IDA INDRAYANI
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2011
Saya menyatakan dengan sebenarnya-benarnya bahwa segala pernyataan dalam
tesis saya yang berjudul :
ANALISIS PRODUKSI DAN DAYA SAING USAHA PENGGEMUKAN SAPI POTONG DI KABUPATEN AGAM
PROVINSI SUMATERA BARAT
merupakan gagasan atau hasil penelitian tesis saya sendiri dengan bimbingan
Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan sumbernya. Tesis ini
belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di
perguruan tinggi lain. Semua data dan informasi yang digunakan telah
menyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.
Bogor, Februari 2011
IDA INDRAYANI. Analysis of Production and Competitiveness of Beef Cattle Fattening in Agam District West Sumatera Province (RITA NURMALINA as a Chairman and ANNA FARIYANTI as a Member of the Advisory Committee).
The domestic beef cattle producers have supplied only 70 percent of the national need. Demand of the beef cattle has not been accompanied by an increased supply response. One of the major problems in beef cattle fattening is its low productivity that might be caused by its low efficiency of input use. On the other side low productivity also caused an increase in the number of imported beef cattle. Therefore, this study aims to analyze : (1) factors that influence the production of beef cattle fattening, (2) the level of technical efficiency of beef cattle fattening, (3) beef cattle fattening competitiveness, and (4) the impact of government’s input-output policy on the competitiveness of beef cattle fattening in Agam district. The stochastic production frontier is used to estimate production function, while Policy Analysis Matrix was employed in this study to measure level of competitive and comparative advantage and effect of government interventions on beef cattle fattening. The results showed that quantity of forage, concentrate, cattle’s age, and livestock ownership significantly influence production. The average value of the farm technical efficiency is 0.764 ranging from a minimum of 0.478 to a maximum of 0.996. Beef cattle fattening is profitable and has competitive and comparative advantage. Fattening produces profits that create positive incentives for producers and reflect an efficient use of domestic resources.
Potong di Kabupaten Agam Provinsi Sumatera Barat (RITA NURMALINA sebagai Ketua, dan ANNA FARIYANTI sebagai Anggota Komisi Pembimbing).
Swasembada daging sapi 2014 merupakan salah satu program utama pemerintah dalam rangka mewujudkan ketahanan pangan asal ternak berbasis sumberdaya domestik. Target yang ingin dicapai adalah pemenuhan 90 persen dari kebutuhan daging sapi nasional. Pengembangan pengusahaan penggemukan sapi potong dapat dijadikan alternatif dalam rangka pemenuhan kebutuhan gizi masyarakat. Secara nasional, konsumsi daging sapi di Indonesia setiap tahun selalu meningkat. Pertumbuhan produksi daging sapi tahun 2005-2008 mengalami penurunan rata-rata sebesar 0.08 persen per tahun, sedangkan pertumbuhan konsumsi daging sapi rata-rata 5.47 persen per tahun. Hal ini menyebabkan impor daging dan sapi bakalan tiap tahun selalu meningkat, yaitu tahun 2003-2007 rata-rata 41.36 persen per tahun dan 20.3 persen per tahun (Direktorat Jenderal Peternakan, 2008). Kabupaten Agam yang merupakan salah satu sentra produksi sapi potong di Sumatera Barat memiliki potensi dalam pengembangan sapi potong. Namun masih terdapat beberapa kendala, yaitu produktivitas usaha penggemukan sapi potong masih rendah yang ditandai dengan pertambahan bobot badan sapi yang belum optimal. Hal ini diduga berkaitan dengan ketersediaan bibit unggul terbatas, usaha ternak masih berskala kecil, manajemen pakan yang kurang baik dan akses teknologi yang masih terbatas. Permasalahan lainnya adalah posisi peternak di Kabupaten Agam yang mulai terdesak dengan masuknya sapi potong impor yang menawarkan harga yang lebih rendah. Sehubungan dengan hal tersebut maka diperlukan peran kebijakan pemerintah yang dapat mendukung produksi dan daya saing usaha penggemukan sapi potong dalam negeri.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis : (1) Variabel-variabel yang mempengaruhi produksi usaha penggemukan sapi potong di Kabupaten Agam, (2) tingkat efisiensi teknis usaha penggemukan sapi potong di Kabupaten Agam, (3) daya saing usaha penggemukan sapi potong di Kabupaten Agam, dan (4) dampak kebijakan pemerintah (input dan ouput) terhadap daya saing usaha penggemukan sapi potong di Kabupaten Agam. Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Sungai Puar dan Kecamatan Tilatang Kamang, Kabupaten Agam. Pemilihan lokasi dilakukan secara purposive dengan pertimbangan bahwa lokasi tersebut merupakan daerah basis usaha peternakan sapi potong di Kabupaten Agam dan masih potensial untuk dikembangkan. Analisis fungsi produksi menggunakan model Stochastic frontier dengan metode pendugaan Maximum Likelihood (MLE). Daya saing usaha penggemukan sapi potong dianalisis dan diukur melalui keuntungan finansial, keuntungan ekonomi, analisis keunggulan kompetitif dan komparatif dengan menggunakan Policy Analysis Matrix (PAM).
obat-tingkat efisiensi teknis 0.61-0.80, dengan rata-rata efisiensi teknis 0.764. Hasil pendugaan terhadap faktor-faktor inefisiensi teknis menunjukkan bahwa faktor yang menjadi sumber inefisiensi teknis usaha penggemukan sapi potong adalah umur dan status usaha. Sedangkan variabel lainnya yaitu pendidikan dan pengalaman peternak tidak berpengaruh nyata.
Berdasarkan analisis PAM secara keseluruhan, peternak di kedua lokasi penelitian memiliki keunggulan kompetitif (PCR < 1) dan komparatif (DRC < 1). Nilai PCR untuk Kecamatan Sungai Puar adalah 0.856 dan Kecamatan Tilatang Kamang 0.725, yang menunjukkan bahwa masing-masing peternak hanya mengeluarkan tambahan biaya kurang dari satu untuk dapat bersaing dengan produk sejenis. Nilai indikator keunggulan komparatif yang dilihat dari nilai DRC, diperoleh 0.947 untuk Kecamatan Sungai Puar dan 0.812 untuk Kecamatan Tilatang Kamang. Hal ini berarti di Kabupaten Agam akan lebih menguntungkan jika kebutuhan sapi potong dipenuhi dari pengusahaan sendiri dari pada mengimpornya. Dari nilai DRC yang diperoleh dikedua kecamatan menunjukkan Kecamatan Tilatang Kamang lebih unggul secara kompetitif dan komparatif dibandingkan Kecamatan Sungai Puar.
Analisis dampak kebijakan kebijakan dalam tabel PAM dari sisi output ditunjukkan oleh nilai OT yang lebih besar dari nol (OT > 0) yaitu Rp. 1 565 921 untuk Kecamatan Sungai Puar dan Rp.1 581 544 untuk Kecamatan Tilatang kamang, artinya harga output di pasar domestik lebih tinggi dibandingkan harga internasionalnya. Hal ini mengindikasikan bahwa ada kebijakan pemerintah yang bersifat protektif terhadap peternak sehingga menguntungkan peternak. Nilai Input Transfer (IT) yang diperoleh menunjukkan divergensi positif pada input tradable untuk kedua wilayah yaitu Rp. 278 148 per ekor untuk Kecamatan Sungai Puar dan Rp. 347 083 per ekor untuk Kecamatan Tilatang Kamang. Nilai divergensi yang positif menunjukkan adanya retribusi atau pajak yang dipungut terhadap input tradable. Hasil analisis dampak kebijakan pemerintah terhadap input-output menunjukkan bahwa berdasarkan nilai EPC yang lebih dari satu menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah terhadap output dan input dapat memberikan insentif kepada peternak sapi potong untuk berproduksi.
Hasil analisis sensitivitas terhadap indikator daya saing menunjukkan bahwa yang paling besar dampaknya terhadap daya saing penggemukan sapi potong adalah harga output. Penurunan harga output 15 persen sudah menyebabkan usaha penggemukan sapi potong di kedua lokasi tidak memiliki keunggulan komparatif. Hal ini berarti bahwa komoditas sapi potong tidak lagi efisien untuk diproduksi di dalam negeri. Oleh karena itu pemerintah harus benar-benar memperhatikan kestabilan harga komoditas sapi potong dengan menerapkan kebijakan-kebijakan perdagangan terutama pengendalian impor komoditas sapi potong. Disamping itu pengembangan usaha penggemukan sapi potong dalam rangka mencapai swasembada daging sapi 2014 serta menyikapi iklim globalisasi ekonomi, sebaiknya diarahkan kepada daerah-daerah potensial yang memiliki keunggulan komparatif lebih baik, guna dapat mengurangi ketergantungan impor daging dan sapi potong Indonesia.
©
Hak cipta milik IPB, tahun 2011
Hak cipta dilindungi Undang-Undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau
IDA INDRAYANI
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains
pada
Mayor Ilmu Ekonomi Pertanian
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis :
Dr. Ir. Yusman Syaukat, M.Ec
(Dosen Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor)
Penguji Wakil Mayor Ilmu Ekonomi Pertanian dan Pimpinan Sidang :
Prof. Dr. Ir. Kuntjoro
Nama Mahasiswa : Ida Indrayani
Nomor Pokok : H353080041
Mayor : Ilmu Ekonomi Pertanian
Menyetujui, Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Rita Nurmalina, M.S. Dr. Ir. Anna Fariyanti, M.Si.
Ketua Anggota
Mengetahui,
Koordinator Mayor Dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu Ekonomi Pertanian
Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, M.A. Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S.
Bismillahirrahmanirrahim. Puji dan syukur kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian
ini yang berjudul : “Analisis Produksi dan Daya Saing Usaha Penggemukan Sapi
potong di Kabupaten Agam Provinsi Sumatera Barat”. Penelitian ini dilakukan
dalam rangka penulisan tesis untuk memperoleh gelar Magister pada Mayor
Ekonomi Pertanian, Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, Program
Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya terutama kepada
Komisi Pembimbing Dr. Ir. Rita Nurmalina, MS selaku pembimbing utama,
Dr. Ir. Anna Fariyanti, M.Si selaku anggota komisi pembimbing yang telah
memberikan arahan serta saran yang sangat bermanfaat dalam proses penelitian
dan penulisan tesis ini. Terimakasih juga penulis sampaikan kepada :
1. Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA. selaku Ketua Mayor Ilmu Ekonomi
Pertanian dan seluruh staf pengajar yang telah memberikan bimbingan dan
proses pembelajaran selama perkuliahan pada Mayor Ilmu Ekonomi
Pertanian.
2. Dr. Ir Yusman Syaukat, M.Ec selaku Penguji Luar Komisi dan Prof. Dr. Ir.
Kuntjoro selaku Penguji Wakil Mayor, yang telah memberikan masukan
untuk penyempurnaan tesis ini.
3. Rektor Universitas Andalas dan Dekan Fakultas Peternakan beserta staf yang
telah memberikan izin dan kesempatan untuk mengikuti Program Magister di
5. Kepala Dinas Peternakan Kabupaten Agam (Ir. Andri, MM) beserta staf (Ir.
Aguska DF) dan staf lainnya yang telah memberikan informasi selama
penulisan tesis ini.
6. Kepala UPT Kesehatan Hewan Sungai Puar (Bapak Darlis) dan Koto Ilalang
(Ibu Sri) beserta staf (Bapak Men, Bapak Sam, Ibu Desi dan Deded) yang
telah membantu selama penelitian dan memberikan informasi dalam
penulisan tesis ini.
7. Tenaga Penyuluh (Ibu Pik dan Bapak Tasenu) dan pihak-pihak lain terutama
responden yang namanya tidak dapat disebutkan satu-persatu namun telah
banyak memberikan sumbang saran dan informasi selama penulisan tesis ini.
8. Teman-teman EPN angkatan 2008 (Trees, Mbak Nurul, Mbak Retno, Mbak
Corry, Kani, Listone dan Mas Gonang), terimaksih atas kebersamaannya
selama kuliah dan dukungannya dalam penyelesaian studi ini.
9. Teman-teman EPN S3 (Bu Hapsah, Bu Wiwik, Bu Dewi, Mbak Lala, Ni Zed,
Pak Adang, Pak Ahmad, dan Pak Khalil), terimakasih atas bimbingannya
selama ini.
10. Seluruh staf pada Mayor EPN (Mbak Rubi, Mbak Yani, Mbak Angga, Mbak
Aam, Ibu Kokom, Bapak Husein) yang selalu meluangkan waktu dan
membantu penulis selama perkuliahan sampai penulis menyelesaikan studi di
Mayor Ekonomi Pertanian.
11. Teman-teman kost (Bu Hesti, Bu Tri, Wina, Ayu, Mba Niken, dan Ane) serta
teman-teman lain yang tidak dapat disebutkan namanya satu per satu,
senang. Selanjutnya kepada teman-teman Ikatan Mahasiswa Pascasarjana
Asal Sumatera Barat (IMPACS), terimakasih atas kebersamaannya.
Secara khusus dengan penuh rasa cinta kasih dan hormat, penulis
mengucapkan terimakasih yang tak tak terhingga kepada Ayahanda Dasril dan
Ibunda Ramnis yang telah berkorban dan senantiasa memberikan dukungan dan
do’a untuk kelancaran penyelesaian studi penulis. Terimakasih yang tak terhingga
juga penulis ucapkan kepada Kakanda Wenny Sayori, A.Md dan Elsuriandi,
A.Md, yang selalu memberikan dukungan dan semangat hingga selesainya studi
ini. Dan untuk ponakanku tersayang Najla Azizah yang memberikan hiburan
dikala susah sehingga mendatangkan semangat untuk penulis. Selanjutnya
Keluarga Ante dan Om di Padang, Keluarga di Kampung, dan Keluarga di
Bangkinang, terimakasih atas dukungan dan do’anya.
Besar harapan saya bahwa penelitian ini dapat bermanfaat bagi
pengembangan ilmu pengetahuan dan sektor pertanian, khususnya peternakan sapi
potong di Indonesia. Semoga Allah SWT menerima karya ini sebagai amal
kebaikan dan tanda syukur penulis. Amin.
Bogor, Februari 2011
Penulis dilahirkan di Talawi Kota Sawahlunto, Sumatera Barat pada
tanggal 20 Oktober 1981, sebagai anak kedua dari pasangan Bapak Dasril dan Ibu
Ramnis. Tahun 2000 penulis menyelesaikan studi di SMU Negeri 1 Sijunjung,
dan pada tahun yang sama penulis melanjutkan studi di Program Studi Sosial
Ekonomi Peternakan Universitas Andalas melalui tes Ujian Masuk Perguruan
Tinggi Negeri (UMPTN). Penulis menyelesaikan pendidikan sarjana pada Tahun
2004. Pada Tahun 2005 penulis diterima sebagai staf pengajar pada Program Studi
Sosial Ekonomi Peternakan, Fakultas Peternakan, Universitas Andalas.
Tahun 2008 penulis melanjutkan Pendidikan ke jenjang master pada
Program Magister Sains Mayor Ilmu Ekonomi Pertanian, Departemen
Sumberdaya dan Lingkungan, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut
Pertanian Bogor dengan Beasiswa Program Pascasarjana (BPPS) yang diperoleh
dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional
Halaman
DAFTAR TABEL ... xvii
DAFTAR GAMBAR ... xix
DAFTAR LAMPIRAN ... xx
I. PENDAHULUAN ... 1
1.1. Latar Belakang ... 1
1.2. Perumusan Masalah ... 6
1.3. Tujuan Penelitian ... 11
1.4. Ruang Lingkup Penelitian ... 11
II. TINJAUAN PUSTAKA ... 13
2.1. Faktor-faktor yang berpengaruh dalam Produksi Usaha Penggemukan Sapi Potong ... 13
2.2. Sumber-sumber dan Tingkat Daya Saing Usaha Peternakan Sapi Potong ... 19
2.3. Kebijakan Pemerintah Terhadap Input dan Output Komoditas Daging Sapi ... 25
2.2.1. Kebijakan Output Daging Sapi ... 25
2.2.2. Kebijakan Input Pakan Ternak ... 29
III. KERANGKA PEMIKIRAN ... 32
3.1. Teori Produksi ... 32
3.2. Teori Daya Saing ... 50
3.3. Analisis Kebijakan Pemerintah ... 54
3.3.1. Kebijakan Harga Output ... 54
3.3.2. Kebijakan Harga Input ... 57
3.4. Konsep Sensitivitas ... 59
3.5. Kerangka Konseptual ... 60
IV. METODOLOGI PENELITIAN ...
VI. GAMBARAN WILAYAH, KARAKTERISTIK PETERNAKAN SAPI POTONG DAN RESPONDEN PENELITIAN ... 93
7.1. Analisis Variabel-variabel yang Mempengaruhi Produksi Usaha Penggemukan Sapi Potong di kabupaten Agam... Sapi Potong di Kabupaten Agam ... 140
7.2.4. Keunggulan Kompetitif dan Komparatif Usaha Penggemukan Sapi Potong di Kabupaten Agam ... 144
7.2.5. Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Usaha Penggemukan Sapi Potong di Kabupaten Agam ... 149
7.2.6. Analisis Sensitivitas terhadap Daya Saing Usaha Penggemukan Sapi Potong di Kabupaten Agam ... 159
7.2.7. Analisis Tingkat Produktifitas dan Harga pada Kondisi DRC = 1 ... 163
7.2.8. Kebijakan Alternatif terhadap Peningkatan Daya Saing Usaha Penggemukan Sapi Potong ... 165
VIII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN ... 169
8.1. Kesimpulan ... 169
8.2. Implikasi Kebijakan ... 170
DAFTAR PUSTAKA ... 172
Nomor Halaman
1. Neraca Komoditas Daging Sapi Nasional ... 3
2. Produksi dan Tingkat Swasembada Daging Sapi di Indonesia ... 4
3. Perkembangan Perdagangan Ternak dan Daging Sapi di Indonesia .. 4
4. Policy Analysis Matrix (PAM)... 70 5. Alokasi Biaya Produksi Berdasarkan Komponen Tradable dan
Komponen Biaya Domestik ... 81
6. Harga Privat dan Sosial Usaha Ternak Sapi Potong di
Kabupaten Agam ... 82
7. Populasi Sapi Potong Indonesia Tahun 2005–2009 ... 90
8. Populasi Sapi Potong per Bangsa Tahun 2009 dan Proyeksi Sampai
Tahun 2014 ... 90
9. Penyediaan Daging Sapi Lokal, Ex-Bakalan dan Impor Tahun
2005-2009 ... 91 10. Populasi Ternak Sapi di Kabupaten Agam Tahun 2005-2009 ... 96
11. Status Usaha Penggemukan Sapi Potong di Kabupaten Agam ... 96
12. Jumlah Kepemilikan Ternak Sapi oleh Rumahtangga Peternak di
Kabupaten Agam ... 98
13. Pola Penguasaan Ternak Sapi Potong oleh Peternak Responden di
Kabupaten Agam ... 99 14. Sebaran Periode Pemeliharaan Sapi Potong oleh Peternak
Responden di Kabupaten Agam ... 100
15. Umur Sapi Bakalan pada Usaha Penggemukan Sapi Potong di
Kabupaten Agam ... 102 16. Sebaran Pertambahan Bobot Badan Sapi pada Usaha Penggemukan
18. Sebaran Umur Peternak Responden di Kabupaten Agam ... 111
19. Sebaran Tingkat Pendidikan Peternak Responden di
Kabupaten Agam ... 112 20. Pengalaman Peternak Responden di Kabupaten Agam ... 113
21. Statistik Deskriptif Masing-masing Variabel Usaha Penggemukan
Sapi Potong di Kabupaten Agam ... 115
22. Pendugaan Fungsi Produksi dengan Menggunakan Metode MLE ... 118
23. Sebaran Efisiensi Teknis Peternak Responden ... 125
24. Pendugaan Efek Inefisiensi Teknis Fungsi Produksi
Stochastic Frontier ... 128 25. Varians dan Parameter γ (gamma) dari Model Inefisiensi Teknis
Fungsi Produksi Stochastic Frontier ... 132 26. Penerimaan dan Komponen Biaya Rata-rata Usaha Penggemukan
Sapi Potong di Kabupaten agam ... 141
27. Matriks Analisis Kebijakan Usaha Penggemukan Sapi potong di
Kabupaten Agam ... 143
28. Privat Cost Ratio (PCR) dan Domestic Resources (DRCR) Usaha
Pengemukan Sapi Potong di Kabupaten Agam ... 145
29. Output Transfer dan Nominal Protection Coefficient on Output
Usaha Penggemukan Sapi Potong di Kabupaten Agam ... 151
30. Input Transfer, Nominal Protection Coefficient on Input dan Factor
Transfer Usaha Penggemukan Sapi Potong di Kabupaten Agam ... 152 31. Effective Protection Coefficient, Net Transfer, Profitability
Coefficient, dan Subsidy Ratio to Producers Usaha Penggemukan
sapi Potong di Kabupaten Agam ... 156
32. Nilai Keuntungan berdasarkan Analisis Sensitivitas Usaha
Penggemukan Sapi Potong di Kabupaten Agam ... 160
33. Indikator Daya Saing Berdasarkan Analisis Sensitivitas Pada Usaha
Nomor Halaman
1. Fungsi Produksi ... 35
2. Fungsi Produksi Stochastic Frontier ... 43
3. Ukuran Efisiensi ... 46
4. Dampak Subsidi Positif terhadap Konsumen dan Produsen pada Barang Impor ... 55
5. Restriksi Perdagangan pada Komoditi Impor ... 56
6. Subsidi dan Pajak pada Input ... 58
7. Dampak Subsidi dan Pajak terhadap Input tradable ... 59
8. Kerangka Konseptual ... 62
Nomor Halaman
1. Data Output, Penggunaan Input dan Faktor-faktor Inefisiensi
Pada Usaha Penggemukan Sapi Potong Di Kabupaten Agam …... 182
2. Uji Kenormalan pada Model Fungsi Produksi Usaha
Penggemukan Sapi Potong di Kabupaten Agam ……….... 185
3. Uji Heterokedastisitas pada Model Fungsi Produksi Usaha
Penggemukan Sapi Potong di Kabupaten Agam ... 186
4. Uji Multikolinearitas pada Model Fungsi Produksi Usaha
Penggemukan Sapi Potong di Kabupaten Agam ... 187
5. Hasil Analisis Pendugaan Fungsi Produksi Usaha Penggemukan
Sapi Potong di Kabupaten Agam ... 188
6. Rincian Biaya Usaha Penggemukan Sapi Potong dalam
Komponen Domestik dan asing di Kabupaten Agam ... 191
7. Tabel PAM (Policy Analisis Matrix) dan Indikator Daya Saing Usaha Penggemukan Sapi Potong di Kabupaten
Agam ... 192
8. Rincian Biaya Usaha Penggemukan Sapi Potong dalam
Komponen Domestik dan Asing di Kecamatan Sungai Puar ... 193
9. Tabel PAM (Policy Analisis Matrix) dan Indikator Daya Saing Usaha Penggemukan Sapi Potong di Kecamatan
Sungai Puar ... 194
10. Rincian Biaya Usaha Penggemukan Sapi Potong dalam
Komponen Domestik dan Asing di Kecamtan Tilatang Kamang.... 195 11. Tabel PAM (Policy Analisis Matrix) dan Indikator Daya Saing
Usaha Penggemukan Sapi Potong di Kecamatan Tilatang
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pertanian merupakan sektor potensial yang memegang peranan penting
dalam pembangunan Indonesia. Hal ini didasarkan pada kontribusi sektor
pertanian yang tidak hanya berperan dalam pembentukan Produk Domestik Bruto
(PDB), penciptaan kesempatan kerja, peningkatan pendapatan masyarakat dan
perolehan devisa, tetapi juga dapat dilihat secara lebih komprehensif, antara lain
sebagai penyediaan pangan masyarakat sehingga mampu berperan secara strategis
dalam penciptaan ketahanan pangan nasional (food security) dan dapat menghemat devisa yang berasal dari ekspor atau produk substitusi impor
(Daryanto, 2009)
Tujuan pembangunan pertanian diantaranya adalah : (1) meningkatkan
pendapatan petani melalui peningkatan produktivitas, efisiensi usaha dan
perbaikan sistem pemasaran, (2) meningkatkan produksi pangan sumber protein
guna mendorong peningkatan gizi masyarakat, (3) mendorong terciptanya
kesempatan kerja di pedesaan dengan pendapatan yang layak melalui
pengembangan sistem agribisnis, dan (4) menyediakan bahan baku industri dan
meningkatkan ekspor komoditi pertanian dengan mengembangkan komoditi
unggulan terutama pada kawasan-kawasan sentra produksi pertanian yang
prospektif untuk dikembangkan.
Salah satu agenda penting pembangunan ekonomi dalam Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2005-2009 yang terkait
diarahkan untuk meningkatkan ketersediaan pangan asal ternak, meningkatkan
nilai tambah dan daya saing produk pertanian, serta meningkatkan produksi dan
ekspor komoditi pertanian (Departemen Pertanian, 2006). Perkembangan hingga
saat ini menunjukkan pencapaian yang cukup memuaskan, diantaranya : (1) dari
sisi produksi, pertumbuhan ekonomi tinggi terutama didorong oleh sektor
pertanian, dimana pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) pertanian selama
2009 rata-rata 3.30 persen, (2) produksi pangan selama RPJMN
2005-2009 meningkat tajam, disertai ketahanan pangan yang memperlihatkan
kecenderungan membaik, yaitu ketersediaan energi selama 2005-2008 meningkat
2,60 persen per tahun dan ketersediaan protein meningkat 2.70 persen per tahun,
(3) jumlah penduduk miskin berkurang, dimana tahun 2005 sebesar 15.79 persen
dan tahun 2009 menjadi 14.15 persen (Kementerian Pertanian, 2009).
Pembangunan pertanian perlu terus dikembangkan agar mengarah pada
terciptanya pertanian yang efisien, memiliki daya saing, serta mampu
meningkatkan pendapatan dan taraf hidup para petani pada khususnya dan
masyarakat luas pada umumnya.
Peternakan merupakan salah satu subsektor pertanian yang mempunyai
prospek yang baik untuk dikembangkan. Subsektor peternakan berpotensi
dijadikan sumber pertumbuhan baru pada sektor pertanian. Beberapa peluang
dalam pengembangan sektor peternakan adalah jumlah penduduk Indonesia yang
terus meningkat, kondisi geografis dan sumberdaya alam yang mendukung usaha
dan industri peternakan, serta pemanfaatan diversifikasi produk peternakan. Hal
persen per tahun lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan sektor pertanian
yaitu sebesar 2.66 persen per tahun (Ilham, 2007).
Daging merupakan salah satu bahan pangan yang sangat penting dalam
mencukupi kebutuhan gizi masyarakat, serta merupakan komoditas ekonomi yang
mempunyai nilai sangat strategis. Untuk memenuhi kebutuhan daging di
Indonesia terutama berasal dari daging unggas, daging sapi, daging kerbau serta
daging kambing dan domba. Secara nasional, konsumsi daging sapi di Indonesia
setiap tahun selalu meningkat, sejalan dengan bertambahnya jumlah penduduk,
peningkatan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat serta semakin tingginya
tingkat kesadaran masyarakat akan pentingnya protein hewani. Peningkatan
konsumsi daging sapi belum dapat diimbangi dengan produksi daging sapi yang
memadai, baik dari segi mutu maupun jumlahnya, sehingga terjadi kesenjangan
yang semakin besar antara permintaan dan penawaran daging sapi. Hal ini
memaksa pemerintah akhirnya mengeluarkan kebijakan impor daging sapi.
Tabel 1. Neraca Komoditas Daging Nasional Tahun 2007-2008
2007 (ribu ton) 2008 (ribu ton)
No Komoditi
Produksi Konsumsi Produksi Konsumsi
1. Daging Sapi 339.5 453.8 352.4 395.0
2. Daging kambing 34.5 35.1 37.6 38.2
3. Daging Ayam 683.3 687.8 716.3 720.7
4. Daging Babi 138.6 140.2 144.5 146.2
Total 1 195.9 1 316.9 1 250.8 1 300.6
Sumber : Direktorat Jenderal Peternakan, 2009a
Tabel 1 menunjukkan bahwa konsumsi daging pada periode 2007-2008
tidak diimbangi oleh produksi dalam negeri, terutama untuk daging sapi. Produksi
daging sapi periode 2005-2008 cenderung mengalami penurunan, sedangkan
konsumsi daging sapi mengalami peningkatan. Pertumbuhan produksi daging sapi
sedangkan pertumbuhan kebutuhan daging sapi rata-rata naik 5.47 persen per
tahun, sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Produksi dan Tingkat Swasembada Daging Sapi di Indonesia Tahun 2005–2008
Tahun Produksi (ton) Kebutuhan (ton) Tingkat Swasembada (%)
Jika kesenjangan antara produksi dan konsumsi daging sapi tidak
diantisipasi dengan upaya terobosan dalam peningkatan produksi di dalam negeri
akan menyebabkan Indonesia akan selalu bergantung pada pasokan impor dan
menjadi target potensial pemasaran ternak sapi dan produk-produk turunannya
bagi negara produsen utama (FAO, 1999). Tabel 3 menunjukkan perkembangan
perdagangan ternak dan daging sapi Indonesia tahun 2003-2007.
Sumber : Direktorat Jenderal Peternakan, 2008 dalam Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 2009
Tabel 3 menunjukkan bahwa impor daging sapi dan sapi bakalan
mengalami peningkatan tiap tahunnya, yaitu rata-rata 20.30 persen per tahun dan
41.36 persen per tahun. Hal ini merupakan ancaman bagi produsen daging sapi
nasional, apalagi dengan diberlakukannya perdagangan bebas (Free Trade Area/FTA) dan kesepakatan di bidang Pertanian (Agreement on Agriculture, AoA), yang merupakan bagian dari Kesepakatan Umum di bidang Tarif dan
Perdagangan (General Agreement on Tariff and Trade, GATT). Produk-produk peternakan Indonesia akan bersaing dengan produk-produk sejenis asal luar
negeri, terutama untuk komoditi daging. Harga sapi impor yang jauh lebih murah,
akan membuat para peternak rakyat harus mengkondisikan harga jualnya menjadi
lebih mengimbangi murahnya harga jual sapi impor. Hal ini akan menempatkan
peternak sapi potong yang umumnya peternak kecil pada posisi yang semakin
sulit, sehingga mengancam kelangsungan usaha peternakan sapi potong dalam
negeri.
Intensitas perdagangan internasional (ekspor maupun impor) yang semakin
meningkat, menjadikan produktivitas, efisiensi dan daya saing semakin penting
untuk diperhatikan. Indonesia tidak akan mampu menang dalam persaingan
global, baik di pasar internasional maupun di pasar domestik tanpa membangun
ketiga hal tersebut. Pemerintah Indonesia telah mencanangkan berbagai program
dalam rangka pemenuhan kebutuhan daging dalam negeri. Program swasembada
daging sapi sebagaimana yang dituangkan dalam Peraturan Menteri Pertanian
Nomor : 59/ Permentan/HK.060/8/2007 tentang Pedoman Percepatan Pencapaian
Revitalisasi Pertanian yang dicanangkan pada tahun 2005. Targetnya, memenuhi
kebutuhan minimal protein hewani asal daging 10.10 kilogram per kapita per
tahun, yang saat ini baru dicapai sekitar 8.00 kg per kapita per tahun. Kontribusi
daging sapi tahun 2007 baru mencapai 1.84 kg per kapita per tahun. Dari program
tersebut diharapkan kontribusi daging sapi akan mencapai sekitar 2.00 kg per
kapita per tahun pada 2010 (Busyairi, 2009).
Sasaran yang akan dicapai adalah mengurangi ketergantungan impor
daging maupun sapi potong, yang dalam lima tahun dapat mencukupi sebagian
besar kebutuhan daging domestik. Solusi jangka pendek terhadap masalah daging
sapi kita saat ini adalah meningkatkan kemampuan dalam negeri untuk memasok
daging sapi secara lebih kompetitif. Suplai daging sapi dalam negeri bisa lebih
kompetitif jika daya saingnya dapat ditingkatkan. Daya saing sangat terkait
dengan ketersediaan dan penggunaan input produksi yaitu ketersediaan pakan,
penggunaan bibit unggul, manajemen dan kesehatan hewan, serta inovasi
teknologi dan faktor-faktor eksternal lainnya. Tersedianya sumberdaya lokal dan
teknologi serta adanya dukungan pemerintah diharapkan dapat dijadikan peluang
untuk pengembangan usaha ternak sapi dalam negeri.
Populasi sapi sebagian besar disumbangkan oleh daerah sentra produksi
seperti Jawa Timur, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, Bali, Nusa Tenggara Barat,
Nusa Tenggara Timur, dan Aceh. Namun dalam rangka peningkatan populasi
yang lebih besar, perlu diperhatikan daerah-daerah lain, yang juga merupakan
daerah potensial pengembangan sapi potong seperti Sumatera Barat, Sumatera
1.2. Perumusan Masalah
Pemberlakuan pasar bebas (Free Trade Area/FTA) terutama Persetujuan ASEAN-Australia New Zealand Free Trade Area (AANZ-FTA) menuntut setiap daerah untuk dapat meningkatkan produktivitas, efisiensi, dan kualitas produksi
sehingga dapat bersaing dengan produk-produk impor serta menciptakan iklim
usaha yang kondusif dalam rangka meningkatkan daya saing.
Kondisi ini terutama akan berpengaruh pada usaha peternakan sapi,
dimana selama ini impor daging sapi terutama berasal dari Australia dan New
Zealand. Dengan adanya kerjasama AANZ-FTA ini akan ada penurunan sejumlah
tarif, dimana untuk daging sapi yang saat ini sebesar 5 persen akan diturunkan
secara bertahap hingga tahun 2020 akan menjadi nol persen. Akibatnya produk
sapi impor akan sepenuhnya bebas masuk ke pasar dalam negeri dengan harga
yang lebih rendah. Sejalan dengan hal tersebut, maka percepatan pembangunan
usaha peternakan sapi potong harus dikembangkan pada daerah-daerah yang
memiliki basis usaha komoditi unggulannya adalah sapi potong.
Sumatera Barat menjadikan sapi potong sebagai salah satu komoditas
unggulan. Perkembangan populasi sapi potong di Sumatera Barat menunjukkan
penurunan, dimana rata-rata pertumbuhan ternak sapi dalam lima tahun terakhir
menurun sebesar 4.55 persen per tahun, sementara rata-rata jumlah ternak yang
dipotong meningkat sebesar 7.85 persen per tahun. Rendahnya tingkat produksi
dan produktivitas ternak sapi potong disebabkan masih rendahnya tingkat
kelahiran (angka kelahiran dibawah 50 persen), jarak beranak yang terlalu panjang
pemotongan hewan betina produktif serta tingginya inseminasi berulang di daerah
kawasan ternak pembibitan (Dinas Peternakan Sumatera Barat, 2008).
Berdasarkan tingkat konsumsi masyarakat Sumatera Barat dalam
mengkonsumsi protein hewani khususnya daging, konsumsi masyarakat terhadap
daging belum mencapai standar pola pangan harapan. Dari data yang ada ternyata
konsumsi masyarakat Sumatera Barat terhadap daging sebesar 5.33 kg per kapita
per tahun dari target 10.00 kg per kapita per tahun. Dengan demikian permintaan
terhadap daging masih akan terus meningkat (Natra, 2004). Dilihat dari kondisi
tersebut, maka usaha peningkatan produksi sapi potong perlu dilakukan.
Produksi daging sapi di Sumatera Barat berdasarkan data tahun 2006
adalah 15 561 671 kg dan diperkirakan sampai tahun 2010 produksi daging dapat
mencapai 16 375 342 kg. Dengan kondisi Sumberdaya alam yang mendukung dan
ketersediaan lahan, pakan hijauan ternak serta tenaga kerja, produksi daging sapi
masih dapat ditingkatkan (Dinas Peternakan Sumatera Barat, 2007)
Kabupaten Agam sebagai salah satu sentra produksi sapi potong di
Sumatera Barat memiliki potensi pengembangan di masa datang. Populasi sapi
potong terus meningkat yaitu tahun 2005 berjumlah 27 843 ekor dan tahun 2008
mencapai 32 017 ekor (Dinas Peternakan Kabupaten Agam, 2008). Usaha
penggemukan sapi potong merupakan salah satu alternatif usaha yang banyak
dipilih peternak. Hal ini karena disamping sistem pemeliharaan yang relatif
mudah, periode pengusahaan juga relatif singkat. Saat ini sebagian besar peternak
mengusahakan penggemukan sapi jenis peranakan Simental. Hal ini karena sapi
jenis peranakan umumnya memiliki performa produksi yang lebih baik. Mata
penyediaan pakan baik berupa hijauan maupun limbah pertanian juga dapat
dijadikan sebagai salah satu potensi pengembangan sapi potong.
Selain berbagai faktor pendukung di atas, usaha penggemukan sapi potong
di Kabupaten Agam juga menghadapi beberapa kendala yaitu (1) skala usaha
ternak yang diusahakan masih kecil yaitu dengan kepemilikan 1-3 ekor, (2)
ketersediaan bibit unggul terbatas, (3) terbatasnya akses teknologi, (4)
pertambahan bobot badan sapi yang belum optimal, yaitu baru mencapai
400-500 g per hari, sedangkan pertambahan bobot badan sapi berpotensi di atas
800 g per hari, serta (5) manajemen pemeliharaan ternak relatif masih rendah.
Selain kendala diatas peternak juga masih dihadapkan pada masalah keterbatasan
modal yang dimiliki, sehingga sebagian peternak masih melakukan usaha dengan
sistem bagi hasil. Keterbatasan modal juga menjadi penyebab peternak harus
membeli bakalan yang berumur lebih muda, sehingga peternak harus melakukan
pemeliharaan sapi dalam waktu yang lebih lama hingga sapi tersebut dapat dijual.
Semua permasalahan tersebut dapat menjadi hambatan bagi peternak dalam
rangka peningkatan produksi usaha penggemukan sapi potong.
Berdasarkan informasi yang diperoleh di lokasi penelitian, permasalahan
lainnya adalah posisi peternak di Kabupaten Agam yang mulai terdesak dengan
masuknya sapi potong impor yang berasal dari perusahaan penggemukan sapi
yang berada di Lampung. Harga sapi impor di lokasi penelitian berkisar antara
Rp. 20 000 hingga Rp. 22 000 per kilogram bobot hidup, sedangkan harga yang
ditawarkan peternak rata-rata Rp. 23 500 per kilogram bobot hidup. Kondisi ini
menuntut peternak untuk dapat menawarkan sapi potong dengan kualitas dan
Berdasarkan kondisi usaha yang ada dengan berbagai permasalahan di
atas, baik dari segi produksi maupun kondisi pasar yang dihadapi, maka akan
sangat berpengaruh terhadap eksistensi dan daya saing usaha penggemukan sapi
potong di Kabupaten Agam. Oleh karena itu menuntut perlu dikembangkannya
kebijakan yang diharapkan mampu melindungi usaha peternakan sapi domestik.
Kebijakan tersebut dapat berupa tarif, kuota, subsidi dan pajak.
Pada tahun 1990 tarif impor daging sapi sebesar 30 persen, tahun 1995
turun menjadi 25 persen, dan tahun 1997 turun menjadi 20 persen, sedangkan
untuk tahun 2003 menjadi 5 persen (Dirgantoro, 2004). Selanjutnya tarif tahun
2005 sampai sekarang masih ditetapkan sebesar 5 persen (Departemen Keuangan
Republik Indonesia, 2004). Kebijakan Pemerintah yang ada akan berpengaruh
terhadap input dan output dalam usaha peternakan sapi potong. Kebijakan yang
mengakibatkan biaya input menurun dan menambah nilai guna output akan
meningkatkan daya saing usaha peternakan sapi potong, sedangkan kebijakan
yang mengakibatkan biaya input menjadi naik dan nilai guna output menurun
akan menurunkan daya saing. Esensi dari daya saing suatu komoditas adalah
efisiensi dan produktivitas, dimana salah satu sumber pertumbuhan produktivitas
tersebut adalah efisiensi teknis (tehnical efficiency), (Coelli et al. 1998).
Berdasarkan kondisi di atas maka perlu untuk memberikan perhatian serius
terhadap upaya-upaya peningkatan daya saing usaha penggemukan sapi potong
antara lain melalui peningkatan efisiensi dan produktivitas yang didukung oleh
kebijakan pemerintah. Oleh karena itu perlu dilakukan pengkajian terhadap
Provinsi Sumatera Barat. Melalui penelitian ini dirumuskan permasalahan sebagai
berikut :
1. Variabel apa saja yang mempengaruhi produksi usaha penggemukan sapi
potong di Kabupaten Agam ?
2. Apakah usaha penggemukan sapi potong di Kabupaten Agam secara teknis
sudah efisien ?
3. Bagaimana tingkat daya saing (keunggulan kompetitif dan komparatif) usaha
penggemukan sapi potong di Kabupaten Agam ?
4. Bagaimana dampak kebijakan pemerintah (input dan ouput) terhadap daya
saing usaha penggemukan sapi potong di Kabupaten Agam ?
1.3. Tujuan Penelitian
Penelitian ini secara umum bertujuan untuk menganalisis produksi, dan
daya saing (keunggulan kompetitif dan komparatif) pengusahaan penggemukan
sapi potong di Kabupaten Agam. Secara rinci tujuan penelitian adalah sebagai
berikut:
1. Menganalisis variabel-variabel yang mempengaruhi produksi usaha
penggemukan sapi potong di Kabupaten Agam.
2. Menganalisis tingkat efisiensi teknis usaha penggemukan sapi potong di
Kabupaten Agam.
3. Menganalisis tingkat daya saing (keunggulan kompetitif dan komparatif) usaha
penggemukan sapi potong di Kabupaten Agam.
4. Menganalisis dampak kebijakan pemerintah (input dan ouput) terhadap daya
1.4. Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Agam yang merupakan salah satu
sentra produksi sapi potong di Sumatera Barat. Lokasi unit penelitian adalah
tingkat Kecamatan yang merupakan basis pengembangan usaha penggemukan
sapi potong. Penelitian ini dilaksanakan pada rumahtangga peternak yang
mengusahakan penggemukan sapi potong yang tersebar di dua Kecamatan, yaitu
Kecamatan : Tilatang Kamang dan Sungai Puar. Kedua Kecamatan ini merupakan
daerah dengan populasi sapi jantan terbesar di Kabupaten Agam.
Analisis produksi digunakan untuk mengetahui faktor-faktor yang
mempengaruhi produksi usaha penggemukan sapi potong, tingkat efisiensi teknis
yang dicapai, serta faktor-faktor yang mempengaruhi inefisiensi teknis usaha
penggemukan sapi potong di Kabupaten Agam. Untuk mengetahui daya saing
(keunggulan kompetitif dan komparatif) usaha penggemukan sapi potong
dilakukan pendekatan terhadap penggunaan sumberdaya domestik dan input
tradable. Metode analisis yang digunakan adalah Policy Analysis Matrix (PAM). Analisis ini akan memberikan informasi keunggulan kompetitif dan komparatif
sekaligus efisiensi ekonomi serta dampak kebijakan terhadap usaha penggemukan
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Faktor-faktor yang berpengaruh dalam Usaha Penggemukan Sapi Potong
Penggemukan adalah suatu usaha pemeliharaan sapi yang bertujuan untuk
mendapatkan produksi daging berdasarkan pada peningkatan bobot badan tinggi
melalui pemberian makanan yang berkualitas dan dengan waktu yang sesingkat
mungkin. Secara umum penggemukan sapi dapat dilakukan secara dikandangkan
(feedlot fattening) dan di padang rumput (pasture fattening). Menurut Basuki (2000) tujuan pemeliharaan sapi sistem feedlot adalah untuk mendapatkan keuntungan dari penjualan sapi dikurangi biaya produksi yang terdiri dari biaya
bibit (bakalan), pemeliharaan bakalan, biaya pakan, upah tenaga, dan lain-lain).
Dalam biaya variabel, biaya pakan dapat mencapai 70-80 persen, sehingga
efisiensi penggunaan pakan penting diperhatikan dan juga sangat berpengaruh
terhadap kualitas karkas dan daging yang dihasilkan.
Parameter yang penting diperhatikan dalam operasional usaha feedlot adalah laju pertumbuhan, efisiensi pertambahan bobot badan, nilai konversi pakan
yang efisien, produksi karkas dan daging, dan rasio feed cost gain yang ekonomis (Dyer dan O’Mary, 1977). Menurut Bowker et al. (1978) efisiensi usaha feedlot sangat ditentukan oleh imbangan antara pakan yang dikonsumsi dengan produk
yang dihasilkan. Pakan dengan kualitas yang baik umumnya dapat meningkatkan
efisiensi produksi, namun demikian biaya pakan harus diperhitungkan dengan
nilai produk yang dihasilkan.
Pertambahan bobot badan sapi terkait dengan pertumbuhan ternak.
seekor ternak yang dapat dinyatakan dengan panjang, volume ataupun massa.
Menurut Aberle et al. (2001) pertumbuhan dapat dinilai sebagai peningkatan tinggi, panjang, ukuran lingkar, dan bobot yang terjadi pada seekor ternak muda
yang sehat serta diberi pakan, minum, dan mendapat tempat berlindung yang
layak. Peningkatan sedikit saja ukuran tubuh akan menyebabkan peningkatan
yang proporsional dari bobot tubuh, karena bobot tubuh merupakan fungsi dari
volume. Pertumbuhan mempunyai dua aspek yaitu menyangkut peningkatan
massa persatuan waktu, dan pertumbuhan yang meliputi perubahan bentuk dan
komposisi sebagai akibat dari pertumbuhan diferensial komponen-komponen
tubuh (Lawrie, 2003).
Di bawah kondisi lingkungan yang terkendali, bobot ternak muda akan
meningkat terus dengan laju pertambahan bobot badan yang tinggi sampai
dicapainya pubertas. Setelah pubertas dicapai, bobot badan meningkat terus
dengan laju pertambahan bobot badan yang semakin menurun, dan akhirnya tidak
terjadi peningkatan bobot badan setelah dicapai kedewasaan. Pertumbuhan
selanjutnya adalah pertumbuhan negatif atau tidak terjadi lagi penambahan bobot
badan bahkan terjadi penurunan bobot badan karena ketuaan (Tulloh, 1978; Edey,
1983).
Dalam suatu usaha ternak sapi potong, faktor produksi juga mempunyai
peranan yang penting dalam melaksanakan usaha ternak sapi potong tersebut
seperti dalam melaksanakan usahatani lainnya. Untuk menghasilkan suatu hasil
produksi yang baik diperlukan kerjasama beberapa faktor produksi yang meliputi
lahan, modal, tenaga kerja, dan keahlian peternak, tentunya kombinasi faktor
memberikan keuntungan yang baik bagi para peternak. Keberhasilan
pemeliharaan sapi ini sangat ditentukan oleh kualitas sapi bakalan atau bibit yang
dipilih serta sistem usaha dan pemeliharaan ternak sapi potong yang dikelola oleh
peternak tersebut yang meliputi seleksi jenis bibit, sistem perkandangan,
pemberian pakan hijau, pemberian air minum, kebersihan ternak sapi potong dan
kandang, serta pemberian obat-obatan (Santoso, 2008).
Bagi para peternak, pengetahuan dan keahlian yang baik akan
pemeliharaan sapi potong juga sangat berpengaruh terhadap kualitas produksi
yang dihasilkan, tentunya apabila hasil produksi usaha yang diperoleh sangat baik,
maka akan baik pula pengaruhnya terhadap pendapatan yang diperoleh, sehingga
diperkirakan bahwa usaha ternak sapi potong tersebut dapat memberikan
kontibusi atau pemasukan yang cukup terhadap pendapatan keluarga.
Studi terdahulu telah banyak yang membahas tentang faktor-faktor yang
mempengaruhi produksi dalam usahatani dengan berbagai model fungsi produksi
yang digunakan. Namun untuk usaha ternak khususnya penggemukan sapi potong
masih jarang dan umumnya menggunakan model fungsi produksi Cobb-Douglas.
Arfa’i (1992) dan Lutfiadi (1999) telah melakukan penelitian tentang
faktor-faktor yang mempengaruhi produksi usaha ternak sapi potong. Kedua
penelitian tersebut menggunakan fungsi produksi Cobb-Douglas dalam
analisisnya. Hermawan et al. (2006) dan Trestini (2006) melakukan penelitian tingkat efisiensi teknis sapi potong menggunakan fungsi produksi frontier.
Penelitian Arfa’i (1992) menunjukkan bahwa faktor produksi yang berpengaruh
nyata terhadap pertambahan bobot badan selama pemeliharaan adalah jumlah
sapi yang dipelihara (P < 0.01). Disamping itu penggunaan faktor produksi pada
perusahaan yang diamati sudah mencapai tingkat penggunaan yang rasional
sedangkan secara ekonomis penggunaan faktor produksi belum efisien. Penelitian
Lutfiadi (1999) menghasilkan bahwa telah tercapai efisiensi teknis untuk
pemanfaatan konsentrat dan hijauan, sedangkan penggunaan biaya overhead dan
tenaga kerja tidak efisien.
Trestini (2006) menghasilkan bahwa rata-rata nilai efisiensi teknis usaha
ternak adalah 78.6 persen, yaitu berada antara 30.6 sampai 97.6 persen. Efisiensi
teknis berhubungan positif dengan jumlah Livestock Unit (LSU), nilai produksi daging per ekor (LSU), dan pembelian pakan. Sebaliknya efisiensi teknis
berkorelasi negatif dengan intensifikasi penggunaan bangunan (kandang) dan
tenaga kerja per LSU.
Penelitian Hermawan et al. (2006) menggunakan metode yang berbeda dalam mengukur efisiensi teknis usaha ternak yaitu mengacu pada pendekatan
Timmer yang mengukur efisiensi teknis suatu usaha ke-i sebagai rasio dari keluaran aktual terhadap keluaran potensial pada tingkat penggunaan masukan
dalam usahatani i, atau mengukur seberapa banyak kelebihan masukan yang digunakan jika usahatani-i berada dalam frontier. Penelitian tersebut menghasilkan, untuk peternak di Blora, pada usaha ternak sapi, luas lahan
berkorelasi positif dengan jumlah sapi, pendapatan, serta efisiensi teknis.
Selanjutnya diperoleh bahwa di Temanggung dan di Blora, jumlah ternak (sapi
dan kambing atau domba) dan efisiensi teknis juga berkorelasi positif dengan
pendapatan petani. Disimpulkan bahwa efisiensi teknis usaha ternak di dua
petani juga tidak terlalu besar (1.7 persen untuk Blora dan 7.2 persen untuk
Temanggung). Penelitian Elly (2008) mengemukakan bahwa produksi ternak sapi
dihitung berdasarkan berat badan ternak sapi, dimana rata-rata produksi ternak
sapi selama setahun di Minahasa dan Boolang Mongondow masing-masing
sebesar 330.99 kg dan 249.25 kg. Input produksi yang menentukan dalam
produksi adalah pakan dan obat-obatan.
Kajian terdahulu mengenai analisis faktor-faktor yang mempengaruhi
produksi usahatani yaitu Riyanto (2000) dan Afrizal (2009). Penelitian-penelitian
tersebut menggunakan model fungsi produski Cobb-Douglas dalam penelitiannya.
Penelitian tentang faktor-faktor yang mempengaruhi produksi pada bawang merah
di Brebes yang dilakukan oleh Riyanto (2000) menghasilkan bahwa peubah bebas
yang digunakan dapat menerangkan keragaman produksi dengan R2 sebesar 94
persen. Semua input tidak tetap berpengaruh nyata pada tingkat kepercayaan 99
persen, kecuali Urea pada tingkat kepercayaan 95 persen.
Penelitian lainnya yang juga menggunakan fungsi produksi Cobb-Douglas
dalam penelitiannya yaitu penelitian Afrizal (2009) yang menunjukkan bahwa
faktor-faktor yang menjadi determinan dalam usahatani gambir perkebunan rakyat
di Kabupaten Lima Puluh Kota yang berpengaruh secara nyata sebagai input
adalah tenaga kerja, luas lahan, jumlah tanaman gambir yang menghasilkan, umur
tanaman dan penggunaan pestisida dalam pengendalian hama dan penyakit.
Disamping itu pengalaman petani dalam berusahatani gambir, frekuensi panen
dan cara tanam juga mempengaruhi tingkat produksi secara nyata.
Fungsi Produksi Cobb-Douglas juga digunakan dalam penelitian untuk
Riyanto (2000) dan Purmiyanti (2002). Penelitian Riyanto (2000) menghasilkan
bahwa secara ekonomis penggunaan input belum efisien yang ditunjukkan oleh
nilai NPM/BKM tidak sama dengan satu. Penelitian untuk komoditas bawang
merah menghasilkan bahwa luas lahan, benih, pupuk P, pupuk K, tingkat
pendidikan, status garapan, dan varietas bibit berpengaruh terhadap produksi.
Pengujian efisiensi ekonomis (penggunaan input) dilakukan dengan
membandingkan Nilai Produk Marginal (VMPxi) dari setiap input terhadap harga
input tersebut. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa rasio nilai produk
marginal terhadap harga masing-masing input dalam produksi bawang merah
masih belum efisien.
Selain penelitian yang menggunakan pendekatan fungsi produksi
Cobb-Douglas, ada metode lain yang juga dapat digunakan dalam mengukur tingkat
efisiensi suatu usahatani. Utama (2003) melakukan penelitian dengan metode
pendekatan fungsi produksi stochastic frontier menggunakan Maximum Likelihood (MLE) menghasilkan bahwa nitrogen, penggunaan tenaga kerja, insektisida, irigasi, dan program Sekolah Lapang Pengendalian Hama Terpadu
(SLPHT) mempunyai hubungan yang positif dan mempengaruhi secara nyata
terhadap produksi. Sebaliknya Rodentisida mempunyai hubungan yang negatif
dan berpengaruh nyata terhadap produksi padi. Ini berarti bahwa penggunaan
Rodentisida akan menurunkan produksi padi.
Penelitian Sukiyono (2005) yang menggunakan fungsi produksi frontier
yang diduga dengan metode MLE (Maximum Likelihood Estimation) menghasilkan bahwa sebagian besar peubah nyata secara statistik pada setiap
Tingkat efisiensi teknik yang dicapai petani berbeda-beda dari sekitar 7 persen
sampai 99 persen dengan rata-rata 65 persen. Namun secara umum tingkat
efisiensi teknik yang dicapai oleh petani cabai merah di daerah penelitian cukup
tinggi. Singh (2007) menggunakan pendekatan stochastic frontier dalam penelitiannya menghasilkan bahwa estimasi technical efficiency mengindikasikan bahwa usahatani dengan skala yang kecil lebih efisien dibandingkan skala
menengah dan besar.
2.2. Sumber-Sumber dan Tingkat Daya Saing Usaha Peternakan Sapi Potong
Suatu produk memiliki daya saing yang tinggi salah satu cirinya adalah
produk tersebut dapat diproduksi secara efisien. Hal ini karena suatu produk yang
diproduksi secara efisien akan menyebabkan biaya produksi menurun sehingga
keuntungan akan makin meningkat. Daya saing merupakan salah satu kriteria
yang menentukan keberhasilan suatu negara di dalam perdagangan internasional.
Krugman dan Obstfeld (2004) menjelaskan bahwa setiap negara melakukan
perdagangan internasional karena dua alasan utama, yang masing-masing menjadi
sumber bagi adanya keuntungan perdagangan (gains from trade) bagi mereka. Alasan pertama negara-negara berdagang adalah karena mereka berbeda satu
sama lain. Bangsa-bangsa di dunia ini, sebagaimana halnya individu-individu,
selalu berpeluang memperoleh keuntungan dari perbedaan-perbedaan di antara
mereka melalui suatu pengaturan sedemikian rupa sehingga setiap pihak dapat
melakukan sesuatu secara relatif lebih baik. Kedua, negara-negara berdagang
satu-sama lain dengan tujuan untuk mencapai apa yang lazim disebut sebagai skala
membatasi kegiatan produksinya untuk menghasilkan sejumlah barang tertentu
saja, maka mereka berpeluang memusatkan perhatian dan segala macam sumber
dayanya sehingga ia dapat menghasilkan barang-barang tersebut dalam skala yang
lebih besar dan karenanya lebih efisien dibandingkan dengan jika negara tersebut
mencoba untuk memproduksi berbagai jenis barang secara sekaligus.
Krugman dan Obstfeld (2004) menjelaskan bahwa perdagangan
internasional dapat meningkatkan output dunia karena memungkinkan setiap
negara memproduksi sesuatu yang memiliki keunggulan komparatif. Suatu negara
memiliki keunggulan komparatif (comparative advantage) dalam memproduksi suatu barang kalau biaya pengorbanannya dalam memproduksi barang tersebut
(dalam satuan barang lain) lebih rendah daripada negara-negara lainnya. Ada
keterkaitan yang terpisahkan antara konsep keunggulan komparatif dengan
perdagangan internasional yaitu perdagangan antara dua negara akan
menguntungkan kedua belah pihak jika masing-masing negara memproduksi dan
mengekspor produk yang memiliki keunggulan komparatif.
Salvatore dan Diulio (2004) menjelaskan bahwa meskipun perdagangan
dapat memberikan keuntungan yang besar, banyak negara membatasi aliran
perdagangan yang bebas dengan mengenakan tarif, kuota, dan
hambatan-hambatan yang lain. Tarif impor adalah suatu pajak yang dikenakan terhadap
barang-barang impor. Kuota impor adalah hambatan kuantitatif pada jumlah
barang yang akan diimpor pada tahun tersebut. Hambatan yang lain meliputi
peraturan kesehatan, dan standar keamanan dan polusi. Hambatan perdagangan
didukung oleh tenaga kerja dan berbagai perusahaan dalam sejumlah industri
umumnya membebani masyarakat secara keseluruhan karena praktik ini
mengurangi ketersediaan barang dan meningkatkan harganya.
Pendekatan yang sering digunakan untuk mengukur daya saing suatu
komoditi adalah tingkat keuntungan yang dihasilkan dan efisiensi dalam
pengusahaan komoditi tersebut. Dalam periode 1990-1995, pengukuran daya
saing sektor industri, agribisnis atau komoditas mengacu pada alat analisis parsial,
seperti Relative Trade Advantage (RTA), Revealed Competitive Advantage
(RCA), dan Agribusiness Executive Survey (AES) (Daryanto 2009). Analisis
deskriptif kelembagaan agribisnis dapat menggunakan Agribusiness Confidence
Index (ACI). Monke dan Pearson (1995) memperkenalkan Policy Analisis Matrix
(PAM) yang dinilai mampu mensinergikan pengukuran keunggulan komparatif
(analisis ekonomi) dan keunggulan kompetitif (analisis finansial). Selain
digunakan untuk mengukur daya saing suatu komoditas, PAM juga dapat melihat
sejauh mana dampak kebijakan harga input, kebijakan harga output, atau
kombinasi keduanya yang dilakukan pemerintah terhadap produsen.
Daya saing subsektor peternakan ditentukan oleh beberapa faktor,
diantaranya : (1) kekayaan sumberdaya alam dan keragaman hayati dalam
menyediakan bahan baku pakan (jagung, kedelai, kacang tanah, ubikayu, limbah
sawit, dan hijauan pakan ternak), (2) sumberdaya manusia sebagai pelaku usaha
peternakan, (3) ketersediaan kapital atau modal yang memadai, (4) inovasi
teknologi baru dan pengembangan teknologi tepat guna di bidang peternakan serta
adaptasinya ditingkat peternak akan menjadi sumber pertumbuhan produktivitas
subsektor peternakan, dan (5) kelembagaan peternak sebagai wadah transfer
Penelitian mengenai daya saing (keunggulan komparatif dan kompetitif)
telah banyak dilakukan diantaranya Haryono (1991), Emilya (2001) Purmiyanti
(2002), Sumaryanto dan Friyanto (2003), serta Kurniawan (2008). Untuk
penelitian daya saing usaha ternak belum banyak dilakukan. Penelitian-penelitian
yang relevan dengan penelitian ini berkaitan dengan daya saing usaha peternakan
khususnya usaha ternak sapi potong diantaranya adalah penelitian Lole (1995),
Nalle (1996), Nefri (2000), Perdana (2003), Lamy et al. (2003), Simatupang dan Hadi (2004), Widodo (2006) serta Daryanto (2009).
Simatupang dan Hadi (2004) menyimpulkan bahwa diproyeksikan
Indonesia tahun 2020 akan mengalami defisist produksi daging sapi sebesar 2.7
juta ekor. Sebagai negara kepulauan, Indonesia kurang mempunyai keunggulan
komparatif untuk mengembangkan sistem peternakan berbasis pakan rumput
(grass-fed livestock farming), seperti sapi potong, kerbau, kambing, dan domba, sehingga daya saing usaha peternakan di Indonesia terletak pada sistem
peternakan berbasis pakan asal biji-bijian (grain-fed livestock farming), yaitu ayam ras pedaging dan petelur. Oleh karena itu, untuk mengembangkan usaha
sekaligus meningkatkan daya saing peternakan di Indonesia, dengan
mempertimbangkan keragaman biofisik wilayah dan potensi sosial ekonomi
(termasuk pasar domestik yang sangat besar), diperlukan pengembangan teknologi
spesifik lokasi usaha peternakan intensif (grain-fed) yang berorientasi pada permintaan pasar domestik; sekaligus memfasilitasi juga usaha peternakan
berbasis pakan rumput agar tidak punah.
Analisis daya saing usaha ternak sapi potong menggunakan metode
Nalle (1996) terhadap pengusahaan ternak sapi potong di wilayah Nusa Tenggara
Timur, memperlihatkan bahwa baik untuk sistem pengembalaan maupun sistem
ikat serta pada orientasi substitusi impor dan perdagangan antar wilayah nilai
Koefisien Biaya Sumberdaya Domestik (KBSD) nya lebih kecil dari satu. Hal ini
berarti bahwa pengusahaan komoditi ternak sapi potong di Nusa Tenggara Timur
adalah layak dan memiliki keunggulan komparatif. Namun Nefri (2000)
menghasilkan bahwa keunggulan kompetitif dan komparatif terhadap kinerja
usaha peternakan sapi potong di Indonesia, memperlihatkan tingkat daya saing
yang relatif masih rendah baik sebelum atau sesudah perbaikan pakan, dimana
nilai efisiensi ongkos produksi (C/P ratio) adalah sebesar 0.87-0.88 dan tingkat pengembalian modal (ROI) 12-13 persen serta Koefisien Biaya Sumberdaya
Domestik (KBSD) 0.52-0.56.
Penelitian yang dilakukan Perdana (2003) menghasilkan bahwa usaha
penggemukan sapi menguntungkan secara sosial dan dengan sendirinya memiliki
keunggulan komparatif. Selain itu tingkat keuntungan yang diperoleh antar skala
usaha (kecil, sedang, dan besar) tidak bebrbeda nyata. Widodo (2006)
menghasilkan pengelolaan sapi potong model Sistem Integrasi Pertanian Ternak
(SIPT) memiliki keunggulan komparatif dengan indikator nilai Koefisien Biaya
Sumberdaya Domestik (KBSD) atau Domestic Resources Cost Coeficient (DRCC) < 1.0 yaitu 0.57. Sehingga dapat disimpulkan bahwa kebijakan diarahkan
pada upaya mempertinggi harga bayangan sapi potong (harga batas) dan
memperendah harga input. Mempertinggi harga bayangan daging sapi dilakukan
secara kompetitif dengan sapi impor. Hal ini dapat diterapkan karena kebijakan
tarif pemerintah masih rendah yaitu dibawah lima persen.
Lamy et al. (2003) menganalisa sekelompok indikator dan faktor-faktor determinan yang memungkinkan perbandingan penilaian daya saing sektor
produksi daging sapi di Argentina dan Kanada. Hasil analisis menunjukkan bahwa
pangsa ekspor Argentina menurun sementara untuk Kanada meningkat. Biaya
pemasaran di Argentina lebih tinggi dibandingkan Kanada. Namun produsen di
Argentina berada dalam posisi yang lebih menguntungkan dibandingkan Kanada
jika dilihat dari potensi lahan, dimana Argentina memiliki wilayah luas yang tidak
digunakan dan dapat dimanfaatkan untuk ternak produksi. Sebaliknya Kanada
tidak memiliki lahan tidur seperti itu dan karenanya untuk meningkatkan produksi
ternak maka harus dilakukan melalui peningkatan efisiensi seperti peningkatan
produksi padang rumput, faktor genetik, dan lain-lain.
Penelitian Daryanto dan Saptana (2009) menghasilkan bahwa beberapa
faktor penentu dalam pengembangan kemitraan berdaya saing, diantaranya :
(1) konsolidasi kelembagaan di tingkat peternak rakyat, (2) pengembangan sistem
informasi, terutama informasi pasar dan harga, serta (3) perlunya perlindungan
peternak rakyat dan adanya praktek-praktek kegiatan usaha yang mengarah
kepada monopoli dan atau persaingan usaha yang tidak sehat.
Dengan mengacu pada hasil-hasil penelitian terdahulu tersebut terlihat
bahwa penelitian sebelumnya khususnya untuk usaha ternak sapi potong mengkaji
secara terpisah antara analisis produksi dengan daya saing. Untuk itu dalam studi
ini peneliti ingin menganalisis produksi dan daya saing sebagai suatu kesatuan
2.3. Kebijakan Pemerintah Terhadap Input dan Output Komoditas Daging Sapi
Kebijakan pemerintah ditetapkan dengan tujuan untuk meningkatkan
ekspor ataupun sebagai usaha dalam melindungi produk dalam negeri agar dapat
bersaing dengan produk luar negeri. Kebijakan tersebut biasanya diberlakukan
untuk input dan output yang menyebabkan terjadinya perbedaan antara harga
input dan harga output yang diminta produsen (harga privat) dengan harga yang
sebenarnya terjadi jika dalam kondisi perdagangan bebas (harga sosial).
Kebijakan subsidi terdiri dari subsidi positif dan subsidi negatif (pajak),
sedangkan hambatan perdagangan berupa tarif dan kuota. Menurut Monke dan
Pearson (1995) perbedaan kebijakan perdagangan dengan subsidi berbeda dalam
tiga aspek yaitu pada budget pemerintah, tipe alternatif kebijakan yang dilakukan, dan tingkat kemampuan penerapan kebijakannya.
2.3.1. Kebijakan Output Daging Sapi
Pada perekonomian modern, pemerintah memiliki tiga fungsi utama yaitu
sebagai peningkat efisiensi produksi, pencipta pemerataan dan keadilan, serta
sebagai pemicu pertumbuhan dan stabilitas ekonomi. Isu yang paling relevan
dalam hubungan antar negara adalah bagaimana menata kembali sistem produksi
dan perdagangan sehingga dapat lebih bermanfaat bagi pembangunan ekonomi
secara keseluruhan. Kebijakan pada bidang produksi seharusnya dikembalikan
pada keunggulan komparatif suatu negara, seperti halnya negara Indonesia yang
memiliki keunggulan pada sektor agribisnis dan agroindustri. Kebijakan pada
Perjanjian Umum tentang tarif dan Perdagangan (General Agreement of Tariff and Trade /GATT) (Mayrita, 2007).
Ketidakseimbangan antara konsumsi dan produksi daging nasional akan
mengakibatkan tidak terpenuhinya kebutuhan akan daging di Indonesia, yang
cenderung dari tahun ke tahun mengalami peningkatan yang cukup serius.
Beberapa upaya yang dilakukan untuk mengantisipasi kekurangan produksi
daging nasional telah dilakukan langkah-langkah Direktorat Jenderal Bina
Produksi Peternakan : (1) meningkatkan produktivitas sapi, dimana produktivitas
maksimal masih sulit tercapai karena pola pemeliharaan yang masih tradisional,
(2) melarang pemotongan sapi betina yang masih produktif. Pemerintah melalui
Menteri Dalam Negeri dan Menteri Pertanian, mengeluarkan instruksi bersama
yaitu Nomor 18 Tahun 1979 dan Nomor 05/lns/Um/1979 tentang pencegahan dan
larangan pemotongan ternak sapi atau kerbau betina bunting atau betina bibit, (3)
pencegahan, pemberantasan dan pengobatan terhadap berbagai penyakit hewan
menular. Hal ini termuat dalam PP Nomor 15 Tahun 1977 dan SK. Menteri
Pertanian Nomor 407 /Kpts/Um/6/1981, dan (4) pengembangan sistem budidaya
sapi atau kerbau dengan sistem Mini Ranch.
Kebijakan dalam memacu pertumbuhan usaha peternakan secara nasional
tidak dapat mengimbangi laju permintaan akan kebutuhan daging. Maka
pemerintah melakukan kebijakan impor daging untuk memenuhi kebutuhan dalam
negeri. Impor daging sapi sudah dimulai sejak tahun 1974, dan jumlah impor
cenderung mengalami peningkatan setiap tahunnya. Dengan adanya peningkatan
yang tajam dalam impor daging sapi menimbulkan kekhawatiran terutama oleh