• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV: Penutup. Dalam bab ini berisi kesimpulan dan saran-saran

AYAH DARI KEWAJIBAN MENAFKAHI ANAK PASCA PERCERAIAN (PUTUSAN PENGADILAN AGAMA JAKARTA PUSAT NO:

A. Analisis Duduk Perkara

Secara umum, kekuasaan (competency) peradilan dapat dibedakan menjadi dua: kekuasaan relatif (relative competency) dan kekuasaan absolut (absolute competency). 1 Kekuasaan relatif berkaitan dengan wilayah, sementara kekuasaan absolut berkaitan dengan orang (kewarganegaraan dan keagamaan seseorang) dan perkara. Kewenangan (kompetensi) absolut dan relatif Peradilan Agama diatur dalam pasal 49 sampai dengan pasal 53 Undang-undang No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama.

Kompetensi absolut adalah kewenangan atau kekuasaan untuk memeriksa, memutus dan menyelesaikan suatu perkara bagi Pengadilan yang menyangkut pokok perkara itu sendiri. Berdasarkan Undang-undang No.3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama pasal 49 bidang-bidang yang menjadi kompetensi absolut Pengadilan Agama meliputi perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infak, sedekah, dan ekonomi syari’ah.

1

http://www.badilag.net/index.php?option=com_content&task=view&id=941&Itemid=54 diakses pada tanggal 28 Oktober 2009 jam 13.00 wib.

Sedangkan kompetensi relatif adalah kewenangan atau kekuasaan untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan suatu perkara bagi pengadilan yang berhubungan dengan wilayah atau domisili pihak atau para pihak pencari keadilan. Dalam Undang-undang No. 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama pasal 4 ayat 1 dinyatakan bahwa Pengadilan Agama berkedudukan di Kotamadya (kota) atau di ibukota Kabupaten yang daerah hukumnya meliputi wilayah Pemerintah Kota atau Kabupaten.

Berdasarkan wilayah hukum suatu Pengadilan Agama, maka tempat Penggugat atau permohonan cerai gugat yang diajukan kepada Pengadilan Agama yang daerah hukumnya mengikuti tempat kediaman Penggugat, kecuali apabila Penggugat dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa izin Tergugat ( suami ), maka gugatan diajukan kepada Pengadilan Agama yang wilayah hukumnya meliputi tempat tinggal Tergugat. Apabila penggugat bertempat kediaman di luar negeri maka gugatan perceraian diajukan Penggugat kepada Pengadilan Agama yang wilayah hukumnya meliputi tempat kediaman Tergugat, apabila Penggugat dan Tergugat bertempat kediaman di luar negeri, maka gugatan Penggugat diajukan kepada Pengadilan Agama yang wilayah hukumnya meliputi tempat perkawinan mereka dilangsungkan atau kepada Pengadilan Agama Jakarta Pusat2.

2

Chatib Rasyid, Syaifudin, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek Pada Peradilan Agama, (Yogyakarta: UII Press, 2009), cet-1, h.59.

Menurut penulis, jika ditinjau berdasarkan kompetensi absolut dan relatif maka duduk perkara ini telah memenuhi kedua kompetensi tersebut. Berdasarkan kompetensi absolut, perkara No.608/Pdt.G/2007/PA.JP merupakan perkara gugat cerai yang di dalam penjelasan pasal 49 Undang-undang No.3 Tahun 2006 Tentang Pengadilan Agama termasuk bidang perkawinan. Sedangkan berdasarkan kompetensi relatif, perkara No. 608/Pdt.G/2007/PA.JP termasuk perkara gugat cerai sehingga Penggugat mengajukan gugatan ke Pengadilan Agama Jakarta Pusat yang daerah hukumnya mengikuti tempat kediaman Penggugat di Kelurahan Kebon kacang, Kecamatan Tanah Abang, Kodya Jakarta Pusat.

Setelah membaca dalam duduk perkara ini dapat dipahami bahwa permasalahan antara Pengugat dengan Tergugat yang mendasari gugatan (posita) yaitu rumah tangga mereka sudah tidak ada keharmonisan karena Tergugat sebagai penanggung jawab kepala rumah tangga sejak bulan Juli 2003 tidak memberikan keuangan rumah tangga, padahal Tergugat mempunyai pekerjaan, jarang pulang ke rumah dengan alasan yang beragam-ragam, bertemperamen kasar baik ucapan maupun perbuatan, sering memukul, hal tersebut menimbulkan perselisihan terus menerus, dan puncaknya antara Penggugat dan Tergugat telah berpisah rumah tinggal sampai dengan sekarang dan sejak saat itu sudah tidak ada hubungan lahir dan batin.

Mengenai kebutuhan rumah tangga baik lahir maupun batin merupakan kewajiban seorang suami sebagai penanggung jawab kepala rumah tangga, karena ketika seseorang sudah berstatus sebagai suami maka ia tidak boleh

mementingkan dirinya sendiri, karena ini akan menanamkan kebencian di hati isteri dan memutuskan tali cinta kasih antara suami isteri.

Di atas pundak suami terletak kewajiban untuk menafkahi istri dan anak-anaknya. “Yang dimaksud dengan nafkah adalah semua kebutuhan dan keperluan yang berlaku menurut keadaan dan tempat, seperti makanan, pakaian, rumah dan lain-lain”.3

Nafkah merupakan hak istri dan anak-anak untuk mendapatkan makanan, pakaian, dan kediaman serta beberapa kebutuhan pokok lainnya dan pengobatan, bahkan sekalipun si istri adalah seorang wanita yang kaya.4 Kewajiban menafkahi itu tetap berlaku sekalipun si istri adalah seorang perempuan konglomerat atau punya penghasilan sendiri. Nafkah suami terhadap istri bukan hanya dibatasi pada tiga bidang; pangan, sandang dan papan saja, tetapi juga meliputi biaya-biaya pengobatan dan kebutuhan pokok lainnya.5

Adapun dasar hukum tentang eksistensi dan kewajiban nafkah terdapat dalam beberapa ayat maupun hadis Rasulullah, di antaranya adalah: Surat al-Baqarah/2: 233 dan al-Thalaq/65:7:

3

Syaikh Hasan Ayyub, Fikih Keluarga (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2006), Cet. 5, h. 383.

4

Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah Terjemah (Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1996), Cet. 2, jilid ke-9, h. 28.

5

Mesraini dan A. Sutarmadi, Administrasi Pernikahan dan Manajemen Keluarga (Jakarta: FSH UIN Syarif Hidayatullah, 2006), h. 55-56.

Artinya:

“…Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya…” (QS. Al-Baqarah/2 :233)

Dalam ayat lain disebutkan:

Artinya:

“Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan (sekedar) apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.” (QS.Al-Thalaq /65:7)

Nafkah merupakan hak istri dan anaknya sekaligus sebagai kewajiban yang dibebankan kepada seorang suami. Kewajiban yang dibebankan kepada suami tersebut di antaranya yaitu memberi nafkah sesuai dengan kemampuan serta mengusahakan keperluan keluarga terutama sandang, pangan dan papan. 6

Dalam Kompilasi Hukum Islam BAB XII Pasal 80 Tentang Hak dan Kewajiban Suami Isteri, Bagian Ketiga Kewajiban Suami dijelaskan:

“(4) Sesuai dengan penghasilannya suami menanggung: a. Nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi istri;

b. Biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi isteri dan anak;

6

BP4 DKI Jakarta, Membina Keluarga Sakinah (Jakarta: Badan Penasehat Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan Propinsi DKI Jakarta), h. 23.

c. Biaya pendidikan bagi anak.”

Selanjutnya Kompilasi Hukum Islam bab XVII pasal 156 poin d:

“ Semua biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggung jawab ayah menurut kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa dapat mengurus diri sendiri (21 tahun)”.7

Melalui ketentuan pasal ini, dapat disimpulkan bahwa keperluan rumah tangga yang harus ditanggung suami mencakup nafkah, kiswah, tempat kediaman bagi isteri, biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi istri dan anak serta biaya pendidikan bagi anak.

Undang-undang No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga pasal 9 ayat (1) menegaskan yang dimaksud dengan penelantaran rumah tangga yaitu:

“1. Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian, dia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut.”

Terdapat pula sanksi pidana sesuai dengan aturan yang dimuat dalam Undang-Undang Perlindungan Anak no. 23 Tahun 2002 pasal 77:

“bahwa setiap orang yang dengan sengaja melakukan tindakan :

a. Diskriminasi terhadap anak yang mengakibatkan anak mengalami kerugian, baik materiil maupun moril sehingga menghambat fungsi sosialnya;

b. Penelantaran terhadap anak yang mengakibatkan anak mengalami sakit atau penderitaan, baik fisik, mental, maupun sosial;

7

c. Dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).”

Selanjutnya, Tergugat setiap ada keributan dalam rumah tangga ada akhlak yang tidak baik dan juga mempunyai temporer yang tidak baik, baik perbuatan maupun ucapan karena sering berkata kasar bahkan memukul fisik Penggugat, oleh sebab itu menimbulkan tekanan psikis Penggugat terus menerus.

Perbuatan Tergugat tersebut dapat dikategorikan ke dalam kekerasan dalam rumah tangga. Ditegaskan dalam pasal 6 dan 7 Undang-undang No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga:

Pasal 6 : “kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka berat”.

Pasal 7 : “Kekerasan Psikis adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan atau penderitaan psikis berat pada seseorang”. Berdasarkan pasal tersebut di atas, kekerasan fisik dapat dibagi menjadi dua kategori, yaitu:

1. Kekerasan Fisik

Kekerasan fisik merupakan kekerasan nyata yang dapat dilihat dan dapat dirasakan oleh tubuh yang biasanya berupa penghilangan nyawa seseorang.

a. Kekerasan fisik berat, berupa penganiayaan berat seperti menendang, memukul, membenturkan ke benda lain, bahkan sampai melakukan percobaan pembunuhan atau melakukan pembunuhan dan semua perbuatan yang dapat mengakibatkan sakit yang mengakibatkan sakit

yang menimbulkan ketidakmampuan menjalankan kegiatan sehari-hari, pingsan, luka berat pada tubuh korban, luka yang sulit disembuhkan atau yang menimbulkan kematian, kehilangan salah satu panca indera, luka yang mengakibatkan cacat, dan kematian korban.

b. Kekerasan fisik ringan, seperti menampar, menarik rambut, mendorong, dan perbuatan lain yang mengakibatkan cidera ringan dan rasa sakit serta luka fisik yang tidak termasuk dalam kategori berat.

2. Kekerasan Psikis

Kekerasan psikis atau kekerasan mental adalah kekerasan yang mengarah pada serangan terhadap mental atau psikis seseorang, bisa berbentuk ucapan yang menyakitkan, berkata dengan nada yang tinggi, penghinaan dan ancaman, kekerasan terhadap jiwa atau rohani yang berakibat mengurangi bahkan menghilangkan kemampuan normal jiwa.8

Tergugat juga sering selingkuh dengan wanita lain, hal tersebut diketahui oleh penggugat lewat HP, oleh sebab itu untuk membentuk rumah tangga sakinah tidak tercapai, maka Penggugat minta cerai. Puncaknya Tergugat dan Penggugat pada bulan September ada keributan dalam rumah tangga, akhirnya Penggugat pergi meninggalkan Tergugat pulang ke rumah orang tua dan sejak itu telah putus hubungan lahir dan batin.

8

Faqihuddin Abdul Kadir dan Ummu Azizah Mukarnawati, ed. Ismali Hasani, Referensi Bagi Hakim Pengadilan Agama tentang kekerasan dalam rumah tangga, (Komnas Perempuan: 2008), h.32

Adapun yang dimaksud dengan nusyuz adalah meninggalkan kewajiban suami istri. Nusyuz dari pihak suami adalah bersikap keras terhadap isterinya, yang dengan tidak mau menggaulinya dan tidak mau memberi haknya. Sedangkan nusyuz dari pihak isteri seperti meninggalkan rumah tanpa izin suaminya.

B. Analisis Sumber dan Pertimbangan Hukum Hakim dalam Memutuskan Perkara No. 608/Pdt.G/2007/PA.JP

Dapat dikatakan pertimbangan hukum merupakan jiwa dan intisari putusan. Pertimbangan berisi analisis, argumentasi, pendapat atau kesimpulan hukum dari hakim yang memeriksa perkara.9

Dalam menangani sebuah perkara, tugas dan kewajiban hakim yang pertama adalah mendamaikan pihak-pihak yang berperkara, hal ini sejalan dengan tuntutan ajaran moral Islam. Islam selalu mengajarkan menyelesaikan masalah setiap perselisihan melalui jalan pendekatan (islah) sebagaimana firman Allah SWT dalam Al Qur’an surat Al Hujurat ayat 10:

Artinya: 9

M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, Jakarta: Sinar Grafika, h. 809

”Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah ( perbaikilah hubungan ) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat”. ( Al Hujurat/49:10 )

Selain itu dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) juga menganjurkan kepada hakim agar selalu berusaha mendamaikan kedua belah pihak yang berperkara di dalam persidangan, yaitu dalam pasal 143 ayat 1 dan 2, yang berbunyi:

”(1) dalam pemeriksaan gugatan perceraian Hakim mendamaikan kedua belah pihak.

(2) Selama perkara belum diputuskan, usaha mendamaikan dapat dilakukan pada setiap sidang pemeriksaan.”

Karena itu layak sekali apabila para hakim Pengadilan Agama (PA) menyadari dan mengemban fungsi mendamaikan. Sebab bagaimanapun seadil-adilnya putusan, akan lebih baik dan lebih adil sebuah hasil perdamaian. Akan ada pihak yang merasa dikalahkan dan dimenangkan. Peran hakim sebagai juru damai pihak-pihak yang bertikai terbatas hanya sampai anjuran, nasehat, penjelasan, dan memberi bantuan dalam perumusan sepanjang hal itu diminta kedua belah pihak.10

Kewajiban mendamaikan dalam perkara diupayakan pada awal persidangan, namun dalam perkara perceraian kewajiban mendamaikan diupayakan hingga putusan dijatuhkan dalam hal ini meskipun para pihak

10

M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, (Jakarta: Pustaka Kartini, 1993), cet. Ke-3, h. 48

menjawab bahwa tidak mungkin damai karena usaha penyelesaian perdamaian sudah dilakukan berkali-kali, hakim tetap meminta agar dicoba lagi.11 Sesuai dengan ketentuan PP no. 9 Tahun 1975, pasal 31 ayat 1 dan 2:

(1) Hakim yang memeriksa gugatan perceraian berusaha mendamaikan kedua belah pihak.

(2) Selama perkara belum diputuskan, usaha mendamaikan dapat dilakukan pada setiap sidang pemeriksaan.

Demikian pula dalam pasal 82 ayat 1 dan 4 undang-undang no. 7 Tahun 1989 sebagaimana telah diubah oleh undang-undang nomor 3 Tahun 2006 yang menjelaskan pada ayat 1 yaitu:

”pada sidang pertama pemeriksaan gugatan perceraian, hakim berusaha mendamaikan kedua belah pihak”.

Pada ayat 4 dijelaskan bahwa:

”selama perkara belum diputuskan, usaha mendamaikan dapat dilakukan pada setiap sidang pemeriksaan”.

Dalam kasus putusan Pengadilan Agama Jakarta Pusat No. 608/Pdt.G/2007/PA.JP majelis hakim yang diketuai oleh Elvin Nailana S.H,M.H telah berusaha mendamaikan Penggugat dengan Tergugat namun upaya ini tidak berhasil, sehingga proses hukum selanjutnya terus berjalan.

Dalam memeriksa suatu perkara, hakim bertugas untuk mengkonstatir, mengkualifikasir dan kemudian mengkonstitutir. Mengkonstatir artinya hakim harus menilai apakah peristiwa atau fakta-fakta yang dikemukakan oleh para

11

Soeroso, Praktik hukum acara perdata tata cara dan proses persidangan, (Jakarta: Sinar Grafika), h.41

pihak itu adalah benar-benar terjadi. Hal ini hanya dapat dilakukan melalui pembuktian.

Membuktikan artinya mempertimbangkan secara logis kebenaran suatu fakta atau peristiwa berdasarkan alat-alat bukti yang sah dan menurut hukum pembuktian yang berlaku. Dalam pembuktian itu, maka para pihak memberi dasar-dasar yang cukup kepada Hakim yang memeriksa perkara yang bersangkutan guna memberi kepastian tentang kebenaran peristiwa yang diajukannya.

Alat bukti tertulis atau surat ialah segala sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan yang dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati atau menyampaikan buah pikiran seseorang dan dipergunakan sebagai pembuktian (Alat bukti). Surat sebagai alat bukti tertulis dibedakan menjadi dua, yaitu: akta dan surat-surat lainnya yang bukan akta, yaitu surat yang dibuat tidak dengan tujuan sebagai alat bukti dan belum tentu ditandatangani. Sedangkan akta itu sendiri ada dua macam, yaitu: akta otentik dan akta di bawah tangan.12

Akta ialah surat yang diberi tanda tangan, yang memuat peristiwa-peristiwa yang menjadi dasar suatu hak atau perikatan, yang dibuat sejak semula dengan sengaja untuk pembuktian. Akta otentik ialah surat yang dibuat oleh atau dihadapan pejabat yang diberi wewenang untuk itu dan dalam bentuk menurut ketentuan yang ditetapkan untuk itu, baik dengan maupun tanpa bantuan dari

12

Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, (Yogyakarta: Pustaka Belajar, 1996), cet-1, h. 143-144

yang berkepentingan, di tempat di mana pejabat berwenang menjalankan tugasnya.

Akta otentik sebagai alat bukti status dalam perkawinan. Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah. Jika perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akta Nikah dapat diajukan itsbat nikah ke Pengadilan Agama, untuk kemudian mendapatkan Akta Nikah (pasal 7 KHI).

Tentang fotokopi dapat disimpulkan dari putusan MA tanggal 1 April 1976 No. 701 K/Sip/1974, bahwa fotokopi dapat diterima sebagai alat bukti apabila fotokopi itu disertai “keterangan atau dengan jalan apa pun secara sah dari mana ternyata bahwa fotokopi-fotokopi tersebut sesuai dengan aslinya.

Alat bukti saksi diatur dalam Pasal 169-172 HIR dan Pasal 306-309 R.Bg. Saksi ialah orang yang yang memberikan keterangan di muka sidang, dengan memenuhi syarat-syarat tertentu, tentang suatu peristiwa atau keadaan yang ia lihat, dengar dan ia alami sendiri, sebagai bukti terjadinya peristiwa atau keadaan tersebut.

Majelis Hakim menimbang bahwa berdasarkan bukti (P-1) foto copy kutipan akta nikah dihubungkan P-2 dan P-3 foto copy kutipan akta kelahiran anak dan keterangan saksi-saksi, maka telah terbukti antara Penggugat dan Tergugat sebagai isteri dan suami yang sah yang menikah pada tanggal 30 September 1997 dan telah dikaruniai dua orang anak.

Menimbang, bahwa Tergugat tidak lagi menghadiri persidangan meskipun telah diperintahkan dan dipanggil untuk menghadap di persidangan.

Majelis Hakim menimbang bahwa penggugat dengan tergugat sejak semula telah membentuk sebuah rumah tangga yang harmonis tetapi kemudian terjadi perselisihan dan pertengkaran dikarenakan tergugat jarang pulang ke rumah, suka memukul bila terjadi keributan dan puncaknya antara penggugat dengan tergugat telah berpisah rumah sehingga mereka tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana layaknya suami dan isteri. Hal ini berarti telah melanggar perintah Allah dalam surat Al-Nisa 19:

...

... Artinya:

“... dan bergaullah dengan mereka secara patut. ...” (QS. Al-Nisa:4/19)

Bagaimana mungkin pergaulan secara patut telah dilaksanakan, apabila antara mereka sudah tidak saling melaksanakan kewajiban. Apabila rumah tangga Penggugat dengan Tergugat tetap dipertahankan, akan mengakibatkan hal-hal yang tidak diinginkan antara mereka berdua, tidak ada saling melakukan kewajiban, tidak ada saling menghormati dan pada gilirannya mereka akan saling menyalahkan satu sama lain.

Karena itu majelis hakim menilai “menolak kemudlaratan harus lebih didahulukan daripada mencari dan memperoleh kemaslahatan (daf-ul mafasid moqoddamun ‘alaa jalbil mashoolihi).13

Menolak mafsadah lebih baik dari meraih maslahat, sebab menolak mafsadah itu sudah merupakan kemaslahatan. Hal ini sesuai dengan kaidah:

دْ

ْﻟا

ﺳ ﺎ

م

ﻟ ﺎ ْﻟا ْ ﻰ

14

“Menolak mafsadah didahulukan daripada meraih maslahat”.

Tentang ukuran yang lebih konkret dari kemaslahatan ini, dijelaskan oleh Imam Al-Ghazali dalam al-Musthashfa, Imam al-Syatibi dalam al-Muwafaqat dan ulama yang sekarang seperti Abu Zahrah, dan Abdul Wahab Khalaf. Apabila disimpulkan, maka persyaratan kemaslahatan tersebut adalah:

a. Kemaslahatan itu harus sesuai dengan maqasihid al-syari’ah, semangat ajaran, dalil-dalil kulli dan dalil qath’i baik wurud maupun dalalahnya.

b. Kemaslahatan itu harus meyakinkan, artinya kemaslahatan itu berdasarkan penelitian yang cermat dan akurat sehingga tidak meragukan bahwa itu bisa mendatangkan manfaat dan menghindarkan mudarat.

c. Kemaslahatan itu membawa kemudahan dan bukan mendatangkan kesulitan yang di luar batas, dalam arti kemaslahatan itu bisa dilaksanakan.

13

Putusan Pengadilan Agama (PA) Jakarta Pusat No: 608//Pdt.G/2007/PA.JP, h. 7

14

A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih: Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-masalah yang Praktis, (Jakarta: Kencana, 2007), h.29

d. Kemaslahatan itu memberi manfaat kepada sebagian besar masyarakat bukan kepada sebagian kecil masyarakat.15

Menurut penulis, pertimbangan Majelis Hakim ini telah sesuai berdasarkan kaidah tersebut.

Majelis Hakim juga mempertimbangkan berdasarkan keterangan saksi-saksi yang membenarkan rumah tangga penggugat dengan tergugat sudah tidak harmonis lagi sering terjadi perselisihan yang terus-menerus, maka berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas Penggugat cukup beralasan dan tidak bertentangan dengan hukum, dan sesuai dengan pasal 19 huruf (f ) PP No.9 Tahun 1975 jo pasal 116 Kompilasi Hukum Islam huruf (f ):

Perceraian dapat terjadi karena alasan:

“ f. Antara suami isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.” karenanya gugatan penggugat dapat dikabulkan dengan menjatuhkan thalak satu bain shugro tergugat terhadap penggugat.

Selain menuntut perceraian dengan suaminya, dalam gugatannya Penggugat juga mengajukan tuntutan agar pengasuhan dan pemeliharaan anak berada di tangan Penggugat. Majelis Hakim mengabulkan gugatan Penggugat sebagai ibu dari anak-anak tersebut, karena selain tergugat dalam hal ini tidak mengajukan keberatannya karena tidak lagi menghadiri persidangan dan juga tidak pernah menengok anaknya. Majelis hakim berpendapat anak penggugat masih belum mumayyiz, dilihat secara psikologis mapun biologis anak yang

15

masih kecil masih memerlukan belaian kasih sayang ibunya dan biasanya lebih dekat dengan ibunya. Telah sesuai dengan ketentuan pasal 105 huruf (a) KHI sehingga ditetapkan berada dalam asuhan dan pemeliharaan Penggugat sampai anak tersebut dapat menentukan pilihannya sendiri.

Dalam Pasal 105 huruf (a) KHI BAB XIV tentang pemeliharaan anak disebutkan bahwa dalam hal terjadi perceraian:

“ a. Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya;

b. Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih diantara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya;

c. biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.

Akibat dari terjadinya perceraian adalah pengasuhan anak atau hak hadhonah. Kewajiban melakukan hadhonah terletak di pundak orangtua. Prinsip tersebut hanya akan berjalan lancar apabila kedua orangtua tetap dalam hubungan suami isteri.

Ibu lebih mengerti dengan kebutuhan anak sebelum mummayiz dan lebih bisa memperhatikan kasih sayangnya. Demikian pula anak dalam masa itu sedang amat membutuhkan untuk hidup di dekat ibunya. Imam syafi’i berpendapat apabila kedua orang tua berpisah dan keduanya berada dalam satu daerah, maka ibu lebih berhak terhadap anak selama ia belum menikah dan masih kecil16.

16

ﷲا ﺪ

وﺮ

:

ﻟ ﺎ ةاﺮ انا

:

ﷲا لﻮﺳ رﺎ

ﻰﻨ انا

وءﺎ و ﻟ ﻨ ن ﺎآاﺬه

ﺪﺛ

و ءﺎ ﺳ ﻟ

ﺎ ا ناوءاﻮ ﻟيﺮ

ﻮﺳر ﺎﻬﻟلﺎ ﻨ ﺰ ﻨ نأ دارأوﻰﻨ

ﷲال

ﺳو ﷲا ا

:

ﻜﻨ ﻟﺎ أ أ

)

ورو

ا

دوادﻮ ا

ﺪ او

(

Artinya:

“Di dalam hadis Abdullah bin Umar bin Al-Ash menceritakan seorang wanita mengadu kepada Rasulullah tentang anak kecilnya, di mana mantan suaminya bermaksud membawa anak mereka bersamanya setelah menceraikannya lalu Rasulullah bersabda: ’kamu (wanita itu) lebih berhak terhadap anak itu selama kamu belum menikah dengan lelaki lain’.” (H.R. Daud dan Ahmad.

Pertimbangan Majelis Hakim selanjutnya yaitu mengenai tuntutan biaya nafkah anak telah dicabut oleh Penggugat maka Majelis Hakim tidak mempertimbangkan lebih lanjut.17

Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, gugatan Penggugat telah dikabulkan sebagian dan selebihnya dicabut. Yang dicabut adalah mengenai tuntutan biaya nafkah anak. Keterangan dari berita acara persidangan yang

Dokumen terkait