• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pada 1 April 2010 pemerintah menghapus atau tidak mengenakan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM) atas minuman beralkohol seiring diberlakukannya Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPnBM). Besaran tarif tertinggi PPnBM disepakati naik dari 75% menjadi 200%. Ini untuk memberi ruang kepada pemerintah dalam rangka melaksanakan regulasi.Pemerintah sudah berancang-ancang mengeluarkan minuman beralkohol dari daftar objek PPN dan PPnBM ini sudah sejak tahun lalu. Penghapusan pajak minuman beralkohol tersebut merupakan bentuk tanggapan atas masukan yang disampaikan masyarakat dan para pelaku usaha kepada pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

DPR telah mengesahkan Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah pada hari Rabu 16 September 2009. Berikut ini disampaikan Pokok-Pokok Perubahan Undang-Undang PPN dan PPnBM berdasarkan Pendapat Akhir Pemerintah terhadap Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah tanggal 16 September 2009 (sumber: www.depkeu.go.id).

Pokok-Pokok Perubahan Undang-Undang PPN dan PPnBM 2009 adalah sebagai berikut :

1. Objek dan Non Objek Pajak

- Dalam rangka menetralkan pembebanan PPN dan menambah daya saing kegiatan jasa yang dilakukan oleh pengusaha Indonesia di luar Daerah Pabean dan pemanfaatan BKP Tidak Berwujud dari Indonesia di Luar Daerah Pabean, maka atas ekspor JKP dan BKP Tidak Berwujud dalam RUU PPN dikenakan tarif 0% (nol persen).

- Barang hasil pertanian yang diambil langsung dari sumbernya tetap sebagai BKP yang pengenaan PPN-nya akan menggunakan mekanisme pedoman pengkreditan Pajak Masukan (Deemed Pajak Masukan).

2. Bukan Objek

- Untuk memberikan kepastian hukum, pengaturan jenis barang dan jasa yang tidak dikenakan PPN, yang semula diatur dengan Peraturan Pemerintah dinaikkan ke batang tubuh UU PPN dan PPnBM.

- Untuk menjamin ketersediaan bahan baku industri energi dalam negeri, barang hasil pertambangan umum yang diambil langsung dari sumbernya termasuk batubara tetap sebagai barang yang tidak dikenakan PPN.

59

- Dalam rangka pemenuhan gizi rakyat Indonesia dengan harga yang terjangkau, maka daging segar, telur yang belum diolah, susu perah, sayuran segar dan buah-buahan segar ditetapkan sebagai barang kebutuhan pokok yang tidak dikenakan PPN.

- Untuk menghindari pengenaan pajak berganda terhadap suatu objek yang sama, maka objek-objek tertentu yang sudah dikenakan pajak daerah dikecualikan dari pengenaan PPN, yaitu barang hasil pertambangan galian C, makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran. rumah makan, warung dan sejenisnya, jasa perhotelan, jasa boga atau katering.

- Untuk memberikan perlakuan yang sama, Jasa keuangan yang dilakukan oleh siapapun termasuk perbankan syariah ditetapkan sebagai bukan Jasa Kena Pajak yang atas penyerahannya tidak dikenakan PPN.

3. Pengembalian (Retur) Jasa Kena Pajak (JKP)

- Agar paralel dengan perlakuan pengembalian (retur) Barang Kena Pajak, dalam RUU PPN diatur mengenai perlakuan PPN atas penyerahan JKP yang dibatalkan/dikembalikan sebagian atau seluruhnya.

4. Pajak Penjualan atas Barang Mewah.

- Dengan tujuan untuk memberikan ruang kepada Pemerintah dalam rangka melaksanakan fungsi regulasinya, maka batas atas tarif

PPnBM dinaikkan dari 75% (tujuh puluh lima persen) menjadi 200% (dua ratus persen). Tarif tertinggi sebesar 200% (dua ratus persen) akan diterapkan apabila benar-benar diperlukan.

5. Pengkreditan Pajak Masukan.

- Dalam RUU PPN diatur bahwa Pengusaha yang belum berproduksi tetap dapat mengkreditkan PPN yang telah dibayar atas pembelian barang modal. Namun demikian, apabila dalam kurun waktu tertentu pengusaha terse but ternyata gagal berproduksi maka atas PPN yang telah dikreditkan dan telah dimintakan pengembaliannya wajib dibayar kembali. Pengaturan batasan jangka waktu untuk Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang gagal berproduksi disepakati 3 (tiga) tahun sejak pengkreditan Pajak Masukan, dan berlaku untuk semua sektor usaha.

6. Restitusi PPN

- Apabila dalam suatu Masa Pajak terdapat kelebihan pajak maka atas kelebihan pajak tersebut dikompensasikan ke Masa Pajak berikutnya dan dapat direstitusi pada akhir tahun buku, kecuali Wajib Pajak tertentu yang secara mekanisme PPN akan mengalami lebih bayar seperti eksportir dan penyalur/pemasok pemerintah, diperkenankan untuk restitusi di setiap Masa Pajak. Dengan pertimbangan untuk membantu likuiditas, memberikan pelayanan yang lebih baik dan mendorong kepatuhan sukarela Wajib Pajak

61 dalam melaksanakan kewajiban pajaknya (self assessment), Wajib Pajak tertentu yang memiliki resiko rendah, dapat diberikan restitusi dengan pengembalian pendahuluan tanpa melalui pemeriksaan terlebih dahulu. Pemeriksaan dapat dilakukan kemudian bila diperlukan. Sanksi yang dikenakan lebih rendah dari Undang-Undang KUP yaitu 2% (dua persen) perbulan, kecuali terdapat indikasi tindak pidana perpajakan maka sanksi yang berlaku sesuai ketentuan sebagaimana diatur dalam UU KUP. 7. DeemedPajak Masukan.

- RUU ini mengatur mengenai Deemed Pajak Masukan yaitu

mekanisme penetapan besarnya Pajak Masukan yang dapat dikreditkan bagi Wajib Pajak tertentu, baik berdasarkan omzet maupun kegiatan usaha (sektoral), yang bertujuan untuk memberikan kemudahan Wajib Pajak dalam menghitung kewajiban PPN-nya.

8. Pemusatan tempat PPN terutang.

- Dalam rangka mengurangi beban administrasi Wajib Pajak, RUU memberikan kemudahan prosedur penetapan pemusatan tempat terutang yaitu cukup dengan melakukan pemberitahuan secara tertulis kepada Oirektur Jenderal pajak.

9. Saat pembuatan Faktur Pajak.

- Dalam rangka meringankan beban administrasi Wajib Pajak maka saat pembuatan Faktur Pajak adalah pada saat terutangnya pajak, yaitu pada saat penyerahan, atau dalam hal pembayaran mendahului penyerahan maka Faktur Pajak dibuat pada saat pembayaran. Oengan pengaturan ini, Wajib Pajak tidak perlu lagi membuat faktur penjualan (invoice) yang berbeda dengan Faktur Pajak.

- Untuk membantu likuiditas Wajib Pajak, saat penyetoran PPN dan pelaporan SPT Masa PPN yang semula paling lambat tanggal 15 (lima belas) dan tanggal 20 (dua puluh) setelah Masa Pajak berakhir sebagaimana diatur dalam Undang-Undang KUP, diperlonggar menjadi paling lambat akhir bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir. Mengingat ketentuan ini tidak diatur dalam Undang-Undang KUP, maka ketentuan tersebut diatur dalam RUU PPN.

10. Fasilitas Perpajakan.

- Untuk memberikan kepastian hukum bagi pemberian fasilitas perpajakan maka diberikan penambahan fasilitas, antara lain untuk:

63 2) impor dan penyerahan BKP/JKP dalam rangka pelaksanaan

proyek pemerintah yang dibiayai pinjaman/hibah/bantuan luar negeri

3) listrik dan air

4) kegiatan penanggulangan bencana alam nasional

5) menjamin tersedianya angkutan umum di udara untuk mendorong kelancaran perpindahan arus barang dan orang di daerah tertentu yang tidak tersedia sarana transportasi lainnya yang memadai, dimana perbandingan antara volume barang dan orang yang harus dipindahkan dengan sarana transportasi yang tersedia sangat tinggi.

6) bahan baku kerajinan perak 11. Restitusi Turis Asing

- Dalam RUU PPN diatur mengenai pemberian pengembalian PPN dan PPn BM atas barang bawaan yang dibawa ke luar daerah pabean oleh orang pribadi pemegang paspor luar negeri (Turis Asing), dengan syarat nilai PPN minimal sebesar Rp. 500.000 (lima ratus ribu).

12. Tanggung Renteng.

- Pengaturan mengenai tanggung renteng PPN yang pada waktu

pembahasan RUU KUP diputuskan dihapus karena merupakan pengaturan material, dimasukkan ke dalam RUU PPN, mengingat

ketentuan ini masih sangat diperlukan untuk melindungi pembeli maupun penjual.

13. Masa Berlaku RUU PPN dan PPnBM.

- Mengingat diperlukannya waktu untuk mempersiapkan peraturan pelaksanaan Undang-Undang ini, penyempurnaan sistem dan prosedur, serta pelaksanaan sosialisasi baik internal maupun eksternal maka RUU PPN dan PPnBM ini diberlakukan mulai 1 April 2010.

Keputusan ini pun disambut baik oleh para produsen minuman beralkohol.Karena ongkos produksi akan menjadi murah dan memungkinkan penurunan harga jual dari minuman berlkohol tersebut.Selain itu juga dapat membantu wajib pajak alias masyarakat yang terbiasa mengkonsumsi minuman beralkohol.Kebijakan baru ini juga bisa membantu pemerintah,yaitu membenahi administrasi pencatatan penerimaan negara dari minuman beralkohol,antara penerimaan dari cukai dan penerimaan dari PPnBM.

Salah satu alasan Pemerintah tidak mengenakan PPnBM atas minuman beralkohol adalah untuk mengurangi impor maupun penyeludupan minuman beralkohol illegal.

Namun di sisi lain,dengan adanya undang-undang PPN dan PPnBM yang baru, maka untuk minuman beralkohol nantinya hanya akan dipungut biaya cukai saja.Yang sebelumnya dikenakan PPnBM juga.Maka dari itu tarif cukai atas

65 minuman beralkohol dinaikkan hingga mencapai 300 persen sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 62/PMK.011/2010

Dengan dinaikkannya tarif cukai atas minuman beralkohol,maka akan cukup berpangaruh juga terhadap harga jual minuman beralkohol walaupun PPnBM atas minuman beralkohol sudah tidak dikenakan lagi.

Adapun dari analisis di atas,maka dapat dievaluasikan bahwa :

a. Penghapusan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPnBM) adalah sebagai salah satu alasan untuk mengurangi impor atau penyeludupan minuman beralkohol illegal dan melaksanakan regulasi tentang pengenaan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah atas minuman beralkohol,yaitu dengan mengenakan Cukai ataupun dengan peraturan di bidang industri maupun perdagangan.

b. Tarif Cukailah yang kemudian menjadi pengatur tarif minuman beralkohol setelah dihapuskannya Pajak Penjualan Atas Barang Mewah atas minuman beralkohol

c. Kenaikan tarif Cukai atas minuman beralkohol yang mencapai hingga 300 persen memaksa produsen atau penjual minuman beralkohol menaikkan harga jual minuman beralkoholnya dan memungkinkan akan bertambahnya produsen atau penjual yang mengimpor atau menyeludupkan minuman beralkohol secara illegal.Hal ini menjadi berbanding terbalik dengan salah satu alasan dari penghapusan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah atas minuman beralkohol.

d. Tingginya tarif cukai atas minuman beralkohol,menurut produsen atau penjual juga cukup merugikan,karena dengan menaikkan harga minuman beralkohol berdampak dengan berkurangnya konsumen yang membeli minuman beralkoohol.Yang mana seharusnya cukup bagus karena mengurangi tingkat konsumsi masyarakat akan minuman beralkohol.Karena yang seperti kita ketahui,minuman beralkohol tidaklah baik untuk kesehatan.

e. Kenaikan harga minuman beralkohol juga berdampak pada konsumen yang kemudian harus berpikir dua kali untuk mengkonsumsi minuman beralkohol.Maka dari itu,banyak konsumen yang mengurangi atau berhenti menkonsumsi minuman beralkohol.Namun,tidak sedikit juga yang konsumen yang tetap mengkonsumsi minuman beralkohol walaupun dengan harga yang mahal.Dan tidak sedikit juga konsumen yang beralih ke minuman beralkohol tradisonal yang harganya jauh lebih murah,yaitu tuak.

BAB V

Dokumen terkait