• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS HUKUM EKONOMI SYARIAH TERHADAP PENYELESAIAN SENGKETA WANPRESTASI PIUTANG MURA<BAH{AH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "ANALISIS HUKUM EKONOMI SYARIAH TERHADAP PENYELESAIAN SENGKETA WANPRESTASI PIUTANG MURA<BAH{AH"

Copied!
100
0
0

Teks penuh

(1)

i

ANALISIS HUKUM EKONOMI SYARIAH

TERHADAP PENYELESAIAN SENGKETA WANPRESTASI

PIUTANG

MURA<BAH{AH

(Studi tentang Putusan Pengadilan Agama Purbalingga Nomor:1039/Pdt.G/2014/PA.Pbg)

S K R I P S I

Oleh:

KIKI FIRZIANTI PUTRI NIM 210214084

Pembimbing:

IZA HANIFUDDIN, Ph.D. NIP 196906241998031002

JURUSAN MUAMALAH FAKULTAS SYARIAH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PONOROGO

(2)

ii

LEMBAR PERSETUJUAN

Skripsi atas nama saudara:

Nama : Kiki Firzianti Putri

NIM : 210214084

Jurusan : Muamalah

Judul : Analisis Hukum Ekonomi Syariah terhadap Penyelesaian Sengketa Wanprestasi Piutang Mura>bah}ah (Studi Putusan

Pengadilan Agama Purbalingga

Nomor:1039/Pdt.G/2014/PA.Pbg)

telah diperiksa dan disetujui untuk diuji dalam ujian muna>qashah.

Ponorogo, 28 Mei 2018

Mengetahui: Menyetujui:

Ketua Jurusan, Dosen Pembimbing,

Atik Abidah, M.S.I. Iza Hanifuddin, Ph.D.

(3)

iii

KEMENTERIAN AGAMA RI

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PONOROGO PENGESAHAN

Skripsi atas nama saudara:

Nama : Kiki Firzianti Putri NIM : 210214084

Jurusan : Muamalah

Judul : Analisis Hukum Ekonomi Syariah terhadap Penyelesaian Sengketa Wanprestasi Piutang Mura>bah}ah (Studi tentang Putusan Pengadilan Agama Purbalingga Nomor:1039/Pdt.G/2014/PA.Pbg)

Skripsi ini telah dipertahankan pada sidang Muna>qashah Fakultas Syariah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ponorogo pada:

Hari : Kamis Tanggal : 5 Juli 2018

Dan telah diterima sebagai bagian dari persyaratan untuk memperoleh gelar sarjana dalam Ilmu Syariah pada:

Hari : Kamis Tanggal : 12 Juli 2018 Tim Penguji:

1. Ketua Sidang : Dr. Saifullah, M.Ag. ( )

2. Penguji : Udin Safala, M.H.I. ( )

3. Sekretaris : Iza Hanifuddin, Ph. D. ( )

Ponorogo, 12 Juli 2018 Mengesahkan

Dekan Fakultas Syariah,

(4)

iv ABSTRAK

Kiki Firzianti Putri, 2018. Analisis Hukum Ekonomi Syariah Terhadap Penyelesaian Sengketa Wanprestasi Piutang Mura<bah{ah (Studi Putusan Pengadilan Agama Purbalingga Nomor:1039/Pdt.G/2014/PA.Pbg). Skripsi. Jurusan Muamalah Fakultas Syariah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ponorogo. Pembimbing Iza Hanifuddin, Ph.D.

Kata Kunci: Hukum Ekonomi Syariah, Akad Mura<bah{ah, Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 telah meletakkan amanah dan tanggung jawab yang baru dilingkungan Peradilan Agama, antara lain berkaitan dengan kewenangan penyelesaian perkara ekonomi syariah. Untuk itu perlu kesiapan dalam mengantisipasi hal-hal tersebut, karena pada kenyataannya tidak cukup mengandalkan ketentuan materiil maupun acara yang sudah ada. Perkara-perkara ekonomi syariah dalam kenyataan tidak semata bersifat keperdataan, melainkan dapat juga bersifat pidana atau administrasi negara.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan: Bagaimana analisis hukum ekonomi syariah terhadap dasar pertimbangan hukum hakim dalam memutus perkara sengketa wanprestasi piutang Mura>bah}ah Nomor: 1039/Pdt.G/2014/PA.Pbg, Bagaimana analisis hukum ekonomi syariah terhadap keputusan hakim menolak gugatan Rekonvensi sita jaminan pada putusan Nomor: 1039/Pdt.G/2014/PA.Pbg, Bagaimana analisis hukum ekonomi syariah terhadap ketidaksesuaian fakta-fakta hukum kasus piutang Mura>bah}ah Nomor: 1039/Pdt.G/2014/PA.Pbg dengan hukum ekonomi syariah.

Adapun jenis penelitian ini adalah penelitian pustaka (library research) yang menggunakan metode kualitatif. Sedangkan teknik pengumpulan datanya dengan metode dokumentasi. Analisis yang digunakan adalah dengan menggunakan pendekata normatif dengan pola pikir deduktif, serta tinjauan yuridis yang bersifat logis dan sistematis, yaitu proses analisis yuridis dari hukum yang ada pada putusan Pengadilan Agama Purbalingga Nomor: 1039/Pdt.G/2014/PA.Pbg tentang sengketa ekonomi syariah.

(5)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Lembaga keuangan syariah ialah lembaga yang menjalankan aktivitas di bidang keuangan yang berbasis syariat Islam. Lembaga keuangan syariah ada yang berbentuk lembaga bank dan lembaga nonbank. Salah satunya perbankan syariah yang merupakan lembaga keuangan berbentuk bank dan menjalankan aktivitasnya berdasarkan hukum Islam (syariah) yang mempunyai prinsip dalam menjalankan kegiatannya bertujuan membawa kemaslahatan bagi nasabah karena menjanjikan keadilan yang sesuai dengan syariah dalam sistem ekonominya.1 Dan perkembangan perbankan syariah di Indonesia dalam sepuluh tahun terakhir sangat signifikan baik dilihat dari aspek kelembagaan maupun perkembangan asset.

Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, bahwa perbankan syariah merupakan lembaga yang kegiatannya berdasarkan prinsip syariah atau hukum Islam, dimana antara bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan atau pembiayaan kegiatan usaha atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan prinsip syariah. Diantara pembiayaan tersebut yaitu pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil (mud{a>rabah), penyertaan

1 M. Nur Rianto Al Arif, Lembaga Keuangan Syariah (Bandung: PustakaSetia, 2012), 5.

(6)

modal (musya>rakah), jual beli untuk mendapatkan keuntungan (mura>bah}ah), atau pembiayaan barang modal (ija>rah).2

Konsekuensi bank sebagai lembaga perantara antara nasabah dan pengelola dana (intermediary), bank syariah akan selalu berhadapan dengan berbagai jenis risiko. Menurut Adiwarman A. Karim, risiko dalam konteks perbankan merupakan suatu potensi, baik yang bisa diperkirakan (anticipated) atau tidak bisa diperkirakan (unanticipated) yang berdampak negatif terhadap pendapatan dan permodalan bank yang tidak bisa dihindari, namun bisa dikendalikan. Jenis-jenis risiko yang sering dihadapi bank

syari’ah yaitu risiko pembiayaan, risiko pasar dan risiko operasional. Dari

ketiga jenis risiko tersebut yang paling sering dialami adalah risiko pembiayaan, dimana nasabah lalai dalam melakukan angsuran pembayaran, yaitu sering disebut kredit macet.3

Seiring dengan pesatnya pertumbuhan itu, potensi yang muncul untuk terjadinya sengketa dalam perbankan syariah juga semakin tinggi, sehingga menjadi penting bagi perbankan syariah maupun masyarakat pengguna jasa perbankan syariah untuk memahami secara benar bagaimana penyelesaian sengketa yang terjadi pada perbankan syariah. Dalam Undang-undang Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah Pasal 55 disebutkan tentang Penyelesaian Sengketa, yang bunyi lengkapnya sebagai berikut: Ayat (1):

“Penyelesaian sengketa Perbankan Syariah dilakukan oleh pengadilan dalam

lingkungan Peradilan Agama”. Ayat (2): “Dalam hal para pihak telah

2 Rahmat Hidayat, Efisiensi Perbankan Syariah: Teori Dan Praktik (Bekasi: Gramata

Publising, 2014), 13.

(7)

memperjanjikan penyelesaian sengketa selain sebagaimana dimaksud pada

ayat (1), penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi Akad”. Ayat (3):

“Penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak boleh

bertentangan dengan Prinsip Syariah”.4

Wewenang Peradilan Agama di atur dalam pasal 49 UU Nomor 7 Tahun 1989 yang bunyinya di ubah dengan pasal 49 UU Nomor 3 Tahun 2006, yaitu Peradilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: Perkawinan, Kewarisan, Wasiat, Hibah, Wakaf, Zakat, Infak, Sedekah, dan Ekonomi syariah. Pasca lahirnya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, beberapa Pengadilan Agama mulai dihadapkan dengan perkara-perkara sengketa ekonomi syariah, diantaranya Pengadilan Agama Purbalingga.5

Perluasan kompetensi peradilan agama, khususnya mengenai ekonomi syariah, Taufiq, Zain Badjeber dan Zainuddin Fajari mengakui bahwa perluasan kompetensi tersebut merupakan tantangan yang harus dihadapi. Untuk itu perlu kesiapan Peradilan Agama dalam mengantisipasi hal-hal tersebut. Pada kenyataannya tidak cukup mengandalkan ketentuan materiil maupun acara yang sudah ada. Perkara-perkara ekonomi syariah yang dirinci

4 Undang-undang Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah Pasal 55.

5 Afandi Mansur, Peradilan Agama: Strategi & Taktik Membela Perkara di Pengadilan

(8)

menjadi 11 objek dalam kenyataan tidak semata bersifat keperdataan, melainkan dapat juga bersifat pidana atau administrasi negara.6

Salah satu perkara sengketa ekonomi syariah yang telah diputus Pengadilan Agama Purbalingga adalah perkara wanprestasi dalam pembiayaan akad mura>bah}ah Nomor: 1039/Pdt.G/2014/PA.Pbg. Sengketa ekonomi syariah dalam akad murabahah ini terjadi antara direktur utama PT. Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) Buana Mitra Perwira dengan salah satu nasabahnya, dengan mengajukan gugatan kepada Tergugat I dan Tergugat II (isteri Tergugat I), karena dinilai telah melakukan wanprestasi/cidera janji. Dengan dalil bahwa Penggugat telah memberikan piutang dengan Akad Mura>bah}ah kepada Tergugat I dan II sebesar Rp 136.000.000,- dengan jangka waktu piutang Mura>bah}ah tersebut selama 4 (empat) tahun yaitu sejak tanggal 4 Oktober 2012 sampai dengan tanggal 4 Oktober 2016. Ternyata dalam perjalanannya Para Tergugat telah menunggak angsuran, sehingga mengakibatkan kerugian bagi Penggugat.7

Dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, Bab I Ketentuan Umum Pasal 20 angka 1 dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan akad adalah kesepakatan dalam suatu perjanjian antara dua pihak atau lebih untuk melakukan dan atau tidak melakukan perbuatan hukum tertentu sedangkan pada Pasal 20 angka 6 pembiayaan akad mura>bah}ah adalah pembiayaan saling menguntungkan yang dilakukam oleh sha>hibul ma>l dengan pihak yang membutuhkan memlaui transaksi jual beli dengan penjelasan bahwa harga

6 Hasbi Hasan, Kompetensi Peradilan Agama dalam Penyelesaian Sengketa Ekonomi

Syari’ah (Jakarta: Gramata Publising, 2010), 73.

(9)

pengadaan barang dan harga jual terdapat nilai lebih yang merupakan keuntungan atau laba bagi sha>hibul ma>l dan pengembaliannya dilakukan secara tunai atau angsur.8

Menurut pengertian Hukum Perdata Umum, sumber perikatan karena perjanjian, yaitu hubungan hukum itu terjadi karena diperjanjikan, misalnya jual beli, sewa menyewa, penitipan, perjanjian kredit, dan lain-lain. Apabila ada dua pihak yang telah mengikatkan diri dalam suatu perjanjian tetapi pihak yang satu tidak melaksanakan kewajibannya terhadap pihak yang lain, maka pihak yang tidak melaksanakan kewajibannya itu disebut wanprestasi (ingkar janji).9 Akibat hukum wanprestasi antara lain debitur diharuskan membayar ganti rugi, kreditur dapat meminta pembatalan kontrak melalui pengadilan, kreditur dapat meminta pemenuhan kontrak, atau pemenuhan kontrak disertai ganti rugi dan pembatalan kontrak dengan ganti rugi.10 Selain itu juga seperti yang telah jelaskan dalam QS Al-Maidah (5):1:

َٰٓ ي

ا هُّي

أ

َٰٓٱ

َٰٓ نيِ

لَّ

ذ

َٰٓ

َٰٓ وُن ما ء

َٰٓ آَٰ

َٰٓ و

أ

َٰٓ اوُف

ََِٰٰٓٓبٱ

َٰٓ ل

َٰٓ ِدوُقُع

َٰٓ

َٰٓ

Artinya “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad

(perjanjian-perjanjian) itu”.11

Penggugat pun mengajukan beberapa tuntutan antara lain meminta majelis hakim menyatakan bahwa tergugat telah melakukan perbuatan wanprestasi serta membayar kerugian materiil sebesar Rp 88.087.497,- (delapan puluh delapan juta delapan puluh tujuh ribu empat ratus sembilan

8 Pasal 20, Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Kompilasi Hukum

Ekonomi Syariah.

(10)

puluh tujuh rupiah) kepada Penggugat, dan menyatakan sah dan berharga sita jaminan (Conservatoir Beslaag) atas barang tetap milik para Tergugat. Majelis Hakim dalam putusannya mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian dan menolak gugatan Penggugat Rekonvensi mengenai sita jaminan dengan dalih bahwa gugatan tidak berdasar.12 Dalam pasal 127 Kompilasi

Hukum Ekonomi Syariah, “Penjual dapat meminta kepada pembeli untuk

menyediakan jaminan atas benda yang dijualnya pada akad mura>bah}ah”. Kemudian pada pasal 129 “akad murabahah dapat diselesaikan dengan cara menjual obyek akad kepada Lembaga Keuangan Syariah dengan harga pasar, atau nasabah melunasi sisa utangnya kepada Lembaga Keuangan

Syariah dari hasil penjualan obyek akad”.13

Dengan latar belakang di atas, penulis tertarik untuk menganalisis putusan hakim tersebut dengan mengajukan judul skripsi yang berjudul: Analisis Hukum Ekonomi Syariah Terhadap Penyelesaian Sengketa Wanprestasi Piutang Mura>bah}ah (Studi Putusan Pengadilan Agama Purbalingga Nomor:1039/Pdt.G/2014/PA.Pbg).

12 Ibid.

13 Pasal 127 dan pasal 129, Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2008 Tentang

(11)

B. Rumusan Masalah

Dari paparan latar belakang masalah diatas, maka dapat disusun beberapa rumusan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana analisis hukum ekonomi syariah terhadap dasar pertimbangan hukum hakim dalam memutus perkara sengketa wanprestasi piutang

Mura>bah}ah Nomor: 1039/Pdt.G/2014/PA.Pbg?

2. Bagaimana analisis hukum ekonomi syariah terhadap keputusan hakim menolak gugatan Rekonvensi sita jaminan pada putusan Nomor: 1039/Pdt.G/2014/PA.Pbg?

3. Bagaimana ketidaksesuaian fakta-fakta hukum kasus piutang Mura>bah}ah Nomor: 1039/Pdt.G/2014/PA.Pbg dengan hukum ekonomi syariah?

C. Tujuan Penelitian

Dari rumusan masalah diatas, terdapat beberapa hal yang ingin dicapai peneliti dalam penelitian ini, yaitu sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui dan memahami analisis hukum ekonomi syariah terhadap dasar pertimbangan hukum hakim dalam memutus perkara Nomor: 1039/Pdt.G/2014/PA.Pbg dalam Perkara sengketa wanprestasi piutang Mura>bah}ah

(12)

3. Untuk mengetahui dan memahami ketidaksesuaian fakta-fakta hukum kasus piutang Mura>bah}ah dengan hukum ekonomi syariah di Indonesia

D. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian yang penulis harapkan dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Manfaat teoritis

a. Hasil penelitian ini diharapkan mampu menjadi salah satu wacana ilmiah yang akan menambah khazanah keilmuan Islam khususnya di bidang Muamalah (Hukum Ekonomi Syariah).

b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya referensi dan literatur kepustakaan khususnya mengenai putusan Pengadilan Agama dalam perkara sengketa ekonomi syariah serta hasil penelitian ini dapat menjadi acuan terhadap penelitian sejenis untuk tahap selanjutnya.

2. Manfaat praktis

a. Memberikan bahan pertimbagan bagi masyarakat pada umumnya dan nasabah Perbankan Syariah agar lebih memahami konsep pembiayaan mura>bah}ah serta resikonya.

(13)

sehingga di kemudian hari tidak terjadi lagi kasus wanprestasi pada perjanjian pembiayaan mura>bah}ah.

E. Telaah Pustaka

Beberapa kajian mengenai analisis suatu putusan hakim terhadap

penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah telah banyak dijadikan topik dalam

pembuatan skripsi maupun karya tulis lainnya. Dari beberapa karya tulis tersebut, penulis menemukan beberapa karya tulis yang hampir sama dengan masalah yang akan penulis bahas dalam proposal skripsi ini.

Pertama, Jurnal Tamwil Vol. 1, No. 2, Juli-Desember 2015 dari Muhammad Fadhly ASE, dengan judul “Analisis Yuridis Pertimbangan Hukum Putusan Pengadilan Agama Purbalingga Nomor 1720/Pdt. G/2013/Pa. Pbg Tentang Penyelesaian Gugatan Wanprestasi Dalam

(14)

gugatan wanprestasi dalam pembiayaan akad mura>bah}ah di Pengadilan Agama Purbalingga perkara nomor 1720/Pdt. G/2013/PA. Pbg, Majelis Hakim telah berupaya memenuhi prosedur beracara dan asas kepastian hukum dalam menyelesaikan gugatan wanprestasi pembiayaan akad

mura>bah}ah. Meskipun secara umum telah sesuai dengan ketentuan hukum

yang berlaku, pertimbangan hukum Majelis Hakim perkara Nomor 1720/Pdt. G/2013/PA. Pbg masih kurang lengkap.14

Perbedaan dengan permasalahan saya, dalam jurnal ini permasalahan yang diangkat adalah putusan Nomor 1720/Pdt. G/2013/PA. Pbg dan fokus yang dibahas adalah mendeskripsikan dan menganalisa secara kritis dan mendalam tentang putusan wanprestasi dalam pembiayaan akad mura>bah}ah Nomor 1720/Pdt. G/2013/PA. Pbg dan pertimbangan hukum yang dipergunakan majelis hakim dalam menjatuhkan putusan tersebut menurut peraturan perundang-undangan, sedangkan permasalahan yang saya angkat adalah putusan Nomor: 1039/Pdt.G/2014/PA.Pbg dan fokusnya adalah menganalisa dari segi hukum ekonomi syariah mengenai sengketa piutang

mura>bah}ah baik dalam hal wanprestasi, sita jaminan maupun kesesuaian

pertimbangan hukum hakim dalam memutus perkara pada akad mura>bah}ah. Kedua, Skripsi dari Pratami Wahyudya Ningsih, dengan judul “Analisis Terhadap Putusan Hakim Dalam Perkara Gugatan Pemenuhan Kewajiban

Akad Pembiayaan Al-Musya>rakah Di Pengadilan Agama Purbalingga (Studi

14Muhammad Fadhly ASE, “Analisis Yuridis Pertimbangan Hukum Putusan Pengadilan

(15)

Terhadap Putusan Nomor: 1047/Pdt.G/2006/Pa.Pbg)”, Universitas Sebelas Maret Surakarta, Fakultas Hukum, 2010. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif atau doktrinal dengan pendekatan perundang-undangan serta teknik pengumpulan datanya yaitu studi pustaka. Teknik analisis dengan metode silogisme dan interpretasi. Masalah yang dibahas adalah dasar pertimbangan hakim dalam memutus perkara Nomor: 1047/Pdt.G/2006/PA.Pbg mengenai gugatan pemenuhan akad pembiayaan

Al-Musya>rakah yang dikeluarkan oleh Pengadilan Agama Purbalingga, serta

kesesuaian pertimbangan hakim dengan Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah. Dengan penelitian ini dapat disimpulkan bahwa dasar pertimbangan hakim telah sesuai undang-undang yang berlaku serta telah sesuai dengan KHES.15

Perbedaan dengan permasalahan saya, dalam skripsi di atas permasalahan yang diangkat adalah putusan Nomor putusan Nomor: 1047/Pdt.G/2006/PA.Pbg dan fokus yang dibahas adalah akad pembiayaan al-musyarakah sedangkan permasalahan yang saya angkat pada akad pembiayaan mura>bah}ah mengenai wanprestasi serta penolakan sita jaminan serta kesesuaian pertimbangan hukum hakim dalam memutus perkara pada akad mura>bah}ah.

Ketiga, Skripsi dari Nurus Sa’adah, dengan judul “Analisis Putusan Hakim Dalam Perkara Ekonomi Syariah Di Pengadilan Agama Surakarta Tahun 2013-2017 (Berbasis Nilai Keadilan)”, IAIN Surakarta, Jurusan

15 Pratami Wahyudya Ningsih,“Analisis Terhadap Putusan Hakim Dalam Perkara Gugatan

(16)

Hukum Ekonomi Syariah (Muamalah), 2017. Masalah yang dibahas dalam skripsi ini adalah dasar pertimbangan hakimPengadilan Agama Surakarta dalam menyelesaikan perkara ekonomi syariah dan putusan hakim dalam memutus perkara ekonomi syariah di Pengadilan Agama Surakarta telah memenuhi asas keadilan.. Penulis mengambil tiga putusan untuk dianalisis (Perkara Nomor 0519/Pdt.G/2013/PA.Ska, Perkara Nomor 0644/Pdt.G/2015/PA.Ska dan Perkara Nomor 0176/Pdt.G/2016/PA.Ska). Penelitian ini merupakan penelitian lapangan (field research) dengan pendekatan yuridis normatif. Analisis data dalam penelitian ini dilakukan dengan metode kualitatif lapangan. Penelitian ini menunjukkan bahwa sumber hukum dari tiga perkara yang diteliti menggunakan sumber hukum dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) dan Pasal 181 HIR. Ketiga putusan tersebut mengandung asas keadilan, karena sebelum penjatuhan putusan hakim telah menimbang duduk perkaranya dan dasar pertimbangan yang digunakan oleh hakim telah sesuai dengan dasar gugatan yang diajukan oleh Penggugat (nasabah).16

Perbedaan dengan permasalahan saya, dalam skripsi ini permasalahan yang diangkat adalah tiga putusan: Perkara Nomor 0519/Pdt.G/2013/PA.Ska, Perkara Nomor 0644/Pdt.G/2015/PA.Ska dan Perkara Nomor 0176/Pdt.G/2016/PA.Ska). dan fokus yang dibahas adalah hanya menjelaskan dasar pertimbangan hakim dalam memutus perkara tersebut dan menganalisa putusan tersebut telah memenuhi asas keadilan atau tidak, sedangkan

16Nurus Sa’adah, “Analisis Putusan Hakim Dalam Perkara Ekonomi Syariah Di Pengadilan

(17)

permasalahan yang saya angkat adalah putusan Nomor: 1039/Pdt.G/2014/PA.Pbg dan fokusnya adalah menganalisa dari segi hukum ekonomi syariah sengketa piutang akad mura>bah}ah.

Sepengetahuan penulis, dari telaah pustaka di atas belum ada penelitian yang meneliti tentang analisis Hukum Ekonomi Syariah terhadap Penyelesaian Sengketa Wanprestasi Piutang Mura<bah{ah (Studi Putusan Pengadilan Agama Purbalingga Nomor:1039/Pdt.G/2014/Pa.Pbg).

F. Metode Penelitian

1. Jenis dan Pendekatan Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian pustaka (library research). Dengan menggunakan bahan pustaka sebagai sumber data meliputi peraturan perundang-undangan, buku-buku, skripsi-skripsi terdahulu, jurnal ilmiah dan karya tulis lainnya yang berkaitan dengan objek yang akan peniliti teliti, sehingga menghasilkan data-data yang jelas dan akurat.

(18)

2. Sumber Data

Sumber data yang digunakan dalam skripsi ini yaitu data yang diperoleh dari putusan Pengadilan Agama Purbalingga Nomor: 1039/Pdt.G/2014/PA.Pbg tentang sengketa ekonomi syariah.

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik yang digunakan untuk mengumpulkan data penelitian adalah dengan metode dokumentasi yaitu pengumpulan data-data dan variabel berupa catatan tentang penyelesaian sengketa ekonomi syariah, artikel, internet sebagai pendukung buku, jurnal, skripsi terdahulu, dan sebagainya. Dalam hal ini penulis menggunakan putusan Pengadilan Agama Purbalingga Nomor: 1039/Pdt.G/2014/PA.Pbg tentang sengketa ekonomi syariah.

4. Analisis Data

Mengingat jenis penelitian ini adalah normatif, maka teknik analisis yang penulis gunakan adalah dengan metode silogisme dan interpretasi, dengan menggunakan pola pikir deduktif serta tinjauan yuridis yang bersifat logis dan sistematis, yaitu proses analisis yuridis dari hukum yang ada pada putusan Pengadilan Agama Purbalingga Nomor: 1039/Pdt.G/2014/PA.Pbg tentang sengketa ekonomi syariah.

G. Sistematika Pembahasan

(19)

BAB I : PENDAHULUAN

Bab ini meliputi sub bab: pertama, latar belakang masalah untuk menjelaskan faktor-faktor yang menjadi dasar atau mendukung timbulnya masalah yang diteliti. Kedua, rumusan masalah yang disusun secara spesifik tentang ruang lingkup masalah yang akan diteliti. Ketiga, tujuan penelitian untuk menjawab permasalahan yang diteliti sesuai rumusan masalah yang disusun. Keempat, manfaat penelitian dapat dijadikan sebagai bahan masukan bagi masyarakat. Kelima, kajian pustaka sebagai tinjauan ulang atas karya-karya yang sudah diteliti dan berhubungan dengan skripsi ini serta menjelaskan perbedaannya dengan skripsi ini. Keenam, metode penelitian memuat langkah-langkah dalam mengumpulkan dan menganilisis data. Ketujuh, sistematika pembahasan untuk menerangkan alur pembahasan analisis hukum ekonomi syariah terhadap penyelesaian sengketa wanprestasi piutang mura>bah}ah studi putusan Pengadilan Agama Purbalingga Nomor: 1039/Pdt.G/2014/PA.Pbg.

BAB II : KAJIAN TEORI

(20)

BAB III : GAMBARAN UMUM PUTUSAN PERKARA NOMOR:

1039/Pdt.G/2014/PA.Pbg TENTANG SENGKETA

WANPRESTASI PIUTANG MURA<BAH{AH DI

PENGADILAN AGAMA PURBALINGGA

Memuat tentang deskripsi perkara, pertimbangan hukum hakim dalam penyelesaian sengketa wanprestasi piutang mura>bah}ah, problematika penolakan gugatan rekonvensi mengenai sita jaminan dan fakta-fakta hukum yang ada dalam putusan

Pengadilan Agama Purbalingga Nomor:

1039/Pdt.G/2014/PA.Pbg dengan hukum ekonomi syariah. BAB IV : ANALISA HUKUM EKONOMI SYARIAH TERHADAP

PUTUSAN PENGADILAN AGAMA PURBALINGGA DALAM PERKARA SENGKETA EKONOMI SYARIAH NOMOR: 1039/Pdt.G/2014/PA.Pbg

(21)

1039/Pdt.G/2014/PA.Pbg dalam Perkara sengketa wanprestasi piutang mura>bah}ah.

BAB V : PENUTUP

(22)

BAB II KAJIAN TEORI

A. Memahami Hukum Ekonomi Syariah

1. Pengertian Ekonomi Syariah

Istilah “Ekonomi Islam” sering menjadi masalah atau beragam

sebutannya. Tapi, sebenarnya tidak harus mewajibkan nama “Ekonomi

Islam”, sehingga sebutan-sebutan tersebut boleh-boleh saja, di dalam

Al-Quran pun tidak ada istilah yang khusus, hanya saja sebutan tersebut untuk lebih mengidentifikasinya dari ekonomi lainnya.17 Istilah

“ekonomi syariah” merupakan sebutan yang khas digunakan di

Indonesia. Semua istilah ini mengacu pada suatu konsep sistem ekonomi dan kegiatan usaha berdasarkan hukum Islam atau ekonomi berdasarkan prinsip syariah. Perbedaan penggunaan istilah ini pada dasarnya

menunjukkan bahwa istilah “ekonomi Islam” bukanlah nama baku dalam

terminologi Islam.18 Pengertian Ekonomi Syariah sendiri adalah usaha atau kegiatan yang dilakukan oleh orang perorangan, kelompok orang, badan usaha yang berbadan hukum atau tidak berbadan hukum dalam rangka memenuhi kebutuhan yang bersifat komersial dan tidak komersial menurut prinsip syariah.19

17Sa’adah, “Analisis Putusan Hakim Dalam Perkara Ekonomi Syariah, 21-23.

18 Hasbi Hasan, Pemikiran dan Perkembangan Hukum Ekonomi Syariah di Dunia Islam

Kontemporer (Jakarta: Gramatika Publishing, 2011), 19.

19 Pasal 1, Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Kompilasi Hukum

Ekonomi Syariah

(23)

2. Sumber Hukum Ekonomi Syariah

Para ulama bersepakat bahwa sumber hukum dalam Islam adalah

Al-Qur’an, As-Sunnah, Ijma>’dan qiya>s. Al-Qur’an merupakan wahyu Allah

SWT yang diturunkan melalui Rasulullah saw yang disampaikan kepada umat manusia untuk menentukan kehidupan di dunia. As-sunnah secara harfiah berarti cara, adat istiadat, kebiasaan hidup yang mengacu kepada perilaku Nabi saw yang dijadikan teladan, baik dalam bentuk ucapan, perbuatan, maupun pengakuan dan sifat Nabi. Ijma>’ menurut istilah ahli

ushul fiqih adalah kesepakatan para imam mujtahid diantara umat Islam

pada suatu masa setelah Rasulullah wafat, terhadap hukum shara’ tentang

suatu masalah.20

Di dalam syariat Islam, diajarkan berbagai persoalan yang terkait dengan bidang Muamalah, sehingga dasar hukum pelaksanaan ekonomi syariah di Indonesia terdiri dari dua kategori, yaitu dasar hukum normatif dan dasar hukum formal. Dasar hukum normatif berasal dari hukum Islam yang bersumber dari al-Qur’an, Sunah, dan ijtiha>d. Secara teknis ketentuan-ketentuan yang digunakan dalam praktik ekonomi syariah dirancang dan ditetapkan melalui ijtiha>d kolektif oleh MUI dan DSN. Sedangkan dasar hukum formal berdasarkan pada konstitusi dan peraturan perundang-undangan. Secara konstitusional, dasar hukum ekonomi syariah berpijak pada Pancasila sebagai dasar negara dan UUD 1945 Pasal 29. Sementara itu, sumber hukum tertulis sebagai sandaran

(24)

ekonomi syariah yang utama dan pertama yaitu ketentuan UU No. 10 tahun 1998 dengan segala produk peraturan pelaksanaannya berupa PP, PBI, atau KBI dan lain sebagainya.21

3. Kedudukan Fatwa DSN-MUI dalam Hukum Positif Indonesia

MUI merupakan wadah para alim ulama, dan cendekiawan muslim

yang concern dalam bidang dakwah dan fatwa. Fatwa adalah pendapat

atau nasihat mengenai hukum Islam yang diberikan oleh mufti kepada

mustafti yang bersifat terbuka dan tidak mengikat. Memang fatwa yang dikeluarkan bukan merupakan hukum positif yang memiliki kekuatan mengikat bagi seluruh warganegara. Fatwa hanya mengikat dari aspek agama dan apabila diharapkan dapat memiliki kekuatan hukum sebagaimana halnya hukum positif, maka terlebih dahulu fatwa harus ditrasnformasikan kedalam hukum positif dalam bentuk berbagai peraturan perundangan-undangan. Contoh konkrit adalah apa yang dilakukan oleh DSN, begitu banyak fatwa dalam bidang ekonomi syariah yang telah ditransformasi kedalam Peraturan Bank Indonesia, sehingga memiliki kekuatan mengikat dan fatwa yang dikeluarkan DSN-MUI telah diterapkan secara internal didalam aktivitas bank syariah.22

Pada UU No. 3 Tahun 2006 Tentang Pengadilan Agama disebutkan bahwa Pengadilan Agama berwenang untuk menyelesaikan sengketa ekonomi syariah, maka sebelum adanya perundang-undangan tentang

21 Hasan, Kompetensi Peradilan Agama, 104-105.

22 Andi Fariana, Fatwa dalam Sistem Hukum Nasional,

(25)

ekonomi syariah, pengadilan menggunakan fatwa MUI sebagai dasar untuk memutus. Dalam perkembangannya, pemerintah, Bank Indonesia, Kementerian Keuangan atau OJK seringkali melibatkan DSN dalam

menyusun peraturan. DSN kerap diminta membuat fatwa terlebih dahulu

ketika pemerintah akan membuat aturan. Hampir semua peraturan

kegiatan ekonomi syariah di bidang perbankan, asuransi syariah, pasar

modal syariah menyebutkan prinsip syariah sesuai Al-Qur’an dan Hadits

yang terdapat dalam fatwa DSN-MUI.

Dengan demikian, fatwa DSN-MUI menjadi pedoman atau dasar

keberlakuan kegiatan ekonomi syariah tertentu bagi pemerintah dan LKS.

Jadi fatwa DSN itu bersifat mengikat karena diserap ke dalam peraturan

perundang-undangan. Terlebih, adanya keterikatan antara DPS dan DSN

karena anggota DPS direkomendasikan oleh DSN. Keterikatan itu juga

ketika melakukan tugas pengawasan, DPS harus merujuk pada fatwa

DSN.23

B. Tinjauan Umum Akad Mura<bah{ah 1. Pengertian Akad Mura>bah{ah

Secara bahasa, kata Mura>bah{ah berasal dari perkataan Ribh yang berarti pertambahan. Secara istilah atau dalam pengertian umum diartikan sebagai suatu penjualan barang seharga awal pembelian barang

23 Rizal Taufiq Rahman, Positifisasi Fatwa DSN dalam Sistem Hukum Nasional,

(26)

tersebut ditambah dengan keuntungan yang telah disepakati bersama. Misalnya, seseorang membeli barang kemudian menjualnya kembali dengan keuntungan tertentu. Dalam ungkapan lain, Ibn Rusyd mengartikan mura>bah}ah sebagai jual beli barang pada harga asal dengan tambahan keuntungan yang disepakati.24

Menurut Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, akad mura>bah}ah adalah pembiayaan saling menguntungkan yang dilakukam oleh sha>hibul

ma>l dengan pihak yang membutuhkan melalui transaksi jual beli dengan

penjelasan bahwa harga pengadaan barang dan harga jual terdapat nilai lebih yang merupakan keuntungan atau laba bagi sha>hibul ma>l dan pengembaliannya dilakukan secara tunai atau angsur.25 Menurut UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah yang dimaksud dengan “Akad

mura>bah}ahadalah Akad Pembiayaan suatu barang dengan menegaskan

harga belinya kepada pembeli dan pembeli membayarnya dengan harga yang lebih sebagai keuntungan yang disepakati.26

Dalam aplikasi bank syariah, bank merupakan penjual atas objek barang dan nasabah merupakan pembeli. Bank menyediakan barang yang dibutuhkan oleh nasabah dengan membeli barang dari supplier, kemudian menjualnya kepada nasabah dengan harga yang lebih tinggi dibanding dengan harga beli yang dilakukan oleh bank syariah. Perbedan antara harga beli dan harga jual barang disebut dengan margin

24 Syukri Iska, Sistem Perbankan Syariah Di Indonesia (Yogyakarta: Fajar Media Press,

2014), 200.

25 Pasal 20 ayat 6, Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Kompilasi

Hukum Ekonomi Syariah.

(27)

keuntungan. Pembayaran atas transaksi mura>bah}ah dapat dilakukan dengan cara membayar sekaligus pada saat jatuh tempo atau melakukan pembayaran angsuran selama jangka waktu yang disepakati.27

2. Dasar Hukum Akad Mura>bah{ah

Al- Qur’an tidak memuat acuan langsung berkenaan dengan

mura>bah}ah, walaupun ada beberapa acuan di dalamnya untuk menjual,

keuntungan, kerugian, dan perdagangan. Demikian juga tidak ada hadis yang memiliki acuan langsung kepada mura>bah}ah. Para ulama awal

Islam seperti Malik dan Syafi’i secara khusus menyatakan bahwa

penjualan mura>bah}ah berlaku, tetapi tidak menyebutkan referensi hadis yang jelas.28 Dasar hukum yang dapat dijadikan dasar penerapan jual beli

mura>bah}ah, sebagai berikut:

a. QS. An-Nisa (4): 29

َٰٓ ي

ا هُّي

أ

َٰٓٱ

َٰٓ نيِ

لَّ

ذ

َٰٓ

َٰٓ اوُن ما ء

َٰٓ

َٰٓ

ل

ََٰٰٓٓ

أ ت

َٰٓ وُلُك

َٰٓ آَٰ

َٰٓ م

أ

َٰٓ و

مُك ل

َٰٓ

َٰٓ ي ب

مُك ن

ََِٰٰٓٓبٱ

َٰٓ ل

َٰٓ ب

َِٰٓلِط

َٰٓ

َٰٓ

ذ

لِإ

َٰٓ

ن

أ

َٰٓ

َٰٓ نوُك ت

َٰٓ

َٰٓ جِت

َٰٓ ة ر

َٰٓ

ن ع

َٰٓ

ضا ر ت

ٖ

َٰٓ

َٰٓ مُكنِ م

َٰٓ

َٰٓ

ل و

َٰٓ

َٰٓ ق ت

َٰٓ وُلُت

َٰٓ آَٰ

َٰٓ مُك سُفن

أ

َٰٓ

َٰٓذنِإ

َٰٓٱ

َٰٓ ذللّ

َٰٓ

َٰٓ ن كَ

َٰٓ

َٰٓ مُكِب

َٰٓ

ميِح ر

ٖ

آَٰ

٢٩

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang bathil, kecuali dengan jalan

perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu". (Q.S An Nisa : 29)29

27 Ismail, Perbankan Syariah ed.1, (Jakarta: Kencana, 2011), 138-139.

28 Mardani, Hukum Perikatan Syariah di Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), 124. 29 Departemen Agama Republik Indonesia, AL-Qur’an dan Terjemahannya (Bandung:

(28)

b. QS. Al-Baqarah (2): 275

...

َٰٓذل ح

أ و

َٰٓٱ

َُٰٓ ذللّ

َٰٓٱ

َٰٓ

ل

َٰٓ ي

َٰٓ عَٰٓ

َٰٓ مذر ح و

َٰٓٱ

َٰٓ و بِ رل

َٰٓ آَٰ

"....dan Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba." (Q.S Al Baqarah: 275)30

c. Dalil Hadis

َمَّلَسَو ِهِلآَو ِهْيَلَع ُالله ىَّلَص َّيِبَّنلا َّنَأ

،ٍلَجَأ ىَلِإ ُعْيَبْلَا :ُةَكَرَبْلا َّنِهْيِف ٌثَلاَث :َلاَق

،ُةَضَراَقُمْلاَو

(

بيهص نع هجام نبا هاور(

ِعْيَبْلِل َلا ِتْيَبْلِل ِرْيِعَّشلاِب ِّرُبْلا ُطْلَخَو

“Nabi bersabda, ‘Ada tiga hal yang mengandung berkah: jual beli

tidak secara tunai, muqa>rad{ah (mud{a>rabah), dan mencampur gandum

dengan jewawut untuk keperluan rumah tangga, bukan untuk dijual.’”

(HR. Ibnu Majah dari Shuhaib).31

3. Aplikasi Pembiayaan Mura>bah}ah di Bank Syariah

Mura>bah}ah merupakan salah satu skim pembiayaan yang paling

banyak digunakan oleh bank syariah. Mura>bah}ah sesuai untuk pembiayaan sebagian dan investasi oleh nasabah dalam bidang industri atau perdagangan. Mura>bah}ah memungkinkan nasabah/investor untuk membeli barang jadi, bahan baku, mesin-mesin, atau peralatan di pasar local maupun impor.32

a. Penggunaan akad Mura>bah}ah

1) Pembiayaan mura>bah}ah merupakan jenis pembiayaan yang sering diaplikasikan dalam bank syariah, yang pada umumnya

30 Ibid, 69.

(29)

digunakan dalam transaksi jual beli barang investasi dan barang-barang yang diperlukan individu.

2) Jenis penggunaan pembiayaan mura>bah}ah lebih sesuai untuk pembiayaan investasi dan konsumsi. Dalam pembiayaan investasi, akad mura>bah}ah sangat sesuai karena ada barang yang akan diinvestasi oleh nasabah atau akan ada barang yang menjadi objek investasi. Dalam pembiayaan konsumsi, biasanya barang yang akan dikonsumsi oleh nasabah jelas dan terukur. 3) Pembiayaan mura>bah}ah kurang cocok untuk pembiayaan modal

kerja yang diberikan langsung dalam bentuk uang. b. Barang yang boleh digunakan sebagai Objek Jual Beli

1) Rumah

2) Kendaraan bermotor dan/atau alat transportasi 3) Pembelian alat-alat industri

4) Pembelian pabrik, gudang, dan aset tetap lainnya

5) Pembelian aset yang tidak bertentangan dengan syari’ah Islam. c. Bank

(30)

2) Bank menerbitkan purchase order (PO) sesuai dengan kesepakatan antara bank syariah dan nasabah agar barang dikirimkan ke nasabah.

3) Cara pembayaran yang dilakukan oleh bank syariah yaitu dengan mentransfer langsung kepada rekening supplier.

d. Nasabah

Nasabah harus sudah cakap menurut hukum. Nasabah memiliki kamauan dan kemampuan dalam melakukan pembayaran.

e. Supplier

Dalam kondisi tertentu bank syariah memberikan kuasa kepada nasabah untuk membeli barang sesuai dengan spesifikasi yang telah ditetapkan dalam akad. Purchase Order (PO) atas pembelian barang tetap diterbitkan oleh bank syariah, dan pembayarannya tetap dilakukan oleh bank kepada supplier. Namun penyerahan barang dapat dilakukan langsung oleh supplier kepada nasabah atas kuasa dari bank syariah.

f. Lain-Lain

Denda atas tunggakan nasabah (bila ada), diperkenankan dalam aturan perbankan syariah dengan tujuan untuk mendidik nasabah agar disiplin dalam melakukan angsuran atas piutang mura>bah}ah. Namun pendapatan yang diperoleh bank syariah karena denda keterlambatan dikelompokkan dalam pendapatan non halal.33

(31)

4. Risiko Pembiayaan Mura>bah}ah

a. Default atau kelalaian, nasabah sengaja tidak membayar angsuran. b. Fluktuasi harga komparatif. Ini terjadi bila harga suatu barang dipasar

naik setelah bank membelikannya untuk nasabah. Bank tidak bisa mengubah harga jual beli tersebut.

c. Penolakan nasabah, barang yang dikirim bisa saja ditolak oleh nasabah karena berbagai sebab antara lain rusak dalam perjalanan. d. Dijual, karena pembiayaan mura>bah}ah bersifat jual beli dengan utang,

maka ketika kontrak ditanda tangani, barang itu menjadi milik nasabah. Nasabah bebas melakukan apapun terhadap aset miliknya tersebut, termasuk untuk menjualnya. Jika terjadi demikian, risiko default akan besar.34

C. Bentuk Sengketa Pembiayaan Mura<bah{ah 1. Wanprestasi

Istilah wanprestasi berasal dari Bahasa Belanda “wanprestatie” yang

berarti prestasi buruk/cedera janji. Dalam Bahasa Inggris, wanprestasi disebut breach of contract yang bermakna tidak dilaksanakannya kewajiban sebagaimana mestinya yang dibebankan oleh kontrak. Secara etimologi, wanprestasi adalah suatu hak kebendaan yang dikarenakan kelalaian atau kesalahan salah satu pihak tidak dapat memenuhi prestasi seperti yang telah ditentukan dalam kontrak, sedangkan pihak lain telah

34Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariahdari teori ke praktek (Jakarta:Gema Insani

(32)

memberikan peringatan atau somasi terhadapnya terlebih dahulu. Menurut M. Yahya Harahap, wanprestasi adalah pelaksanaan kewajiban yang tidak tepat waktunya atau dilakukan tidak menurut selayaknya, debitur dikatakan wanprestasi apabila dalam melakukan pelaksanaan prestasi kontrak telah lalai, sehingga terlambat dalam jadwal waktu yang ditentukan atau dalam melaksanakan prestasi tidak menurut selayaknya atau sepatutnya.

Menurut Sri Soedewi Masjhoeri Sofyan, wanprestasi adalah kewajiban tidak memenuhi suatu perutangan yang terdiri dari dua macam sifat yaitu: pertama, terdiri atas hal bahwa prestasi itu masih dilakukan tetapi tidak secara sepatutnya, kedua, terdapat hal-hal yang prestasinya tidak dilakukan pada waktu yang tepat. Adapun bentuk-bentuk wanprestasi, adalah sebagai berikut:

a. Tidak memenuhi prestasi sama sekali

b. Memenuhi prestasi tetapi tidak tepat pada waktunya c. Memenuhi prestasi tetapi tidak sesuai atau keliru35

Kelalaian ini harus dinyatakan secara resmi, yaitu dengan peringatan/somasi oleh juru sita di pengadilan atau cukup dengan surat tercatat atau telepon, supaya tidak mudah dipungkiri oleh si berhutang sebagaimana diatur dalam pasal 1238 KUHPerdata, dan peringatan tersebut harus tertulis. Dengan adanya wanprestasi, pihak kreditur yang dirugikan sebagai akibat kegagalan pelaksanaan kontrak oleh pihak

35 Lukman Santoso AZ, Hukum Perikatan: Teori Hukum dan Teknis Pembuatan Kontrak,

(33)

debitur mempunyai hak gugat dalam upaya menegakkan hak-hak kontraktualnya.36 Ada berbagai kemungkinan tuntutan bagi debitur: a. Kreditur dapat meminta pelaksanaan kontrak, meskipun pelaksanaan

ini sudah terlambat.

b. Kreditur dapat meminta penggantian kerugian saja, yaitu kerugian yang dideritanya, karena kontrak tidak atau terlambat dilaksanakan tetapi sebagaimana mestinya.

c. Kreditur dapat menuntut pelaksanaan kontrak disertai dengan penggantian kerugiaan yang diderita olehnya sebagai akibat terlambatnya pelaksanaan kontrak.

d. Dalam hal suatu kontrak yang meletakkan kewajiban timbal balik, kelalaian satu pihak yang lain untuk meminta kepada hakim supaya kontrak dibatalkan disertai dengan permintaan penggantian kerugian.37

Selain hal tersebut diatas, akibat dari adanya wanprestasi terhadap kelalaian debitur dapat diancam beberapa sanksi atau hukuman, sebagai berikut:

a. Membayar kerugian yang diderita oleh kreditur. Terdapat tiga unsur yaitu: biaya, rugi, dan bunga.

b. Pembatalan perjanjian/pemecahan perjanjian, jika salah satu pihak sudah menerima sesuatu dari pihak lainnya, baik uang maupun barang, hal tersebut harus dikembalikan.

36 Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas Dalam Kontrak

Komersial Ed.1 (Jakarta: Prenadamedia Group, 2010), 262-263.

37

(34)

c. Peralihan resiko, jika penjual terlambat menyerahkan barangnya, kelalaian ini diancam dengan mengalihkan risiko dari pembeli kepada penjual. Artinya dengan lalainya penjual, risiko itu beralih kepada dirinya, meskipun barang belum diserahkan.

d. Membayar biaya perkara di depan hakim. Tanggungan pembayaran biaya perkara wajib dibayar oleh pihak yag dikalahkan dalam penyelesaian sengketa. Dalam wanprestasi, debitur bisa saja terlepas dari kewajibannya jika terjadi hal-hal sebagai berikut:

1) Keadaan memaksa adalah keadaan jika terjadi hal-hal sebagai berikut:

a) Di luar kekuasaannya b) Memaksa

c) Tidak dapat diketahui sebelumnya 2) Kelalaian kreditur sendiri

3) Kreditur telah melepaskan haknya untuk menuntut ganti rugi38 2. Ganti Rugi

Dalam wanprestasi, bila salah satu pihak tidak melakukan prestasi sesuai dengan yang diperjanjikan dapat diajukan tuntutan pokok dan tuntutan tambahan. Tuntutan tambahan dapat dikaitkan dengan ganti rugi. Ganti rugi merupakan upaya untuk memulihkan kerugian yang prestasinya bersifat subsidair. Artinya, apabila pemenuhan prestasi tidak lagi dimungkinkan atau sudah tidak diharapkan lagi, maka ganti rugi

38 Eka Astri Maerisa, Membuat Surat-Surat Bisnis dan Perjanjian (Jakarta: Visimedia,

(35)

merupakan alternatif yang dapat dipilih oleh kreditur. Dalam hal ganti rugi ini harus dikaji ada atau tidak hubungan kausal antara peristiwa yang merupakan penyebab (wanprestasi) dengan akibat yang ditimbulkannya (kerugian). Oleh karena itu, kunci keberhasilan gugatan ganti rugi terletak pada pembuktian adanya hubungan klausal wanprestasi dan ganti rugi.39

Berkaitan dengan ganti rugi, terdapat dua sebab timbulnya ganti rugi, yaitu ganti rugi karena wanprestasi dan perbuatan melawan hukum dan ganti rugi karena perbuatan melawan hukum.40

a. Ganti rugi karena wanprestasi adalah suatu bentuk ganti rugi yang dibebankan kepada debitur yang tidak memenuhi isi perjanjian yang telah dibuat antara kreditur dan debitur, sebagaimana diatur dalam pasal 1243 sampai pasal 1252 KUHPerdata sebagai berikut:

1) Penggantian biaya, kerugian, dan bunga wajib dilakukan jika debitur lalai, terlambat, atau tidak memenuhi suatu perikatan 2) Tidak ada penggantian biaya, kerugian, dan bunga jika terjadi

keadaan memaksa.

3) Biaya, kerugian, bunga yang boleh dituntut kreditur terdiri atas kerugian yang telah dideritanya dan keuntungan yang seharusnya diperoleh.

4) Debitur hanya diwajibkan mengganti biaya, kerugian dan bunga yang dapat diduga pada waktu perikatan dilakukan.

39 Hernoko, Hukum Perjanjian, 263-265.

(36)

5) Jika tidak terpenuhinya perikatan itu disebabkan oleh tipu daya debitur, penggantian biaya, kerugian dan bunga hanya mencakup hal-hal yang menjadi akibat langsung dari tidak dilaksanakannya perikatan itu.

b. Ganti rugi yang disebabkan karena perbuatan melawan hukum, sebagaimana diatur dalam pasal 1365 KUHPerdata adalah suatu bentuk rugi yang dibebankan kepada orang yang telah menimbulkan kesalahan kepada pihak yang dirugikannya. Ganti rugi ini timbul karena danya kesalahan, bukan karena adanya perjanjian.41

3. Sita Jaminan

Biasanya perjanjian pembiayaan berisi pula ketentuan-ketentuan yang memberikan jaminan kepada bank. Fungsi jaminan dalam transaksi pembiayaan di bank syariah, oleh ahli fikih dibedakan pada bentuk transaksinya. Bagi transaksi dalam bentuk pertukaran seperti jual-beli, sewa-menyewa, maka terdapat kesepakatan kebolehannya, sedangkan untuk transaksi percampuran (mud{a>rabah dan musya>rakah) oleh para ulama fungsinya lebih ditekankan pada kemungkinan adanya pelanggaran yang dilakukan oleh pelaksana/pengelola terhadap kegiatan usaha atau perjanjian yang dibuatnya.42 Mengingat pengikatan jaminan bagi bank syariah sampai saat ini belum ada pengaturan hukum secara khusus, maka pelaksanaan pengikatan jaminan yang dilakukan oleh bank

41 Maerisa, Membuat Surat-Surat Bisnis, 43-45.

42 Faturrahman Djamil, Penyelesaian Pembiayaan Bermasalah Di Bank Syariah (Jakarta:

(37)

syariah adalah dengan memberlakukan peraturan perundang-undangan konvesional yang ada tentang lembaga jaminan.43

a. Pengertian Dan Fungsi Jaminan

Dalam penjelasan Pasal 8 ayat (1) UU No. 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 10 Tahun 1998 tentang

Perbankan, dinyatakan bahwa: “Kredit atau pembiayaan berdasarkan

Prinsip Syariah yang diberikan oleh bank mengandung risiko, sehingga dalam pelaksanaannya bank harus memperhatikan asas-asas perkreditan atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah yang sehat. Untuk mengurangi risiko tersebut, jaminan pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah guna memberikan keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi kewajibannya sesuai dengan yang diperjanjikan merupakan faktor penting yang harus diperhatikan oleh bank. Oleh karena itu, sebelum memberikan kredit, bank harus melakukan penilaian yang seksama terhadap watak, kemampuan, modal, agunan, dan prospek usaha dari nasabah debitur.44

Jaminan secara umum berfungsi sebagai jaminan pelunasan kredit/pembiayaan. Jaminan kredit/pembiayaan berupa watak, kemampuan, modal, dan prospek usaha yang dimiliki debitur merupakan jaminan immaterial yang berfungsi sebagai first wau out, yang diharapkan dengan jaminan tersebur debitur dapat mengelola

(38)

perusahaannya dengan baik, sehingga memperoleh pendapatan (revenue) bisnis guna melunasi kredit/pembiayaan sesuai yang diperjanjikan. Jaminan kredit/pembiayaan berupa agunan bersifat materiil/kebendaan berfungsi sebagai second way out yaitu pelaksanaan penjualan/eksekusi agunan baru dilakukan apabila debitur gagal memenuhi kewajibannya melalui first way out.45

b. Konsep Jaminan Dalam Hukum Islam

Dalam Hukum Islam berkaitan dengan jaminan utang dikenal dua istilah yaitu kafa>lah dan rahn. Menurut Bank Indonesia, kafa>lah adalah akad pemberian jaminan (makful ‘alaih) yang diberikan satu

pihak kepada pihak lain dimana pemberian jaminan (kafi<l) bertanggung jawab atas pembayaran kembali suatu hutang yang menjadi hak penerima jaminan (makful). Sedangkan Rahn, secara terminologi yaitu menjadikan barang yang mempunyai nilai harta menurut ajaran Islam sebagai jaminan utang, hingga orang yang bersangkutan dapat mengambil piutang atau mengambil sebagian manfaat barang itu.46

Dalam konteks pemberian pinjaman dalam bank konvensional, jaminan memainkan peran penting untuk memastikan pengembalian pinjaman ketika jatuh tempo. Lain halnya dengan konteks hukum Islam (fiqh) bahwa pada dasarnya jaminan bukanlah satu rukun atau syarat yang mutlak dipenuhi dalam bai’ al Mura>bah}ah dan jaminan

(39)

itu bisa saja menjadi penghambat dalam aliran dana untuk para pengusaha kecil. Pada intinya jaminan itu hanya dimaksudkan untuk menjaga agar nasabah tidak bermain-main dengan pesanannya. Oleh karena itu, bank dapat meminta suatu jaminan untuk dipegangnya. Dalam teknis operasionalnya barang-barang yang dipesan dapat menjadi salah satu jaminan yang bisa diterima untuk pembayaran.47 c. Sita Jaminan dalam Perkara Ekonomi Syariah

Berdasarkan pasal 227 ayat (1) HIR/ pasal 261 ayat (1) Rbg, jaminan hanya dapat diterapkan dalam perkara utang-piutang yang ditimbulkan karena wanprestasi dan perbuatan melawan hukum, tujuannya agar barang yang dijaminkan itu tidak digelapkan atau diasingkan selama proses persidangan berlangsung, sehingga pada saat putusan dilaksanakan, pelunasan pembayaran yang dituntut penggugat dapat terpenuhi. Apabila tergugat tidak memenuhi pelunasan pembayaran atau ganti rugi, maka pembayaran secara paksa diambil dari barang sitaan melalui lelang.48

Dalam Surat Edaran Nomor: 4 Tahun 2016, pelaksanaan eksekusi hak tanggungan dan fidusia yang akadnya berdasarkan prinsip syariah merupakan kewenangan peradilan agama sedangkan yang selainnya merupakan kewenangan peradilan umum. Hak tanggungan dan jaminan utang lainnya dalam akad ekonomi syariah

47 Akhmad Mujahidin, Hukum Perbankan Syariah (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2016),

61.

48 Andryawal Simanjuntak, Sita Jaminan (Consevatoir Beslag),

(40)

tetap dapat dieksekusi jika terjadi wanprestasi meskipun belum jatuh tempo pelunasan sesuai dengan yang diperjanjikan setelah diberi peringatan sesuai ketentuan yang berlaku.49

Sita jaminan dalam perkara ekonomi syariah dilakukan atas perintah hakim/ketua majelis sebelum atau selama proses pemeriksaan berlangsung dan untuk penyitaan tersebut hakim/ketua majelis membuat surat penetapan. Penyitaan dilakukan oleh panitera pengadilan agama/juru sita dengan dua orang pegawai pengadilan agama sebagai saksi. Terdapat dua macam sita jaminan, yaitu:

1) Conservatoir Beslaq adalah sita jaminan terhadap barang bergerak dan tidak bergerak milik Tergugat.

2) Revindicatoir Beslaq adalah sita jaminan terhadap barang bergerak milik Penggugat yang dikuasai oleh Tergugat.50

D. Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah pada Pengadilan Agama

1. Kewenangan Pengadilan Agama dalam Penyelesaian Perkara

Ekonomi Syariah

Lahirnya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 (UU Peradilan Agama) telah meletakkan amanah dan tanggung jawab yang baru dilingkungan Peradilan Agama, antara lain berkaitan dengan kewenangan penyelesaian perkara ekonomi syariah. Secara khusus, mengingat

49 Surat Edaran Nomor 4 Tahun 2016 Tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno

Kamar Mahkamah Agung Tahun 2016 Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan, 9.

50 Ahmad Mujahidin, Kewenangan dan Prosedur Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah

(41)

transaksi (akad) perbankan yang dilakukan adalah berlandaskan kepada

syari’at Islam, sehingga apabila terjadi persengketaan, maka lembaga

peradilan agama diberikan kepercayaan berupa kewenangan absolute (mutlak) untuk menyelesaikan bagi sengketa bank syariah yang dilakukan oleh orang-orang yang beragama Islam di bidang perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, sedekah, dan ekonomi syariah. Di bidang ekonomi syariah meliputi:

a. Bank syariah,

b. Lembaga keuangan mikro syariah, c. Asuransi syariah,

d. Reasuransi syariah, e. Reksadana syariah,

f. Obligasi syariah dan surat berharga berjangka menengah syariah, g. Sekuritas syariah,

h. Pembiayaan syariah, i. Pegadaian syariah,

j. Dana pensiun lembaga keuangan syariah, dan k. Bisnis syariah51

2. Penemuan Hukum oleh Hakim

Bagi hakim dalam mengadili suatu perkara terutama yang dipentingkan adalah fakta atau peristiwanya dan bukan hukumnya. Peraturan hukumnya hanyalah sebagai alat, sedangkan yang bersifat

(42)

menentukan adalah peristiwanya. Ada kemungkinan terjadinya suatu peristiwa, yang meskipun sudah ada peraturan hukumnya, justru lain penyelesaiannya. Hakim akhirnya akan menemukan kesalahan dengan menilai peristiwa itu keseluruhannya. Untuk dapat menyelesaikan atau mengakhiri suatu perkara atau sengketa setepat-tepatnya hakim harus terlebih dahulu mengetahui secara objektif tentang duduk perkaranya sebagai dasar putusannya. Setelah hakim menganggap terbukti peristiwa yang menjadi sengketa, hakim telah dapat mengkonstatir peristiwa, maka hakim harus menentukan peraturan hukum apakah yang menguasai sengketa antara kedua belah pihak. Ia harus menemukan hukumnya, ia harus mengkualifisir peristiwa yang dianggapnya terbukti.52

Menurut Bambang Sutiyoso, “penemuan hukum adalah proses

konkretisasi atau individualisasi peraturan hukum (das Sollen) yang bersifat umum dengan mengingat akan peristiwa konkrit (das Sein) tertentu. Dalam penemuan hukum yang penting adalah bagaimana

mencarikan atau menemukan hukumnya untuk peristiwa konkrit”. Hakim

melakukan penemuan hukum, karena ia dihadapkan pada peristiwa konkrit atau konflik untuk diselesaikan. Hasil penemuan hukumnya merupakan hukum karena mempunyai kekuatan mengikat sebagai hukum yang dituangkan dalam bentuk putusan. Berdasarkan hal tersebut,

52 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia (Yogyakarta: Universitas Atma

(43)

penemuan hukum oleh hakim itu sekaligus dapat dinyatakan sebagai sumber hukum juga.53

3. Pembuktian

Dalam memeriksa suatu perkara, hakim bertugas untuk mengkonstatir, mengkualifisir dan kemudian mengkonstituir. Mengkonstatir artinya harus menilai apakah peristiwa atau fakta-fakta yang dikemukakan para pihak itu adalah benar-benar terjadi. Hal ini hanya dapat dilakukan melalui pembuktian. Membuktikan artinya mempertimbangkan secara logis kebenaran suatu fakta/peristiwa berdasarkan alat-alat bukti yang sah dan menurut hukum pembuktian yang berlaku. Dalam pembuktian itu, para pihak memberi dasar-dasar yang cukup kepada hakim yang memeriksa perkara yang bersangkutan guna memberikan kepastian tentang kebenaran peristiwa yang diajukannya. Tujuan pembuktian ini ialah untuk memperoleh kepastian bahwa suatu fakta/peristiwa yang diajukan itu benar-benar terjadi, guna mendapatkan putusan hakim yang benar dan adil. 54 Alat-alat bukti yang dapat digunakan dalam membuktikan suatu hak atau suatu peristiwa diatur dalam pasal 164 HIR/284 Rbg yang terdiri dari:

a. Alat Bukti Surat 1) Akta Otentik

Akta Otentik adalah suatu akta dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau dihadapan

53Pratami Wahyudya Ningsih, “Analisis Terhadap Putusan Hakim”, 19.

54 Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama (Yogyakarta: Pustaka

(44)

pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat dimana akta dibuat. Yang dimaksud pejabat yang berwenang antara lain notaris, hakim, juru sita dan lain sebagainya.55

Kekuatan bukti otentik merupakan bukti yang sempurna dalam arti bahwa ia udah tidak memerlukan suatu penambahan pembuktian, ia merupakan suatu alat bukti yang mengikat dan sempurna. Akta otentik tidak hanya mempunyai kekuatan pembuktian formal tapi juga mempunyai kekuatan pembuktian materiil.Menurut Subekti dalam bukunya Hukum Acara Perdata menyebutkan bahwa akta otentik mempunyai tiga kekuatan, yaitu: (1) kekuatan membuktikan antara para pihak, bahwa mereka sudah menerangkan apa yang ditulis dalam akta tersebut; (2) kekuatan membuktikan antara para pihak yang bersangkutan bahwa sungguh-sungguh peristiwa yang di sebutkan dalam akta telah terjadi; (3) kekuatan membuktikan tidak saja antara para pihak yang bersangkutan tetapi juga terhadap pihak ketiga.56

2) Akta Dibawah Tangan

Akta dibawah tangan adalah akta yang meskipun dibuat untuk pembuktian, namun akta tersebut tidak dibuat di hadapan pejabat yang berwenang. Akta tersebut semata-mata dibuat atas

55 Ropaun Rambe, Implementasi Hukum Islam (Jakarta: Perca, 2001), 168.

56 Bahder Johan Nasution, Hukum Acara Peradilan Agama (Bandung: Tarsito, 1992),

(45)

kehendak para pihak yang berkepentingan seperti surat kwitansi dan lain sebagianya.

3) Surat Biasa

Surat biasa merupakan surat yang dibuat tidak dengan tujuan pembuktian, hanya surat biasa untuk kepentingan tertentu seperti surat cinta, surat register, surat ketetapan pajak dan lain sebagainya.57

b. Bukti Saksi

Dalam hal pembuktian dengan saksi yang dilakukan adalah menerangkan apa yang dilihatnya apa yang didengarnya dan yang dialaminya sendiri, setiap kesaksiannya harus disertai dengan alasan-alasan bagaimana ia mengetahuinya. Kekuatan pembuktian kesaksian yang pada pokoknya menyatakan bahwa kesaksian seorang saksi adalah tidak cukup untuk membuktikan suatu hal.58

(46)

BAB III

GAMBARAN UMUM PERKARA NOMOR: 1039/PDT.G/2014/PA.PBG

TENTANG SENGKETA WANPRESTASI PIUTANG MURA<BAH{AH

DI PENGADILAN AGAMA PURBALINGGA

A. Dekripsi Perkara Nomor: 1039/Pdt.G/2014/PA.Pbg tentang Sengketa Wanprestasi Piutang Mura<bah{ah di Pengadilan Agama Purbalingga

Pada tanggal 14 Oktober 2012, telah bersepakat antara PT. BPR Syariah Buan Mitra Perwira yang diwakili oleh Penggugat selaku Direktur Utama dengan Tergugat I, pekerjaan sopiryang mendapat persetujuan dari Tergugat II (istri Tergugat I), pekerjaan mengurus rumah tangga, sesuai Akta Akad Jual Beli Mura>bah}ah No. 51/656-1/10/12 tanggal 4 Oktober 2012 sepakat untuk melakukan suatu perjanjian pembiayaan. Setelah akad tersebut ditandatangani, Para Tergugat telah menerima Pembiayaan dari Penggugat berdasarkan akad Jual beli Mura>bah}ah sebesar Rp.136.000.000,- (seratus tiga puluh enam juta rupiah).

Tentang duduk perkaranya, bahwa Penggugat dalam surat gugatannya tertanggal 17 Juni 2014 dan kemudian terdaftar di kepaniteraan Pengadilan Agama Purbalingga pada tanggal 19 Juni 2014 Nomor: 1039/Pdt.G/2014/PA.Pbg dengan tambahan dan perubahan olehnya sendiri di persidangan yang pada pokoknya mengemukakan hal-hal sebagai berikut:59

59 Salinan Putusan Nomor: 1039/Pdt.G/2014/PA.Pbg, hlm. 2-4.

(47)

1. Bahwa berdasarkan Akad Mura>bah}ah Nomor : 51/656-1/10/12 tertanggal 4 Oktober 2012, Tergugat I atas persetujuan Tergugat II sebagai isteri telah menerima Fasilitasi Piutang Mura>bah}ah dari Penggugat sebesar Rp.136.000.000,- (seratus tiga puluh enam juta rupiah), dengan perhitungan harga perolehan Rp. 85.000.000,- (delapan puluh lima juta rupiahditambah margin sebesar Rp. 51.000.000,- (lima puluh satu juta rupiah) untuk pembelian sebuah mobil barang/ Truck Dump Merk Mitsubishi Type FE119 (6B ) tahun 1992

2. Bahwa tujuan pembelian barang adalah sebagai sarana untuk modal kerja pengangkutan

3. Bahwa jangka waktu piutang Mura>bah}ah tersebut selama 4 (empat) tahun yaitu sejak tanggal 4 Oktober 2012 sampai dengan tanggal 4 Oktober 2016

4. Bahwa ternyata dalam perjalanannya Para Tergugat telah menunggak angsuran, kemudian Penggugat melayangkan beberapa kali Surat Peringatan dan Somasi yaitu:

a. Surat Peringatan I (SP I) tertanggal 3 Oktober 2013 b. Surat Peringatan II (SP II) tertanggal 4 Nopember 2013 c. Surat Peringatan III (SP III) tertanggal 5 Desember 2013)

(48)

6. Bahwa Para Tergugat telah lalai tidak melaksanakan kewajiban pembayaran angsuran sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan (Akad Pasal 6 Ayat 1)

7. Bahwa atas kelalaian dan pelanggaran Para Tergugat tersebut, maka Penggugat berhak untuk menuntut dan menagih pembayaran atas seluruh jumlah harga jual kepada Para Tergugat secara seketika dan sekaligus 8. Bahwa berdasarkan apa yang termuat dalam posita 6, maka Para

Tergugat telah dianggap melakukan perbuatan cidera janji / ingkar janji / wanprestasi yang sangat merugikan Penggugat

9. Bahwa akibat perbuatan cidera janji / ingkar janji / wanprestasi tersebut Penggugat merasa dirugikan secara materiil yaitu sesuai dengan Akad

Mura>bah}ah Nomor : 51/656-1/10/12 tertanggal 4 Oktober 2012, yang

perinciannya per Mei 2014 sebagai berikut:

a. Pokok harga perolehan / pembiayaan : Rp 66.907.812,- b. Margin Keuntungan : Rp 12.519.685,- c. Denda keterlambatan (Akad Pasal 5 ayat 4) : Rp 660.000,- d. Biaya Kuasa Hukum (Akad Pasal 5 ayat 2) : Rp 8.000.000,- Total kewajiban Para Tergugat : Rp 88.087.497,- 10. Bahwa karena Para Tergugat telah wanprestasi maka Penggugat

melayangkan Surat Peringatan dan Somasi, dan atas Surat Peringatan maupun Somasi tersebut Para Tergugat tidak pernah menanggapi

(49)

Jaminan (Conservatoir Beslaag) atas barang-barang milik Para Tergugat yang dalam hal ini barang tetap milik Para Tergugat yang telah diikat Hak Tanggungan Nomor : 03791/2012

12. Tanah pekarangan berikut bangunan berdasarkan Sertifikat Hak Milik Nomor: 00720/2012, Luas 427 M2, terletak di Kabupaten Purbalingga, Provinsi Jawa Tengah, sebagaimana diuraikan dalam Surat Ukur tanggal 3 Mei 2011 No.---, Sertifikat tertanggal 11 Mei 2011, tertulis atas nama TERGUGAT II, dengan batas-batas:

a. Sebelah Utara : Tanah milik H. Santaja b. Sebelah Timur : Tanah milik Warsani c. Sebelah Selatan : Jalan Desa

d. Sebelah Barat : Jalan Desa

(50)

Sehubungan dengan Penggugat dan para Tergugat telah menempuh mediasi dengan mediator Dra. Teti Himati, akan tetapi tidak berhasil mencapai perdamaian, maka proses persidangan tetap dilanjutkan. Sehingga berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka Penggugat memohon kepada Ketua Pengadilan Agama Purbalingga menjatuhkan putusan sebagai berikut:

1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya.

2. Menyatakan sah dan berharga sita jaminan (Conservatoir Beslaag) atas barang tetap milik Para Tergugat yang diletakan oleh Pengadilan Agama Purbalingga.

3. Menyatakan sah secara hukum Akad Mura>bah}ah Nomor : 51/656-1/10/12 tertanggal 4 Oktober 2012, yang dibuat antara Penggugat dengan Para Tergugat yang di waarmerking oleh SRI WACHYONO, SH, MH, M.Kn., Notaris di Purbalingga.

4. Menyatakan Para Tergugat telah melakukan perbuatan cidera janji/ ingkar janji/wanprestasi terhadap Akad Mura>bah}ah Nomor : 51/656-1/10/12 tertanggal 4 Oktober 2012 yang sangat merugikan Penggugat.

5. Menghukum Para Tergugat untuk membayar kerugian materiil sebesar Rp. 88.087.497,- ( delapan puluh delapan juta delapan puluh tujuh ribu empat ratus sembilan puluh tujuh rupiah ) kepada Penggugat langsung seketika setelah putusan mempunyai kekuatan hukum tetap.

6. Menghukum Para Tergugat untuk membayar semua biaya yang timbul dalam perkara ini.60

(51)

B. Pertimbangan Hukum Hakim dalam Penyelesaian Sengketa Wanprestasi Piutang Mura>bah}ah Nomor: 1039/Pdt.G/2014/PA.Pbg

Bahwa berdasarkan duduk perkara pada putusan Nomor: 1039/Pdt.G/2014/PA.Pbg, maka Penggugat mengajukan gugatan wanprestasi terhadap Tergugat I dan Tergugat II yang memuat bahwa Para Tergugat telah dianggap melakukan perbuatan cidera janji / ingkar janji / wanprestasi yang sangat merugikan Penggugat. Bahwa akibat perbuatan cidera janji / ingkar janji / wanprestasi tersebut Penggugat merasa dirugikan secara materiil yaitu sesuai dengan Akad Mura>bah}ah Nomor: 51/656-1/10/12 tertanggal 4 Oktober 2012, yang perinciannya per Mei 2014 sebagai berikut:

1. Pokok harga perolehan / pembiayaan : Rp 66.907.812,-

2. Margin Keuntungan : Rp 12.519.685,-

3. Denda keterlambatan (Akad Pasal 5 ayat 4) : Rp 660.000,- 4. Biaya Kuasa Hukum (Akad Pasal 5 ayat 2) : Rp 8.000.000,- Total kewajiban Para Tergugat : Rp 88.087.497,-61

Atas gugatan Penggugat tersebut, Tergugat I telah memberikan jawaban secara tertulis tertanggal 17 Desember 2014 sedangkan Tergugat II tidak dapat menghadap pada sidang kedua dan seterusnya meskipun telah dipanggil secara sah dan patut. Adapun jawaban Tergugat I adalah sebagai berikut: 1. Bahwa dalam gugatan Penggugat (point 1), bahwa Akad Mura>bah}ah

Nomor : 51/656-1/10/12 melanggar prinsip Mura>bah}ah, dimana

(52)

perhitungan keuntungan sudah ditentukan di awal dan di anggap sudah pasti sebesar Rp 51.000.000 (lima puluh satu juta rupiah), padahal prinsip

Mura>bah}ah adalah:

a. Untung dan rugi ditanggung bersama sesuai dengan penyertaan modalnya masing-masing atau sesuai yang disepakati bersama dalam akad.

b. Kedudukan Bank dan nasabah sejajar yaitu sebagai partner (syarik) dalam satu usaha/proyek yang sama, hanya saja hak dan kewajibannya dapat sama ataupun dapat juga berbeda.

c. Wanprestasi kemungkinan dapat juga dilakukan oleh Bank, tidak saja oleh nasabah.

2. Dalam hal ini Tergugat I dan Penggugat sepakat keuntungan dan kerugian akan ditanggung sebesar 60% (Rp 51.000.000 : Rp 85.000.000 x 100%), karena dalam hal ini Tergugat I mengalami kerugian sehingga usahanya bangkrut, maka Tergugat I akan membayar mura>bah}ah sebesar Rp 85.000.000 – (Rp 85.000.000 x 60%) yaitu sebesar Rp 34.000.000,-, dan hal tersebut juga akan diperhitungkan pada saat akhir dan pada mura>bah}ah tersebut berakhir yaitu pada tanggal 4 Oktober 2016, jadi apabila diperhitungkan saat ini adalah tidak tepat.

(53)

Tergugat I adalah 4 tahun dimulai pada tanggal 4

Referensi

Dokumen terkait

Untuk diberikan kepada istri, untuk dia pakai atau gunakan. Baik itu untuk dirinya sendiri, keluarga, atau orang lain. Adapun menurut hemat peneliti menggunakan mahar

Secara umum Kriteria Ketuntasan Minimum (KKM) yang diterapkan untuk mata pelajaran IPA di SMPN 2 Pasie Raja adalah 65. Rendahnya nilai KKM yang dicapai siswa pada

Hasil analisis dengan GenBank menunjukkan bahwa urutan basa sisipan 2 (577 pb) yang diperoleh memiliki kesamaan yang tinggi dengan urutan basa gen kelompok LFY/FLO

kalau plagiarisme yang menjiplak karya orang kalau plagiarisme yang menjiplak karya orang lain saja masih marak. | Plagiarism

Berdasarkan hasil penelitian tentang komunikasi interpersonal guru dan murid di TK Al_Azzam dalam pembentukan karakter anak, dapat ditarik kesimpulan bahwa

Selanjutnya dari rancangan yang kami buat akan dilaporkan melalui jaringan nirkabel atau IoT, hal ini dilakukan agar pihak industri bisa selalu memantau kondisi

Kebanyakan industri tepung ikan berada di Jawa Timur (Muncar, Banyuwangi) dan Bali (Jembrana). Permasalahan utama tepung ikan lokal adalah karena rendahnya

Berdasarkan hasil penelitian tersebut, penulis merekomendasikan kepada: (1) Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Timur untuk menggunakan hasil penelitian ini sebagai salah satu