• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Hukum Ekonomi Syariah terhadap Dasar Pertimbangan Hakim dalam Memutus Perkara Sengketa Wanprestasi Piutang Mura>bah{ah

BAB II KAJIAN TEORI

ANALISA HUKUM EKONOMI SYARIAH TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN AGAMA PURBALINGGA

A. Analisis Hukum Ekonomi Syariah terhadap Dasar Pertimbangan Hakim dalam Memutus Perkara Sengketa Wanprestasi Piutang Mura>bah{ah

Bagi hakim dalam mengadili suatu perkara terutama yang dipentingkan adalah fakta atau peristiwanya dan bukan hukumnya. Peraturan hukumnya hanyalah sebagai alat, sedangkan yang bersifat menentukan adalah peristiwanya. Hakim akhirnya akan menemukan kesalahan dengan menilai peristiwa itu secara keseluruhannya. Di dalam peristiwa itu sendiri akan tersimpul hukumnya.71 Oleh karena itu, untuk dapat menemukan fakta dan mengetahui peristiwa yang sebenarnya, maka dapat diketahui dari pernyataan yang diutarakan oleh penggugat dan tergugat di persidangan.

Penggugat dalam gugatannya mengajukan peristiwa konkret yang menjadi dasar gugatannya dan tergugat di persidangan mengemukakan peristiwa konkret juga sebagai jawaban terhadap gugatan penggugat. Maka dibukalah kesempatan jawab-menjawab di persidangan antara penggugat dan tergugat yang tujuannya adalah agar hakim dapat memperoleh kepastian tentang peristiwa konkret yang disengketakan oleh para pihak. Hakim harus mengkonstair peristiwa konkret tersebut melalui pembuktian. Kemudian

71Mertokusumo, Hukum Acara Perdata, 273.

setelah peristiwa konkret dibuktikan dan dikonstair, maka harus dicarikan hukumnya. Di sinilah dimulai dengan penemuan hukum (rechtsvinding).72

Pada perkara nomor: 1039/Pdt.G/2014/PA.Pbg, mengenai dasar pertimbangan hakim dalam menyelesaikan sengketa piutang mura>bah{ah:

Pertama, dalam perkara cidera janji/ wanprestasi. Pada putusan Pengadilan Agama Purbalingga nomor: 1039/Pdt.G/2014/PA.Pbg yang menjadi salah satu putusan hakim adalah mengenai gugatan wanprestasi yang diajukan oleh Penggugat. Sebagaimana yang terdapat dalam tuntutan penggugat di surat gugatannya tertanggal 17 Juni 2014:

1. Menyatakan sah dan berharga sita jaminan (Conservatoir Beslaag) atas barang tetap milik Para Tergugat yang diletakan oleh Pengadilan Agama Purbalingga yaitu berupa Tanah pekarangan berikut bangunan berdasarkan Sertifikat Hak Milik Nomor: 00720/2012, Luas 427 M2, terletak di Kabupaten Purbalingga, Provinsi Jawa Tengah, sebagaimana diuraikan dalam Surat Ukur tanggal 3 Mei 2011 No. ---, Sertifikat tertanggal 11 Mei 2011, tertulis atas nama Tergugat II

2. Menyatakan sah secara hukum Akad Mura>bah{ah Nomor: 51/656-1/10/12 tertanggal 4 Oktober 2012, yang dibuat antara Penggugat dengan Para Tergugat yang di waarmerking oleh SRI WACHYONO, SH, MH, M.Kn., Notaris di Purbalingga

3. Menyatakan Para Tergugat telah melakukan perbuatan cidera janji/ ingkar janji/wanprestasi terhadap Akad Mura>bah{ah Nomor:

1/10/12 tertanggal 4 Oktober 2012 yang sangat merugikan Penggugat, yaitu berupa kerugian materiil sebesar Rp.88.087.497,- (delapan puluh delapan juta delapan puluh tujuh ribu empat ratus sembilan puluh tujuh rupiah)

4. Menghukum Para Tergugat untuk membayar kerugian materiil sebesar Rp. 88.087.497,- (delapan puluh delapan juta delapan puluh tujuh ribu empat ratus sembilan puluh tujuh rupiah) kepada Penggugat langsung seketika setelah putusan mempunyai kekuatan hukum tetap

5. Menghukum Para Tergugat untuk membayar semua biaya yang timbul dalam perkara73

Menurut penulis, hakim memiliki tugas utama yaitu mengusahakan perdamaian antara pihak-pihak yang berperkara. Perdamaian dalam perkara ekonomi syariah adalah sebagaimana dalam perkara perdata lainnya pada umumnya, yakni apabila kedua belah pihak hadir dalam persidangan, hakim wajib mendamaikan kedua belah pihak. Usaha perdamaian ini tidak terbatas pada hari sidang pertama saja, melainkan dapat dilakukan dalam sidang-sidang berikutnya, meskipun sudah memasuki pada taraf pemeriksaan lebih lanjut (Pasal 130 HIR/Pasal 154 R.Bg).74

Pada hari dan tanggal sidang yang telah ditentukan, Penggugat dan para Tergugat telah datang sendiri menghadap di persidangan, dan majelis hakim telah berusaha mendamaikan Penggugat dengan Tergugat dengan mediator

73 Salinan Putusan Nomor: 1039/Pdt.G/2014/PA.Pbg, hlm. 4-6.

Dra. Teti Himati, akan tetapi tidak berhasil.75 Sehubungan dengan tidak berhasilnya proses mediasi, maka proses persidangan dilanjutkan dengan pembacaan gugatan dari pihak Penggugat, setelah pembacaan gugatan selesai, proses sidang selanjutnya yaitu jawaban dari pihak tergugat sampai sidang terakhir pada tanggal 25 Februari 2015 yaitu pembacaan putusan. Putusan yang dijatuhkan oleh hakim pada putusan Nomor: 1039/Pdt.G/2014/PA.Pbg adalah menyatakan sah secara hukum Akad Mura>bah}ah dan menyatakan Para Tergugat telah melakukan perbuatan cidera janji/ ingkar janji/wanprestasi terhadap Akad Mura>bah}ah Nomor: 51/656-1/10/12 tertanggal 4 Oktober 2012 karena terbukti telah lalai tidak melaksanakan kewajiban pembayaran angsuran sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan dan merugikan Penggugat.76

Sehubungan dengan dasar gugatan yang diajukan oleh pihak penggugat adalah mengenai perbuatan wanprestasi, maka pertama kali yang menjadi pertimbangan hakim ialah mengenai sah atau tidaknya akad mura>bah}ah yang disepakati oleh penggugat dan para tergugat. Dalam hal ini majelis hakim mengacu pada pasal 20 angka 1 Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah bahwa

“akad adalah kesepakatan dalam suatu perjanjian antara dua pihak atau lebih untuk melakukan atau tidak melakukan perbuatan hukum tertentu” dan pasal 22 bahwa “rukun akad terdiri atas: a. pihak-pihak yang berakad, b. obyek akad, c. tujuan pokok akad, dan d. kesepakatan”, dengan syarat-syarat sebagaimana ditentukan dalam pasal 23 KHES yaitu “Pihak-pihak yang

75 Salinan Putusan Nomor: 1039/Pdt.G/2014/PA.Pbg, 6.

berakad adalah orang, persekutuan, atau badan usaha yang memiliki

kecakapan dalam melakukan perbuatan hukum”, pasal 24 yaitu “Obyek akad

adalah amwal atau jasa yang dihalalkan yang dibutuhkan oleh

masing-masing pihak”, dan pasal 25 yaitu “Akad bertujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan pengembangan usaha masing-masing pihak yang

mengadakan akad”. Kemudian tentang akad mura>bah}ahnya hakim

menimbang, bahwa pasal 20 angka 6 KHES menyebutkan bahwa

Mura>bah}ah adalah pembiayaan saling menguntungkan yang dilakukan oleh

shahib al-mal dengan pihak yang membutuhkan melalui transaksi jual beli dengan penjelasan bahwa harga pengadaan barang dan harga jual terdapat nilai lebih yang merupakan keuntungan atau laba bagi shahib al-mal dan pengembaliannya dilakukan secara tunai atau angsur”.77

Berdasarkan pertimbangan majelis hakim di atas, maka ketentuan yang tercantum dalam Akad Jual Beli Mura>bah}ah Nomor: 51/656-1/10/12 tertanggal 4 Oktober 2012 yang dibuat Penggugat dengan Para Tergugat, menurut Majelis telah memenuhi syarat-syarat sahnya akad sebagaimana pasal 23, 24 dan 25 KHES, sehingga harus dinyatakan sah secara hukum, yaitu:

1. Para pihak yang berakad terdiri dari Penggugat sebagai badan usaha (Perseroan Terbatas) dan Para Tergugat adalah orang-orang yang cakap hukum, berakal dan tamyiz, memenuhi norma pasal 23 Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah

2. Obyek akad adalah harta yang halal, suci, bermanfaat, milik sempurna dan dapat diserahterimakan, memenuhi norma pasal 24 Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah

3. Tujuan akad adalah untuk pengembangan masing-masing pihak yang mengadakan akad, memenuhi norma pasal 25 ayat (1) Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah

4. Sebagaimana tercantum dalam bagian penutup akad (P.5) bahwa surat perjanjian (akad) tersebut telah dibaca para pihak tersebut seketika telah ditanda tangani oleh para pihak dan saksi-saksi, memenuhi norma pasal 25 ayat (2) Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah78

Dalam hal ini, penulis berpendapat bahwa dalam memutus sah atau tidaknya mengenai ketentuan akad Mura>bah}ah diatas, hakim telah menggunakan dasar pertimbangan hukum ekonomi syariah berupa KHES, menurut penulis hakim dapat pula menambahkan sumber hukum lain yaitu berupa Fatwa Dewan Syariah Nasional No: 04/DSN-MUI/IV/2000 tentang

Mura>bah}ah dalam ketentuan umum Mura>bah}ah dalam Bank Syariah yang

berisi:

1. Bank dan nasabah harus melakukan akad murabahah yang bebas riba. 2. Barang yang diperjualbelikan tidak diharamkan oleh syari’ah Islam.

3. Bank membiayai sebagian atau seluruh harga pembelian barang yang telah disepakati kualifikasinya.

4. Bank membeli barang yang diperlukan nasabah atas nama bank sendiri, dan pembelian ini harus sah dan bebas riba.

5. Bank harus menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan pembelian, misalnya jika pembelian dilakukan secara utang.

6. Bank kemudian menjual barang tersebut kepada nasabah (pemesan) dengan harga jual senilai harga beli plus keuntungannya. Dalam kaitan ini Bank harus memberitahu secara jujur harga pokok barang kepada nasabah berikut biaya yang diperlukan.

7. Nasabah membayar harga barang yang telah disepakati tersebut pada jangka waktu tertentu yang telah disepakati.

8. Untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan atau kerusakan akad tersebut, pihak bank dapat mengadakan perjanjian khusus dengan nasabah.

9. Jika bank hendak mewakilkan kepada nasabah untuk membeli barang dari pihak ketiga, akad jual beli murabahah harus dilakukan setelah barang, secara prinsip, menjadi milik bank.79

Selanjutnya mengenai apakah Para Tergugat telah melakukan perbuatan cidera janji/ingkar janji/wanprestasi terhadap Akad Jual Beli Mura>bah}ah

Nomor: 51/656-1/10/12 tertanggal 4 Oktober 2012, dipertimbangkan sebagai berikut: Bahwa sesuai dengan Akad Jual Beli Mura>bah}ah Nomor: 51/656-1/10/12 tertanggal 4 Oktober 2012 yang dibuat Penggugat dengan Para Tergugat (bukti P.5) disebutkan bahwa:

1. Pasal 1 angka 7 akad: “Cidera janji adalah keadaan tidak

dilaksanakannya sebagian atau seluruh kewajiban nasabah yang menyebabkan Bank dapat menghentikan seluruh atau sebagian pembayaran atas harga perolehan barang termasuk biaya-biaya yang terkait serta sebelum berakhirnya jangka waktu perjanjian ini menagih dengan seketika dan sekaligus jumlah kewajiban Nasabah kepada

BANK”.

2. Pasal 6 angka 1 dan 2 akad: “Nasabah dinyatakan cidera janji, apabila:

1) Nasabah tidak melaksanakan kewajiban pembayaran/pelunasan tepat pada waktu yang diperjanjikan sesuai dengan tanggal jatuh tempo atau jadwal angsuran yang ditetapkan. 2) Kelalaian nasabah untuk melaksanakan kewajibannya menurut peraturan ini tepat pada waktunya, dalam hal ini lewat waktunya, telah memberi bukti nasabah telah

melalaikan kewajiban “.80

Menurut majelis hakim, Para Tergugat telah mengikat akad dengan Penggugat, maka wajib melaksanakan isi akad tersebut, dan jika tidak melaksanakan kewajiban pembayaran/pelunasan seperti yang diperjanjikan, maka ia telah wanprestasi dan wajib membayar ganti kerugian. Hal ini sesuai dengan norma-norma hukum syariah sebagai berikut:

1. Firman Allah SWT. dalam surat Al Maidah ayat 1 yang bunyinya:

َٰٓ ي

ا هُّيأ

َٰٓٱ

َٰٓ نيِلَّذ

َٰٓ

َٰٓ وُن ما ء

َٰٓ آَٰ

َٰٓ وأ

َٰٓ اوُف

ََِٰٰٓٓبٱ

َٰٓ ل

َٰٓ ِدوُقُع

80 Ibid, 27-28.

artinya: “Hai orang-orang yang beriman penuhilah akad-akad itu”

2. Hadits Nabi riwayat Abu Daud, At Tirmidzi, Ibnu Majah, Al Hakim dan Ibu Hadis Nabi riwayat Tirmizi dari 'Amr bin 'Auf yang artinya: "Perjanjian boleh dilakukan di antara kaum muslimin kecuali perjanjian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram, dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram."

3. Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah terutama pasal 21 huruf (b), 44 dan 46. Bahwa ketentuan Pasal 1 angka 7 dan Pasal 6 akad tersebut, menurut Majelis telah memenuhi norma-norma syariah tersebut serta sesuai ketentuan dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah pasal 21 huruf (b):

“akad dilakukan berdasarkan asas amanah/menepati janji, setiap akad

wajib dilaksanakan oleh para pihak sesuai dengan kesepakatan yang ditetapkan oleh yang bersangkutan dan pada saat yang sama terhindar dari cidera-janji”. Pasal 44: “semua akad yang dibentuk secara sah berlaku nash syariah bagi mereka yang mengadakan akad”. Pasal 46:

“suatu akad hanya berlaku mengikat antara pihakpihak yang mengadakan

akad“.

4. Menimbang, bahwa mengenai Wanprestasi, majelis hakim berpendapat dengan mengambil alih pendapat Prof. Subekti dalam bukunya Hukum Perjanjian, (Jakarta: Intermasa, 1979 halaman 46) bahwa wanprestasi adalah sesuatu keadaan dimana si debitur tidak melakukan apa yang diperjanjikan, keadaan ini disebabkan debitur alpa atau lalai atau ingkar

janji, dan sebagaimana ketentuan pasal 36 Kompilasi Hukum Ekonomi

Syariah yang mana disebutkan: “ Pihak dapat dianggap melakukan ingkar janji apabila karena kesalahannya:

a. Tidak melakukan apa yang dijanjikan untuk melakukannya.

b. Melaksanakan apa yang dijanjikan tetapi tidak sebagaimana diperjanjikan.

c. Melakukan apa yang diperjanjikan tetapi terlambat.

d. Melakukan sesuatu yang menurut diperjanjian tidak dibolehkan”.81

Bahwa berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut, ternyata para Tergugat telah lalai tidak membayar angsuran sesuai dengan jumlah yang telah ditetapkan sejak bulan Juli 2013 sampai Desember 2013 dan setelah itu Para Tergugat tidak membayar angsuran sama sekali, sehingga majelis hakim menyatakan Para Tergugat telah melakukan perbuatan cidera janji/ ingkar janji/wanprestasi terhadap Akad Mura>bah}ah Nomor: 51/656-1/10/12 tertanggal 4 Oktober 2012.82

Menurut penulis, majelis hakim dalam menetapkan putusan mengenai adanya perbuatan wanprestasi tersebut telah menerapkan hukum ekonomi syariah berupa kompilasi hukum ekonomi syariah (KHES), ayat-ayat

al-Qur’an maupun hadits yang relevan dengan perkara yang sedang

dipersengketakan, namun terdapat rujukan dari pendapat Prof. Subekti dalam bukunya Hukum Perjanjian. Adapun pengambilan sumber hukum yang

81 Ibid, 28-30.

berupa pendapat dari buku menurut penulis kurang tepat, karena hal itu masih pendapat seseorang dan belum menjadi sumber kekuatan hukum yang mengikat sebelum menjadi suatu peraturan perundang-undangan.

Berdasarkan permasalahan tersebut, menurut penulis masih ada rujukan lain yang relevan dengan perkara ekonomi syariah khususunya wanprestasi yang dapat menjadi bahan pertimbangan huku bagi hakim, yaitu dari fatwa Dewan Syariah Nasional No. 85/DSN-MUI/XII/2012 tentang janji (wa’d) dalam transaksi keuangan dan bisnis syariah yaitu dalam ketentuan hukumnya: Janji (wa’d) dalam transaksi keuangan dan bisnis syariah adalah

mulzim (mengikat) dan wajib dipenuhi (ditunaikan) oleh wa’id (orang/pihak

yang berjanji) dengan mengikuti ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam fatwa ini, sedangkan ketentuan khususnya terkait pelaksanaan wa’d: jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara para pihak, maka penyelesain sengketa berdasarkan syariah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.83

Ketentuan diatas termasuk salah satu sumber hukum ekonomi syariah yang berlaku di Indonesia yang dikeluarkan oleh salah satu lembaga hukum Islam yaitu Majelis Ulama Indonesia dan menjadi salah satu rujukan penting yang digunakan oleh pengadilan agama dalam memutus suatu perkara ekonomi syariah. Karena lembaga keuangan syariah dalam operasionalnya mengacu pada KHES maupun fatwa DSN serta perundang-undangan yang mengatur akad syariah, sehingga hakim pengadilan agama dalam

83 Fatwa Dewan Syariah Nasional No. 85/DSN-MUI/XII/2012 Tentang Janji (Wa’d) Dalam Transaksi Keuangan Dan Bisnis Syariah, hlm. 6-7.

menyelesaikan perkara ekonomi syariah dituntut harus mengacu pada ketentuan hukum ekonomi syariah yang berlaku di Indonesia, baik dalam bentuk perundang-undangan serta fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga MUI, kecuali hal-hal yang belum ada ketentuannya dalam hukum ekonomi syariah.

Kedua, tentang Ganti Rugi. Berdasarkan gugatan Penggugat, akibat adanya perbuatan wanprestasi tersebut Penggugat merasa dirugikan secara materiil, sehingga Penggugat menuntut agar majelis hakim menghukum Para Tergugat untuk membayar kerugian yang perinciannya per Mei 2014 sebagai berikut:

1. Pokok harga perolehan / pembiayaan : Rp. 66.907.812,-

2. Margin Keuntungan : Rp. 12.519.685,-

3. Denda keterlambatan (Akad Pasal 5 ayat 4) : Rp. 660.000,- 4. Biaya Kuasa Hukum (Akad Pasal 5 ayat 2) : Rp. 8.000.000,- Total kewajiban Para Tergugat : Rp. 88.087.497,- Sehubungan dengan dasar gugatan yang diajukan oleh pihak penggugat adalah ganti rugi, maka untuk menyelesaikan permasalahan tersebut hakim mengacu pada:

1. Pendapat ahli Fiqh `Abd al-Hamid Mahmud al-Ba'li, dalam Kitab Mafahim Asasiyyah fi Bunuk Islamiyah (Qahirah: Ma'had al-'Alami li-al-Fikr al-Islami, 1996) yang artinya: "Ganti rugi karena penundaan pembayaran oleh orang yang mampu didasarkan pada kerugian yang terjadi secara riil akibat penundaan pembayaran dan

kerugian itu merupakan akibat logis dari keterlambatan pembayaran tersebut."

2. Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor 43/DSN-MUI/VIII/2004 tanggal 11 Agustus 20014 M Tentang Ganti Rugi (Ta’widh), dalam Ketentuan Umum:

a. Ganti rugi (ta’widh) hanya boleh dikenakan atas pihak yang dengan sengaja atau karena kelalaian melakukan sesuatu yang menyimpang dari ketentuan akad dan menimbulkan kerugian pada pihak lain.

b. Kerugian yang dapat dikenakan ta'widh sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 adalah kerugian riil yang dapat diperhitungkan dengan jelas. c. Kerugian riil sebagaimana dimaksud ayat 2 adalah biaya-biaya riil yg

dikeluarkan dalam rangka penagihan hak yang seharusnya dibayarkan. d. Besar ganti rugi (ta`widh) adalah sesuai dengan nilai kerugian riil (real

loss) yang pasti dialami (fixed cost) dalam transaksi tersebut dan bukan kerugian yang diperkirakan akan terjadi (potential loss) karena adanya peluang yang hilang (opportunity loss atau al-furshah al-dhai'ah). e. Ganti rugi (ta`widh) hanya boleh dikenakan pada transaksi (akad) yang

menimbulkan utang piutang (dayn), seperti salam, istishna' serta

mura>bah}ah dan ija>rah.

f. Dalam akad mud}a>rabah dan musya>rakah, ganti rugi hanya boleh dikenakan oleh sha>hibul ma>l atau salah satu pihak dalam musya>rakah

apabila bagian keuntungannya sudah jelas tetapi tidak dibayarkan.84

Menurut penulis, dasar pertimbangan hukum yang digunakan hakim telah sesuai dengan permasalahan yang sedang dipersengketakan. Dapat ditambahkan pula sebagai rujukan bagi hakim ketentuan adanya ganti rugi juga terdapat dalam pasal 38 KHES, yaitu ”Pihak dalam akad yang

melakukan ingkar janji dapat dijatuhi sanksi: a) membayar ganti rugi, b) pembatalan akad, c) peralihan resiko, d) denda, dan atau/ e) membayar biaya perkara. Namun ketentuan tersebut tidak tercantum atau tidak menjadi bahan pertimbangan hakim dalam putusan Nomor: 1039/Pdt.G/2014/PA.Pbg, sehingga menurut penulis, hakim perlu menggali referensi/bahan pertimbangan hukum yang terdapat pada KHES maupun peraturan lainnya, sehingga putusan yang dihasilkan dapat akurat dan dapat dipertanggungjawabkan.

Oleh karena majelis hakim dalam putusannya menyatakan Para Tergugat telah melakukan perbuatan cidera janji/ ingkar janji/ wanprestasi, maka juga menjatuhkan putusan untuk menghukum Para Tergugat untuk membayar kerugian materiil kepada Penggugat. Besarnya denda keterlambatan sebesar Rp 600.000,- untuk dana qardhul hasan ini sesuai dengan ketentuan pasal 5 ayat 4 akad, maka dapat dikabulkan. Mengenai biaya kuasa hukum sebesar Rp 8.000.000,- meskipun tercantum di dalam akad, tetapi tidak ditentukan nominalnya sejak semula. Majelis berpendapat berdasakan asas Taswiyah

(kesetaraan) dan transparansi dalam akad syariah, maka biaya kuasa hukum sebesar Rp 8.000.000,- dipandang tidak adil dan tidak transparan, karena bisa diisi dengan jumlah berapapun menurut harga yang disepakati oleh Penggugat

dengan kuasa hukumnya, padahal pihak Tergugat jika ia kalah juga dibebankan untuk membayar biaya perkara. Oleh karena itu biaya kuasa hukum tersebut dipikul kedua belah pihak masing-masing seperduanya yaitu Rp 4.000.000,-. Bahwa oleh karena itu, menurut kerugian material yang harus dibayar oleh Para Tergugat sesuai perhitungan per Mei 2014 (sebelum diajukan gugatan) adalah sebagai berikut:

1. Pokok harga perolehan / pembiayaan : Rp 66.907.812,-

2. Margin Keuntungan : Rp 9.332.185,-

3. Denda keterlambatan (Akad Pasal 5 ayat 4) : Rp 660.000,- 4. Biaya Kuasa Hukum (Akad Pasal 5 ayat 2) : Rp 4.000.000,-

Total kewajiban Para Tergugat : Rp 80.899.797,-85

Menurut penulis, keputusan hakim dalam menjatuhkan beban ganti rugi materiil yang harus dibayar oleh para Tergugat telah sesuai Fatwa Dewan Syariah Nasional No. 43/DSN-MUI/VIII/2004 Tentang Ganti Rugi (Ta’widh) dan memenuhi asas keadilan, karena ganti rugi itu harus berdasarkan nilai kerugian riil (real loss) yang pasti dialami (fixed cost) dalam transaksi tersebut dan bukan kerugian yang diperkirakan akan terjadi (potential loss) karena adanya peluang yang hilang (opportunity loss atau al-furshah al-dha-i'ah), hal itu bisa saja merugikan para tergugat dan besarnya ganti rugi tidak boleh dicantumkan dalam akad, karena akan menimbulkan ghara>r.

B. Analisis Hukum Ekonomi Syariah terhadap Gugatan Rekonvensi Sita