• Tidak ada hasil yang ditemukan

IV. Hasil Dan Pembahasan

4.3 Analisis Debit Aliran

4.3 ANALISIS DEBIT ALIRAN

4.3.1 Koefisien Limpasan Permukaan (C)

Limpasan terjadi karena laju infiltrasi lebih kecil dibanding dengan intensitas hujan yang terjadi, atau dengan kata lain limpasan terjadi

20 karena tanah sudah tidak dapat lagi menampung air yang masuk. Nilai koefisien limpasan menggambarkan perbandingan antara air hujan yang terbuang (limpasan) dengan total hujan yang terjadi pada periode yang sama. Nilai koefisien limpasan (C) bernilai dari nol (0) sampai satu (1). Pada penelitian ini, nilai C dihitung pada periode 2000-2007 untuk melihat perubahan yang terjadi pada rentang waktu tersebut. Perhitungan nilai C menggunakan rumus (4) dengan nilai limpasan permukaan didapatkan dari penggunaan software Thorntwhaite Monthly Water Balance (Lampiran 8). Perhitungan koefisien limpasan dilakukan pada saat musim penghujan dan nilai koefisien tahunan periode 2000-2007 di sub-DAS Citarik. Nilai koefisien limpasan pada musim penghujan dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Koefisien limpasan (C) pada musim penghujan tahun 2000, 2000-2007, dan tahun 2007

Tahun 2000 Periode 2000-2007 Tahun 2007

Bulan CH (mm) RO (mm) CH (mm) RO (mm) CH (mm) RO (mm) Januari 184,04 21,90 233,46 87,40 197,59 17,00 Februari 70,87 9,90 221,24 113,48 261,62 99,30 Maret 158,14 11,10 212,32 113,89 234,07 120,30 April 307,40 17,00 248,33 124,46 502,80 274,50 Mei 193,42 54,90 121,53 78,25 96,21 130,40 Oktober 220,76 28,40 117,03 10,26 169,22 13,30 November 320,62 131,00 231,15 42,57 374,31 85,40 Desember 64,18 60,70 293,16 95,90 545,48 270,80 Total 1519,43 334,90 1678,21 666,21 2381,30 1011,00 C 0,22 0,39 0,42

Dari Tabel 2, dapat dilihat terjadi peningkatan nilai C dari 0,22 pada tahun 2000 menjadi 0,42 pada tahun 2007 dengan rata-rata nilai C yang terjadi pada periode 2000-2007 sebesar 0,39. Peningkatan koefisien limpasan pada musim penghujan ini menggambarkan adanya peningkatan debit aliran di sub-DAS Citarik, yang mengakibatkan ancaman terjadinya banjir di sepanjang aliran DAS Citarum. Peningkatan ini juga menandakan telah terjadi penurunan fungsi hidrologis sub-DAS Citarik karena air hujan yang dapat disimpan oleh tanah mengalami penurunan dari tahun 2000-2007. Penurunan besar air hujan yang tersimpan tersebut menyebabkan menurunnya cadangan air

21 tanah yang dapat digunakan pada musim kemarau. Penurunan ketersediaan air pada musim kemarau akan berdampak langsung terhadap pertanian yang ada di daerah sekitar sungai tersebut.

Secara umum, perubahan nilai koefisien limpasan periode 2000-2007 tanpa melihat perbedaan musim tersaji dalam Gambar 7.

Gambar 7. Grafik perubahan koefisien limpasan tahun 2000-2007

Dari grafik tersebut didapatkan bahwa perubahan nilai C dari tahun 2000-2007 berfluktuatif. Terdapat beberapa kejadian peningkatan dan penurunan koefisien limpasan pada periode tersebut. Pada grafik terlihat bahwa terdapat peningkatan nilai C dari tahun 2000 sebesar 0,22 menjadi 0,46 pada tahun 2007. Koefisien limpasan (C) merupakan salah satu indikator yang menggambarkan kondisi hidrologis suatu DAS. Adanya peningkatan koefisien limpasan (C) yang terjadi pada musim hujan maupun secara keseleruhan memberikan gambaran bahwa telah terjadi penurunan fungsi hidrologis DAS.

4.3.2 Debit Maksimum-Minimum

Debit aliran merupakan salah satu fokus perhatian untuk evaluasi hidrologi, terutama debit maksimum maupun debit minimum. Kedua indikator tersebut disebut menjadi indikator respon DAS terhadap masukan berupa hujan. Kondisi suatu DAS dikatakan baik bila tidak terjadi perubahan yang sangat besar pada debit maksimum dan minimum tiap tahunnya. Peningkatan debit maksimum tiap tahun serta penurunan debit minimum (baseflow) menunjukan telah terjadinya penurunan

y = 0,011x3- 66,33x2+ 13292x - 9E+07 R² = 0,94 0 0,1 0,2 0,3 0,4 0,5 0,6 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 Ko e fi si e n L im p a sa n Tahun

22 kemampuan DAS dalam menyimpan air. Perubahan nilai debit maksimum dan minimum sub-DAS Citarik pada periode 2000-2007 dapat dilihat pada Gambar 8 dan 9.

Gambar 8. Fluktuasi debit maksimum tahun 2000-2007

/

Gambar 9. Fluktuasi debit minimum tahun 2000-2007

Dari kedua grafik tersebut dapat dilihat pada tahun 2000 perbedaan antara debit maksimum dan debit minimum yang terukur lebih kecil dibandingkan pada tahun 2007. Terjadi peningkatan yang sangat ekstrim pada periode tersebut. Selain itu, pada Gambar 8. didapatkan bahwa pada tahun 2000-2004 perubahan debit maksimum berfluktuasi namun mulai tahun 2004-2007 terjadi peningkatan debit maksimum. Peningkatan ini menunjukan bahwa pada periode 2004-2007 air hujan yang masuk semakin banyak yang berubah menjadi limpasan.

y = 0,104x3- 628,8x2+ 1E+06x - 8E+08 R² = 0,91 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 D e b it (m 3/d e t) Tahun

y = -0,002x6+ 24,95x5- 12498x4+ 3E+08x3- 5E+11x2+ 4E+14x - 1E+17

R² = 0,89 0 1 2 3 4 5 6 7 8 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 D e b it (m 3/de t) Tahun

23 Limpasan terjadi karena tanah sudah tidak mampu lagi menampung air yang masuk atau kapasitas infiltrasi tanah sudah terlampaui. Perubahan tataguna lahan yang terjadi merupakan salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya peningkatan limpasan yang terjadi. Perubahan lahan dari lahan bervegetasi alami menjadi lahan bervegetasi dengan pengolahan tanah serta menjadi area pemukiman dapat mengurangi jumlah air hujan yang dapat terserap melalui pori-pori tanah.

Selain perubahan tataguna lahan, faktor intensitas hujan juga menjadi pengaruh terhadap perubahan debit maksimum. Jika intensitas hujan yang terjadi terlalu tinggi dan melebihi kecepatan infiltrasi tanah, maka banyak air hujan yang tidak dapat terserap oleh tanah.

Pada Gambar 9, terlihat bahwa terdapat beberapa perubahan nilai debit minimum yang tercatat, namun secara umum dapat dikatakan bahwa nilai debit minimum yang tercatat pada periode 2000-2007 cenderung seragam. Namun pada tahun 2007 didapatkan bahwa nilai debit minimum yang tercatat cenderung lebih kecil dibandingkan pada tahun-tahun sebelumnya. Penurunan tersebut menunjukan bahwa pada tahun 2007 terjadi penurunan baseflow yang mengakibatkan menurunnya cadangan air tanah pada musim kemarau.

Penurunan baseflow yang kecil tidak menjadi masalah jika pada musim kemarau masih terdapat kejadian hujan sehingga cadangan air tanah dapat terisi kembali. Namun penurunan yang kecil akan sangat berdampak jika pada musim kemarau curah hujan yang masuk sangat kecil. Menurut Asdak (2007), baseflow yang terus mengalami penurunan mengindikasikan bahwa telah terjadi kerusakan pada sungai tersebut.

4.3.3 Koefisien Regim Sungai (KRS)

Selain perubahan debit maksimum dan minimum, nilai Koefisien Regim Sungai (KRS) juga merupakan kriteria untuk melihat kondisi suatu DAS. KRS merupakan nilai nisbah debit maksimum dan debit minimum yang terjadi pada waktu yang sama. Keadaan suatu DAS dikatakan baik bila KRS yang didapat semakin kecil. Berdasarkan kriteria dan indikator kinerja DAS yang dikeluarkan oleh Departemen Kehutanan, diketahui bahwa DAS yang baik adalah yang memiliki nilai KRS < 50, sedangkan DAS dikatakan buruk jika KRS > 120.

24 Dilakukan perhitungan nilai KRS sub-DAS Citarik tahun 2000 dan 2007. Pada tahun 2000 diperoleh rata-rata debit maksimum sebesar 1,22 m3/detik dan rata-rata debit minimum sebesar 0,84 m3/detik (Lampiran 9) sehingga diperoleh nilai KRS sebesar 1,45. Sedangkan pada tahun 2007 didapatkan rata-rata debit maksimum sebesar 7,75 m3/detik dan rata-rata debit minimum sebesar 0,78 m3/detik (Lampiran 16) sehingga diperoleh nilai KRS sebesar 9,89.

Kedua nilai KRS tersebut berada dalam kategori baik Kriteria dan Indikator Kinerja DAS. Meskipun begitu, peningkatan yang terjadi sebesar 8,44 pada periode tersebut tetap menunjukan bahwa adanya penurunan kondisi DAS.

4.3.4 Perbedaan Nilai Debit Perhitungan dengan Debit Aktual

Debit aliran merupakan laju aliran air (dalam bentuk volume air) yang melewati suatu penampang melintang sungai per satuan waktu . Pada penelitian ini, nilai limpasan yang digunakan merupakan nilai yang didapatkan dari penggunaan program Thorntwhaite Monthly Water Balance bukan dari perhitungan debit aliran.

Dilakukan kembali perhitungan besar debit aliran dengan memasukan nilai C yang telah didapatkan sebelumnya (rumus 6 dan 7). Perhitungan kembali debit aliran dimaksudkan untuk melihat apakah terdapat perbedaan antara hasil pengukuran dengan perhitungan. Didapatkan bahwa adanya perbedaan besar debit pengukuran dengan debit hasil perhitungan (Tabel 3)

Tabel 3. Perbandingan nilai debit pengukuran dan perhitungan (m3/detik) Tahun Qukur Qhitung ∆Q Total Rata-rata ∆Q (harian) Total Rata-rata (harian) Total Rata-rata (harian) 2000 360,80 0,98 1167,43 3,19 806,63 2,21 2001 358,14 0,98 2440,80 6,69 2082,66 5,71 2002 344,80 0,94 4153,55 11,38 3808,75 10,44 2003 458,78 1,26 2325,92 6,37 1867,14 5,11 2004 358,23 0,98 1907,24 5,21 1549,01 4,23 2005 350,90 0,97 1540,27 4,22 1189,37 3,25 2006 511,91 1,40 799,98 2,19 288,07 0,79 2007 769,32 2,10 3452,65 9,46 2683,33 7,36

25 Dari tabel tersebut dapat terlihat bahwa debit perhitungan lebih besar dibandingkan debit pengukuran. Debit pengukuran merupakan nilai debit aliran yang terukur pada stasiun pengukur debit di hilir sungai Citarik. Sedangkan debit perhitungan dalam penelitian ini merupakan nilai debit yang dihitung berdasarkan besar masukan air hujan di sepanjang aliran sungai.

Dapat diasumsikan bahwa telah terjadi kehilangan air sungai di sepanjang aliran sungai sehingga debit yang tercatat di hilir menjadi lebih kecil. Air sungai yang berkurang tersebut masuk ke dalam tanah dan kembali mengisi airtanah (influent). Menurut Lee (1980), terdapat empat tipe hubungan air sungai dengan airtanah akibat dari perbedaan litologi. Pada sub-DAS Citarik didapatkan jenis tanah berupa alluvial coklat kelabu, asosiasi andosol dan regosol coklat, serta latosol coklat kemerahan (Gambar 10).

Gambar 10. Peta sebaran jenis tanah sub-DAS Citarik

Sungai Citarik mengalir dari timur sehingga dari Gambar 10, dapat dilihat bahwa jenis tanah di sekitar daerah hulu sungai merupakan tanah asosiasi andosol dan regosol coklat. Tanah andosol coklat merupakan tanah yang berasal dari abu vulkanik. Tanah tersebut memiliki sifat daya pengikat air yang sangat tinggi serta permeabilitas yang tinggi karena mengandung makropori. Tanah regosol memiliki sifat yang hampir sama dengan andosol. Sehingga dapat dikatakan bahwa tanah asosiasi andosol dan regosol coklat mempunyai permeabilitas yang tinggi. Kemudian

26 aliran memasuki daerah dengan jenis tanah latosol coklat kemerahan, dimana permeabilitas tanah jenis tersebut berada pada kategori sedang. Aliran sungai kemudian memasuki wilayah dengan jenis tanah alluvial yang terbentuk dari bahan induk endapan liat. Seperti sifat bahan induknya, kemampuan tanah tersebut dalam meloloskan air relatif lambat (0,5-2,0 cm/jam).

Dari sifat tiap jenis tanah dalam kemampuannya meloloskan air serta arah aliran sungai, dapat diasumsikan bahwa kehilangan air sungai terjadi pada daerah-daerah sepanjang aliran sungai dengan jenis tanah asosiasi andosol dan regosol coklat serta latosol coklat kemerahan dikarenakan sifat permeabilitas kedua jenis tanah tersebut yang tergolong tinggi.

Perlu dilakukan penelitian yang lebih tepat dengan menggunakan data muka airtanah di sepanjang sub-DAS Citarik agar dapat terlihat lokasi terjadinya influen maupun efluen air sungai.

Dokumen terkait