• Tidak ada hasil yang ditemukan

PROVINSI KALIMANTAN SELATAN

B. Analisis Ekonomi 1. Biaya Produksi

Biaya produksi budidaya meranti rakyat dihitung berdasarkan biaya-biaya yang dikeluarkan selama proses produksi. Biaya-biaya tersebut meliputi biaya penyiapan lahan, pembelian bibit, biaya penanaman, biaya pemeliharaan, dan biaya tenaga kerja. Rincian biaya produksi tanaman meranti campuran karet seluas 1 ha dengan daur 30 tahun tampak pada Tabel 1.

Tabel 1. Biaya produksi tanaman campuran meranti dan karet rakyat per hektar

No Uraian Jumlah Biaya (Rp)

1 Pembangunan pondok kerja dan peralatan 3.442.300

2 Persiapan lahan 1.000.000

3 Pembelian bibit 2.786.000

4 Penanaman 636.000

5 Pemeliharaan 150.520.000

TOTAL 158.384.300

Sumber: data primer (diolah, 2010)

Komponen biaya terbesar dalam pembangunan tanaman meranti campuran karet terkonsentrasi pada biaya pemeliharaan meliputi pemupukan dan penyiangan. Pemeliharaan tanaman berupa pemupukan untuk tanaman meranti dilakukan hingga tahun ketiga. Sementara untuk tanaman karet dilakukan hingga akhir masa produksi karet pada umur ke-25 tahun dengan dosis yang disesuaikan dengan kebutuhan tanaman tersebut. Pembangunan tanaman meranti karet campuran ini dilakukan di lahan milik sehingga biaya tetap dan biaya variabel yang menyangkut lahan tidak dimasukkan.

7 m 4

Prosiding Seminar Nasional Agroforestri 2013 655 a. Pendapatan dan keuntungan

Pendapatan potensial dari usaha budidaya meranti karet bersumber dari produksi tanaman pertanian seperti cabe dan pisang, produksi karet yakni getah karet dan kayu bakar serta produksi meranti berupa kayu pertukangan. Rincian pendapatan yang dapat diperoleh dari usaha budidaya tanaman campuran meranti karet terlihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Nilai produksi dan pendapatan dari budidaya meranti dan karet per hektar Tahun ke- Jenis Produk Produksi per tahun Pendapatan (Rp/tahun) Tahun ke

Jenis Produk Produksi per tahun

Pendapatan (Rp/tahun) 2 Cabe 120 liter 600.000 16 Getah 15.390 kg 15.390.000

Pisang 260 tandan 3.900.000 17 Getah 15.560 kg 15.560.000 3 Cabe 60 liter 300.000 18 Getah 14.680 kg 14.680.000 Pisang 350 tandan 5.250.000 19 Getah 13.865 kg 13.865.000

4 - - - 20 Getah 13.280 kg 13.280.000 5 - - - 21 Getah 13.535 kg 13.535.000 6 - - - 22 Getah 12.955 kg 12.955.000 7 Getah - - 23 Getah 12.520 kg 12.520.000 8 Getah 10.800 kg 10.800.000 24 Getah 11.630 kg 11.630.000 9 Getah 14.320 kg 14.320.000 25 Getah 11.730 kg 11.730.000 10 Getah 16.205 kg 16.205.000 26 Getah 11.730 kg 11.730.000 11 Getah 17.170 kg 17.170.000 27 - - - 12 Getah 18.480 kg 18.480.000 28 - - - 13 Getah 19.710 kg 19.710.000 29 - - -

14 Getah 18.805 kg 18.805.000 30 Kayu Meranti 240 m3 120.000.000 15 Getah 16.630 kg 16.630.000 Kayu Karet 1050 ikat 21.000.000 Sumber: data primer (diolah,2010)

Pada tahun ke-2 dan ke-3 dari tanaman campuran meranti karet, hasil diperoleh dari tanaman cabe dan pisang. Harga komoditi di pasar lokal untuk karet dan pisang adalah Rp 5.000/liter dan Rp.15.000/tandan. Hasil getah diperoleh saat tanaman berumur 7 tahun. Produksi getah karet terus berlanjut hingga umur tanaman 25 tahun. Pada akhir daur, petani dapat memperoleh hasil kayu baik dari meranti maupun karet. Petani menjual pohon meranti berdiri di kebun kepada pembeli dengan harga lokal Rp 500.000/m3. Sedangkan kayu karet dijual dengan harga Rp.60.000 per pohon. Harga ini didekati dengan potensi pohon untuk menghasilkan kayu bakar.

Sementara itu keuntungan usaha budidaya tanaman campuran meranti karet sangat tergantung dari total biaya produksi, jumlah produksi dan harga jual dari komoditi yang ada dalam tanaman campuran tersebut. Berdasarkan Tabel 1 dan Tabel 2 nampak bahwa pendapatan potensil yang dapat diterima petani lebih besar total biaya produksi tanaman campuran meranti karet. Namun hal ini perlu dianalisis dengan memasukkan unsur discount factor karena jangka waktu usaha yang sangat panjang dimana terdapat perbedaan waktu antara pengeluaran dan pendapatan. b. Kelayakan Finansial

Analisis kelayakan finansial usaha hutan tanaman campuran meranti karet, pada dasarnya kita menganalisis biaya yang dikeluarkan dan manfaat yang diperoleh selama masa produksinya. Rincian biaya dan manfaat usaha hutan tanaman campuran meranti karet disajikan pada tersebut di atas.

Beberapa asumsi yang digunakan dalam analisis ini antara lain adalah:

a. Masa perhitungan analisa merupakan masa produksi (daur) tanaman meranti selama 30 tahun. b. Suku bunga yang digunakan 12%.

c. Potensi getah karet dapat dipanen saat berumur 8 tahun hingga 25 tahun.

d. Potensi kayu meranti pada akhir daur diperkirakan mencapai 45 cm dengan riap diameter 1,5 cm dan tinggi 12 m, sehigga volume kayu sebesar 0,8 m3.

656 Prosiding Seminar Nasional Agroforestri 2013

f. Tanaman tumpang cabe dan pisang dipanen pada tahun ke-2 dan ke-3. g. Harga tegakan pohon meranti sebesar Rp.500.000/m3.

h. Pada akhir daur kayu karet juga ditebang untuk diproduksi sebagai kayu bakar.

Tahapan pembangunan tanaman meranti dan karet dimulai dari penyiapan lahan, penanaman, penyulaman dan pemeliharaan. Jenis tanaman tumpangsari adalah pisang dan cabe yang dikelola hingga tahun ke 3. Rataan biaya budidaya meranti dan karet rakyat sebesar Rp 158.384.300, per hektar dimana biaya lahan tidak dimasukan dalam analisis dan komponen biaya terbesar yaitu pemeliharaan hingga masa daur. Total pendapatan dari usaha agroforestri meranti dan karet sebesar Rp 414.485.000. Kontribusi terbesar terhadap total pendapatan usaha agroforestri meranti dan karet yaitu berturut-turut berasal dari pendapatan getah karet sebesar Rp 263.435.000 (63,56%), produksi kayu meranti dan karet berupa kayu pertukangan sebesar Rp 141.000.000 (34,02%) dan produksi tanaman tumpangsari (cabe dan pisang) sebesar Rp 10.050.000 (2,42%). Hasil perhitungan kriteria finansial pada tingkat suku bunga 12% menghasilkan nilai NPV sebesar Rp 14.359.207. Nilai NPV yang positif ini menunjukkan usaha budaya tersebut menguntungkan. Sementara itu nilai BCR dari usaha tersebut sebesar 2,70 yang berarti nilai rupiah hasil investasi sebesar 2,70 kali dari nilai rupiah yang diinvestasikan. Nilai BCR > 1 ini menunjukan bahwa usaha tersebut menguntungkan. Untuk nilai IRR diperoleh sebesar 18% yang artinya bisnis tanaman karet akan memberikan pendapatan sama dengan biaya yang dikeluarkan jika tingkat suku bunga yang berlaku sebesar 18%. Apabila suku bunga pinjaman lebih dari 18% persen maka usaha tersebut tidak menguntungkan. Berdasarkan ketiga parameter tersebut maka usaha agroforestri meranti dan karet pada skala rumah tangga secara finansial layak untuk dikembangkan.

c. Analisis Sensitivitas

Analisis sensitivitas dilakukan untuk mengetahui kelayakan finansial dari suatu usaha jika terjadi perubahan dalam komponen produksi, harga atau tingkat suku bunga. Hasil analisis sensitivitas usaha hutan tanaman campuran meranti karet dengan perubahan harga getah karet turun sebesar 30%, produksi kayu turun 50% atau produksi getah turun 20%. Rekapitulasi hasil analisis sensitivitas usaha tanaman campuran meranti karet seperti disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Rekapitulasianalisis sensitivitas usaha budidaya meranti dan karet

Indikator Harga getah turun 30% Produksi Kayu turun 50% Produksi Karet Turun 20%

NPV -302.138 12.356.531 4.779.622

BCR 2,19 2,32 2,36

IRR 12% 18 % 14 %

Sumber: data primer (diolah,2010)

Pada kondisi produksi kayu turun hingga 50%, usaha ini masih memberikan harapan keuntungan sebesar Rp.12.356.531. Pada kondisi harga karet yang turun 30% dari harga pasar saat ini, nampak bahwa nilai NPV negatif. Ini dapat terjadi karena biaya pengelolaan jauh lebih besar daripada pendapatan dari getah karet. Pada kondisi produksi karet turun 20%, usaha ini masih memberikan harapan keuntungan sebesar Rp.4.779.622. Namun bila produksi getah karet turun hingga 30%, NPV dari usaha ini menjadi negatif. Berdasarkan hal tersebut maka usaha agroforestri meranti karet ini sangat sensitif terhadap penurunan baik jumlah produksi getah karet maupun harga getah.

IV. KESIMPULAN

Saat ini pohon meranti dan karet yang ditanam petani ada di Desa Hinas Kiri telah berusia 6-7 tahun dengan tampilan tegakan yang bervariasi dan rataan jumlah pohon dalam 1 ha adalah 390 pohon meranti dengan daur 30 tahun dan 350 pohon karet dengan hasil getah diperoleh mulai tahun ke 8 hingga tehun ke 25 dan jenis tanaman tumpangsari adalah pisang dan cabe yang dikelola hingga tahun ke 3. Rataan biaya budidaya meranti dan karet rakyat sebesar Rp 158.384.300, per hektar dengan total pendapatan dari usaha agroforestri meranti dan karet sebesar Rp 414.485.000.

Prosiding Seminar Nasional Agroforestri 2013 657 Kontribusi terbesar terhadap total pendapatan usaha agroforestri meranti dan karet yaitu berturut-turut berasal dari pendapatan getah karet sebesar Rp 263.435.000 (63,56%), produksi kayu meranti dan karet berupa kayu pertukangan sebesar Rp 141.000.000 (34,02%) dan produksi tanaman tumpangsari (cabe dan pisang) sebesar Rp 10.050.000 (2,42%). Kriteria finansial pada tingkat suku bunga 12% menghasilkan nilai NPV sebesar Rp 14.359.207, BCR sebesar 2,70 dan IRR 18%, sehingga usaha agroforestri meranti dan karet pada skala rumah tangga secara finansial layak dikembangkan, tetapi usaha ini sangat sensitif terhadap penurunan baik jumlah produksi maupun harga getah karet.

DAFTAR PUSTAKA

Akiefnawati, R., G.Wibawa, L.Joshi dan Mv.Noordwijk. Meningkatkan Produktivitas Karet Rakyat melalui Sistem Wanatani.

Istomo, C.Wibowo dan N.Hidayati. 1999. Evaluasi Pertumbuhan Tanaman Meranti (Shorea spp) di Haurbentes BKPH Jasinga KPH Bogor Perum Perhutani Unit III Jawa Barat. Jurnal Manajemen Hutan Tropika Vol V No 2 :13-22. Jurusan Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Sumardjani, L dan S.D. Waluyo. 2007. Analisa Konsumsi Kayu Nasional.

Tata, L., Mv. Noordwijk. S.Rasnovi dan L.Joshi. Pengayaan Jenis Wanatani Karet dengan Meranti. Yuniati, D dan L.Suastati. 2008. Analisis Finansial Pembangunan Hutan Tanaman Dipterocarpaceae

Studi Kasus di PT. Inhutani II Pulau Laut Propinsi Kalimantan Selatan. Jurnal Penelitian Dipterocarpaceae Vol 2 No.1. Balai Besar Penelitian Dipetrocarpaceae.

658 Prosiding Seminar Nasional Agroforestri 2013

KAJIAN POLA AGROFORESTRI GANITRI (Elaeocarpus ganitrus Roxb): PENDEKATAN POLA HUTAN RAKYAT DI KABUPATEN TASIKMALAYA

Encep Rachman1, Tati Rostiwati 2 dan Rachman Effendi 3

1

Balai Penelitian Teknologi Agroforestry, 2Pusat Litbang Peningkatan Produktivitas Hutan, dan Pusat Litbang Perubahan Iklim dan Kebijakan, Bogor

Ciamis: Email: cepy59@yahoo.com ABSTRACT

Community forest is a reflection of the balance between ecological functions, economic and social communities in one location. Ganitri (Elaeocarpus ganitrus Roxb) is a tree species that are multifunctional (wood and fruit), so it's been a few years developed by society in Kebumen- Central Java. The purpose of this study was to study the development of agroforestry patterns with the approach pattern ganitri species of community forest in Tasikmalaya- West Java. The method used was a survey method with primary data collection is to identify and measure the dimensions of tree species and timber benefits, fruit benefits and herbaceous plants useful for medicinal and food annuals. Interviews also conducted with people to collect data of farmer incomes in their garden. Studies show that ganitri stands in community forest planted together with other species with composition: wood tree (25%); fruit tree (53.57%) and herbaceous (10.71%) as well as food crops (10.71%). Wood tree species is dominated by sengon, while herbaceous species is dominated by kapolaga. Based on interviews with the people acquired information that the composition are has a positive economic impact. The conditions indicated by the calculation of the total income of an average of Rp. 7,250,000, - per year with the contribution of wood by 39%, utilization by 20% and the fruit of medicinal herbs and plants in each by 41%. Therefore, the development pattern of agroforestry with ganitri as the main species can adopt one as a community forest species for intercropping plants.

Keywords: agroforestry, ganitri (Elaeocarpus ganitrus Roxb), community forest, farmer income

I. PENDAHULUAN

Ganitri (Elaeocarpus ganitrus Roxb) memiliki keunggulan untuk ditanam sebagai jenis pohon yang dikembangkan pada areal hutan rakyat. Sesungguhnya kayu ganitri termasuk kayu yang cukup baik untuk bahan baku pertukangan dan alat musik (gitar, piano). Sifat kayu ganitri agak ringan, lunak, padat dan struktur halus, kayu terasnya berwarna kuning dan kayu gubal putih. Kayu ganitri termasuk dalam katagori kelas awet V dan kelas kuat III – IV (Heyne, 1987). Namun sampai saat ini masyarakat hanya memanfaatkan buahnya saja sedangkan kayunya dimanfaatkan pada akhir umur produktif pohon tersebut.

Buah ganitri mengandung biji yang bentuk dan ukurannya cukup unik, sehingga dari biji ganitri dapat dihasilkan berbagai produk perhiasan seperti gelang, kalung, tasbih dan boneka. Walaupun India hanya memproduksi 5% saja, namun negara tersebut merupakan negara yang paling banyak menggunakan biji ganitri. Di India ganitri di sebut Rudraksa, dalam bahasa India Rudraksa berasal dari kata rudra berarti dewa siwa dan aksa berarti mata, jadi artinya mata dewa siwa. Orang hindu meyakini rudraksa sebagai air mata dewa yang menitik ke bumi, tetesan air mata itu tumbuh menjadi pohon rudraksa (Wikidisastra, 2010). Selain itu pula orang-orang India mempergunakan biji ganitri sebagai bahan sesajen pada upacara pembakaran mayat (Heyne, 1987).

Indonesia adalah pemasok 70% kebutuhan biji ganitri dunia, sebanyak 20% pasokan lainnya dari Nepal. Menurut beberapa sumber, para pengekspor Indonesia membutuhkan 350 ton biji kering ganitri sekali kirim (Bachtiar, 2007). Menurut Indian Times, setiap tahun jutaan biji ganitri asal Indonesia masuk ke India dengan transaksi diestimasi mencapai Rp. 500-miliar (Helmina, 2007). Sampai saat ini pengembangan ganitri sebagai produk HHBK di hutan rakyat Jawa Barat maupun di

Prosiding Seminar Nasional Agroforestri 2013 659 Jawa Tengah mempunyai prospek yang cukup baik, karena pola pengelolaan hutan rakyat yang terjadi sampai saat ini lebih banyak diperuntukan pada penyediaan produk hasil hutan kayu (HHK).

Selain pola hutan rakyat, pola tanam lain yang sangat erat kaitannya dengan sosio ekonomi dan budaya masyarakat adalah pola agroforestri. Agroforestri adalah ‘hutan buatan’ yang didominasi tanaman serbaguna yang dibangun petani pada lahan-lahan pertanian. Artinya di areal agroforestri akan berisi campuran pepohonan, rerumputan, dan aneka tumbuhan lain dari mulai tingkat perdu, herba sampai tumbuhan merambat. Agroforestri di Indonesia memiliki ciri-ciri ekologi, ekonomi dan sosial budaya, yang khas, yang membedakan dengan sistem pertanian maupun agroforestri lainnya. Ciri-ciri ini juga membedakan agroforest di Indonesia dari model-model silvikultur atau kehutanan masyarakat (community forestry) lainnya yang dikenal saat ini (ICRAF, 2000).

Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, maka tulisan ini bertujuan mengkaji peluang pengembangan jenis ganitri dalam pola agroforestri dengan pendekatan komposisi jenis yang ada di hutan rakyat dan kontribusi jenis tersebut terhadap pendapatan masyarakat.

II. METODE PENELITIAN

Dokumen terkait