• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis deskriptif menggambarkan tentang deskripsi data-data hasil penelitian (Priyatno, 2012). Analisis deskriptif dalam penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan gambaran umum tentang kondisi stres kerja, hardiness, dan kecerdasan adversitas dari responden yang diteliti. Hasil deskripsi statistik dapat dilihat pada tabel 25.

Tabel. 25

Deskriptif Data Empirik Descriptive Statistics

N Minimum Maximum Mean

Std. Deviation Stres Kerja 64 38 74 58,66 9,247 Hardiness 64 94 126 104,69 7,613 Kecerdasan Adversitas 64 76 107 89,14 7,423 Valid N (listwise) 64

Berdasarkan tabel di atas, diketahui bahwa skor minimum yang diperoleh responden pada skala stres kerja adalah 38 dan skor maksimumnya yaitu 74, dengan rerata empirik sebesar 58,66. Skor minimum yang diperoleh responden pada skala hardiness adalah 94 dan skor maksimumnya yaitu 126, dengan rerata empirik sebesar 104,69. Skor minimum yang diperoleh responden pada skala kecerdasan adversitas adalah 76 dan skor maksimumnya yaitu 107, dengan rerata empirik sebesar 89,14. Selain deskripsi data empirik, terdapat pula deskripsi data penelitian mencakup data hipotetik dan empirik yang dapat dilihat pada tabel 26 berikut:

Tabel. 26

Deskriptif Data Penelitian Skala Jumlah Respon Den Data Hipotetik M SD Data Empirik M SD Skor Min Skor Max Skor Min Skor Max Stres Kerja 64 33 132 82,5 16,5 38 74 58,66 9,247 Hardiness 64 33 132 82,5 16,5 94 126 104,6 9 7,613 Kecerdasan Adversitas 64 28 112 70 14 76 107 89,14 7,423

Berdasarkan tabel hasil analisis deskriptif, dilakukan kategorisasi responden secara normatif untuk memberikan interpretasi skor skala. Kategorisasi yang digunakan adalah kategorisasi jenjang berdasarkan pada model distribusi normal. Tujuan dari kategorisasi ini adalah untuk menempatkan responden ke dalam kelompok-kelompok yang terpisah secara berjenjang menurut suatu kontinum berdasarkan atribut yang diukur (Azwar, 2012). Kontinum panjang ini akan dibagi menjadi lima kategori, yaitu sangat rendah, rendah, sedang, tinggi, dan sangat tinggi. Katrgorisasi pada penelitian ini yaitu:

a. Skala Stres Kerja

Skala stres kerja dikategorikan untuk mengetahui tinggi rendahnya nilai responden. Perhitungan dan perincian secara lebih lengkap dijelaskan pada lampiran. Kategorisasi subjek digolongkan dalam lima kategorisasi, maka akan didapat distribusi seperti pada tabel berikut:

Tabel. 27

Hasil Kategorisasi Responden berdasarkan Stres Kerja

Kategorisasi Norma Jumlah

Responden % Sangat Rendah 33 ≤ x < 52,8 14 22 Rendah 52,8 ≤ x < 72,6 47 73 Sedang 72,6 ≤ x 92,4 3 5 Tinggi 92,4 ≤ x <112,2 0 0 Sangat Tinggi 112,2 ≤ x < 132 0 0

Berdasarkan hasil kategorisasi variabel stres kerja pada tabel 27, dapat diketahui bahwa secara umum responden berada pada kategori rendah yaitu sebanyak 73% responden. Sehingga dapat disimpulkan

bahwa sebagian besar masinis dalam penelitian ini memiliki tingkat stres kerja yang rendah terhadap pekerjaannya sebagai masinis. b. Skala Hardiness

Skala hardiness dikategorikan untuk mengetahui tinggi rendahnya nilai responden. Perhitungan dan perincian secara lebih lengkap dijelaskan pada lampiran. Kategorisasi subjek digolongkan dalam lima kategorisasi, maka akan didapat distribusi seperti pada tabel berikut:

Tabel. 28

Hasil Kategorisasi Responden berdasarkan Hardiness

Kategorisasi Norma Jumlah

Responden % Sangat Rendah 33 ≤ x < 52,8 0 0 Rendah 52,8 ≤ x < 72,6 0 0 Sedang 72,6 ≤ x 92,4 0 0 Tinggi 92,4 ≤ x <112,2 54 84 Sangat Tinggi 112,2 ≤ x < 132 10 16

Berdasarkan hasil kategorisasi variabel hardiness pada tabel 28, dapat diketahui bahwa secara umum responden berada pada kategori tinggi yaitu sebanyak 84% responden. Sehingga dapat disimpulkan bahwa sebagian besar masinis dalam penelitian ini memiliki tingkat hardiness yang tinggi.

c. Skala Kecerdasan Adversitas

Skala kecerdasan adversitas dikategorikan untuk mengetahui tinggi rendahnya nilai responden. Perhitungan dan perincian secara lebih lengkap dijelaskan pada lampiran. Kategorisasi subjek digolongkan dalam lima kategorisasi, maka akan didapat distribusi seperti pada tabel berikut:

Tabel. 29

Hasil Kategorisasi Responden berdasarkan Kecerdasan Adversitas

Kategorisasi Norma Jumlah

Responden % Sangat Rendah 28 ≤ x < 44,8 0 0 Rendah 44,8 ≤ x < 61,6 0 0 Sedang 61,6 ≤ x < 78,4 3 5 Tinggi 78,4 ≤ x < 95,2 46 72 Sangat Tinggi 95,2 ≤ x < 112 15 23

Berdasarkan hasil kategorisasi variabel kecerdasan adversitas pada tabel 29, dapat diketahui bahwa secara umum responden berada pada kategori tinggi yaitu sebanyak 72% responden. Sehingga dapat disimpulkan bahwa sebagian besar masinis dalam penelitian ini memiliki tingkat kecerdasan adversitas yang tinggi.

D. Pembahasan

Hasil uji hipotesis membuktikan hipotesis pertama dalam penelitian ini terpenuhi, yaitu terdapat hubungan antara hardiness dan kecerdasan adversitas dengan stres kerja pada masinis UPT Crew KA Surabaya Kota Daop 8 Surabaya. Hal tersebut ditunjukkan oleh nilai F hitung yaitu 35,633 yang lebih besar dari F tabel yaitu 3,148 dengan nilai signifikansi 0,000 (p < 0,05), dengan demikian, hardiness dan kecerdasan adversitas secara bersama-sama berhubungan signifikan dengan stres kerja. Semakin tinggi tingkat hardiness dan kecerdasan adversitas, maka semakin rendah tingkat stres kerja. Demikian pula sebaliknya, semakin rendah tingkat hardiness dan kecerdasan adversitas, maka semakin tinggi tingkat stres kerja.

Hasil penelitian ini mendukung salah satu pernyataan yang diungkapkan oleh Robbins (2015), menyebutkan bahwa karakteristik kepribadian yang inheren dapat mempengaruhi stres kerja. Kobasa, Maddi, dan Kahn (dalam Maddi, 2013) mengungkapkan bahwa hardiness merupakan konstelasi dari karakteristik kepribadian yang mempunyai sumber perlawanan di saat individu menemui suatu kejadian yang menimbulkan stres dan dapat membantu untuk melindungi individu dari pengaruh negatif stres. Hardiness adalah salah satu hal yang dapat menentukan tinggi rendahnya tingkat stres kerja yang dialami oleh individu.

Selain itu, Stoltz (2007) mengatakan bahwa kecerdasan adversitas adalah suatu ukuran untuk mengetahui bagaimana respon dan kemampuan individu dalam menghadapi suatu kesulitan. Maltz (2004) juga mengatakan bahwa individu yang memiliki kecerdasan adversitas adalah individu yang tidak menyalahkan diri sendiri dan individu lain atas masalah yang dihadapinya, akan tetapi terus menyelesaikannya karena semua masalah pasti dapat diatasi, sehingga individu tersebut tidak mengalami stres apabila dihadapkan pada suatu masalah atau kesulitan di dalam pekerjaannya.

Uji hipotesis juga membuktikan hipotesis kedua dalam penelitian ini diterima, yaitu terdapat hubungan antara hardiness dengan stres kerja pada masinis UPT Crew KA Surabaya Kota Daop 8 Surabaya. Nilai koefisien korelasi antara variabel hardiness dengan stres kerja (rx1y) sebesar 0,385 dengan p-value 0,002 (p<0,05). Hubungan yang terbentuk antara hardiness dengan stres kerja termasuk dalam kategori lemah. Hal ini dapat dilihat dari nilai koefisien korelasi parsial (r) yang diperoleh dari hasil analisis sebesar 0,385. Selain itu, koefisien

korelasi (r) yang bertanda negatif menunjukkan arah hubungan antara variabel hardiness dengan stres kerja bersifat negatif, dengan demikian, secara parsial hardiness berhubungan negatif yang signifikan dengan stres kerja. Semakin tinggi tingkat hardiness yang dimiliki oleh masinis, maka stres kerja yang dialami pun semakin rendah. Demikian juga sebaliknya, semakin rendah tingkat hardiness yang dialami oleh masinis, maka semakin tinggi stres kerja yang dialami oleh masinis.

Hasil penelitian ini menunjukkan adanya keselarasan dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Kobasa (dalam Bartone, 2006) yang telah melakukan penelitian mengenai hardiness dan kesehatan pada diri para eksekutif, penelitian telah menunjukkan bahwa hardiness mampu melindungi terhadap efek buruk stres pada kesehatan dan kinerja. Studi dengan berbagai kelompok kerja telah menemukan bahwa hardiness berperan sebagai moderator yang signifikan atau sebagai penyangga stres sebagaimana yang telah dikatakan oleh Bartone, Contrada, Kobasa, dkk. (dalam Bartone, 2006).

Suzanne Kobasa (dalam Kreitner & Kinicki, 2005), seorang ilmuwan perilaku, mengidentifikasi karakteristik individu yang dapat menetralisir stres kerja. Karakter tersebut disebut sebagai hardiness, yang melibatkan kemampuan untuk mempersepsi atau perilaku mengubah stres negatif menjadi tantangan positif.

Selain itu, menurut penelitian yang dilakukan oleh Amiruddin dan Ambarini (2014) mengenai pengaruh hardiness dan coping stress terhadap tingkat stres pada Kadet Akademi TNI Angkatan Laut, hasilnya menunjukkan bahwa

hardiness berpengaruh negatif terhadap tingkat stres yang dialami oleh kadet AAL. Hal ini berarti apabila subjek memiliki tingkat hardiness yang tinggi, maka tingkat stresnya akan menurun.

Hasil pengujian hipotesis ketiga pada penelitian ini menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara kecerdasan adversitas dengan stres kerja pada masinis UPT Crew KA Surabaya Kota Daop 8 Surabaya. Nilai koefisien korelasi antara variabel kecerdasa adversitas dengan stres kerja (rx2y) sebesar 0,176 dengan p-value 0,169 (p > 0,05). Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa tidak terdapat hubungan antara kecerdasan adversitas dengan stres kerja.

Penelitian ini tidak sesuai dengan teori yang diungkapkan oleh Shen (2014) yang mengatakan bahwa kecerdasan adversitas menunjukkan sikap dan kemampuan untuk menangani sumber stres. Ketika kemampuan kontrol dari kecerdasan adversitas lebih tinggi, maka persepsi stres kerja harus lebih rendah. Apabila kecerdasan adversitas tinggi, kehidupan individu tidak akan dipengaruhi oleh rasa frustrasi, mereka akan dengan mudah mengatasi hambatan, dan tidak akan memiliki hubungan negatif dengan kesulitan.

Tidak signifikannya hubungan antara kecerdasan adversitas dengan stres kerja dalam penelitian ini dapat disebabkan oleh faktor lain yang mempengaruhi hubungan langsung antarkedua variabel. Dwiyanti (2001) mengungkapkan bahwa faktor penyebab stres kerja, yaitu faktor lingkungan kerja dan faktor personal. Dalam penelitian ini, dapat diketahui bahwa rendahnya tingkat stres kerja masinis UPT Crew KA Surabaya Kota Daop 8 Surabaya tidak berhubungan dengan tingginya kecerdasan adversitas. Hal ini bisa terjadi mungkin kareana faktor lain,

seperti adanya dukungan sosial, adanya kesempatan berpartisipasi dalam pembuatan keputusan, dan manajemen yang sehat (Dwiyanti, 2001). Stres akan cenderung muncul pada karyawan yang tidak mendapat dukungan dari lingkungan sosial mereka serta manajemen yang kurang sehat, namun situasi ini berbeda dengan yang dialami oleh masinis UPT Crew KA Surabaya Kota Daop 8 Surabaya.

Berdasarkan hasil observasi dan wawancara dengan kepala UPT Crew KA Surabaya Kota Daop 8 Surabaya, masinis dibina oleh seorang asisten urusan masinis yang bertugas untuk memberikan pembinaan kualitas serta membuat penilaian kinerja masinis. Asisten urusan masinis dan penyelia masinis UPT Crew KA Surabaya Kota Daop 8 Surabaya kerap memberikan bimbingan tidak hanya kepada asisten masinis yang baru saja, tetapi juga masih senantiasa memberikan bimbingan dan pembinaan kepada seluruh masinis yang sudah berpengalaman sekalipun agar tetap mampu melaksanakan tugas sebagai seorang masinis dengan baik dan sesuai dengan prosedur atau standar operasional yang berlaku. Bimbingan dan pembinaan yang diberikan bukan hanya mengenai teknis tapi juga berupa moril. Selain itu, masinis juga diberikan kewenangan sepenuhnya dalam pembuatan keputusan selama melakukan tugas mengemudi kereta api. Seorang masinis diberi tugas sebagai pemimpin selama dalam perjalanan kereta api, jadi apabila terjadi sesuatu selama perjalanan kereta api masinis yang akan membuat sebuah keputusan. Banyak orang mengalami stres kerja ketika mereka tidak dapat memutuskan persoalan yang menjadi tanggung jawab dan kewenangannya. Stres

kerja juga bisa terjadi ketika seorang individu tidak dilibatkan dalam pembuatan keputusan yang menyangkut dirinya.

Faktor lain yang dapat mempengaruhi stres kerja adalaha masa kerja. Masa kerja merupakan kurun waktu tertentu atau lamanya tenaga kerja bekerja di suatu tempat. Masa kerja dapat mempengaruhi kinerja baik positif maupun negatif. Memberi pengaruh positif pada kinerja apabila semakin lamanya masa kerja personal semakin berpengalaman dalam melaksanakan tugasnya. Sebaliknya akan memberi pengaruh negatif apabila dengan semakin lamanya masa kerja akan timbul kebiasaan pada tenaga kerja. Hal ini biasanya terkait dengan pekerjaan yang bersifat monoton dan berulang-ulang (M.A. Tulus, 1992).

Berdasarkan fenomena yang terjadi, melalui wawancara yang dilakukan oleh peneliti dengan salah satu penyelia masinis UPT Crew KA Surabaya Kota Daop 8 Surabaya saat melakukan pengambilan data, penyelia masinis mengatakan bahwa masinis sebelum menjadi seorang masinis, mereka menjadi asisten masinis terlebih dahulu. Selama menjadi seorang asisten masinis, mereka memiliki kewajiban untuk bekerja mendampingi masinis sebagai asisten dan belajar menghafal jalan. Asisten masinis ketika ikut bekerja mendampingi seorang masinis otomatis dia juga pasti akan melihat bagaimana seorang masinis dalam bekerja mengemudikan dan menjalankan kereta api, selain itu asisten masinis juga otomatis akan tahu bagaimana cara untuk mengatasi masalah-masalah yang terjadi selama perjalanan kereta api, secara tidak langsung dia akan otomatis belajar dan ikut membantu masinis dalam bekerja sehingga terbiasa. Oleh karena seorang masinis sebelum menjadi masinis dia harus menjadi asisten masinis terlebih

dahulu, maka otomatis masinis setidaknya sudah tahu dan mulai terbiasa dengan tuntutan tugas serta tanggung jawab yang harus dilaksanakannya, hal ini menjadi sebuah rutinitas bagi seorang masinis untuk melaksanakan kewajibannya dengan baik dan benar, sehingga masa kerja bisa menjadi sebuah faktor yang mempengaruhi tingkat stres kerja pada seseorang.

Ismirani (2011) mengatakan bahwa seseorang yang tidak mengalami stres kerja mungkin disebabkan oleh dirinya yang hanya sebatas bisa mengontrol emosinya saja tetapi belum pada tindakannya sehingga tidak berpengaruh terhadap stres kerjanya. Kemudian, juga bisa disebabkan karena individu tersebut terlalu menganggap kesulitan berasal dari luar, sehingga dia tidak melakukan introspeksi diri dan telah menyalahkan orang lain, sehingga tidak berpengaruh pada tingkat stresnya. Sari (2014) mengatakan bahwa perbedaaan tingkat stres pada masing-masing individu dengan stressor yang sama dipengaruhi oleh banyak hal, seperti cara koping stres, ketahanan psikologi, kecerdasan emosional, self efficacy, dan dukungan sosial.

Asumsi yang melatarbelakangi penelitian ini adalah masinis UPT Crew KA Surabaya Kota Daop 8 Surabaya mengalami stres kerja akibat tuntutan tugas dan beban mental yang dialami masinis selama bekerja sebagai seorang masinis. Namun, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa stres kerja yang dialami oleh responden termasuk dalam kategori rendah. Sehingga, berdasarkan hasil tersebut, maka asumsi peneliti berdasarkan teori mengenai stres kerja yang dialami oleh masinis UPT Crew KA Surabaya Kota Daop 8 Surabaya belum bisa dikatatakan tepat.

Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan pernyataan yang dikatakan oleh Aryanto, dkk. (2015) dalam penelitiannya mengenai analisis stres kerja yang menyebutkan bahwa beban kerja dan tanggung jawab dapat menjadi faktor pemicu stres kerja pada masinis. Sebagian besar masinis merasakan beban dan tanggung jawab menjadi seorang masinis sangatlah besar. Hal ini dikarenakan masinis memegang peran utama dalam melakukan perjalanan kereta api, dan bertanggung jawab dalam hal keselamatan, keamanan, kepuasan, dan kenyamanan penumpang. Di dalam penelitian tersebut juga dipaparkan bahwa tuntutan mental juga menjadi penyebab stres kerja pada masinis. Tuntutan mental ini meliputi konsentrasi, daya ingat, dan fokus. Konsentrasi dan fokus sangat dibutuhkan selama masinis mengendalikan kereta, jika masinis lengah akibatnya bisa fatal, kemungkinan besar kecelakaan dapat terjadi dan dapat membahayakan seluruh awak kereta. Daya ingat masinis juga diperlukan dalam mengingat simbol atau semboyan yang berlaku, hal ini akan membantu masinis dalam mengendalikan kereta sampai dengan tujuan. Selain kedua faktor tersebut terdapat lima faktor lain yang menjadi penyebab stres kerja pada masinis, yaitu lingkungan fisik, peluang kerja, aktivitas di luar pekerjaan, kepuasan terhadap pekerjaan, dan masalah di tempat kerja (Aryanto, dkk., 2015).

Adapun fenomena yang terjadi pada masinis UPT Crew KA Surabaya Kota Daop 8 Surabaya, seperti yang telah dipaparkan sebelumnya bahwa tuntutan tugas dan tanggung jawab seorang masinis sudah menjadi sebuah rutinitas sehari-hari yang wajib dilaksanakan, sehingga masinis sudah terbiasa dengan hal tersebut. Berkaitan dengan lingkungan fisik tempat masinis bekerja, yaitu lokomotif, saat

ini kondisi lokomotif sudah didesain sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan kebisingan yang dapat mempengaruhi kinerja masinis selama bertugas. Selain itu, diduga kepuasan kerja juga menjadi faktor rendahnya stres kerja yang dialami masinis UPT Crew KA Surabaya Kota Daop 8 Surabaya. Hal ini berkaitan dengan upah atau gaji pokok yang diberikan kepada seorang masinis tidaklah sedikit, masinis juga memperoleh tunjangan dan premi tambahan apabila dia bekerja lebih dari jam kerja yang ditetapkan. Masinis juga senantiasa diberikan pembinaan khusus oleh asisten urusan masinis agar masinis dapat melaksanakan tugasnya sebagai seorang pemimpin perjalanan kereta api serta mampu memimpin seluruh awak kereta api dengan baik. Rendahnya tingkat stres kerja pada subjek penelitian dapat disebabkan karena hanya faktor pribadi saja yang dimasukkan sebagai variabel penelitian, sedangkan faktor lingkungan dan faktor organisasional tidak dimasukkan sebagai variabel penelitian.

Berdasarkan hasil analisis determinasi, diperoleh nilai R Square sebesar 0,539. Hasil ini menunjukkan stres kerja sebagai variabel kriterium dapat dijelaskan oleh hardiness dan kecerdasan adversitas sebagai variabel prediktor sebesar 53,9%. Dapat dikatakan bahwa hardiness dan kecerdasan adversitas secara bersama-sama mampu memberikan kontribusi pengaruh terhadap stres kerja pada masinis UPT Crew KA Surabaya Kota Daop 8 Surabaya sebesar 53,9%. Sisanya 46,1% dipengaruhi variabel atau faktor lain di luar penelitian ini. Selanjutnya, hasil perhitungan sumbangan relatif dan sumbangan efektif dari masing-masing variabel prediktor (hardiness dan kecerdasan adversitas) terhadap variabel kriterium (stres kerja) menunjukkan hardiness lebih dominan dalam

mempengaruhi stres kerja daripada kecerdasan adversitas. Hasil sumbangan relatif hardiness terhadap stres kerja sebesar 84,1% sedangkan dari kecerdasan adversitas sebesar 15,9% . Selain itu, hasil sumbangan efektif hardiness terhadap stres kerja sebesar 45,3%, sedangkan dari kecerdasan adversitas sebesar 8,6%.

Lebih dominannya sumbangan relatif dan sumbangan efektif hardiness dalam mempengaruhi stres kerja dapat dijelaskan melalui hasil pembuktian uji hipotesis. Hal ini disebabkan oleh signifikannya hubungan secara parsial antara hardiness dengan stres kerja, sehingga memberikan kontribusi yang lebih dominan. Berbeda dengan hubungan secara parsial antara kecerdasan adversitas dengan stres kerja yang ditemukan tidak signifikan, sehingga kurang dominan dalam memberikan kontribusi pengaruh terhadap stres kerja.

Berdasarkan kategorisasi skala stres kerja dapat diketahui responden penelitian memiliki tingkat stres kerja berada pada tingkat sangat rendah sebesar 22%, pada tingkat rendah sebesar 73%, dan pada tingkat sedang sebesar 5%. Sehingga, secara keseluruhan responden dalam penelitian ini memiliki tingkat stres kerja yang rendah.

Berdasarkan kategorisasi skala hardiness dapat diketahui responden penelitian memiliki tingkat hardiness berada pada tingkat tinggi sebesar 84%, dan pada tingkat sangat tinggi sebesar 16%. Sehingga, secara keseluruhan responden dalam penelitian ini memiliki tingkat hardiness pada tingkat yang tinggi.

Selanjutnya, berdasarkan kategorisasi skala kecerdasan adversitas dapat diketahui responden penelitian memiliki tingkat kecerdasan adversitas berada pada tingkat sedang sebesar 5%, pada tingkat tinggi 72%, dan pada tingkat sangat

tinggi sebesar 23%. Sehingga, secara keseluruhan responden dalam penelitian ini memiliki tingkat kecerdasan adversitas yang tinggi.

Berdasarkan hasil uraian dan pembahasan diatas, hasil penelitian ini telah mampu menjawab hipotesis mengenai hubungan antara hardiness dan kecerdasan adversitas dengan stres kerja pada masinis UPT Crew KA Surabaya Kota Daop 8 Surabaya baik secara bersama-sama maupun secara parsial. Namun, dalam penelitian ini tidak lepas dari keterbatasan dan kelemahan selama penelitian. Keterbatasan dan kelemahan dalam penelitian ini adalah waktu yang diperlukan oleh peneliti untuk bertemu dengan responden, karena responden yang merupakan seorang masinis tidak selalu datang setiap hari ke UPT Crew KA Surabaya Kota Daop 8 Surabaya dan responden juga tidak memiliki waktu yang cukup banyak, karena mereka selalu diburu oleh waktu untuk bekerja. Oleh karena itu, penelitian ini memakan waktu yang cukup panjang, yakni hingga 2 minggu lamanya. Selain itu, karena penelitian ini adalah studi populasi, maka generalisasi penelitian hanya dapat dilakukan sebatas pada populasi masinis UPT Crew KA Surabaya Kota Daop 8 Surabaya saja, sedangkan penerapan penelitian untuk populasi yang lebih luas dan dengan karakteristik berbeda memerlukan penelitian lebih lanjut dengan menggunakan variabel-variabel yang belum diteliti dalam penelitian ini.

Dokumen terkait