukar resmi pemerintah dengan SCF. Nilai SCF yang diperoleh pada tahun 2009 adalah sebesar 0.99, sehingga harga bayangan nilai tukar adalah Rp. 11 004.42.

7.2.2. Identifikasi Kebijakan Pemerintah terkait dengan Usaha Penggemukan Sapi Potong di Kabupaten Agam

Kompetisi antara sapi lokal dengan produk impor berupa sapi maupun daging akan terus terjadi. Pada kompetisi ini yang sangat memegang peranan adalah daya saing, khususnya dalam pengadaan feeder cattle dan proses penggemukan yang lebih cepat dan efisien. Pengendalian impor dijalankan sesuai dengan aturan perdagangan internasional dengan memanfaatkan tariff maupun

non-tariff barrier. Pengenaan non tariff barier sesuai dengan prinsip Sanitary and Phitosanitary (SPS) dan Aman, Sehat, Utuh dan Halal (ASUH).

Indonesia mempunyai acuan dalam pemasukan ternak dan produk ternak yaitu berdasarkan kepada Undang-Undang Nomor 18 tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. Pada dasarnya pemasukan sapi hidup ke Indonesia harus berasal dari negara yang bebas dari Penyakit Hewan Menular Utama (PHMU) dan Zoonotic berbahaya. Khusus untuk pemasukan karkas, daging dan atau jeroan tercantum dalam Peraturan Menteri Pertanian Nomor 20 tahun 2009. Hal ini memberikan peluang terhadap negara manapun untuk dapat

menjadi negara pengekspor ke Indonesia sepanjang memenuhi persyaratan teknis yang telah ditetapkan.

Salah satu aturan global yang penting dalam perdagangan antar negara dalam melindungi negara terhadap ancaman hama dan penyakit baik yang mengancam hewan, tumbuhan dan manusia adalah Sanitary and Phitosanitary (SPS) Agreement yang merupakan hambatan non tariff. Aturan ini menjadi faktor penting dalam mendukung Program Swasembada Daging Sapi sebagai pendorong Indonesia untuk mempertahankan status bebas beberapa penyakit yang tidak ada di Indonesia (eksotik) seperti Penyakit Mulut dan Kuku (PMK), Bovine Spongiform Encephalopathy (BSE) dan penyakit eksotik penting lainnya seperti NIPAH, dan Rinderpest.

Kebijakan Pemerintah lainnya adalah terkait dengan upaya memfasilitasi pengembangan usaha penggemukan sapi. Usaha ini dilakukan baik oleh pihak swasta atau koperasi yang pada umumnya melakukan importasi sapi bakalan maupun oleh kelompok-kelompok peternak sapi potong skala kecil atau menengah yang mendapat fasilitas dari Pemerintah (pusat dan daerah) dengan memanfaatkan sapi lokal dan hasil IB. Usaha penggemukan sapi bakalan yang dilakukan oleh para importir sapi potong harus dilakukan sekitar 3 bulan atau lebih, sehingga sapi dengan bobot awal kurang dari 350 kg tersebut mencapai bobot potong sekitar 500-600 kg. Pemerintah menetapkan bahwa bobot sapi impor tidak boleh lebih dari 350 kg. Hal ini bertujuan agar sapi impor melewati proses penggemukan terlebih dahulu sebelum dipotong guna meningkatkan nilai tambah dan penyerapan tenaga kerja. Dari uraian diatas, maka beberapa peraturan

perundangan yang ditetapkan pemerintah untuk memproteksi usaha peternakan sapi potong domestik adalah:

1. Peraturan Pemerintah No. 82 tahun 2000 tentang Karantina Hewan.

2. Peraturan Menteri Pertanian No. 07/Permentan/OT.140/1/2008 tentang Syarat dan Tata Cara Pemasukan dan Pengeluaran Benih, Bibit Ternak dan Ternak Potong.

3. Peraturan Menteri Pertanian No.20/Permentan/OT.140/4/2009 tentang Pemasukan dan Pengawasan Peredaran Karkas, Daging dan/atau Jeroan dari Luar Negeri.

4. Undang-Undang No. 18 tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. Selain kebijakan dari segi output, pada usaha penggemukan sapi potong juga berlaku kebijakan terhadap input (sapronak). Salah satu kebijakan pemerintah yang masih dirasakan peternak dan bersifat melindungi peternak adalah kebijakan subsidi pupuk. Kebijakan subsidi pupuk juga berlaku untuk peternak atau penanam hijauan pakan ternak. Pupuk bersubsidi adalah pupuk yang pengadaan dan penyalurannya mendapat subsidi dari pemerintah untuk kebutuhan petani atau peternak yang dilaksanakan atas dasar program pemerintah di sektor pertanian. Lingkup pengawasan mencakup pengadaan dan penyaluran, jenis, jumlah dan mutu, Harga Eceran Tertinggi (HET), dan waktu pengadaan penyaluran. Berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian No. 32/Permentan/ SR.130/4/2010 tentang Kebutuhan dan Harga Eceran Teringgi (HET) Pupuk bersubsidi untuk Sektor Pertanian Tahun Anggaran 2010 ditetapkan Harga Eceran Tertinggi untuk pupuk urea adalah Rp 1 600 per kilogram. Dengan adanya

kebijakan subsidi pupuk diharapkan peternak dapat meningkatkan penyediaan kualitas dan kuantitas hijauan sebagai pakan ternak.

Disamping kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah juga menetapkan berbagai Peraturan Daerah terkait dengan tataniaga sapi potong. Hal ini sejalan juga dengan Undang-Undang No. 22 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah. Kebijakan Otonomi Daerah mendorong Pemerintah Daerah meningkatkan pendapatan asli daerah sehingga muncul retribusi dalam kegiatan perdagangan sapi potong. Kebijakan pemerintan daerah Kabupaten Agam dalam perdagangan sapi potong terdiri dari Peraturan Daerah Nomor 11 tahun 1998 tentang retribusi Rumah Potong Hewan (RPH). Struktur dan besarnya tarif yang ditetapkan adalah : (1) Pemeriksaan Kesehatan Ternak sebelum dipotong dengan tarif sebesar Rp. 10 000 per ekor, (2) tarif pemakain kandang sebesar Rp. 5 000 per ekor, (3) tarif pemakaian tempat pemotongan sebesar Rp. 10 000 per ekor, dan (4) pemakaian angkutan dengan tarif sebesar Rp. 1 500 per kilometer. Peraturan lainnya yang ditetapkan pemerintah Kabupaten Agam adalah Peraturan Daerah Nomor 4 tahun 1999 tentang retribusi pasar grosir atau pertokoan yang juga berlaku terhadap perdagangan sapi potong, dimana retribusi untuk pasar ternak adalah sebesar Rp. 5 000 per ekor sapi.

7.2.3. Profitabilitas Privat dan Sosial Usaha Penggemukan Sapi Potong di Kabupaten Agam

Analisis finansial dan ekonomi memberikan gambaran umum dan sederhana mengenai kelayakan usaha penggemukan sapi potong di Kabupaten Agam. Komponen biaya merupakan aspek penting yang perlu diperhatikan dalam menjalankan suatu usaha. pengambilan keputusan tentang besarnya biaya perlu

menggunakan berbagai pertimbangan. Biaya yang dikeluarkan pada usaha penggemukan sapi potong terdiri dari biaya sapi bakalan, biaya pakan, biaya tenaga kerja, biaya vitamin dan obat-obatan, biaya pupuk untuk hijauan, biaya transportasi, biaya penyusutan kandang dan peralatan, serta biaya sewa lahan. Tabel 26. Penerimaan dan Komponen Biaya Rata-rata Usaha Penggemukan Sapi

Potong di Kabupaten Agam

Kec. Sungai Puar Kec. Tilatang Kamang

Uraian Jumlah (Rp/ekor) Proporsi (%) Jumlah (Rp/ekor) Proporsi (%) Penerimaan 15 187 778 15 377 778 Biaya : 1. Sapi Bakalan 2. Pakan 3. Tenaga Kerja 4. Vitamin dan Obat-obatan 5. Urea 6. Transportasi 7. Penyusutan Kandang 8. PenyusutanPeralatan 9. Sewa Lahan Total 8 722 666 2 920 473 1 300 042 83 245 54 178 58 613 327 407 121 556 58 889 13 647 069 63.9 21.4 9.5 0.6 0.4 0.4 2.4 0.9 0.4 100.0 9 624 596 1 870 340 397 775 49 035 72 593 109 133 204 141 85 924 84 848 12 498 385 77.0 14.9 3.2 0.4 0.6 0.9 1.6 0.7 0.7 100.0 Keuntungan 1 540 709 2 879 393

Berdasarkan Tabel 26, untuk setiap pemeliharaan satu ekor sapi potong di Kedua Kecamatan, biaya terbesarnya dialokasikan untuk biaya sapi bakalan yaitu 63.9 persen atau dengan nilai Rp. 8 722 666 untuk peternak di Kecamatan Sungai Puar dan 77.0 persen atau dengan nilai sebesar Rp. 9 624 596 untuk peternak di Kecamatan Tilatang Kamang.

Proporsi biaya berikutnya adalah biaya pakan sebesar 21.4 persen dengan nilai sebesar Rp. 2 920 473 untuk peternak di Kecamatan Sungai Puar dan 14.9 persen dengan nilai sebesar Rp. 1 870 340 untuk peternak di Kecamatan Tilatang Kamang. Selanjutnya untuk Kecamatan Sungai Puar adalah biaya tenaga kerja

(9.5 persen), penyusutan kandang (2.4 persen), penyusutan peralatan (0.9 persen), dan terkecil adalah urea, transportasi dan sewa lahan dengan proporsi yang sama yaitu masing-masing 0.4 persen. Sedangkan untuk Kecamatan Tilatang Kamang komponen biaya terkecil adalah biaya vitamin dan obat-obatan.

Perbedaan proporsi biaya antara dua Kecamatan terlihat jelas untuk komponen biaya sapi bakalan, dimana peternak di Kecamatan Tilatang Kamang mengelurkan biaya lebih besar. Hal ini disebabkan peternak di Kecamatan Tilatang Kamang umumnya membeli sapi bakalan yang berumur di atas 1 tahun sementara peternak di Sungai Puar lebih memilih sapi bakalan yang lebih muda, didasarkan pada modal yang dimilki.

Profitabilitas privat (finansial) adalah selisih penerimaan dan biaya total dengan dasar perhitungan harga output yang diterima dan harga input yang dibayar peternak. Total biaya termasuk juga nilai sewa lahan dan upah tenaga kerja dalam keluarga. Profitabilitas privat (finansial) merupakan indikator keunggulan kompetitif dari sistem komoditas berdasarkan teknologi, nilai output, biaya input dan transfer kebijakan yang ada. Sedangkan profitabilitas sosial mengindikasikan keunggulan komparatif suatu komoditas dalam pemanfaatan sumberdaya yang langka di dalam negeri. Pada kondisi ini harga input dan output diperhitungkan dalam kondisi persaingan sempurna, dimana segala bentuk subsidi dan proteksi yang bersifat mendistorsi pasar telah dihilangkan. Sistem komoditas dengan tingkat profitabilitas sosial (ekonomi) yang makin tinggi maka menunjukkan tingkat keunggulan komparatif yang semakin besar.

Secara finansial maupun ekonomi usaha penggemukan sapi potong di Kabupaten Agam, baik Kecamatan Sungai Puar maupun Tilatang Kamang

menguntungkan. Hal ini terlihat dari keuntungan finansial dan ekonomi yang bernilai positif. Penerimaan finansial dan ekonomi usaha penggemukan sapi juga memperlihatkan divergensi positif. Hal ini mengindikasikan bahwa harga yang diterima oleh peternak khususnya di Kabupaten Agam lebih tinggi dari barang sejenis yang dijual di pasar internasional. Adanya perbedaan harga output juga karena konsumen cenderung lebih suka sapi lokal dibanding sapi impor. Hasil analisis berdasarkan perhitungan PAM dapat dilihat pada Tabel 27.

Tabel 27. Matriks Analisis Kebijakan Usaha Penggemukan Sapi potong di Kabupaten Agam

Biaya Input (Rp/ekor) Uraian

Penerimaan Output

(Rp/ekor) Tradable Input Non Tradale Input

Keuntungan Kec. Sungai Puar

Nilai Finansial Nilai Ekonomi

Dampak Kebijakan dan Distorsi Pasar 15 187 778 13 621 857 1 565 921 4 479 439 4 201 291 278 148 9 167 630 8 917 480 250 150 1 540 709 503 086 1 037 623 Kec. Tilatang Kamang

Nilai Finansial Nilai Ekonomi

Dampak Kebijakan dan Distorsi Pasar 15 377 778 13 796 234 1 581 544 4 919 224 4 572 141 347 083 7 579 161 7 489 640 89 521 2 879 393 1 734 453 1 144 940

Keuntungan privat dan sosial dari usaha penggemukan sapi potong di Kecamatan Sungai Puar lebih rendah dibandingkan dengan keuntungan privat dan sosial peternak di Kecamatan Tilatang Kamang. Hal ini karena tingkat produksi yang dicapai usaha penggemukan sapi potong di Kecamatan Tilatang Kamang yang dilihat dari pertambahan bobot badan sapi (0.75 kg/hari) lebih baik dibandingkan usaha penggemukan sapi potong di Kecamatan Sungai Puar (0.56 kg/hari).

Salah satu penyebab terjadinya divergensi adalah kebijakan pemerintah yang distorsif. Penerapan kebijakan distorsif untuk mencapai tujuan yang bersifat

non efisiensi akan menghambat terjadinya alokasi sumberdaya yang efisien dan dengan sendirinya akan menimbulkan divergensi. Misalnya tarif impor daging yang ditetapkan untuk meningkatkan pendapatan peternak dan meningkatkan produksi daging sapi dalam negeri, namun dilain pihak akan menimbulkan kerugian efisiensi bila harga daging sapi yang digantikannya ternyata lebih murah dari biaya domestik yang digunakan untuk memproduksi daging sapi di dalam negeri, sehingga akan timbul trade-off (Pearson, 2005).

Secara teori, kebijakan yang paling efisien dapat dicapai jika pemerintah mampu menciptakan kebijakan yang mampu menghapuskan kegagalan pasar dan jika pemerintah mampu mengabaikan tujuan non efisiensi serta menghapuskan kebijakan yang distorsif. Apabila tindakan menciptakan kebijakan yang efisien dan menghilangkan kebijakan yang distorsif tersebut mampu dilaksanakan, maka divergensi dapat dihilangkan.

Sebagaimana telah diuraikan sebelumnnya bahwa baik di Tilatang Kamang maupun di Sungai Puar, keduanya memiliki keuntungan privat dan sosial yang lebih besar dari nol. Hal ini berarti bahwa ada atau tidak adanya intervensi pemerintah pengusahaan penggemukan sapi potong masih menguntungkan secara finansial dan ekonomi atau memiliki daya saing dan tingkat efisiensi yang baik.

7.2.4. Keunggulan Kompetitif dan Komparatif Usaha Penggemukan Sapi Potong di Kabupaten Agam

Alokasi sumberdaya pada kegiatan perekonomian senantiasa diarahkan untuk mencapai tingkat efisiensi ekonomi yang tinggi sehingga produksi dan produktivitas yang tinggi dapat tercapai. Ukuran yang biasa digunakan untuk melihat efisiensi finansial dan ekonomi yang sekaligus sebagai indikator

keunnggulan kompetitif dan komparatif adalah Privat Cost Ratio (PCR) dan

Domestic Resources Cost Ratio (DRC). Efisiensi finansial dan Keunggulan kompetitif suatu komoditas ditentukan oleh nilai keuntungan privat dan nilai

Privat Cost Ratio (PCR). PCR merupakan rasio antara biaya input non tradable

dengan nilai tambah atau selisih antara penerimaan dan input tradable pada tingkat harga aktual. Harga yang digunakan dalam analisis ini adalah harga aktual yang terjadi di pasar dimana harga tersebut telah dipengaruhi oleh intervensi pemerintah. Nilai keuntungan privat yang lebih besar dari nol tersebut menunjukkan bahwa usaha penggemukan sapi potong untuk menghasilkan komoditi daging lokal menguntungkan secara privat dan dapat bersaing pada tingkat harga privat.

Berdasarkan nilai PCR dapat dikatakan bahwa komoditas sapi potong efisien secara finansial dan mempunyai keunggulan kompetitif, karena untuk menghasilkan satu unit nilai tambah pada harga-harga privat hanya memerlukan kurang dari satu unit input domestik. Semakin kecil nilai PCR yang diperoleh, maka semakin tinggi tingkat efisiensi finansial dan keunggulan kompetitif yang dimiliki.

Tabel 28. Privat Cost Ratio (PCR) dan Domestic Resources Cost Ratio (DRC) Usaha Penggemukan Sapi Potong di Kabupaten Agam

No Indikator Kec. Sungai

Puar

Kec. Tilatang Kamang

Gabungan

1 Privat Cost Ratio (PCR) 0.856 0.725 0.767

2 Domestic Resources Cost Ratio (DRC)

0.947 0.812 0.853

Nilai PCR yang diperoleh pada usaha penggemukan sapi potong di Kabupaten Agam secara keseluruhan adalah 0.767. Sedangkan untuk masing-

masing Kecamatan adalah 0.856 untuk Kecamatan Sungai Puar dan 0.725 untuk Kecamatan Tilatang Kamang. Hal ini berarti bahwa untuk mendapatkan nilai tambah output sebesar satu satuan pada harga privat diperlukan tambahan biaya faktor domestik masing-masing sebesar 0.856 dan 0.725. Keunggulan kompetitif akan meningkat jika biaya faktor domestik dapat diminimumkan dan atau memaksimumkan nilai tambahnya. Sesuai dengan hasil analisis produksi, bahwa pada tingkat penggunaan input yang ada produktivitas yang dicapai pada usaha penggemukan sapi potong di Kabupaten Agam masih dapat ditingkatkan, yaitu sebesar 23.6 persen untuk mencapai produktivitas maksimum. Selain itu nilai tambah juga dapat ditingkatkan dengan peningkatan penggunaan teknologi yang dapat menurunkan biaya per unit output.

Nilai PCR di Kecamatan Tilatang Kamang lebih kecil dibandingkan Kecamatan Sungai Puar, yang berarti bahwa pengusahaan penggemukan sapi potong di Kecamatan Tilatang Kamang lebih kompetitif dibanding Kecamatan Sungai Puar. Hal ini disebabkan biaya domestik yang harus dikeluarkan Kecamatan Sungai Puar lebih tinggi, terutama untuk biaya-biaya domestik yaitu biaya pakan berupa hijauan, biaya obat-obatan dan biaya tenaga kerja. Berdasarkan hasil penelitian pemberian pakan hijauan rata-rata 66.33 dan 65.83 kg per ekor per hari masing-masing di Kecamatan Sungai Puar dan Tilatang Kamang. Pemberian hijauan di Kecamatan Sungai Puar lebih tinggi dibandingkan Kecamatan Tilatang Kamang. Begitupula dengan penggunaan tenaga kerja, dimana di Sungai Puar jam kerja adalah 1.8 jam per ekor per hari, sedangkan di Tilatang Kamang 1.3 jam per ekor per hari. Hal ini terkait juga dengan efisiensi penggunaan faktor-faktor produksi, bahwa pengusahaan penggemukan sapi

potong di Kecamatan Tilatang Kamang memiliki rata-rata tingkat efisiensi teknis yang lebih tinggi dibandingkan Kecamatan Sungai Puar.

Keunggulan komparatif dan tingkat efisiensi ekonomi usaha penggemukan sapi potong ditunjukkan oleh nilai DRC yaitu rasio antara biaya domestik terhadap nilai tambah pada harga sosialnya. Nilai DRC menunjukkan kemampuan sistem produksi usaha penggemukan sapi potong dalam membiayai faktor domestiknya pada harga sosial, atau dengan kata lain menunjukkan jumlah